Share

Mengandung Benih Sahabat Kakakku
Mengandung Benih Sahabat Kakakku
Author: KhodijahRahman

1. Malam Kelam

"Berapa kali bapak katakan, jangan jeluyuran pulang malam! Kamu itu sudah kelas tiga, beberapa bulan lagi kamu akan ujian! Kamu harus lebih rajin belajar agar bisa mendapatkan nilai yang bagus. Kamu harus contoh Kendra yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah," omel Bram saat anak perempuannya pulang setelah magrib.

"Kinan habis kerja kelompok, Pak. Ada tugas dari guru biologi," dalih Kinanti membela diri.

"Sudah, Pak. Ini waktu magrib, tidak enak pada tetangga." Dewi, ibu Kinanti, datang dari dapur melerai suami dan anak perempuannya. "Ini kopinya," ucapnya seraya menyajikan segelas kopi hitam di depan suaminya.

"Kinan beneran habis kerja kelompok, Bu. Kinan enggak bohong," ucap Kinanti.

"Ibu percaya anak ibu enggak bohong. Sekarang kamu mandi, solat lalu makan," ucap Dewi membelai rambut panjang Kinanti. Kinanti berlalu ke kamarnya.

"Kamu selalu membela anak-anakmu. Jangan terlalu percaya pada mereka karena bisa saja mereka sedang berbohong," omel Bram pada istrinya.

"Lalu, kita harus berburuk sangka pada mereka? Gitu, Bang?" Dewi mendesah lelah karena sang suami selalu berburuk sangka pada anak-anak mereka. "Kita harus memberi kepercayaan pada mereka, Bang. Nanti juga mereka bisa bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan."

Bram yang tidak ingin mendengar ceramah dari istrinya, memilih menyeruput kopi. Dia baru pulang narik angkot saat adzan berkumandang. Pria itu tampak lelah setelah seharian bekerja.

***

Kinanti baru pulang setelah mengerjakan tugas kelompok bersama teman-temannya. Gadis yang akan genap berusia 18 tahun dua bulan lagi itu masih duduk di kelas 12. Dia sedang sibuk untuk menghadapi pekan ulangan semester gasal.

"Baru pulang, Nan?" tanya Evan saat Kinanti melintas di depannya.

"Iya, Bang. Habis kerja kelompok," jawab Kinanti seraya berlalu. Evan adalah sahabat Kendra.

"Kamu sudah makan, Nan?" tanya Kendra yang datang membawa dua gelas minuman dingin.

"Belum, Bang. Aku mau ganti baju dulu," jawab Kinanti.

Semua gerak-gerik Kinanti tidak lepas dari pengamatan Evan. Pemuda tampan yang sudah kuliah semester tiga itu sudah cukup lama memendam rasa pada adik sahabatnya. Dia masih menyembunyikan rasa itu karena khawatir akan mengganggu persahabatan antara dirinya dan Kendra.

"Dari mana saja kamu? Kenapa pulang terlambat lagi?" tanya Bram dengan nada tinggi disertai tatapan tajamnya.

"Kinan kan sudah bilang kalau mau ngerjain tugas di rumah temen," jawab Kinanti.

"Bukan berarti pulang malam, Kinanti! Kamu itu anak perempuan, harus bisa jaga diri! Jangan suka keluyuran tidak jelas!" bentak Bram.

"Tapi ...."

"Cukup!" Suara Bram semakin tinggi. "Jangan membantah lagi! Sekarang masuk kamar dan bapak tidak izinkan kamu keluar, kecuali untuk sekolah!"

Kinanti setengah berlari ke kamarnya. Gadis remaja itu menangis sesenggukan. Dia tidak pernah membohongi orang tuanya. Dia baru selesai mengerjakan tugas bersama teman-teman. Akhir-akhir ini sering banyak tugas dari guru untuk dikerjakan berkelompok.

***

Kinanti membukakan pintu saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah orang tuanya. Itu pasti mobil Evan yang mengantar kakaknya pulang. Kinanti berdiri di ambang pintu.

Kendra dan Evan keluar dari mobil. Evan membawa boneka panda yang lucu dan berukuran cukup besar. "Makasih, Van," ucap Kendra pada sahabatnya.

Evan hanya tersenyum mengangguk. Pemuda itu mendekati Kinanti yang masih berdiri di ambang pintu. "Buat kamu," ucap Evan seraya memberikan boneka panda pada Kinanti.

Untuk beberapa detik Kinanti terkejut dengan pemberian Evan. Gadis itu menatap boneka dan wajah tampan Evan bergantian. Dia tidak menyangka jika Evan akan memberinya hadiah. "Ini ... buat aku?"

"Iya. Semoga kamu suka."

Kinanti tersenyum lebar. "Makasih, Bang," ucapnya senang. Dia tidak memiliki boneka untuk menghiasi kamarnya. Penghasilan Bram dari menarik angkot tidak seberapa karena orang lebih suka mengendarai ojol daripada angkot.

"Aku pulang, Ken, Nan," pamit Evan.

"Makasih, Van," balas Kendra.

Evan melajukan mobilnya pergi dari depan rumah Kinanti. Kinanti dan Kendra memasuki rumah. "Bang Kendra bawa apa?" tanya Kinanti saat melihat Kendra membawa sebuah kantong plastik besar.

"Tadi Evan memaksa membelikan perlengkapan kuliah yang perlu dibeli lagi."

"Bang Evan baik banget ya."

"Iya."

***

"Sudah berapa kali mama katakan jangan bermain dengan anak sopir angkot itu!" bentak Sita saat Evan memasuki rumah besar keluarganya.

"Apa salahnya sih, Ma? Kendra teman yang baik dan juga pintar," ucap Evan seraya berlalu dari hadapan ibunya. Dia sudah lelah karena Sita tidak menyukai Kendra yang berasal dari keluarga pas-pasan.

"Dia minta dibelikan apalagi sama kamu?" tanya Sita. Wanita itu hanya ingin anaknya bergaul dengan anak orang kaya.

"Dia enggak minta dibelikan apa pun."

"Jangan bohong, Evan!" bentak Sita lagi. "Kalian habis dari toko buku yang ada di pusat perbelanjaan, tidak mungkin kalian tidak membeli apa pun."

Evan yang sudah berada di tengah tangga menghentikan langkahnya. Dia menoleh pada sang ibu yang berdiri di dekat tangga. "Mama memata-mataiku?"

"Mama akan melakukan apa pun untuk mengawasi kamu baik tindakan maupun pergaulan." Sita menjawab angkuh dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Aku sudah 20 tahun, Ma. Aku sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk," geram Evan.

"Huh! Buktinya kamu masih bisa dimanfaatkan oleh anak sopir angkot itu," decih Sita.

"Kendra tidak pernah memanfaatkan aku, Ma. Dia tidak pernah meminta dibelikan apa pun. Aku yang memaksanya menerima pemberianku." Evan yang kesal dengan sikap ibunya pun melanjutkan langkah ke kamarnya.

"April tadi ke sini! Dia nyari kamu dan nunggu kamu sampai sore! Kamu ditelepon tidak diangkat gara-gara anak sopir angkot itu!" seru Sita dari bawah tangga.

Evan mengabaikan seruan ibunya. Dia sengaja tidak menjawab telepon April karena tidak suka dengan gadis itu. April adalah anak dari sahabat Sita yang diharapkan Sita menjadi pendamping hidup Evan.

***

Evan menuruni tangga untuk sarapan. Dia ada mata kuliah pagi. Selain itu, dia juga ingin menjemput Kendra sekalian mengantar Kinanti ke sekolah. Dia sudah membayangkan untuk kembali bertemu dengan adik sahabatnya itu. Alisnya mengerut tajam saat mendapati seorang gadis di meja makan bersama kedua orang tuanya.

"Pagi, Van," sapa April.

"Hmm." Evan hanya membalas dengan sebuah gumaman kecil. Dia duduk dan langsung menyantap sarapannya cepat.

"Makannya jangan buru-buru dong, Van. Nanti kamu keselek," tegur April sok perhatian.

Evan tidak menanggapi perhatian April. Dia melanjutkan makannya dan segera minum setelah selesai. "Evan berangkat dulu, Ma, Pa," ucap Evan seraya berdiri.

"Evan tunggu! Aku kan belum selesai sarapan!" seru April yang tidak mau ditinggal. "Iiih!" Gadis itu tampak kesal karena Evan tidak menghentikan langkahnya. Dia berjalan tergesa menyusul Evan setelah berpamitan pada orang tua Evan.

"Evan jahat! Ngeselin!" teriak April karena mobil Evan sudah keluar gerbang saat dia sampai di pintu depan.

"Ada apa, Sayang?" tanya Sita yang keluar saat mendengar teriakan April.

"Evan ninggalin aku, Tante," jawab April kesal seraya menghentakkan kaki.

"Dasar anak keras kepala," gerutu Sita. "Kamu ke sini bawa mobil?"

"Enggak, Tan. Aku ke sini naik taksi karena ingin berangkat bareng dengan Evan." April kuliah di kampus yang sama dengan Evan. Dia baru semester satu.

"Papa berangkat dulu, Ma," ucap Deni berpamitan pada istrinya.

"Papa bisa antar April dulu gak?" tanya Sita. "Soalnya mama berangkat agak siangan, Pa."

Deni melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Papa ada rapat pagi ini, Ma. Lagipula arah kantor papa berbeda dengan kampus Evan dan April." Deni yang terburu-buru pun segera berangkat ke kantor.

"Terus aku gimana, Tante?" rengek April.

"Kamu bisa berangkat naik taksi," jawab Sita.

'Ini sih dua kali ongkos dong,' gerutu April dalam hati.

***

Evan sangat marah pada ibunya. Sita melarangnya ikut kegiatan kampus bermalam dua hari di Bogor. Siang tadi juga dia bertengkar hebat dengan sang ibu. Sita memaksanya untuk bertunangan dengan April. Wanita itu juga memaksa Evan pindah kuliah ke luar negeri agar menjauh dari Kendra.

Sebuah klab malam, di sinilah Evan duduk seorang diri. Sebenarnya banyak pengunjung lain, hanya saja dia datang sendiri ke tempat itu tanpa teman. Ini juga pertama kalinya dia mengunjungi tempat itu. Dia masih sangat emosi dengan ibunya dan memilih mabuk karena Kendra yang menjadi teman curhat tidak ada.

Evan melajukan mobilnya menuju sebuah rumah. Mobil itu berjalan oleng karena sang pengemudi mabuk berat. Dia berhenti di depan rumah sederhana milik orang tua sahabatnya. Dengan langkah sempoyongan dia mendekati pintu lalu mengetuknya.

"Bang Evan!" kejut Kinanti yang melihat Evan berada di depan pintu.

Kinanti mengira jika Evan mengantar kakaknya. Namun, dia tidak melihat sosok Kendra. Apalagi dia mencium bau alkohol yang menyengat dari mulut sahabat kakaknya itu.

"Kinan, kamu cantik banget," ucap Evan tidak jelas.

"Kenapa Bang Evan mabuk?"

Evan tidak menjawab pertanyaan Kinanti. Dia mendorong tubuh gadis itu hingga masuk lalu mengunci pintu. Kinanti tampak ketakutan, pasalnya dia sedang sendiri di rumah karena kedua orang tuanya sedang pergi ke rumah orang tua Bram yang sakit keras.

"Bang Evan mau ngapain? Jangan, Bang."

Kinanti berusaha mendorong tubuh Evan yang memeluknya. Pria itu mencium paksa adik sahabatnya. Kinanti berhasil mendorong tubuh Evan lalu berlari ke kamar. Namun, belum sempat menutup rapat pintu kamarnya, Evan sudah mendorong pintu itu lalu masuk.

"Jangan, Bang. Kinan mohon," mohon Kinanti seraya terus mundur.

Evan menerkam tubuh Kinanti yang sudah berada di samping ranjang. Keduanya jatuh di atas ranjang saling tumpang-tindih. Evan yang berada di bawah pengaruh alkohol segera memangsa gadis itu.

"Aaa!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status