Share

Om Evan

“Aku masih takut. Aku nggak bisa percaya sama siapapun saat ini kecuali pada Tuhanku!” jawabnya dan sekali lagi membuat hati Evan tersentuh secara batin.

“Oke. Aku ngerti yang kamu rasain, karena memang kamu udah banyak mengalami hal yang buruk selama ini. Tapi, aku benar-benar nggak akan melakukan hal buruk atau keji sama kamu. Jadi, kamu bisa tetap tenang di kamar ini tanpa takut ayahmu atau Darius datang memintamu melayaninya. Kamu mau tinggal di kamar ini atau mau keluar aja?” tanya Evan dengan sengaja membuat Susan bingung.

Dia tahu, Susan tidak mungkin memilih untuk keluar dan itu artinya dia sama saja mencari mati untuk dirinya sendiri. Karena di luar sudah menunggu ayahnya yang siap untuk menerima bayaran dari Darius. Atau ada Darius yang tadi tampak sudah sangat bersemangat ingin menyentuhnya.

“A-aku ... aku nggak tau, Om. Mungkin, di dalam dan di luar sana sama aja,” jawab Susan ragu.

“Sama dalam hal apa?”

“Aku di sini atau keluar, akan sama-sama masuk dalam mulut buaya.”

“Kamu bilang aku buaya?” tanya Evan dan menaikkan sebelah alisnya pada Susan.

Gadis itu tidak berani menjawab karena memang masih dilanda ketakutan yang mendalam. Dia tidak pernah tahu pria seperti apa yang sedang berada di hadapannya saat ini. Akan tetapi, Susan berusaha untuk terlihat kuat dan berani agar tidak terlalu mudah diintimidasi atau dilecehkan oleh Evan.

Evan bisa memahami situasi yang dialami oleh Susan saat ini jika dilihat dari gerak gerik dan juga mimik wajahnya. Meskipun Susan menunjukkan aksi beraninya di depan Evan, tetap saja pria itu tahu saat ini Susan sedang ketakutan dan berusaha melindungi dirinya.

Namun, Evan bukanlah pria bejat seperti yang ada di dalam pikiran Susan sejak awal. Dia membawa Susan ke dalam kamarnya dengan paksa seperti tadi hanya untuk semata-mata menyelematkan Susan dari kemesuman Darius. Hal itu dia pertimbangkan dari ketakutan Susan saat mereka masih berada di restoran bawah tadi.

“Tenanglah. Aku nggak akan menyakiti kamu dan aku bukan pria yang suka tidur dengan wanita sembarangan. Aku cukup setia dengan istriku,” ungkap Evan jujur kepada Susan meski dia tahu Susan tidak akan langsung percaya padanya.

“Kalau begitu, tolong aku kali ini, Om. Kalau Om benar-benar adalah pria yang setia, tolong selamatkan aku dari ayahku. Aku akan sangat berhutang budi sama Om dan pasti akan menebusnya suatu saat nanti,” ungkap Susan yang entah muncul dari mana keberaniannya itu.

“Maksudmu bagaimana, Susan? Dan ... tolong jangan panggil aku dengan sebutan om. Itu nggak enak banget didengar, dan sepertinya aku nggak setua itu sampai kamu harus panggil aku om-om segala,” ucap Evan yang memang kesal dengan sebutan Susan kepadanya sejak awal.

“Lalu, aku harus panggil apa sama Om?” tanya Susan yang polos dan menatap Evan dari sudut dinding yang dekat dengan pintu toilet.

“Terserah, asal sopan dan bukan Om!”

“Gimana kalau Bapak?”

“Ya ampun! Bapak lebih menyebalkan dari pada Om, asal kamu tau aja!”

Susan sungguh tidak tahu apa yang harus dia sebut untuk memanggil Evan dengan sopan. Jadi, dia menggigit bibir bagian bawahnya dengan wajah tertunduk. Evan yang merasa bahwa mungkin dia sudah terlalu keras dan kasar kepada wanita itu, lantas menjadi sedikit merasa bersalah.

“Oke. Nggak usah panggil Om atau Bapak. Cukup panggil Mas aja. Namaku Evan Setiawan!”

“Oke kalau gitu, Mas Evan.”

“Giliran aku yang mikir, langsung semangat ngejawab,” gerutu Evan dan kemudian berjalan mendekat ke arah Susan.

Hal itu membuat Susan kembali memasang wajah takut dan juga terlihat sangat hati-hati. Dia tidak bisa memprediksi hal apa yang akan dilakukan oleh Evan kepadanya nanti. Jadi, dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria yang baru saja dikenalnya itu.

Ternyata, Evan hanya mengambil sebuah handuk kecil tergantung pada bagian samping tempat Susan berdiri sekarang. Dia harus menyeka keringat yang tidak berbau sama sekali dari wajah dan lehernya. Dia baru saja menemani Darius minum, meskipun dia tidak ikut minum karena Evan memang tidak suka minum alkohol.

“Santai aja nggak usah tegang gitu. Aku carikan sweeterku dan kamu bisa pakai untuk menutupi tubuhmu itu,” ucap Evan dan langsung membongkar kopernya.

Susan menunggu dengan sabar dan mulai terlihat rileks karena sedikit banyaknya perlakuan dan ucapan Evan mampu membuatnya merasa tenang. Susan tidak lagi tampak takut dan awas pada Evan. Saat Evan menemukan benda yang dia cari, dia langsung melemparnya ke arah Susan dan sebuah celana panjang training juga dia serahkan pada Susan.

“Pakai itu sampai besok pagi. Besok aku akan membelikan kamu baju baru sebelum berangkat,” ucap Evan pada Susan dengan maksud yang ternyata ditanggapi berbeda pula oleh Susan.

“Mas Evan mau bawa aku ke mana memangnya? A-aku nggak punya uang untuk ongkos kalau harus kabur dari ayah.” Susan berkata dengan takut.

“Kamu memangnya berharap aku bawa ke mana? Aku nggak akan bawa kamu ke mana-mana kok. Besok pagi aku harus berangkat ke Jakarta karena istriku udah menunggu. Aku nggak tinggal di sini dan aku akan segera pulang dengan pesawat paling pagi. Jadi, tenanglah malam ini di kamar ini supaya aku bisa tidur dengan nyenyak!” terang Evan panjang lebar kepada Susan.

“Pergi? Jadi, Mas Evan nggak tinggal di sini?” tanya Susan seperti heran.

“Nggak. Aku ke sini untuk urusan pekerjaan dan aku tinggal di Jakarta.”

Susan tampak berpikir sejenak, dan sebuah ide terlintas di benaknya saat itu juga. Akan tetapi, dia ragu jika Evan mau mengabulkan permintaannya itu. Meskipun begitu, Susan tetap berniat untuk mencoba dan berusaha.

Evan juga sudah menemukan satu setel pakaian santai yang akan dia kenakan untuk mengganti pakaian formalnya saat ini. Tidak mungkin dia tidur dengan menggunakan kemeja lengan panjang dan juga celana dasar seperti orang yang masih kerja. Jadi, dia mengeluarkan baju kaos oblong berwarna hitam dan juga celana pendek selutut dengan warna senada.

“Kalau kamu belum mau ganti baju, aku duluan yang akan ganti baju. Coba minggir dulu dari depan pintu toiletnya,” titah Evan dan Susan langsung menurut begitu saja.

“Apa yang aku pikirkan? Mana mungkin dia mau membawaku pergi dari sini? Aku bahkan nggak melayaninya, jadi mana mungkin dia memberikan aku uang atau membayarkan tiket pesawat untukku,” batin Susan berkata saat Evan sudah masuk ke dalam kamar mandi.

Pakaian yang diberikan Evan kepadanya masih dia pegang dan menunggu pria itu keluar dari dalam kamar mandi. Di kamar itu hanya ada satu kasur berukuran king dan tidak mungkin rasanya jika mereka tidur di atas satu kasur dan Susan tidak bisa menjamin kalau Evan tidak akan melakukan hal apapun padanya saat nanti mereka berada di satu ranjang yang sama.

Sampai saat ini untungnya Susan masih perawan dan itu adalah harta yang paling dia jaga sejak dulu. Susan selalu berharap dan bermimpi bahwa akan ada seorang pangeran yang melamarnya dan menjadikannya istri. Kemudian membawanya pergi jauh dari kehidupannya yang kelam serta mencekik diri siang dan malam itu.

“Ganti pakaianmu dan tidur di kasur. Aku akan tidur di sofa itu,” ucap Evan dan menunjuk sebuah kursi busa di depan ranjang dengan panjang tak sampai dua meter.

“I-iya.” Susan patuh dan masuk ke kamar mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status