“Aluna, tunggu!”
Ryu berteriak ketika di jarak 5 meter melihat mantan istrinya sedang berjalan sembari mengandeng putranya yang bernama Langit menuju parkiran mobil.
Aluna mengabaikan teriakan Ryu. Ia tidak memiliki kewajiban menuruti keinginan pria itu, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa dan ia bebas mau melakukan apa saja.
“Berhenti aku bilang, Aluna!” pekik Ryu lebih keras lagi hingga Langit ketakutan. “Mi, aku takut sama Papinya Mauren.”
Aluna memejamkan matanya meredam emosi yang sudah di ujung kepalanya sampai membuat anaknya ketakutan, laki-laki ini masih saja suka memaksa.
Ia lantas berjongkok untuk bicara dengan Langit. “Langit masuk mobil dulu ya, Mami bicara dengan Papinya Mauren dulu!” ucap Aluna tangannya memegang bahu putranya dan dijawab anggukan kepala oleh sang putra.
Ryu yang sedang mengendong Mauren sudah berdiri di hadapan Aluna dan di belakangnya ada baby sitternya. “Bisa bicara sebentar,” tanya Ryu lalu melirik kepergian Langit, masuk ke dalam mobil.
“Pi, ayo pulang!” rengek Mauren
“Sayang, pulang sama Sus ya, Papi masih ada urusan.” Ryu menurunkan Mauren dan meminta pada gadis yang merawat anaknya itu untuk pulang. Awalnya Mauren sempat menolak karena ingin diantarkan oleh sang Papi, tetapi karena laki-laki itu menjanjikan sesuatu makanya gadis kecil itu mengangguk setuju.
“Dada, Papi!” Mauren melambaikan tangannya pada Ryu yang sedang berdiri mengantarkan kepergian mobil yang ditumpanginya untuk pulang.
Aluna melengos tanpa minat melihat kehangatan anak dan Bapak itu. Ia melanjutkan langkahnya yang terhenti tadi tapi tiba-tiba tubuh Aluna tertarik ke belakang ketika seseorang menarik lengannya. “Kamu!” bentaknya.
“Aku sudah bilang mau bicara kenapa kamu mengabaikan, hah?”
Aluna menghembuskan napas kesal. “Oke, mau bicara apa?”
“Siapa Ayah anak kamu?”
Mantan istrinya itu bersikap tenang tapi matanya seolah menyiratkan kecemasan. “Ada, ya suamiku lah!” jawab Aluna berbohong padahal ia single mother demi agar Ryu tidak mengusiknya. Tapi satu yang Aluna lupa, kalau Ryu bukanlah orang bodoh yang bisa menerima ucapannya begitu saja.
Ryu terkekeh menatap Aluna dengan senyuman yang tidak bisa diartikan. “Kamu kalau berbohong, dipikirkan pakai otak, bisa kan!”
“Ryu!” sentak Aluna kasar ketika telunjuk Ryu dengan bebasnya mendorong pelan ke kening Aluna. “Yang sopan, bisa kan?” Tatapan tajam Aluna tidak mampu membuat Ryu takut.
“Oke, maaf,” balas Ryu menyadari kesalahannya kalau sekarang Aluna bukan siapa-siapanya dan sikapnya tadi memang kurang baik.
“Sudah kan bicaranya? Maaf, saya harus pergi,” ujar Aluna sudah berjalan meninggalkan Ryu namun, ucapan laki-laki itu menghentikan langkahnya.
“Aku Ayah anak kamu kan?”
“Bukan!” Aluna berkata dengan suara keras seraya memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Ryu. “Dia hanya anakku!”
Ryu menatap tajam pada iris mata Aluna. Sementara Aluna tetap tenang bahkan tidak terpengaruh pada sikap mantan suaminya itu. Bibir Ryu bergerak akan tetapi, sepertinya keberuntung sedang berpihak pada Aluna. Ketika ponsel Ryu berbunyi, pria itu sedang merogoh saku celananya.
“Kita belum selesai, Aluna!” sentaknya dan mencekal pergelangan tangan Ibu satu anak itu, saat meihat Aluna akan meninggalkannya.
“Hmm!” gumam Ryu pada sang penelpon. “Aku masih ada urusan sebentar, Mauren balik sama babysitter.” Sambungan telepon sudah ditutup oleh Ryu yang Aluna perkirakan itu istrinya tetapi tangan Ryu masih menempel erat sampai tidak sengaja Ryu meremasnya.
“Lepas, Bapak Ryu Xavier Ragnala. Anda sudah menyakiti saya!”
Ryu tahu kalau Aluna sedang menahan amarahnya, terlihat dengan panggilannya formalnya pada Ryu.
Tin …tin … tin …
“Maaf, bisa minggir dulu! Kalau ada masalah selesaikan baik-baik tidak menghalangi jalan seperti itu,” celoteh Ibu di dalam bangku kemudi yang terpaksa berhenti karena Ryu dan Aluna sedang berdiri di tengah-tengah jalan.
Tanpa sadar Ryu melepas tangan Aluna. “Oh, maaf!”
Ketika Ryu sadar, ia sudah kehilangan Aluna yang sudah berlari menuju mobilnya.
“Kalau benar Langit anakku, aku akan buat perhitungan denganmu, Aluna!” desis Ryu kemudian melangkah menuju mobilnya karena memenuhi panggilan di rumah sakit.
***
Di dalam mobil, baik Langit maupun Aluna tidak banyak bicara. Mereka berpikir dengan pikirannya masing-masing.
“Kalau aku punya Papi yang sayang kayak Papinya Mauren, pasti senang deh!” batin Langit. Ia selalu bersedih ketika melihat teman-temannya yang bisa bercengkraman dengan Ayahnya.
Sedangkan Aluna berpikir, bagaimana supaya menjauhkan Langit dari Ryu. Kalau anaknya itu masih bersekolah di tempat itu, bisa saja pertemuan itu kembali terjadi. Lambat laun Ryu pasti mengetahui kalau Langit adalah anaknya dan Aluna tidak tahu apa yang akan dilakukan mantan suaminya itu. Apakah akan mengambil Langit dari sisinya atau … ia tidak sanggup lagi berpikir.
“Tidak, aku harus mengambil tindakan!” gumam Aluna.
Langit menoleh menatap tanya pada Aluna. “Mami, ngomong apa?” tanya Langit yang melihat tingkah aneh Aluna.
Ah, Aluna lupa kalau ada Langit di sebelahnya. Putranya itu anak yang pintar dan rasa ingin tahunya sangat besar. Jadi apapun akan ia tanyakan dan harus mendapatkan jawaban yang sedetail mungkin.
“Oh, itu nanti kita makan siang sama apa ya?” Aluna mengalihkan perhatian Langit ke makanan.
“Kan, bekalku belum dimakan, Mi!”
Aluna terkekeh. “Oh, iya! Tapi kalau Langit mau makan yang lain, ini Mami lagi baik mau ajak Langit makan semaunya kamu.” Ia hanya ingin membuat Langit melupakan sejenak kesedihannya.
Bocah tujuh tahun itu tampak riang. “Boleh burger, Mi? Sama ayam juga ya?” tanyanya.
Aluna mengangguk seraya tersenyum. “Boleh, Sayang!”
***
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” tanya seorang pramusaji ketika Aluna dan Langit sedang berdiri di counter untuk membeli menu di fastfood tersebut.
“Sayang, kamu mau apa?” tanya Aluna pada Langit.
“Emm … aku mau 5 burger, 5 kentang dan 5 dada ayam ya!”
Aluna sampai mengelengkan kepalanya, tidak percaya dengan banyaknya pesanan sang putra. “Sayang, itu kebanyakan, apa bisa menghabiskan semua itu, hmm?”
Langit menjawab dengan gelengan berkali-kali. “Bukan buat aku semua itu, Mi.” Ryu menunjuk arah luar gerai fastfood tersebut, ada segerombolan anak-anak pengamen yang usianya tidak beda jauh dengannya. “Aku mau kasih makanan itu untuk mereka, Mi.”
Aluna refleks memutar tubuhnya guna melihat arah tunjuk Langit, dapat wanita itu lihat ada 4 anak pengamen jalanan yang umurnya bisa diperkirakan sepantaran Langit. Ada rasa bangga juga Langit memiliki sifat suka berbagi seperti itu. “Oke,” jawab Aluna kemudian.
10 menit kemudian, Ibu dan anak itu menyelesaikan pesanannya.
“Mami duduk saja, aku kasihkan makanan itu sendiri saja ya?” Langit mengatakan sesaat melihat Aluna yang hendak menuju pintu keluar.
Ibu satu anak itu urung keluar dan memutar tubuhnya kembali masuk menuju salah satu meja kosong di ujung sehingga bisa melihat keramaian jalanan. “Oke, hati-hati ya!” Aluna duduk sedangkan Langit masih berdiri dengan menenteng totebag yang akan diberikan pada anak jalanan tersebut berjalan meninggalkan Aluna menuju pintu keluar dengan bawaan yang tidak terlalu berat itu.
Aluna sedang menatap ponselnya ketika melihat Langit dan anak-anak jalanan tadi berada di seberang jalan. “Astaga, bukannya tadi di depan sini, kenapa sekarang nyebrang,” gumamnya. Tanpa berpikir lagi, wanita itu segera berdiri tanpa memperdulikan makanan yang ada di atas meja untuk menyusul Langit. Rasa khawatirnya mendadak menghantuinya, pasalnya jalanan itu sangat ramai sekali. Ia merutuki kebodohannya tadi tidak memperhatikan Langit.
“Langit,” teriak Aluna untuk memanggil sang putra. Hampir saja bisa sampai di tempat Langit ketika tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh kecil Langit, Aluna histeris. “Langit …!”
tbc
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang