Sepulang dari tempat kerja pada malam harinya, Gladys pulang dengan berjalan kaki seperti yang biasa ia lakukan guna menghemat uang. Beruntung jalanan ibu kota masih ramai di jam-jam seperti ini, Gladys tidak merasa takut.
Dia mampir ke sebuah warung yang terletak di pingging jalan, warung langganan Gladys. Dia sering membeli nasi bungkus di sini, harganya murah karena hanya nasi dan telur ceplok saja."Waduh, Neng Gladys baru pulang kerja.""Iya Mak, beli nasi bungkus kayak biasanya, ya," kata Gladys pada Ibu-Ibu penjual itu.Wanita berusia rentan itu tersenyum ke arahnya. "Makan telur mulu nggak bisulan tah Neng?"Gladys tersenyum kikuk. Mungkin orang juga keheranan, dengan porsi makannya yang hanya itu-itu saja. Andai saja Gladys punya banyak uang, dia ingin mengganti porsi dan makan-makanan enak."Nggak, Mak. Maklum lagi tanggal tua," ujar Gladys."Ya udah, karena Neng teh suka beli di warung Emak. Emak kasih bonus deh."Ibu itu menambahkan sepotong daging ayam ke plastik, lalu memberikannya pada Gladys. Gladys senang, selalu ada kemudahan di setiap masa sulitnya.Sejujurnya, Gladys masih belum melupakan pertemuannya dengan seorang Dokter tampan dan muda, yang tak lain dan tak bukan adalah pria yang sudah menodainya.Ia tidak menyangka, jika orang yang menghamilinya adalah seorang Dokter ternama. Hanya saja, Gladys tidak terlalu tahu menahu.'Semoga saja Dokter Arnesh tidak menemuiku lagi, sakit rasanya jika mengingat perlakuannya,' batin Gladys.Berpamitan pulang, dikarenakan hari sudah malam. Untung saja jarak warung dan kontrakan lumayan dekat, tinggal masuk ke gang kecil yang tak jauh dari jalan raya.Jemarinya meremas tas selempang miliknya. Sekeras apapun menepis, dia malah teringat pada Arnesh yang ingin bertanggung jawab atas perbuatannya."Hai, Glad. Melamun aja kuperhatikan. Kamu nggak papa?" Gladys terhenyak, saat kehadiran seorang pria muncul secara tiba-tiba.Siapa yang tidak curiga, disepinya jalanan yang sedikit pencahayaan, pria itu datang."Iya, Mas. Seperti biasa." Ia membalas sekenanya. Sebab, merasa tak nyaman berduaan malam-malam bersama seorang pria.Namanya tinggal di desa, jika ada yang melihat hal seperti ini pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Gladys tak ingin, memicu kesalahpahaman.Dia sadar diri, hanya penduduk baru di desa ini. Tidak etis saja jika ada yang berspekulasi tentang keduanya."Memangnya kamu kerja di mana, Glad? Aku perhatikan selalu pulang malam. Kamu hebat, ya. Meskipun tinggal sendirian rela banting tulang," ujar Ghani, anak pemilik kontrakan yang Gladys tinggali.Ghani merupakan pria tampan di desa ini, selain itu dia juga berpendidikan. Wajar saja, sering menjadi bahan perbincangan orang-orang, apalagi kaum wanita.Jika mereka menatap penuh puja, Gladys justru sebaliknya. Dia bersikap biasa saja."Ya mau gimana lagi, Mas. Kalau bukan aku yang kerja, siapa lagi?" timpal Gladys.Padahal ia ingin cepat sampai di kontrakan, ingin menumpahkan tangisan yang ia tahan-tahan."Andai saja aku ini suamimu, pasti aku akan menafkahi kamu, Glad.""Maaf Mas, hari sudah mulai malam. Sebaiknya Mas Ghani pulang saja, aku ke dalam dulu. Permisi, Mas." Gegas saja ia masuk, tanpa menghiraukan Ghani yang masih berdiri.Ghani mamandangi kediaman Gladys, wanita incarannya belakangan ini. "Selagi Gladys masih sendiri dan belum menikah, nggak salah 'kan jika aku mendekatinya?"***Hari sudah semakin larut, namun Arnesh belum bisa tidur. Padahal ia sudah memejamkan mata beberapa kali. Tidak biasanya Arnesh susah tidur seperti ini.Arnesh berdecak, mencari posisi ternyaman agar terlelap. Tetap saja ia tak kunjung memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh Gladys, hatinya tak tenang, sebelum ia memastikan siapa Ayah biologis di kandungan Gladys."Sial, kenapa aku terus memikirkannya? Apes sekali hidup dikerubungi perasaan bersalah!" gerutunya.Ia menarik ponsel di nakas, ingin tahu kabar orang suruhannya. Dia jadi lupa, karena Livya menggoda dan mengajaknya berhubungan. Istrinya memang agak keras kepala, tidak akan diam jika belum dituruti kemauannya.Alis Arnesh saling bertaut, mendapati panggilan masuk. Dia menoleh ke samping, memastikan Livya sudah lelap."Bagaimana? Apa kau sudah menemukan sesuatu?" tanya Arnesh to the point. Berjalan ke arah balkon kamar, agar obrolannya tidak didengar."Sudah, Tuan. Sudah saya kirim lewat chat."Tanpa berlama-lama, Arnesh membuka aplikasi hijaunya untuk melihat laporan anak buahnya."Gladys Lysandra, umur 21 tahun, status lajang," gumamnya, membaca tautan yang dikirimkan tadi.Arnesh diam, tampak berpikir. "Jika dia masih lajang, besar kemungkinan jika anak dikandungannya adalah darah dagingku?"Di sana juga tertera, alamat rumah Gladys. Arnesh memutuskan untuk datang ke sana dan membicarakan ini lebih lanjut.Arnesh naik ke tempat tidur, memejamkan mata sebelum melanjutkan aktivitasnya hari esok."Bicara dengan siapa, Mas?" tanya Livya, terbangun saat Arnesh tidak di sisinya."Bukan urusanmu, Liv. Kamu tidur saja," balas Arnesh. Ia mendengus, saat Livya malah memeluknya, ingin menghempas tetapi tak tega."Kayaknya pembicaraan serius, sampai kamu ngumpet segala jawab telponnya.""Telingamu masih berfungsi nggak sih? Kan aku udah bilang, bukan urusan kamu. Aku nggak suka kamu ikut campur urusanku."Akhirnya Livya diam, berusaha terpejam, tak sanggup mendengar kemarahan suaminya.***Seperti yang direncanakan Arnesh tadi malam, bahwa dia akan datang ke kediaman Gladys untuk berkunjung. Kedatangannya bukan tanpa alasan, tetapi ingin memastikan.Selama menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit lamanya. Arnesh sudah sampai disalah satu kampung di Jakarta. Akses jalan tidak bisa dilewati mobil, terpaksa Arnesh turun.Dia memandangi rumah sederhana, setelah bertanya pada warga sekitar. Di sana, terlihat seorang wanita yang memakai daster, kedua pelipisnya ditempeli koyo."Permisi, apa benar ini rumah Gladys?"Wanita itu mengernyit, kedatangan seorang pria tak dikenal. "Siapa, ya?" tanyanya sinis.Arnesh bingung mau menjawab apa. "Saya temannya, Bu.""Kamu salah alamat. Si Gladys udah nggak tinggal di sini lagi. Udah saya usir di sini!" ketusnya tak santai.Sampai Arnesh jadi terheran-heran dengan sikapnya. Membuat Arnesh terkejut, menyadari jika Gladys sudah diusir. Apa yang terjadi?"Kalau boleh tahu, Gladys tinggal di mana sekarang? Saya ada urusan dengannya.""Mana saya tahu, saya nggak ngurusin anak kurang ajar itu! Emang pantes dikasih pelajaran."Arnesh meringis, dengan kekalutan Ibu-Ibu dari desa, ternyata serempong ini. "Memangnya Gladys kenapa sampai diusir?" Ia bertanya, tebakannya mengarah pada kandungan Gladys.Wanita di hadapannya mengibaskan kipas, menatap heran pada pria tampan yang sepertinya bukan orang biasa. Bisa dilihat dari gayanya."Kamu itu kepo sekali, kamu 'kan temannya masa nggak tahu? Anak itu hamil. Kamu tahu nggak orang yang menghamilinya siapa?" tanya wanita paruh baya tersebut.Ia jadi tersentil, merasa jika ini adalah perbuatannya. Alhasil, dia hanya bisa bersandiwara layaknya seorang teman."Saya nggak tahu. Kalau begitu saya pergi dulu, maaf jika mengganggu.""Eh tunggu! Kalau kamu ketemu si sundal itu, bilang padanya kalau Bibinya butuh duit!"'Bibi? Berarti Gladys tinggal bersama Bibinya. Kenapa dia lancang sekali,' batin Arnesh. Segera pergi dari kediaman itu.Karena pencarian tak membuahkan hasil. Arnesh mengalami kebuntuan, dia tidak tahu harus mencari Gladys kemana lagi setelah ini.Mau tidak mau, Arnesh harus memikirkan cara. Ia bisa saja datang ke tempat kerjanya. Tetapi orang-orang pasti akan curiga, dan juga Gladys tidak mau bicara dengannya.Ia meletakkan ponselnya di telinga. Meminta bantuan anak buahnya untuk mencari alamat rumah yang Gladys tinggali."Coba kau buntuti dia, awasi pergerakannya!" titah Arnesh.Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, sambil menjambak rambutnya frustasi. Dia akan merutuki dirinya sendiri, jika ia menjadi penyebab Gladys diusir.Karena kecerobohannya satu bulan lalu, Gladys harus menanggung akibatnya."Semoga saja aku bisa menemukanmu, Glad," gumamnya.Menancap pedal gas, meninggalkan kampung yang dulunya ditempati Gladys. Pasti wanita tertekan, dengan perkataan wanita yang menjadi Bibinya itu.Baru pertama bertemu saja, Bibinya sudah bersungut-sungut seperti itu. Wajah sendunya membuat Arnesh teringat,
Arnesh jadi tidak sabar, menunggu kabar anak buahnya yang ia perintah untuk mengikuti Gladys. Hanya ini, satu-satunya cara agar ia bisa bertemu Gladys. Supaya pembicaraan mereka lebih leluasa.Melihat suaminya yang sudah rapih dengan pakaian formalnya, Livya mengulas senyum, memerhatikan wajah rupawan Arnesh. Ia mendekat, memeluk suaminya dari belakang."Mas ...." panggil Livya, mendusel-duselkan wajah di punggung suaminya.Menghela napas dalam dan membuangnya perlahan, Arnesh hanya diam, membiarkan Livya memeluknya. "Kenapa?""Malam nanti dinner yuk. Ngehadirin acara peresmian restoran baru temanmu itu, katanya kita diundang ke sana," ujar Livya. Walau Arnesh tahu, ia mengingatkan saja agar suaminya mau.Sayangnya, Arnesh memiliki acara lain sepulang kerja nanti. Dia ingin menemui Gladys di rumahnya."Aku ada urusan yang nggak bisa aku batalkan. Gimana kalau kamu saja yang datang?" kata Arnesh menolak.Penolakan dari Arnesh, Livya mengerucutkan bibirnya ke depan. Entah sampai kapan k
Gladys tertawa, mentertawakan nasib buruk yang menimpanya. Setelah kesucian yang terenggut paksa, Arnesh datang ingin menikahinya. Mahkota yang ia jaga selama 21 tahun dan ia jaga untuk suaminya kelak, pupus begitu saja.Jika pun Arnesh bertanggung jawab. Apa kata orang-orang jika Gladys menikah dengan soerang pria beristri? Tentu saja Gladys tidak mau, sama saja itu hanya menambah masalahnya."Gampang sekali anda bicara seperti itu. Apa kesalahan saya kepada anda? Anda pikir menikahi saya adalah jalan terbaik? Nggak! Yang ada anda malah menambah masalah saya. Saya nggak mau dicap pelakor, karena menikah dengan suami orang!" papar Gladys, mengutarakan apa yang ia rasakan. Dia merasa direndahkan jika seperti ini.Arnesh hanya diam dan duduk, memperhatikan Gladys yang sedang menangis di hadapannya. Perasaan bersalah kian besar dan membuncah, ia menunduk, tidak kuasa melihat betapa terlukanya Gladys.Mereka diam selama beberapa saat, memendam sesuatu yang ingin disampaikan. Arnesh tahu,
Akhirnya setelah mendapatkan persetujuan Gladys, Arnesh menyuruh anak buahnya untuk mempersiapkan pernikahan disalah satu KUA yang masih berada disekitaran sana.Tak lupa, membawa saksi, untuk menyaksikan bahwa mereka suami istri sekarang. Gladys tremor, dia gemetar karena sudah menyandang istri dari seorang Dokter muda, Arnesh Aryawadhana. Ah, ralat, istri kedua maksudnya."Jangan tegang seperti itu, Glad. Santai aja. Aku nggak bakalan minta hakku kok," celetuk Arnesh, tersenyum gemas pada Gladys yang masih malu dan tegang bersama dengannya.Mata Gladys membola. "Anda jangan macam-macam, Pak Arnesh!" katanya. Masih menggunakan bahasa formal, lantaran masih sungkan dan juga Arnesh lebih tua darinya.Mereka berdua seperti kakak beradik ketimbang suami istri, karena perbedaan keduanya cukup jauh, hanya terpaut 11 tahun.Arnesh tertawa. "Bercanda. Aku nggak bakalan macam-macam, sekalipun iya, kamu 'kan istriku."Istri keduanya mendengus, mengalihkan pandang ke sembarang arah.Sikap Gladys
Gladys hanya diam bergeming, dia duduk lesehan beralaskan tikar. Menunggu pesanan makanan agar segera sampai, karena ia sangat lapar dan perutnya meronta makan.Bunyi cipratan air sayup-sayu terdengar, menandakan Arnesh belum selesai membersihkan diri. Gladys mengusap perut, tak tahan, sedari tadi perutnya terasa keroncongan."Glad ..." Gladys tersentak, saat Arnesh memanggilnya.Wanita muda itu dengan cepat menoleh malas. "Kenapa?" tanyanya.Arash menongolkan wajahnya dibalik pintu kamar mandi. "Kau punya handuk?""Punya, hanya satu," balas Gladys seadanya.Dia tidak tahu, kenapa Arnesh bertanya seperti itu. "Boleh pinjam?""Sebentar, Pak."Sepasang mata Gladys membeliak. Selain harua berbagi ranjang, ya kali harus berbagi handuk juga? Astaga, Gladys tidak habis pikir.Ia menyambar handuk miliknya, berjalan ragu ke kamar mandi berukuran sempit dan kecil. Mengulurkan tangan, memberikannya pada sang suami.Sayangnya, tangan Arnesh tidak bisa menggapai, lantaran Gladys terlalu jauh untuk
Apa yang terjadi malam tadi, Livya melupakannya begitu saja. Dia tidak mau memperpanjang masalah, biarlah dia memendam apa yang dirasakan, ini lebih baik. Livya meringis, menahan sakit dibagian pangkal pahanya.Arnesh menoleh sekilas, lalu lanjut melahap saran yang dibuatkan asisten rumah tangga."Maaf bangun telat, Mas. Jadi nggak sempat buatkan kamu sarapan," cicit Livya.Mengangguk singkat, Arnesh tetap menyuapkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya. "Nggak papa, aku nggak suka sama masalan kamu. Jadi nggak perlu repot-repot," tukasnya.Livya tersenyum paksa, karena memang Arnesh tidak suka dengan masakannya. "Kapan-kapan ke rumah orang tuaku yuk, Mas. Kamu ditanyain mulu sama mereka. Katanya suruh mampir.""Ya, aku usahakan." Senyuman Livya mengembang, ada seciul harapan yang suaminya ucapkan barusan. Dalam artian, Arnesh setuju."Mas, hari ini aku mau jalan bersama teman-temanku," kata Livya."Terus?" tanya Arnesh malas. Dari dulu dia memang tidak ingin tahu soal kegiatan Livya.
Malam hari, Gladys sudah pulang dari tempat kerja. Dia memegangi perutnya yang terasa lapar. Berhubung hari gajihan masih lama, Gladys harus menahan diri melewati masa ngidamnya.Gladys harus bisa menghemat demi bertahan hidup, menjalani kerasnya kehidupan di ibu kota. Meski kerja di Hotel yang gajinya tak seberapa, hanya cukup untuk biaya makan dan bayar kontrakan saja.Dia terduduk, memegangi kedua lututnya, manik matanya berkaca-kaca. Menjalani kehamilan dengan begitu sulit. Saat tahu dirinya berbadan dua, Gladys sulit menerima kenyataan yang ada membuat hidupnya terlunta-lunta."Tahan ya, Nak. Jangan ingin sesuatu dulu. Mama lagi nggak punya uang," isak Gladys.Untung saja dia masih waras, mempertahankan nyawa yang tumbuh di rahimnya. Digugurkan pun bayi ini tidak berdosa.Gladys menatap sisa makanan kemarin malam, yang masih ada di plastik. Gladys membukanya, ia memakannya tanpa tahu basi atau tidaknya.Perutnya terasa sakit, menahan lapar selama beberapa jam lamanya. Andai saja
Arnesh tertidur dengan posisi duduk. Dia terserang kantuk, saat membujuk Gladys yang mengunci diri di dalam sana. Wajah rupawannya terpejam, betah tidur meski di posisi yang tak nyaman.Di kamarnya, Gladys meringis kesakitan. Merasakan perutnya mules dan sakit secara bersamaan."Awh, s-sakit," Ia merintih kesakitan.Bangkit berdiri, menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Tidak tahu kenapa, Gladys mules yang tak biasa. Dia membuka pintu, terkejut saat melihat sang suami sedang tidur."Dokter Arnesh?" gumamnya.Tidak memperdulikan itu, Gladys buru-buru ngibrit.Gladys pikir, setelah membuang hajat sekali dia akan lega. Rupanya tidak, rasa mulas itu berangsur lama sampai akhirnya Gladys bolak-balik entah keberapa kalinya."Pak ...." Gladys memanggil Arnesh, meminta bantuan karena tubuhnya sudah terkulai di lantai. "Pak Arnesh!" Lagi, ia memanggil dengan menaikkan nada.Arnesh terbangun, dia berjingkat saat melihat Gladys menahan sakit dan memegangi perut. Tak ayal, Arnesh mengham