Share

Bab 07. Datang Ke Rumah Gladys

Sepulang dari tempat kerja pada malam harinya, Gladys pulang dengan berjalan kaki seperti yang biasa ia lakukan guna menghemat uang. Beruntung jalanan ibu kota masih ramai di jam-jam seperti ini, Gladys tidak merasa takut.

Dia mampir ke sebuah warung yang terletak di pingging jalan, warung langganan Gladys. Dia sering membeli nasi bungkus di sini, harganya murah karena hanya nasi dan telur ceplok saja.

"Waduh, Neng Gladys baru pulang kerja."

"Iya Mak, beli nasi bungkus kayak biasanya, ya," kata Gladys pada Ibu-Ibu penjual itu.

Wanita berusia rentan itu tersenyum ke arahnya. "Makan telur mulu nggak bisulan tah Neng?"

Gladys tersenyum kikuk. Mungkin orang juga keheranan, dengan porsi makannya yang hanya itu-itu saja. Andai saja Gladys punya banyak uang, dia ingin mengganti porsi dan makan-makanan enak.

"Nggak, Mak. Maklum lagi tanggal tua," ujar Gladys.

"Ya udah, karena Neng teh suka beli di warung Emak. Emak kasih bonus deh."

Ibu itu menambahkan sepotong daging ayam ke plastik, lalu memberikannya pada Gladys. Gladys senang, selalu ada kemudahan di setiap masa sulitnya.

Sejujurnya, Gladys masih belum melupakan pertemuannya dengan seorang Dokter tampan dan muda, yang tak lain dan tak bukan adalah pria yang sudah menodainya.

Ia tidak menyangka, jika orang yang menghamilinya adalah seorang Dokter ternama. Hanya saja, Gladys tidak terlalu tahu menahu.

'Semoga saja Dokter Arnesh tidak menemuiku lagi, sakit rasanya jika mengingat perlakuannya,' batin Gladys.

Berpamitan pulang, dikarenakan hari sudah malam. Untung saja jarak warung dan kontrakan lumayan dekat, tinggal masuk ke gang kecil yang tak jauh dari jalan raya.

Jemarinya meremas tas selempang miliknya. Sekeras apapun menepis, dia malah teringat pada Arnesh yang ingin bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Hai, Glad. Melamun aja kuperhatikan. Kamu nggak papa?" Gladys terhenyak, saat kehadiran seorang pria muncul secara tiba-tiba.

Siapa yang tidak curiga, disepinya jalanan yang sedikit pencahayaan, pria itu datang.

"Iya, Mas. Seperti biasa." Ia membalas sekenanya. Sebab, merasa tak nyaman berduaan malam-malam bersama seorang pria.

Namanya tinggal di desa, jika ada yang melihat hal seperti ini pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Gladys tak ingin, memicu kesalahpahaman.

Dia sadar diri, hanya penduduk baru di desa ini. Tidak etis saja jika ada yang berspekulasi tentang keduanya.

"Memangnya kamu kerja di mana, Glad? Aku perhatikan selalu pulang malam. Kamu hebat, ya. Meskipun tinggal sendirian rela banting tulang," ujar Ghani, anak pemilik kontrakan yang Gladys tinggali.

Ghani merupakan pria tampan di desa ini, selain itu dia juga berpendidikan. Wajar saja, sering menjadi bahan perbincangan orang-orang, apalagi kaum wanita.

Jika mereka menatap penuh puja, Gladys justru sebaliknya. Dia bersikap biasa saja.

"Ya mau gimana lagi, Mas. Kalau bukan aku yang kerja, siapa lagi?" timpal Gladys.

Padahal ia ingin cepat sampai di kontrakan, ingin menumpahkan tangisan yang ia tahan-tahan.

"Andai saja aku ini suamimu, pasti aku akan menafkahi kamu, Glad."

"Maaf Mas, hari sudah mulai malam. Sebaiknya Mas Ghani pulang saja, aku ke dalam dulu. Permisi, Mas." Gegas saja ia masuk, tanpa menghiraukan Ghani yang masih berdiri.

Ghani mamandangi kediaman Gladys, wanita incarannya belakangan ini. "Selagi Gladys masih sendiri dan belum menikah, nggak salah 'kan jika aku mendekatinya?"

***

Hari sudah semakin larut, namun Arnesh belum bisa tidur. Padahal ia sudah memejamkan mata beberapa kali. Tidak biasanya Arnesh susah tidur seperti ini.

Arnesh berdecak, mencari posisi ternyaman agar terlelap. Tetap saja ia tak kunjung memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh Gladys, hatinya tak tenang, sebelum ia memastikan siapa Ayah biologis di kandungan Gladys.

"Sial, kenapa aku terus memikirkannya? Apes sekali hidup dikerubungi perasaan bersalah!" gerutunya.

Ia menarik ponsel di nakas, ingin tahu kabar orang suruhannya. Dia jadi lupa, karena Livya menggoda dan mengajaknya berhubungan. Istrinya memang agak keras kepala, tidak akan diam jika belum dituruti kemauannya.

Alis Arnesh saling bertaut, mendapati panggilan masuk. Dia menoleh ke samping, memastikan Livya sudah lelap.

"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan sesuatu?" tanya Arnesh to the point. Berjalan ke arah balkon kamar, agar obrolannya tidak didengar.

"Sudah, Tuan. Sudah saya kirim lewat chat."

Tanpa berlama-lama, Arnesh membuka aplikasi hijaunya untuk melihat laporan anak buahnya.

"Gladys Lysandra, umur 21 tahun, status lajang," gumamnya, membaca tautan yang dikirimkan tadi.

Arnesh diam, tampak berpikir. "Jika dia masih lajang, besar kemungkinan jika anak dikandungannya adalah darah dagingku?"

Di sana juga tertera, alamat rumah Gladys. Arnesh memutuskan untuk datang ke sana dan membicarakan ini lebih lanjut.

Arnesh naik ke tempat tidur, memejamkan mata sebelum melanjutkan aktivitasnya hari esok.

"Bicara dengan siapa, Mas?" tanya Livya, terbangun saat Arnesh tidak di sisinya.

"Bukan urusanmu, Liv. Kamu tidur saja," balas Arnesh. Ia mendengus, saat Livya malah memeluknya, ingin menghempas tetapi tak tega.

"Kayaknya pembicaraan serius, sampai kamu ngumpet segala jawab telponnya."

"Telingamu masih berfungsi nggak sih? Kan aku udah bilang, bukan urusan kamu. Aku nggak suka kamu ikut campur urusanku."

Akhirnya Livya diam, berusaha terpejam, tak sanggup mendengar kemarahan suaminya.

***

Seperti yang direncanakan Arnesh tadi malam, bahwa dia akan datang ke kediaman Gladys untuk berkunjung. Kedatangannya bukan tanpa alasan, tetapi ingin memastikan.

Selama menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit lamanya. Arnesh sudah sampai disalah satu kampung di Jakarta. Akses jalan tidak bisa dilewati mobil, terpaksa Arnesh turun.

Dia memandangi rumah sederhana, setelah bertanya pada warga sekitar. Di sana, terlihat seorang wanita yang memakai daster, kedua pelipisnya ditempeli koyo.

"Permisi, apa benar ini rumah Gladys?"

Wanita itu mengernyit, kedatangan seorang pria tak dikenal. "Siapa, ya?" tanyanya sinis.

Arnesh bingung mau menjawab apa. "Saya temannya, Bu."

"Kamu salah alamat. Si Gladys udah nggak tinggal di sini lagi. Udah saya usir di sini!" ketusnya tak santai.

Sampai Arnesh jadi terheran-heran dengan sikapnya. Membuat Arnesh terkejut, menyadari jika Gladys sudah diusir. Apa yang terjadi?

"Kalau boleh tahu, Gladys tinggal di mana sekarang? Saya ada urusan dengannya."

"Mana saya tahu, saya nggak ngurusin anak kurang ajar itu! Emang pantes dikasih pelajaran."

Arnesh meringis, dengan kekalutan Ibu-Ibu dari desa, ternyata serempong ini. "Memangnya Gladys kenapa sampai diusir?" Ia bertanya, tebakannya mengarah pada kandungan Gladys.

Wanita di hadapannya mengibaskan kipas, menatap heran pada pria tampan yang sepertinya bukan orang biasa. Bisa dilihat dari gayanya.

"Kamu itu kepo sekali, kamu 'kan temannya masa nggak tahu? Anak itu hamil. Kamu tahu nggak orang yang menghamilinya siapa?" tanya wanita paruh baya tersebut.

Ia jadi tersentil, merasa jika ini adalah perbuatannya. Alhasil, dia hanya bisa bersandiwara layaknya seorang teman.

"Saya nggak tahu. Kalau begitu saya pergi dulu, maaf jika mengganggu."

"Eh tunggu! Kalau kamu ketemu si sundal itu, bilang padanya kalau Bibinya butuh duit!"

'Bibi? Berarti Gladys tinggal bersama Bibinya. Kenapa dia lancang sekali,' batin Arnesh. Segera pergi dari kediaman itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status