Kala pandangan mata mereka saling beradu, dari sinilah mereka menyadari sesuatu. Sekelebat bayangan malam kelam itu, teringat jelas saat keduanya melihat wajah satu sama lain.
"Jangan sentuh aku!" sentak Gladys.Tubuhnya gemetar, dengan dada bertalu cepat. Di saat dia mati-matian melupakan kejadian buruk itu, takdir malah mempertemukan mereka."Pergi! Pergi dari sini!"Arnesh terjengkang, saat Gladys mendorong kasar dada bidang pria yang sudah merenggut manisnya dan merusak kebahagiaannya. Gladys takut, kehadiran Arnesh membuat hatinya tersayat sembilu.Arnesh bangkit, mengejar Gladys yang lari begitu saja saat dirinya hendak menyentuh."Tunggu! Jangan lari, bahaya!" teriak Arnesh.Kaki lebarnya mengimbangi Gladys yang terus berlari sepanjang lorong. Yang Arnesh khawatirkan, bisa saja membahayakan kandungan.Dia berlari secepat mungkin, hingga akhirnya Arnesh menggapai pergelangan tangan Gladys, sontak langsung berhenti."Berhenti, kenapa kamu lari?"Napas keduanya memburu, menetralkan deru napas yang tak beraturan.Gladys memberontak, ketakutkan. Arnesh paham, wanita itu pasti trauma setelah kejadian satu bulan lalu."Tolong, Pak ... jangan sakiti aku, lepaskan aku!" Gladys terus meraung pilu. Hatinya sangat sakit, malam menjadi petaka itu membuatnya trauma. Sampai-sampai, dia terus meraung ketakutan."Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Tenangkan dirimu, aku ingin bicara dengan kamu.""Maaf, tapi aku tidak mengenal kamu! Kamu siapa?""Kamu mengenalku! Aku yakin itu! Mustahil jika tidak mengenal kau menghindar seperti itu."Perasaan bersalah melingkupi si Dokter muda itu, melihat wajah Gladys yang sudah basah oleh air mata akibat kelakuan bejatnya.Tetapi sungguh, ini di luar kendalinya, Arnesh tidak bermaksud untuk menodainya.Menyesal memang tidak akan mengubah apapun, karena semua sudah terlanjur."Aku tidak mau bicara dengan kamu! Lepas atau aku akan teriak?" ketus wanita yang masih memberontak itu.Namun sayang, tenaga Arnesh jauh lebih besar, sehingga Gladys tidak bisa menghindar."Teriak saja, karena aku tidak berniat jahat. Kedatanganku ke sini ingin membicarakan sesuatu denganmu. Asalkan kamu tenang, kita bicarakan baik-baik. Bisa?" tanyanya.Hening. Wanita di hadapannya tidak menjawab, hanya terdengar suara isakan tangis saja pemecah keheningan diantara keduanya.Akhirnya, setelah dipinta dengan penuh permohonan. Gladys menyetujui permintaan Arnesh, keduanya mencari tempat aman untuk mengobrol.Kepala Gladys menunduk takut, ia meremas ujung rok hitamnya, tak berani menatap lawan bicara."Aku ingin meminta maaf—""Langsung ke inti saja, Pak. Jangan membuang waktuku," sela Gladys dengan nada dinginnya.Dia sudah terlanjur hancur, akibat perbuatan pria di depannya.Menarik napas dalam-dalam, Arnesh bingung memulai pembicaraan. "Soal kandungan kamu. Apakah kandunganmu itu karena kejadian satu bulan lalu?""Bukan, tentu saja bukan. Setelah kejadian itu aku meminum obat pencegah kehamilan.""Benarkah? Kamu bilang belum menikah. Lalu siapa Ayah dari anak yang sedang kamu kandung?" Arnesh kembali bertanya, kurang percaya bahwa anak yang dikandung Gladys bukan darah dagingnya.Sepasang mata Gladys menghunus tajam, terlihat sirat kemarahan dan kebencian yang dilayangkan. "Apa urusannya dengan anda, Pak? Anda tidak berhak tahu, anak yang saya kandung ini anak siapa. Anda hanya orang asing, tidak berhak mencampuri urusan saya!" imbuhnya dengan lantang."Aku mau kamu berkata jujur, katakan padaku, siapa Ayahnya? Apakah itu benihku?" Arnesh mendesak, agar Gladys berkata jujur."Memang apa urusannya jika anak yang aku kandung anakmu atau bukan?""Jelas itu urusanku, mau bagaimana pun aku Ayah biologisnya. Aku akan mencari cara, untuk menembus kesalahanku padamu."Gladys terkekeh sinis. Segampang itu dia berucap? Tanpa memikirkan bagaimana hancurnya Gladys saat ini."Kesalahanmu sangat fatal, jika anda ingin tahu, anda sudah menghancurkan hidupku!" Berlama-lama mengobrol, hanya membuat Gladys semakin sesak. "Mulai sekarang, jangan pernah menemuiku!" sambungnya.Dadanya terhimpit, bak dihantam palu godam jika membahas hal demikian. Tanpa mengucap sepatah kata, Gladys melenggang pergi begitu saja.'Tidak papa, Ar. Masih ada waktu untuk bertanya padanya. Yang penting aku sudah tahu wajah dan tempat kerjanya,' batin Arnesh.***Pertemuan Arnesh dan Gladys tadi, rupanya sudah mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di benak. Arnesh membaringkan tubuh, otaknya masih memikirkan wajah sendu Gladys saat berbicara dengannya.Bayang-bayang wanita itu terus saja menghantuinya, ia lebih didominasi rasa bersalah. Yang ia pikirkan sekarang, bagaimana caranya Arnesh mengetahui bahwa anak dalam kandungan Gladys itu darah dagingnya atau bukan."Bagaimana jika itu bukan anakku? Ah, bodo amat. Tidak ada salahnya mencari tahu!"Arnesh merogoh ponsel di saku, menghubungi orang suruhannya untuk mencari tahu tentang Gladys."Dia bekerja di Grand Vacation Hotel, fotonya sudah kukirim. Segera cari tahu soal dia!" titahnya, pada seseorang di seberang sana."Memangnya dia siapa, Tuan? Kenapa anda ingin saya mencari tahunya?""Cari tahu saja, jangan banyak bertanya apapun soal urusanku! Kerjakan tugasmu dengan baik."Telpon dimatikan, Arnesh melipat kedua tangan sebagai bantal sembari menatap langit-langit kamarnya.Otaknya terus berpikir, teringat reaksi Gladys saat tahu dirinya hamil. Arnesh yakin, wanita itu bukanlah wanita gampangan yang mau disentuh oleh sembarang pria.Praduganya yakin, tinggal menunggu orang suruhannya saja. "Jangan sampai Livya dan keluargaku tahu soal ini. Entah bagaimana reaksi mereka saat tahu aku menghamili wanita lain."Ceklek.Pintu kamar dibuka lebar, membuyarkan lamunan Arnesh yang merebahkan diri di atas ranjang.Di ambang pintu, Livya senang saat mengetahui jika suaminya datang, berbeda dengan Arnesh yang mengubah ekspresi jadi datar."Mas Arnesh kapan pulang? Mas dari mana saja?" tanya Livya, menghampiri sang suami.Wanita cantik itu duduk di tepian ranjang, seraya mengusap paha suaminya. Arnesh berdecak, paham maksud istrinya itu."Aku cape, Liv! Nanti saja!" ujar Arnesh.Livya mencebikkan bibir, ikut rebahan di samping dan memeluk Arnesh."Kapan-kapan ke rumah Mama, Mas. Mama nanyain kamu tadi. Dia nanya kapan punya cucu," ungkap Livya."Ck, sudah tahu aku cape, kamu malah membahas hal itu. Bisa minggir nggak?""Kalau nggak aku peluk duluan, Mas Arnesh nggak bakalan peluk aku. Aku tuh kangen menghabiskan waktu sama Mas Arnesh."Arnesh berdecak kesal, menggeser tubuhnya agar menjauh. Entah kenapa, Livya selalu saja menyebalkan di matanya. Padahal sang istri bersikap baik-baik saja."Kamu malah semakin menyebalkan."Livya bergeming, dia menghembuskan napas lelah. Untung sudah terbiasa dengan sikap Arash selama ini.Arnesh menutup pintu kamar mandi dengan kencang, sebelum menikah dan sesudah menikah selalu saja terkekang. Harus menuruti apa yang diinginkan keluarganya. Termasuk menikah Livya."Mulai sekarang aku tidak akan peduli, aku harus bisa menjalani keinginanku sendiri. Kalau pun benar Gladys hamil, aku harus bertanggung jawab. Jangan sampai hal ini diketahui. Aku akan melindunginya."Pria itu penasaran, kenapa Gladys mengelak saat diberikan pertanyaan? Harusnya dia meminta pertanggung jawaban, bukan malah menghindar."Apa harus aku temui dia di kediamannya?"Livya terduduk di lantai, dia terus dimarahi oleh para tahanan lain karena terus menangis. Dia memeluk lututnya, menangisi takdir yang tak berpihak padanya.Ia ingin pulang dan keluar dari sini. Mama Venny datang untuk besuk, dia menghampiri Livya yang sedang duduk."Livya! Livya!" pekik mama Venny. Berhasil menyentak Livya yang sedang melamun.Livya yang tadinya duduk, buru-buru mendekat ke arah ibunya sambil memegang kedua tangannya. "Ma, tolong bantu aku keluar dari sini, Ma."Mama Venny tak bisa melakukan apapun sekarang. Bukti yang diberikan Arnesh sangat kuat."Nanti Mama pikirkan. Mama punya info penting Livya.""Info apa, Ma?""Soal Daniel."Mendengar nama Daniel disebut-sebut, Livya jadi mengharap sang kekasih datang dan membebaskannya."Ada apa soal Daniel, Ma?" Dengan cepat Livya bertanya."Daniel ... dia sudah menikah dengan perempuan lain, Livya," balas mama Venny.Deg! Tubuh Livya terbujur kaku. Ia berpegangan pada jeruji agar tubuhnya tidak limbung. Saraf-sarafnya tera
Satu minggu kemudian ....Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, akhirnya Gladys diizinkan pulang selama proses pemulihan. Bayinya pun sehat setelah melakukan pemeriksaaan.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Gladys dan Arnesh akan pulang ke kediaman mama Linda. Arnesh juga memutuskan untuk menjual rumah yang dulu ia tempati bersama Livya."Angkat aja, Nak, bawa masuk ke kamar," kata mama Linda, memberitahu anaknya agar menggendong Gladys yang masih kesulitan jalan. Dia menggendong Jesslyn, bayi perempuan yang mirip sekali dengan putranya.Gladys digendong ala bridal, menuju salah satu kamar di lantai bawah."Nah, Gladys, ini rumah kami. Saya harap kamu nggak merasa sungkan di sini," kata mama Linda. Perlahan mulai menerima kehadiran anak dan menantunya."Iy-iya, Ma."Gladys mengangguk. Sejak kejadian Livya datang, ibu mertuanya jadi perhatian sampai sekarang. Apalagi wanita paruh baya itu selalu membantu menjaga Jesslyn."Kamu temani aja istrimu. Biar Mama yang
Arnesh terkekeh sinis, saat Daniel meminta Livya untuk dibebaskan. Padahal sudah bersalah, bukti pun sudah jelas. Dia tak mengindahkan keinginan Daniel, pengkhianat yang sudah menusuknya dari belakang.Arnesh bangkit dari kursi, mengabaikan Livya dan Daniel yang ada di hadapannya. Sementara mama Venny, wanita paruh baya itu bingung mau bagaimana."Gila saja membebaskan orang yang sudah terbukti bersalah. Lanjutkan prosesnya, Pak, biarkan Livya menjalani hukumannya," ujar Arnesh berlalu bergitu saja, meninggalkan para dua pengkhianat itu.Mulai sekarang, Arnesh tidak ingin lagi berhubungan atau bertemi dengan mereka. Ia hanya ingin fokus pada kehidupannya yang sekarang bersama Gladys."Udah. Mulai sekarang kamu lupain mereka, fokus ke kebahagiaanmu," ujar papa Wandi menepuk pundak putranya.Pria berbeda usia itu menaiki mobil masing-masing untuk kembali ke rumah sakit. Ia khawatir dengan kondisi Gladys beserta anaknya.Ia menjalankan mobilnya dengan kebut-kebutan, ingin segera sampai,
Arnesh memutuskan untuk pergi, karena ia akan bicara dengan pengacaranya di sebuah caffe. Ia akan mengurus surat perceraiannya dengan Livya. Ia berpamitan dulu pada Gladys dan juga anaknya."Aku pergi dulu sebentar, kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Arnesh. Melabuhkan kecupan berulang-ulang pada pipi istri dan pipi anaknya.Gladys terkekeh, ia mendorong Arnesh agar menjauh. "Nanti Jesslyn bangun, Pak Arneh.""Gemas rasanya," ucap Arnesh diiringi dengan tawa.Arnesh melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia lantas pamit. Arnesh sudah mengundang pengacara datang. Dengan berat hati dia pun menaiki mobilnya.Kepergian Arnesh itu menjadi sebuah kesempatan bagi Livya yang diam-diam masuk ke dalan ruangan Gladys. Wanita itu memakai topi dan juga masker agar kehadirannya diketahui.Melihat ada Livya di sini, Gladys membeliakkan matanya sambil memeluk Jessyln. Livya membuka topi, ia menatap bengis pada wanita yang sudah menjadi simpanan suaminya."Sekarang kau bahagia bukan jika Mas Ar
Sementara di luar ruangan, papa Wandi sedang membujuk istrinya yang enggan masuk ke dalam. Mama Linda masih belum bisa menerima Gladys sebagai menantunya. Ia juga belum percaya, jika anak yang dikandung Gladys adalah anaknya.Papa Wandi juga sudah bercerita, jika ia sudah dikenalkan pada Gladys. Mama Linda kesal, selama ini hanya dia yang tidak tahu fakta sebesar ini. Ia kesal, itulah sebabnya enggan keluar."Ma, kenapa nggak masuk ke dalam? Yakin nih nggak mau lihat cucu kita? Bukannya Mama pengen banget punya cucu," ajak papa Wandi menggoda istrinya yang memiliki keinginan menimang cucu.Mama Linda tidak akan luluh begitu saja, dia bersedekap dada dan membuang pandangannya. "Ngapain Papa ngajak Mama? Biasanya juga main rahasiaan, 'kan? Udahlah sana. Mama di sini aja."Melihat istrinya yang sedang marah. Papa Wandi jadi gemas sendiri, pasalnya kemarahan sang istri sudah seperti anak ABG saja, tidak ada ubahnya dari dulu."Ada alasan kenapa Papa nyembunyiin dari kamu, Ma, sekarang ngg
Livya terusir paksa dari rumah suaminya. Dia harus pindah, ke kediamannya yang di Jakarta. Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu, harus diceraikan karena Arnesh memilik madunya itu.Mama Venny merasa malu, dengan kelakuan Livya dan juga Daniel. Karena mereka, reputasinya hancur. Arnesh juga tidak mau percaya. Lelaki itu memilih menceraikan Livya.Sesampainya di kediaman. Mama Venny menyapu semua barang-barang sekitar, dia begitu geram dipermalukan. Tentu saja yang tak lain dan tak bukan karena Livya."Lihat sekarang, Livya! Atas perbuatanmu itu Mama yang harus menanggung malu! Sekarang Arnesh sudah menceraikanmu. Mama nggak akan membantumu! Silakan saja menikah dengan Daniel, pria yang menghamilimu!" sentaknya sembari menunjuk pelipis Livya menggunakan jari telunjuknya.Amarahnya sudah tak terkendali dengan semua ini. Apalagi Livya hanya bisa diam dan menangis, seolah itu bisa menyelesaikan masalah."Dan kamu, Daniel! Nikahkan anak saya jika benar itu anakmu! Saya tidak mau cucu saya