Share

5. Pengakuan

Author: Mkarmila
last update Last Updated: 2024-05-03 02:44:24

Sekujur tubuh Aluna membeku bahkan kakinya tidak bisa digerakkan melihat hal yang mengerikan di depan matanya. Darah segar melumuri tubuh bocah kecil yang sedang tergeletak dengan mata terpejam. Hingga segerombolan orang-orang dengan kepanikan datang mendekat, Aluna pun sadar lalu berlari kencang untuk menembus kerumunan orang-orang tersebut.

“Langit!” Aluna menjerit lalu menjatuhkan kedua lututnya di aspal jalanan, menekuknya lantas mendekap tubuh kecil sang putra dengan tangisan pilu. “Bangun, Sayang ... maafkan Mami.”

“Cepat panggil ambulans!”

Yang Aluna dengar hanya seruan itu, selebihnya indera pendengarannya tidak mampu lagi menampung kata-kata lain. Tubuhnya bergetar hebat dengan isakan yang masih membasahi wajah cantiknya. Di kecupnya wajah Langit berkali-kali dengan selalu mengucapkan rasa bersalahnya. “Maafkan Mami, Nak!”

***

Entah, apa saja yang ia lakukan ketika mobil putih bersirine itu sudah tiba di pelataran rumah sakit. Pintu belakang dibuka oleh seorang petugas medis, Aluna hanya mengikutinya tanpa memikirkan yang lain.

“Maaf, Ibu tidak boleh masuk!” seorang wanita yang ia yakini seorang Dokter menghalau langkah Aluna saat akan ikut masuk ke dalam ruangan. “Serahkan pada kami.”

Baru saja bibirnya bergerak memprotes, tiba-tiba pintu sudah ditutup dan ia hanya bisa terpaku melihat dengan tatapan kosong. Tubuh Aluna luruh ke lantai dengan menekuk lututnya, tangisnya pecah kembali membayangkan anaknya sedang berjuang sendirian di dalam sana. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana hidupnya jika kehilangan Langit. Satu-satunya yang membuatnya bertahan hidup adalah Langit.

“Permisi, Ibu!”

Aluna mendongak melihat seorang suster menghampirinya. Dengan bantuannya Aluna ditarik lalu didudukan disalah satu bangku kosong.

“Bisa ke loket dulu untuk pendaftaran pasien.”

Aluna mengeleng tidak ingin jauh dari Langit, ia ingin orang pertama yang ada di sisi Langit ketika pria kecilnya itu sadar. “Ta-pi, saya mau menunggu anak saya dulu,” lirih Aluna dengan matanya yang sembab.

“Maaf Ibu, itu sudah prosedurnya jadi mohon kerjasamanya, di dalam sudah ada Dokter yang akan berusaha untuk menyelamatkan anak Ibu.”

“Nanti saja, sus,” tolak Aluna, pokonya ia ingin menunggu sampai pintu di depannya ini terbuka.

Sang suster belum beranjak, karena dia mengikuti prosedur rumah sakit. “Tapi, Bu-”

“Saya mau disini dulu, bisa ngerti gak!” sentak Aluna, merasa tidak dimengerti. Harusnya suster itu paham maksudnya, bagaimanapun ia tengah cemas, tidak ada orang yang membantunya, pikirannya kacau takut kehilangan sang anak.

Sang suster menghembuskan napas melihat bagaimana kacaunya Aluna. Saat bersamaan, seorang Dokter yang keluar dari ruang operasi melihat keributan itu.

“Ada apa, sus?” tanyanya.

“Ini Ibu ti-”

“Aluna!” desis sang Dokter tidak sengaja melihat wanita yang tengah menunduk. “Ada apa, siapa yang sakit?”

Tubuh Ryu tertarik saat tangan Aluna mencengkram lengannya. Bahkan suster tersebut terkesima dengan sikap tiba-tiba Aluna.

“Dokter, tolong anak saya,” suara serak Aluna karena terlalu banyak menangis masuk ke dalam indera pendengaran sang Dokter. “Tolong selamatnya anak saya!”

“Langit,” gumam Ryu tanpa menolak tangan mantan istrinya itu yang pada lengannya.

Suster yang melihat tidak melakukan apa-apa, tapi ia dapat melihat kalau kedua orang itu seperti sudah saling mengenal.

“Langit kenapa?”

“Kecelakaaan, Dokter!” Bukan Aluna yang menjawab, melainkan suster karena melihat Aluna yang kembali meneteskan airmatanya dengan mengelengkan kepalanya, wanita itu bahkan tidak sanggup berkata-kata.

***

Akhirnya setelah membujuk Aluna, Ryu berhasil membawa mantan istrinya itu menuju ruangannya. Ia ingin menenangkan wanita yang sedang kacau itu. Sengaja Ryu meminta pada asistennya agar tidak menganggunya agar bisa memiliki waktu dengan Aluna lebih banyak. Meskipun beberapa orang disana menaruh curiga tapi bisa apa mereka kalau yang memberi perintah adalah putra pemiliki rumah sakit.

“Sekarang, coba ceritakan apa yang sudah terjadi?” tanya Ryu setelah melihat Aluna yang sudah tenang. Laki-laki menatap ke dalam mata Aluna yang basah, jika saja dirinya masih berstatus suami akan direngkuhnya wanita ini.

Aluna mulai bercerita seolah seperti terdorong sesuatu dari dalam hatinya. Aluna berharap akan mendapatkan kelegaan bercerita dengan Ayah kandungnya meskipun dia menolak mengatakan bahwa Langit anak kandung pria itu.

“Oke, kamu gak perlu khawatir, saya akan bertarung nyawa untuk anak kita.”

“Langit bukan anak anda, Dokter!”

“Terus saja berbohong, Aluna!” Ryu mengabaikan ucapan Aluna, ia sangat yakin kalau Langit adalah keturunan dari benih yang ia titipkan pada Aluna sebelum perceraian.

“Tapi memang be-”

“Permisi Dokter.” Seorang suster membuka pintu setelah mengetuknya.

“Ya.”

“Pasien anfal,” ucap suster lalu kebetulan mengenali siapa orang tua pasien. Maniknya berlari menatap Aluna. “Putranya Ibu.”

Ryu bergegas berdiri dan meninggalkan Alunan guna memastikan sendiri. Begitu belum terlalu jauh, wanita itu menarik lengan Ryu yang otomatis menghentikan langkah pria itu. “Apa yang terjadi dengan Langit?”

“Dokter, tolong selamatnya anak saya!”

Ryu mendesah kasar mendengar panggilan mantan istrinya itu. “Kamu lupa, aku ini Ayahnya, Aluna!” ucapnya tegas dengan aura dominan membuat Aluna menciut nyalinya melupakan hal itu. “Tidak perlu memohon seperti itu, aku juga akan menyelamatkan anakku, paham!”

Aluna dapat melihat kilatan amarah dari tatapan Ryu, tatapan yang sama setelah ketukan palu pengadilan yang mengabulkan permohonan perceraiannya.

“Oke, sebagai Dokter itu memang tanggung jawab, Anda.” Aluna mencoba mengabaikan Ryu sebagai Ayah Langit dan lebih melihat kepada profesi laki-laki itu.

Tanpa berkata lagi, Ryu meninggalkan Aluna dan menuju ruangan operasi. Sebagai Direktur sekaligus anak pemilik rumah sakit, membuat Ryu bebas melakukan apa saja termasuk masuk ke dalam ruangan yang tidak semua orang boleh masuk.

Dari dalam ruangan itu, sudah ada Dokter yang menanganinya. Ia sempat memantau langsung tindakan yang diambil oleh Dokter-dokter tersebut hingga jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat satu garis datar di hadapannnya. Tut …

***

Beberapa jam kemudian.

“Makanlah dulu! Langit sudah baik-baik saja sekarang.”

Aluna mengabaikan kalimat yang terlontar dari pria di sampingnya. Beberapa saat yang lalu, Ryu mengambil alih tugas salah satu Dokter yang ada di ruang operasi. Kehebatan Ryu dalam menangani pasien memang tidak diragukan lagi, beruntung nyawa Langit bisa diselamatkan oleh Ayah kandungnya.

“Aluna Yudhistira!”

Aluna masih bergeming seolah tidak terpengaruh dengan panggilan Ryu. Meski ia tahu mantan suaminya itu kini sedang menahan amarahnya. Kotak makan yang ada di atas nakas itu, diambilnya dan buka. Aluna masih tidak peduli dengan yang dilakukan lelaki itu hingga sesuatu yang dingin menyentuh bibir bawahnya.

“Buka mulut!” Ryu menyodorkan sendok berisi nasi dan sepotong daging. “Kamu harus mengumpulkan banyak tenaga untuk menjaga anak kita.”

Bukannya membuka mulut, Aluna menatap tajam mantan suaminya itu. “Langit hanya anakku!”

“Seberapa keras kamu menolakku tetap saja, ada darahku mengalir di tubuh Langit, karena dia anakku. Jadi lebih baik sudahi keras kepalamu itu.”

Tanpa mereka sadari karena sibuk dengan perdebatan, Langit tengah tersadar dan mendengarkan kalimat panjang Ryu. Bukannya senang, bocah itu tidak terima kalau ada yang memiliki sang Papi selain dirinya.  Sebelumnya Langit sudah tidak menyukai Ryu karena pria itu telah memarahi sang Mami makanya ia bertekad tidak akan membuat sang Mami sedih.

“Langit! Kamu sudah sadar, sayang!” Aluna terhenyak mendapati jari kelingking Langit bergerak.

Sedangkan Ryu yang berada sedikit jauh dari ranjang, berjalan mendekatinya. Laki-laki itu juga merasa lega dengan bangunnya Langit. Baru saja tangannya ingin mengenggam tangan munggil Langit ketika tangan kecil itu menepisnya, memberontak tidak mau digenggam.

“Langit, ini …

Belum juga Aluna selesai mengatakannya tetapi respon yang diberikan Langit adalah mengelengkan kepalanya.

“Pergi!” teriak Langit meski dengan kesakitan. “Om, jangan marahi Mamiku lagi.”

Wajah penyesalan tergambar jelas di wajah Ryu. Pertemuan yang harusnya diwarnai kebahagiaan, nyatanya telah menorehkan luka di hati sang putra. “Sayang … maafkan Papi.” Ryu menyentuh punggung tangan Langit tapi naasnya bocah tujuh tahun itu langsung menepis dengan kasar.

“Pergi! Pergi …! Per-”

“Langit!” teriak Aluna menatap monitor yang bergerak lurus dengan bunyi panjang tut …

tbc

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah   107. Akhir

    “Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik

  • Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah   106. Gak Mau

    “Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan

  • Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah   105. Lebih Baik

    “Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund

  • Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah   104. Bertemu Kembali

    “Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh

  • Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah   103. Sakit

    “Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn

  • Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah   102. Tersenyum

    “Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status