Share

Bab 06. Bicara Dengan Gladys

Kala pandangan mata mereka saling beradu, dari sinilah mereka menyadari sesuatu. Sekelebat bayangan malam kelam itu, teringat jelas saat keduanya melihat wajah satu sama lain.

"Jangan sentuh aku!" sentak Gladys.

Tubuhnya gemetar, dengan dada bertalu cepat. Di saat dia mati-matian melupakan kejadian buruk itu, takdir malah mempertemukan mereka.

"Pergi! Pergi dari sini!"

Arnesh terjengkang, saat Gladys mendorong kasar dada bidang pria yang sudah merenggut manisnya dan merusak kebahagiaannya. Gladys takut, kehadiran Arnesh membuat hatinya tersayat sembilu.

Arnesh bangkit, mengejar Gladys yang lari begitu saja saat dirinya hendak menyentuh.

"Tunggu! Jangan lari, bahaya!" teriak Arnesh.

Kaki lebarnya mengimbangi Gladys yang terus berlari sepanjang lorong. Yang Arnesh khawatirkan, bisa saja membahayakan kandungan.

Dia berlari secepat mungkin, hingga akhirnya Arnesh menggapai pergelangan tangan Gladys, sontak langsung berhenti.

"Berhenti, kenapa kamu lari?"

Napas keduanya memburu, menetralkan deru napas yang tak beraturan.

Gladys memberontak, ketakutkan. Arnesh paham, wanita itu pasti trauma setelah kejadian satu bulan lalu.

"Tolong, Pak ... jangan sakiti aku, lepaskan aku!" Gladys terus meraung pilu. Hatinya sangat sakit, malam menjadi petaka itu membuatnya trauma. Sampai-sampai, dia terus meraung ketakutan.

"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Tenangkan dirimu, aku ingin bicara dengan kamu."

"Maaf, tapi aku tidak mengenal kamu! Kamu siapa?"

"Kamu mengenalku! Aku yakin itu! Mustahil jika tidak mengenal kau menghindar seperti itu."

Perasaan bersalah melingkupi si Dokter muda itu, melihat wajah Gladys yang sudah basah oleh air mata akibat kelakuan bejatnya.

Tetapi sungguh, ini di luar kendalinya, Arnesh tidak bermaksud untuk menodainya.

Menyesal memang tidak akan mengubah apapun, karena semua sudah terlanjur.

"Aku tidak mau bicara dengan kamu! Lepas atau aku akan teriak?" ketus wanita yang masih memberontak itu.

Namun sayang, tenaga Arnesh jauh lebih besar, sehingga Gladys tidak bisa menghindar.

"Teriak saja, karena aku tidak berniat jahat. Kedatanganku ke sini ingin membicarakan sesuatu denganmu. Asalkan kamu tenang, kita bicarakan baik-baik. Bisa?" tanyanya.

Hening. Wanita di hadapannya tidak menjawab, hanya terdengar suara isakan tangis saja pemecah keheningan diantara keduanya.

Akhirnya, setelah dipinta dengan penuh permohonan. Gladys menyetujui permintaan Arnesh, keduanya mencari tempat aman untuk mengobrol.

Kepala Gladys menunduk takut, ia meremas ujung rok hitamnya, tak berani menatap lawan bicara.

"Aku ingin meminta maaf—"

"Langsung ke inti saja, Pak. Jangan membuang waktuku," sela Gladys dengan nada dinginnya.

Dia sudah terlanjur hancur, akibat perbuatan pria di depannya.

Menarik napas dalam-dalam, Arnesh bingung memulai pembicaraan. "Soal kandungan kamu. Apakah kandunganmu itu karena kejadian satu bulan lalu?"

"Bukan, tentu saja bukan. Setelah kejadian itu aku meminum obat pencegah kehamilan."

"Benarkah? Kamu bilang belum menikah. Lalu siapa Ayah dari anak yang sedang kamu kandung?" Arnesh kembali bertanya, kurang percaya bahwa anak yang dikandung Gladys bukan darah dagingnya.

Sepasang mata Gladys menghunus tajam, terlihat sirat kemarahan dan kebencian yang dilayangkan. "Apa urusannya dengan anda, Pak? Anda tidak berhak tahu, anak yang saya kandung ini anak siapa. Anda hanya orang asing, tidak berhak mencampuri urusan saya!" imbuhnya dengan lantang.

"Aku mau kamu berkata jujur, katakan padaku, siapa Ayahnya? Apakah itu benihku?" Arnesh mendesak, agar Gladys berkata jujur.

"Memang apa urusannya jika anak yang aku kandung anakmu atau bukan?"

"Jelas itu urusanku, mau bagaimana pun aku Ayah biologisnya. Aku akan mencari cara, untuk menembus kesalahanku padamu."

Gladys terkekeh sinis. Segampang itu dia berucap? Tanpa memikirkan bagaimana hancurnya Gladys saat ini.

"Kesalahanmu sangat fatal, jika anda ingin tahu, anda sudah menghancurkan hidupku!" Berlama-lama mengobrol, hanya membuat Gladys semakin sesak. "Mulai sekarang, jangan pernah menemuiku!" sambungnya.

Dadanya terhimpit, bak dihantam palu godam jika membahas hal demikian. Tanpa mengucap sepatah kata, Gladys melenggang pergi begitu saja.

'Tidak papa, Ar. Masih ada waktu untuk bertanya padanya. Yang penting aku sudah tahu wajah dan tempat kerjanya,' batin Arnesh.

***

Pertemuan Arnesh dan Gladys tadi, rupanya sudah mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di benak. Arnesh membaringkan tubuh, otaknya masih memikirkan wajah sendu Gladys saat berbicara dengannya.

Bayang-bayang wanita itu terus saja menghantuinya, ia lebih didominasi rasa bersalah. Yang ia pikirkan sekarang, bagaimana caranya Arnesh mengetahui bahwa anak dalam kandungan Gladys itu darah dagingnya atau bukan.

"Bagaimana jika itu bukan anakku? Ah, bodo amat. Tidak ada salahnya mencari tahu!"

Arnesh merogoh ponsel di saku, menghubungi orang suruhannya untuk mencari tahu tentang Gladys.

"Dia bekerja di Grand Vacation Hotel, fotonya sudah kukirim. Segera cari tahu soal dia!" titahnya, pada seseorang di seberang sana.

"Memangnya dia siapa, Tuan? Kenapa anda ingin saya mencari tahunya?"

"Cari tahu saja, jangan banyak bertanya apapun soal urusanku! Kerjakan tugasmu dengan baik."

Telpon dimatikan, Arnesh melipat kedua tangan sebagai bantal sembari menatap langit-langit kamarnya.

Otaknya terus berpikir, teringat reaksi Gladys saat tahu dirinya hamil. Arnesh yakin, wanita itu bukanlah wanita gampangan yang mau disentuh oleh sembarang pria.

Praduganya yakin, tinggal menunggu orang suruhannya saja. "Jangan sampai Livya dan keluargaku tahu soal ini. Entah bagaimana reaksi mereka saat tahu aku menghamili wanita lain."

Ceklek.

Pintu kamar dibuka lebar, membuyarkan lamunan Arnesh yang merebahkan diri di atas ranjang.

Di ambang pintu, Livya senang saat mengetahui jika suaminya datang, berbeda dengan Arnesh yang mengubah ekspresi jadi datar.

"Mas Arnesh kapan pulang? Mas dari mana saja?" tanya Livya, menghampiri sang suami.

Wanita cantik itu duduk di tepian ranjang, seraya mengusap paha suaminya. Arnesh berdecak, paham maksud istrinya itu.

"Aku cape, Liv! Nanti saja!" ujar Arnesh.

Livya mencebikkan bibir, ikut rebahan di samping dan memeluk Arnesh.

"Kapan-kapan ke rumah Mama, Mas. Mama nanyain kamu tadi. Dia nanya kapan punya cucu," ungkap Livya.

"Ck, sudah tahu aku cape, kamu malah membahas hal itu. Bisa minggir nggak?"

"Kalau nggak aku peluk duluan, Mas Arnesh nggak bakalan peluk aku. Aku tuh kangen menghabiskan waktu sama Mas Arnesh."

Arnesh berdecak kesal, menggeser tubuhnya agar menjauh. Entah kenapa, Livya selalu saja menyebalkan di matanya. Padahal sang istri bersikap baik-baik saja.

"Kamu malah semakin menyebalkan."

Livya bergeming, dia menghembuskan napas lelah. Untung sudah terbiasa dengan sikap Arash selama ini.

Arnesh menutup pintu kamar mandi dengan kencang, sebelum menikah dan sesudah menikah selalu saja terkekang. Harus menuruti apa yang diinginkan keluarganya. Termasuk menikah Livya.

"Mulai sekarang aku tidak akan peduli, aku harus bisa menjalani keinginanku sendiri. Kalau pun benar Gladys hamil, aku harus bertanggung jawab. Jangan sampai hal ini diketahui. Aku akan melindunginya."

Pria itu penasaran, kenapa Gladys mengelak saat diberikan pertanyaan? Harusnya dia meminta pertanggung jawaban, bukan malah menghindar.

"Apa harus aku temui dia di kediamannya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status