Aluna Yudhistira memilih bercerai dari Ryu Zavier Ragnala karena ingin membebaskan pria itu dari pernikahan mereka. Setelah bercerai, Aluna memilih meninggalkan semua kehidupan sebelumnya dan menjalani kehidupan barunya di tempat lain, seorang diri karena dirinya sudah sebatang kara. Namun, Aluna melupakan satu hal, malam penyatuan mereka sebelum perceraian dengan Ryu yang membuatnya melahirkan bayi tampan mirip mantan suaminya. Sebenarnya ia bisa saja memberi tahu mantan suaminya itu, tetapi ia tidak memilih hal itu karena menganggap hal itu adalah kesalahan masa lalunya dan dia yang akan bertanggungjawab sendiri untuk membesarkan sang anak. Setelah tujuh tahun berlalu, takdir mempertemukan mereka semua dengan awal sebuah kesalahan juga. Kesalahan apa dan bagaimana reaksi Ryu ketika bertemu dengan sang anak?
View More“Kenapa gak mau pergi ke sekolah?”
Suara datar nan tegas milik seorang wanita yang sedang menatapnya tanpa berkedip tidak membuat sedikitpun Langit takut, bahkan terlihat santai.
“Aku malas bertemu teman-teman di sekolah, Mi!” Langit menjawabnya tanpa beban sedikitpun. Bibirnya mencembik dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bocah tampan itu belum selesai meluapkan isi hatinya pada Aluna. “Kemarin, Bu Guru suruh gambar anggota keluarga, tapi gambar aku beda sendiri dari teman-temanku karena cuman ada gambar aku sama Mami saja.”
“Terus, masalahnya dimana?” Merasa itu hal yang wajar bagi Aluna. “Di dunia ini, gak hanya kamu koq yang punya gambar seperti itu, jadi gak usah dibikin alasan deh!” Aluna tidak mau menerima begitu saja ucapan Langit meski dalam hatinya merutuki dirinya sendiri yang tidak peka dengan maksud Langit.
Langit mendengkus, wajahnya langsung tertunduk lemah dengan suara bergetar ia berucap. “Mereka bilang aku anak haram dan gak punya Papi.”
Jleb.
Hati Aluna seperti teriris ujung pisau yang tajam. Andai ia berada di posisi Langit, pasti yang bisa dilakukan hanya meneteskan airmata meratapi kesedihannya, tak peduli akan membuatnya malu nantinya.
Sesaat kemudian, Aluna hanya menghela napas berat sebelum menghembuskannya perlahan.
“Sudah Mami bilang kalau Papi sudah meninggal, bilang aja begitu!”
Jahat, Aluna akui hal itu, setidaknya Langit tidak akan bertanya lagi dan lagi. Ibu satu anak ini memang sudah mengangap laki-laki itu tidak ada dalam kehidupannya bersama sang putra.
“Tapi … kenapa Mami selalu gak mau ajak aku ke makamnya Papi.”
Sialnya, Langit selalu memiliki seribu cara untuk menjawab ucapan Aluna.
“Jangan bilang kalau Mami sudah bohong kan!” Langit merasa kalau Aluna sedang membohonginya.
Aluna bangkit berdiri, pembicaraan ini sudah menyita waktunya. Tatapannya datar, menatap wajah tampan yang semakin hari sudah semakin pintar menjawab ucapannya.
“Oke, terserah kamu mau sekolah atau tidak!” Aluna menyeret kakinya keluar kamar, namun sampai di batas pintu dia membalikkan badannya untuk menatap sang putra. “Dan, Mami pastikan mulai besok kamu tidak perlu datang ke sekolah karena … Mami akan pindahkan kamu ke luar negeri.”
Wajah Langit, seketika memucat mendengar ucapan Aluna. Bukan tidak mungkin wanita yang melahirkannya itu akan menepati ucapannya. Dan itu artinya, kesempatan Langit untuk bertemu dengan sang Papi akan semakin kecil, meski ia tidak tahu dimana keberadaan laki-laki itu.
***
Pada akhirnya, Aluna yang memenangkan perdebatan dengan Langit. Terbukti, putra itu mau berangkat ke sekolah meski dengan wajah yang kesal. Beberapa saat kemudian, kendaraan roda empat itu sudah keluar dari halaman rumah. Rumah minimalis yang Aluna beli dari menjual rumah peninggalan sang Papa. Wanita itu sengaja pindah ke luar kota dari rumah yang sebelumnya agar mantan suaminya tidak bisa menemukannya.
Sepanjang perjalanan, wajah Langit tampak murung. Aluna berkali-kali menghela, sebenarnya merasa kasihan juga dengan Langit yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ayah. Tapi buat Aluna itu yang terbaik daripada batinnya akan tersiksa dengan pernikahan tanpa cinta yang pada akhirnya akan menyakiti hati orang lain.
Tak terasa, lamunan Aluna harus terhenti saat suara Langit menyadarkannya. “Mi, sudah sampai!”
“Ah, iya, Sayang!” jawab Aluna lantas membelokkan mobilnya ke gerbang sekolahan, beruntung tidak sampai kelewatan tadi. Kalau tidak ia harus akan putar balik nanti.
Dari gerbang tadi, Aluna menuju ke parkiran untuk para pengantar. Meski kadang Langit tidak ingin Aluna mengantarnya sampai kelas, tetapi sang Mami hanya ingin memastikan kalau putranya itu benar-benar akan mengikuti pelajaran di sekolah.
Sudah beberapa kali wali kelasnya mengatakan kalau Langit kerap kali meninggalkan kelas dan menghabiskan waktu di kantin sekolah. Mengingat hal itu rasanya Aluna ingin menghukum Langit. Tapi lagi-lagi Langit membalas ucapan Aluna karena ia bosan dan pelajaran itu sudah ia kuasai.
“Mi, sudah sampai sini aja, ya!” Langit mencegah langkah Aluna yang ingin menyapa jajaran gugu-guru yang sedang menyambut muridnya di depan lobi sekolah. “Tuh, sudah ada Miss Ana,” tunjuk Langit pada wali kelas sekaligus guru kelasnya.
“Ayo jalan, Mami mau ketemu Miss Ana.” Aluna mengabaikan keinginan Langit, wanita itu terus berjalan dan mendekati wali kelasnya Langit. “Selamat Pagi, Miss?” sapanya sambil mengangguk pelan dan jangan tanyakan Langit, karena anaknya itu sudah berlari pergi meninggalkan Aluna. Di tempatnya Aluna hanya bisa berdecak sambil mengelengkan kepalanya, kenapa putranya itu begitu tidak sopannya sampai tidak berpamitan padanya.
Miss Ana menyematkan senyuman ramah lalu balas mengangguk. “Sudah, tidak apa-apa, Bunda. Mungkin dia sedang ingin bermain dengan teman-temannya.” Seolah paham apa yang sedang dikeluhkan oleh wanita di depannya ini.
“Iya, Miss,” jawab Aluna, sedikit kecewa dengan sikap Langit yang menurutnya tidak sopan.
Sesaat kemudian, ada obrolan sedikit mengenai sikap Langit yang Miss Ana rasa perlu disampaikan pada Aluna. Tidak kaget, Aluna mendengarkan dengan serius dan sesekali menganggukan kepalanya tanda dirinya paham.
“Baik, nanti coba saya bicara pelan-pelan dengan Langit masalah itu, Miss!”
“Terima kasih, atas bantuannya,” balas Miss Ana. “Langit anak yang cerdas, saya cuman khawatir akan mempengaruhi nilai akademiknya kalau tidak segera di atasi.” Tidak ada maksud untuk mendikte Aluna, karena Miss Ana benar-benar peduli dengan Langit.
“Baik, kalau begitu saya permisi dulu, Miss.” Setelah dirasa tidak ada lagi yang diobrolkan Aluna segera undur diri. Ibu satu anak itu menyempatkan menyapa beberapa guru yang sedang berdiri di dekat Miss Ana sembari mengangguk sopan.
Aluna melirik pergelangan tangannya, sepertinya sudah sangat mepet sekali waktu yang tersisa. Ia takut terlambat sampai di kampus. Tangannya merogoh tas yang tersampir di pundak, mencari keberadaan ponselnya, mengabari kalau terlambat beberapa menit.
“Aluna!”
Aluna menghentikan langkahnya, ada rasa yang tidak mampu ia jabarkan dan hanya jantungnya yang berdetak kencang. Tidak bertemu selama tujuh tahun, bukan berarti Aluna lupa suara itu. Sekuat tenaga ia paksakan tubuhnya untuk membalik untuk memastikan seseorang tersebut.
“Dok-ter!” suara Aluna terbata, meskipun ingin sekali ia berlari menjauh tapi ia sadar moment seperti itu suatu saat pasti akan terjadi. Dan mungkin saat ini ia sudah tidak bisa menghindarinya lagi.
“Kamu tidak berubah, masih tetap memanggilku, Dokter!” sinis sang pria yang masih saja tampan dan semakin terlihat dewasa. “Anak kamu sekolah disini ju-”
“Papi! Ayo, masuk ke sekolah baruku!”
Atensi Aluna sontak menunduk dan bertemu tatap dengan gadis kecil yang berada dalam genggaman laki-laki tersebut. Darah Aluna berdesir, ada rasa tidak rela ketika pria itu dipanggil Papi dan bukan oleh putranya. Namun, ia bisa apa sekarang. Tujuh tahun mungkin telah merubah segalanya dan satu yang pasti, ia tidak bisa merubah kenyataan saat ini. Kalau waktu itu ia tidak keras kepala dan mau menuruti keinginan pria ini pasti mereka telah menjadi keluarga yang bahagia sekarang.
“Iya, bentar!”
“Tante ini siapa?” tanya gadis kecil itu.
“Ah, ini …,” ucapan laki-laki ini terhenti ketika mendengar suara lembut seorang wanita yang sudah berdiri di sampingnya sambil memeluk lengannya.
tbc
“Ayah …!”“Mami …!”“Yayah …!”“Mimi …!”Suara-suara berisik itu membuat Aluna mengeliat. “Mas, ayo bangun! Anak-anak sudah pulang itu,” tutur Aluna seraya memukul lengan Bian yang menempel erat di tubuhnya polosnya.“Biarin aja, nanti mereka juga diem sendiri,” ucap Bian tidak peduli.“Mas …!” hardik Aluna sebab Bian mengabaikannya. “Bangun …!”Bian berdecak pelan sebelum melepaskan tangannya dari tubuh Aluna. Bangkit dan mendudukan tubuhnya, lalu menyalakan lampu kamar. Laki-laki itu kemudian memunguti kaos dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai. Memakainya dengan cepat dan hendak membuka pintu yang masih terkunci dari dalam. Sementara Aluna berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Saat pintu dibuka, ketiga anaknya sedang berdiri dengan wajah berseri.“Sudah pulang?” tanya Bian memandang bergantian ke arah Tegar, Langit dan Awan.“Tante belikan banyak makanan, Ayah,” sahut Langit sembari memperlihatkan satu kantung plastik berisi camilan dan susu.“Mama juga belik
“Apa keputusanmu tidak bisa diubah, Mbak?” tanya Alan dengan wajah yang lesu, lalu menghembuskan napas pelan.Segala upaya sudah dilakukan tetapi masih tidak bisa membuat Renata tersentuh dengan sikap dan tindakan yang dilakukan Alan.Renata mengelengkan kepalanya. “Tidak, kamu masih muda dan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.”“Kamulah yang terbaik buat aku, Mbak,” sahut Alan tegas, tidak ada keraguan sama sekali di hatinya.Renata hanya tertawa, kemudian beranjak berdiri. Pembicaraan ini pasti tidak akan menemukan titik temu karena keduanya saling keras kepala.“Mbak, aku belum selesai bicara.” Alan bergegas menghampiri Renata. “Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mencintaiku, Mbak. Pelan-pelan aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku,” ucap Alan, menarik siku lengan Renata dengan pelan. Laki-laki itu masih bersikeras untuk membujuk Renata.Sekali lagi Renata mengeleng tegas. Tidak ada cinta di hatinya untuk Alan, jadi buat apa menerima pinangan dari lelaki itu. Yan
“Mohon maaf Ibu, bisa masuk ke ruangan dokter,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Renata.“Hah, ada apa?” Renata tertegun. Namun, tiga detik kemudian wanita itu beranjak berdiri, sebab dihantui rasa penasaran yang tinggi. “Sebentar aku masuk dulu!” ucapnya pada Aluna sebelum pergi.Pintu berwarna putih itu, Renata buka dengan segera. Seketika mulutnya ternganga melihat pemandangan di depannya. “Kenapa bisa seperti ini?” ucapnya setelah mendekat. Lalu dengan cepat mengambil tisu untuk menolong Alan.“Tadi tiba-tiba Mauren mau muntah, rencananya mau aku ajak ke kamar mandi ternyata dia gak bisa nahan dan berakhirlah seperti ini,” jelas Alan sambil membersihkan bekas muntahan di brankar dengan tisu. Sementara Renata dengan spontan membersihkan baju Mauren.“Dokter Renata!”Renata mendongak dan menatap seseorang setelah namanya di panggil.“Dokter Wahyu!” gumamnya lirih. Dan saat itu juga kenangan Ryu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar sudut matanya berembun dan ia melangkah mund
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments