Susan dengan cepat sudah berganti pakaian dan berdiri kembali di tempat yang sejak tadi dia huni. Evan sungguh tidak mengerti lagi bagaimana harus meyakinkan Susan bahwa dia bukanlah pria yang jahat dan mesum seperti yang dibayangkan atau dipikirkan oleh gadis itu.
“Berhentilah menatapku dengan tatapan seolah aku adalah seorang pria mesum atau penjahat kelamin seperti itu, Susan!” hardik Evan yang langsung membuat Susan tersentak.
“Mas, tolong bawa aku pergi dari sini,” pinta Susan tiba-tiba saja dan membuat Evan yang baru saja akan berbaring di sofa menatapnya dengan heran.
“Maksud kamu keluar dari hotel ini?” tanya Evan yang masih merasa ambigu dengan permintaan Susan.
“Nggak! Bawa aku ke mana Mas pergi dan semua itu pasti bisa menyelamatkan hidupku,” jawab Susan dengan keyakinan penuh dan mata berkaca-kaca.
Evan sungguh tidak percaya mendengar permintaan yang terlontar dari rongga mulut Susan saat ini. Apalagi, wanita itu meminta dan memohon kepadanya seolah dirinya adalah sang dewa penyelamat. Akan tetapi, mana mungkin Evan akan semudah itu mengabulkan permintaan Susan yang menurutnya masih tidak bisa diterima dengan akal sehat.
“Mana mungkin aku bawa kamu! Bisa-bisa ayahmu melapor ke kantor polisi dan nuduh aku bawa kabur anaknya. Terus, aku bisa dihukum karena melarikan anak gadis orang ke luar kota ke tempatku tinggal,” tolak Evan mentah-mentah saat itu juga.
“Semua itu nggak akan terjadi, Mas. Percaya sama aku, Mas! Tua bangka itu nggak akan berani lapor polisi karena di sendiri adalah incaran polisi sejak lama. Aku mohon, keluarkan aku dari kota ini, Mas. Aku nggak mau lagi tinggal di sini. Mungkin, malam ini aku masih bisa selamat karena Mas Evan adalah pria yang baik. Tapi, gimana kalau malam besok aku nggak menemukan lagi pria baik seperti Mas Evan? Aku nggak mau hidupku hancur dan menderita selamanya, Mas!”
“Maaf, Susan. Itu bukan ranahku dan aku nggak berani ambil resiko. Aku juga nggak mau istriku salah paham kalau aku datang sama kamu besok.”
“Aku yang akan jelasin sama istri Mas Evan keadaan yang terjadi sebenarnya. Aku hanya minta tolong bawa aku keluar dari kota ini. Aku nggak punya uang sama sekali untuk kabur dan hp ku juga udah diambil sama tua bangka itu.”
“Kalau kamu nggak punya uang, gimana kamu bisa ikut denganku?”
“Mas Evan tolong bayarkan ongkos kepergianku dan aku pinjam uangnya untuk bertahan hidup selama satu bulan. Mas Evan tinggal kasih nomor rekening atau alamat rumah Mas Evan aja, nanti aku akan antar uang penggantiannya saat aku udah dapat uang. Aku akan cari kerja setelah sampai di Jakarta,” jelas Susan menjawab pertanyaan Evan dengan entengnya.
“Kamu pikir, cari kerja di Jakarta itu mudah? Nggak segampang itu, Maemunah!” tukas Evan dan tertawa ringan mendengar betapa mudahnya saat Susan mengatakan semua itu kepadanya.
“Tapi, kata teman aku kerja di Jakarta itu mudah dan gadinya gede, Mas Evan.”
Evan sungguh tidak mengerti lagi bagaimana caranya berbicara dan menjelaskan pada Susan. Jadi, dia memilih diam dan kemudian memejamkan matanya untuk bersiap tidur. Dia tidak lagi memikirkan Susan.
Namun, semuanya itu ternyata hanya hitungan detik saja terjadi, karena sejurus kemudian pikiran Evan kembali pada Susan yang pasti merasa bingung dan kehilangan arah saat ini. Belum lagi, statusnya sebagai seorang wanita pasti akan membuatnya serba takut ke mana kaki melangkah.
Hal-hal buruk bisa saja terjadi di jalan dan itu membuat Susan semakin merinding ketakutan. Pada dasarnya Evan tetaplah Evan yang tidak akan pernah tega saat melihat orang lain butuh bantuannya. Jadi, dia menghela napas dengan kasar.
“Tidurlah. Besok pagi kamu akan berangkat bersamaku jam enam pagi. Aku akan memesan tiket tambahannya sebentar lagi!” ungkap Evan yang pada akhirnya memilih untuk membawa Susan pulang bersamanya.
Susan tidak tahu harus berkata apa selain hanya bisa mengangguk pelan sambil terus memegangi baju Evan yang dikenakannya tadi. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain rasa syukur dan terima kasih yang besar di dalam hatinya. Entah perasaan dari mana yang muncul, tapi tetap saja dia percaya bahwa Evan adalah pria baik dan terhormat. Pria itu tidak akan melukai ataupun mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti yang mungkin pria lain lakukan padanya.
“Aku tidur di mana, Mas?” tanya Susan ragu-ragu.
“Tidur aja di kasur itu. Aku bisa tidur di sofa, nggak masalah.” Evan menjawab santai dan teleponnya berdering.
“Tidurlah cepat dan jangan bersuara. Istriku menelpon,” titahnya dan langsung keluar dari kamar itu dengan membuka sebuah pintu kaca yang memisahkan kamar dan balkon.
Susan menatap punggung Evan dari kejauhan dan kemudian merasa lega. Dia kemudian naik ke atas ranjang dan berusaha memejamkan matanya. “Terima kasih, Tuhan. Aku yakin dia pria yang baik dan setia sama istrinya. Aku pasti akan membalas kebaikannya suatu saat nanti,” batin Susan berkata dan dalam sekejab mata dia sudah terlelap di dalam selimut putih yang tebal itu.
Di balkon, Evan menjawab telepon dari istrinya dengan nada riang dan penuh cinta. Mereka padahal baru sehari berpisah dan sudah saling merindukan seperti tidak bertemu sekian bulan. Memang seperti itulah sepasang suami istri itu sejak dulu dan sampai satu dekade pernikahannya pun tidak pernah berubah.
“Apakah semuanya aman, Sayang?” tanya sebuah suara yang merdu dan hangat di seberang sana.
“Tentu, Cintaku. Semuanya aman dan terkendali di sini. Kamu lagi ngapain di sana? Aku udah nggak sabar mau pulang,” jawab Evan dengan nada manja dan berusaha tetap tenang.
“Aku lagi mikirin kamu, dong. Aku kangen banget sama kamu. Kamu pulang besok pagi kan? Semuanya udah selesai tadi kan, Sayang?” tanya Renata – istri tercinta Evan dengan sangat manja.
“Iya. Aku udah pesan tiket untuk keberangkatan paling awal besok pagi. Emangnya kalau nanti aku pulang, mau ngapain?” tanya Evan menggoda setelah menjawab pertanyaan istrinya itu. Dia tahu, bahwa Renata adalah tipe wanita yang aktif dan agresif. Dia selalu bisa memanjakan suami dan membuat Evan tidak bisa berpaling darinya. Selama ini, Renata selalu memberikan service terbaiknya sebagai seorang istri kepada Evan, meski pada kenyataannya mereka tidak kunjung punya anak hingga sepuluh tahun pernikahan.
“Yang pastinya kita akan melepas rindu, dong Sayang. Tapi ... aku mau tanya deh sama kamu.”
“Apa, Cinta?”
“Gimana di sana? Apa kamu nggak ketemu juga sama yang kita cari? Aku berharap, keberangkatan kamu kali ini ke sana bisa membuahkan hasil yang selama ini kita harapkan.”
Mendengar itu, wajah Evan langsung memerah dan masam. Dia selalu menghindari topik pembicaraan ini dengan Renata. Baginya, permintaan Renata terlalu konyol dan sangat sulit untuk bisa dia penuhi. Namun, istrinya itu terus saja memaksa dan seolah tidak pernah lelah membujuknya.
“Tidak ada. Aku tidak punya waktu untuk itu, Sayang. Tolong, jangan membuat kerinduan ini rusak oleh pembahasan tidak penting seperti itu!” ucap Evan dengan penuh penekanan.
“Nggak penting kamu bilang? Ini demi masa depan kita, Sayang. Tolong ... carilah satu wanita yang bisa mengandung anakmu. Buat semuanya dengan satu persayaratan penting. Nikahi dia dan buat dia hamil, lalu setelah melahirkan anak itu akan menjadi milik kita dan biarkan dia pergi dengan sejumlah kompensasi dari kita. Pasti ada perempuan yang mau!” ungkap Renata dengan nada putus asa, sementara saat Renata berbicara seperti itu, sorot mata Evan beralih pada Susan yang saat ini sedang tidur membelakangi dirinya.
Pada akhirnya di sinilah sekarang Evan dan Susan berada. Mereka sudah mendarat dengan selamat karena Evan sudah membayarkan tiket untuk Susan. Dia hanya bercanda dengan menanyakan uang gadis itu, dan bagaimanapun Evan masih manusia biasa. Evan tidak tega jika Susan menjadi korban atau budak untuk memenuhi kebutuhan seks pria yang membelinya. Saat mereka sudah sampai di dalam bandara, dari kejauhan Evan melihat Renata melambaikan tangan padanya dengan senyuman yang sangat manis. Memang seperti itulah istrinya sejak dulu, selalu membuatnya dan memperlakukan dirinya bak seorang raja. Tidak pernah sekali pun Renata mengeluh tentang apapun yang Evan lakukan. Kekurangan Renata memang hanya masalah anak atau keturunan yang tidak akan pernah bisa dia berikan lagi kepada Evan. “Sayang ... aku kangen banget.” Renata bersorak dan berlari kecil ke arah Evan. Dengan gayanya yang khas dan sangat manja tentu saja. “Kamu pikir, kamu doang yang kangen? Aku juga kangen banget sama kamu,” balas Evan
“Nggak ada bantahan lagi, Sayang. Kita pulang bertiga ke rumah sekarang juga. Kamu mau anterin kami atau kami pulang pake taksi aja nih?” tanya Renata yang jelas adalah sebuah ancaman secara tidak langsung kepada Evan. “Oke, kita pulang sekarang.” Evan menyerah. “Nah, gitu dong. Baru namanya suamiku tersayang dan paling pengertian.” Renata semakin melebarkan senyumannya saat ini dan kemudian menggandeng tangan Susan untuk ikut bersamanya. Kini, Renata berada di tengah antara Susan dan juga Evan – suaminya, tanpa dia tahu kebenaran kenapa Susan bisa datang bersama dengan Evan saat ini. Sebagai orang yang juga sangat mengenal Renata, tentu saja Evan tahu kalau sekarang bukanlah waktu yang pas. Mereka bertiga sampai di mobil dan saat ini Renata bersikeras meminta Susan duduk di depan bersanding dengan Evan yang akan menyetir mobilnya pulang. Namun, Susan cukup tahu diri dan tentu saja dia menolak permintaan Renata itu. Pada akhirnya, Renata tetap adalah orang yang duduk di samping Ev
Setelah kepergian Evan yang menyusul istrinya itu, tentu saja Susan menjadi kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Akan tetapi, dia teringat bahwa Evan sudah mengizinkannya dan memberikan hak padanya untuk menggunakan kamar tamu serta pakaian yang ada di dalam lemari. “Aku udah gerah banget memang. Ya udah deh, aku mandi dan segera ganti baju aja dulu. Mudah-mudahan ada yang cocok sama aku bajunya,” gumam Susan dan langsung membuka pintu kamar tamu dengan perlahan lahan. Susan tampak sedikit takut saat dia memasuki ruangan yang disebut oleh Evan sebagai kamar tamu itu. “Ya ampun, luas banget sih ruangannya? Ini beneran kamar untuk tamu? Trus kamar utamanya pasti lebih besar dari ini kan?” tanyanya seorang diri. Susan lalu menuju ke ranjang yang terlihat sangat empuk dan nyaman untuk ditiduri, dengan alas berwarna biru muda dan juga ruangan itu terasa sejuk karena dilengkapi dengan pendingin udara yang selalu menyala. Perlahan, Susan duduk di sisi ranjang dan beronj
“Itu sih memang udah kodratnya tamu, Mba. Tamu adalah raja kalau di rumah ini, Mba.”“Tapi, aku tetap akan bantu Mbok Nah. Aku nggak tau lagi harus ngapain, Mbok Nah. Aku udah biasa kerja setiap bangun tidur subuh hari dan kalau nggak kerja saat pagi, aku akan merasa lemas sepanjang hari,” jelas Susan yang sebanarnya hanyalah kebohongan saja agar dia diberikan izin untuk ikut membantu di dapur pagi ini oleh mbok Minah. Siapa sangka, triknya itu sangat berhasil kali ini.“Benarkah begitu, Nak? Kalau begitu, kamu harus bekerja agar tubuhmu tetap sehat dan bugar.”“Tentu saja, Mbok Nah. Terima kasih karena sudah memahamiku.”“Sama-sama. Apa yang ingin Mbak Susan lakukan?”“Mbok Nah panggil aku Susan aja deh, nggak usah panggil pake mba gitu. Aku justru senang saat tadi Mbok Nah manggil aku dengan kata ‘nak’.” Susan berkata dengan jujur.Mbok Minah melihat jelas raut kejujuran di wajah Susan saat ini dan sepertinya wanita itu berasal dari kelurga yang tidak harmonis atau kurang kasih saya
“Yang masak sarapan hari ini tuh Susan, Mas, Mba.” Mbok Minah berkata dengan suara kecil.Renata jelas mendengarnya dan dia mencuri pandang pada kunyahan suaminya yang melambat. Seperti baru saja menyadari ada hal yang tak biasa yang bisa dilakukan Susan. Ternyata, hal itu tidak membuat hati Renata sakit sama sekali.“Susan, sini duduk sarapan bareng sama kita,” ajak Renata dengan senyum tulus.“I-iya, Mba. Tapi, nanti aja deh. Aku masih kotor dari dapur, belum mandi. Aku nanti aja sarapannya,” tolak Susan dengan malu-malu.“Nggak apa-apa kok. Keringat pagi itu sehat dan makanan harus dimakan selagi masih hangat begini. Selesai makan, duduk bentar, baru deh kamu mandi biar segar dan tenang pikirannya,” terang Renata dengan nada yang sangat lembut dan bijaksana.Susan tidak berani mengiyakan permintaan Renata karena masih teringat dengan pertengkaran suami istri itu semalam karena kedatangannya ke rumah ini. Walaupun Susan tidak datang sebagai wanita kedua dalam rumah tangga mereka, ta
Susan masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar dari mulut Evan. Betapa mudahnya pertanyaan penting seperti itu keluar dari mulut pria yang sudah beristri. Terlebih lagi, istrinya duduk di samping dirinya saat ini. Hal yang sangat tidak bisa dipercaya oleh Susan, bahkan Renata sendiri tidak merasa terkejut dan marah mendengar suaminya bertanya seperti itu pada wanita lain. Selain itu, Susan juga adalah wanita yang baru saja hadir dalam hidup mereka berdua. Bukan sengaja hadir sebagai orang ketiga, tapi mungkin takdir yang membuat mereka bertiga akhirnya bertemu saat ini. “Maaf, Mas Evan! Aku bukan perempuan seperti itu. Aku nggak akan merusak rumah tangga wanita lain hanya untuk membalas budi. Aku tau, Mas Evan udah menyelematkan aku dari lembah hitam yang selama ini menjerat kaki dan tubuhku, tapi bukan seperti ini juga caranya aku membalas kebaikan yang udah Mas Evan lakukan untukku,” cecar Susan dengan emosi yang meluap dan air mata yang menggenang di bola matanya yang
“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mba Renata itu? Kenapa dia dengan mudahnya bicara seperti itu?” tanya Susan yang sudah kembali lagi ke dalam kamar tamu.Tadinya, dia ingin meminta maaf pada Renata karena sudah bicara terlalu kasar. Padahal, saat ini pun posisinya sedang menumpang di rumah wanita itu. Namun, belum sampai langkah kaki Susan ke meja makan, dia sudah mendengar semua yang diucapkan oleh Renata kepada mbok Minah tadi.Di meja makan, Renata masih tersedu sedu karena merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia sudah merasakan titik terendah dalam hidupnya sebagai seorang wanita. Berharap pada wanita lain untuk bisa mengandung anak suaminya. Semuanya itu tentu saja tidak lah mudah, tapi dia terus mencoba untuk menanggung sakitnya sendiri dan hanya ingin memperlihatkan senyumannya.“Mbok Nah, aku ke kamar dulu. Aku mau bicara lagi sama mas Evan.”“Nanti aja, Mba. Sepertinya mas Evan juga lagi dalam suasana hati yang nggak baik sekarang. Nggak usah membahas ha
Satu hari setelah kepergian Renata ke Bali dan untuk pertama kalinya dia tidak bersama dengan Evan. Sudah bisa dipastikan bahwa akan banyak pertanyaan dan juga gosip menyebar di kalangan para sahabat dan kolega bisnisnya. Selama ini Renata dan Evan selalu terlibat bersama dalam acara apapun dan tidak pernah hanya hadir seorang diri.Di rumah, Evan sudah bersiap untuk pergi bekerja dan tidak menemukan dasi yang biasa dia gunakan di dalam kamarnya. Evan merasa Renata sengaja tidak mempersiapkan pakaian kerjanya seperti biasa dan itu membuatnya kesal.“Mbok ... bisa bantu aku carikan dasi warna maroon yang biasa aku pakai itu nggak? Aku nggak nemu di kamar, mungkin masih ada di laundry room.” Evan berkata dengan pasrah sambil memasang kancing kemejanya di depan wanita tua itu.“Duh, gimana ini, Mas? Mbok Nah lagi goreng ini, takutnya gosong. Tapi, di ruang menyetrika ada Susan yang lagi bantu-bantu juga. Coba Mas Evan tanya sama dia aja, mungkin dia bisa bantu,” jelas mbok Minah yang mem