Share

2. Ternoda

Kinanti meringkuk di atas ranjang kecilnya. Gadis itu menangis tanpa suara. Bagian inti tubuhnya terasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Dia tidak menyangka, jika Evan tega berbuat keji padanya.

Dia sudah menganggap Evan seperti kakaknya sendiri. Namun, pemuda itu sudah merenggut harta yang dia jaga selama ini. Harta yang selalu dia banggakan karena tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk melakukan hal itu sebelum menikah. Bagaimana nasibnya nanti? Apakah akan ada yang mau menikah dengan dirinya yang sudah tidak perawan?

"Aku berjanji aku akan kembali setelah menyelesaikan kuliahku. Aku akan melamarmu dan menikahimu. Aku mencintaimu. Aku minta maaf karena sudah melakukannya, tapi percahalah jika aku akan kembali untukmu."

Perkataan Evan sebelum keluar dari kamarnya masih terngiang di telinga. Kinanti tidak bisa memejamkan mata lagi setelah petaka itu. Suara kokok ayam sudah menyapa indera pendengarannya. Semburat kemerahan pun sudah tampak di ufuk timur.

"Kinan, kok belum bangun? Bangun, Nan!" seru Dewi dari depan pintu kamar putrinya.

Kinanti tidak menjawab, dia terkejut saat mendengar suara ibunya. 'Kapan ibu pulang? Kenapa aku tidak mendengar ibu pulang?' Kinanti bertanya-tanya dalam hati.

Gadis itu perlahan beranjak dari ranjang. Dia berusaha menahan rasa sakit di area pribadinya. Dengan langkah pelan dia keluar kamar lalu mandi. Saat itu Dewi sedang sibuk membuat nasi goreng untuk sarapan hingga tidak memperhatikan bagaimana Kinanti berjalan.

Semua sudah duduk mengitari meja makan, kecuali Kinanti. Setelah mandi, gadis itu belum keluar kamar lagi. Dewi sedang menyajikan nasi goreng di piring. Tempe tepung dan bakwan menjadi teman sarapan pagi ini.

"Ken, panggil Kinan suruh sarapan!" perintah Dewi pada anak laki-lakinya.

Kendra segera beranjak ke kamar adiknya. Dia mengetuk pintu kamar Kinanti pelan. "Kinan, sarapan dulu!" serunya di depan pintu kamar Kinanti.

Pintu kamar Kinanti terbuka. Gadis itu keluar dari kamar dan menyusul Kendra yang sudah melangkah lebih dulu. Sekuat tenaga dia menahan rasa sakit dan mencoba berjalan normal seperti biasa. Beruntung ini hari minggu sehingga dia tidak perlu melakukan banyak aktifitas.

Kinanti duduk di samping ibunya. Dia berhadapan dengan Kendra. Melihat sang kakak, dia teringat kembali kelakuan sahabat kakaknya. Ingin sekali dia menangis di depan keluarganya.

"Kenapa nasi gorengnya cuma diaduk-aduk, Nan? Apa rasanya enggak enak?" tanya Dewi.

"Enggak kok, Bu. Masakan Ibu paling enak," jawab Kinanti tidak bersemangat.

Kinanti tidak berselera makan. Bayangan saat Evan menyentuhnya selalu melintas. Ingin sekali dia menggosok kulitnya untuk menghilangkan jejak dari pria itu. Setelah memakan tiga sendok nasi goreng, dia memilih masuk ke kamarnya.

"Kinan, ibu mau ke pasar. Mau sekalian ikut angkot Bapak!" seru Dewi dari depan pintu kamar Kinanti. "Kamu jaga rumah dulu!"

"Iya, Bu," sahut Kinanti tanpa membuka pintu.

Setelah kepergian orang tuanya, Kinanti memanfaatkan waktu dengan mencuci seprai. Dia mengucek noda darah di seprai itu hingga hilang. Dia tidak ingin kedua orang tuanya melihat noda merah itu. Hatinya pilu saat mengucek kain pelapis kasur itu.

Kinanti menjerit tertahan di tempat cuci baju. Dia menangis tersedu mengingat kejadian semalam. Air matanya bercampur dengan air cucian. Gadis itu meratapi nasibnya yang nahas.

***

"Untuk apa sih kamu menginap di sana? Apa yang membuat kamu betah di rumah itu, Evan?" tanya Sita dengan nada tinggi. "Rumah mereka pasti kecil dan ranjangnya juga sempit."

"Tapi rumah itu penuh cinta, Ma. Om Bram dan Tante Dewi sangat memperhatikan anak-anak mereka." Evan membalas ucapan ibunya dengan nada datar. Namun, kalimat yang terlontar dari mulutnya membuat emosi Sita naik ke permukaan.

"Jadi, kamu nyindir mama? Kamu pikir mama kerja untuk siapa? Untuk kamu!" bentak Sita. "Ibu teman kamu tidak bekerja itu karena dia tidak punya pendidikan! Mama dan Papa bekerja untuk memberikan semua yang terbaik buat kamu!"

Evan tidak ingin berdebat pagi-pagi dengan ibunya. Dia menaiki tangga menuju ke kamar. Pemuda itu memilih membereskan barang yang akan dibawa ke Toronto. Dia tidak mengatakan jika sebenarnya dia tidak menginap di rumah Kendra. Dia tidur di dalam mobil yang dia parkir di taman kota.

"Kamu itu anak mama dan Papa satu-satunya, Van. Kamu harapan kami satu-satunya. Jadi, jangan hancurkan harapan kami hanya karena mereka," tukas Sita. Wanita itu menyusul Evan ke kamar.

"Mama tidak perlu khawatir. Kendra dan keluarganya enggak akan ganggu pendidikan aku. Aku tidak akan pulang sebelum aku meraih gelar sarjana," balas Evan.

***

"Udah siap, Van?" tanya April, gadis yang diharapkan Sita menjadi istri Evan. Dia juga akan kuliah di tempat yang sama dengan Evan.

Evan tidak menjawab pertanyaan April. Mereka bertemu di bandara karena orang tua mereka sudah merencanakan keberangkatan mereka sejak awal. Evan masih sibuk dengan ponselnya. Pemuda itu sedang berkirim pesan dengan Kendra.

Evan juga mengirim pesan pada nomor Kinanti yang dia tahu dari Kendra. 'Aku minta maaf atas kejadian semalam, Kinan. Tapi aku benar-benar mencintaimu. Setelah aku kembali, aku akan melamarmu.'

Panggilan suara pihak bandara untuk para penumpang pesawat tujuan Toronto mengumandang. Dua keluarga itu segera berdiri dan berpelukan melepas kepergian anak mereka. Evan memeluk kedua orang tuanya sebelum memasuki pintu khusus penumpang.

"Jika kamu bisa meraih predikat cumlaude, papa akan menuruti apa pun yang kamu inginkan," ucap Deni saat memeluk putranya.

Evan tersenyum penuh arti pada ayahnya. Setelah berpamitan dan berpelukan dengan kedua orang tua, Evan dan April memasuki pintu khusus penumpang pesawat. Keluarga mereka baru meninggalkan bandara setelah pesawat yang ditumpangi Evan dan April lepas landas.

***

Waktu terus berlalu, hari demi hari dilewati Kinanti dengan berat. Gadis yang dulu ceria dan murah senyum itu kini berubah pendiam dan murung. Dewi sudah sering menanyakan pada putrinya apa yang membuat gadis itu berubah. Namun, Kinanti selalu memberikan alasan lain yang sekiranya bisa menutupi alasan sebenarnya.

Kendra dan Bram pun sudah mendesak Kinanti, tetapi gadis itu tetap bungkam. Kinanti berusaha meyakinkan keluarganya jika dia baik-baik saja. Dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya. Dia mengabaikan pesan yang sempat dikirim Evan untuknya.

Semester gasal sudah berakhir, bahkan buku raport pun sudah dibagikan. Kinanti yang biasa menempati ranking 1, kini harus rela berada di posisi 5. Lala, sahabat Kinanti, pun heran dengan perubahan gadis itu.

"Apa ini, Kinan?" tanya Bram saat membuka rapot Kinanti. Pria itu tampak emosi dan membanting buku penilaian semester itu. Kinanti hanya diam, tidak menjawab pertanyaan bapaknya.

"Ada apa, Pak?" tanya Dewi yang satang dengan segelas kopi hitam.

"Lihat, Bu! Nilai Kinanti semuanya turun. Dia sekarang rangking 5! Ini pasti karena kamu sering pulanng terlambat. Main terus!"

Kinanti tidak menjawab untuk membela diri. Dia memilih masuk kamar dan mengurung diri. Dia tidak akan bisa menegakkan wajah kembali.

***

Lima minggu telah terlewati begitu saja. Kinanti kini sudah masuk sekolah kembali setelah liburan akhir tahun. Lebih kurang empat bulan lagi dia akan ujian nasional..

Pagi itu Bram ke dapur untuk sarapan dan minum kopi yang biasa disajikan isterinya. Namun, pria itu tidak menemukan sosok Dewi di dapur pagi itu. Dia mengerutkan alis saat mendengar suara dari kamar mandi, mengira jika itu isterinya.

"Huek! Huek! Huek!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status