Share

Bab 08. Cobaan Terus Datang

Karena pencarian tak membuahkan hasil. Arnesh mengalami kebuntuan, dia tidak tahu harus mencari Gladys kemana lagi setelah ini.

Mau tidak mau, Arnesh harus memikirkan cara. Ia bisa saja datang ke tempat kerjanya. Tetapi orang-orang pasti akan curiga, dan juga Gladys tidak mau bicara dengannya.

Ia meletakkan ponselnya di telinga. Meminta bantuan anak buahnya untuk mencari alamat rumah yang Gladys tinggali.

"Coba kau buntuti dia, awasi pergerakannya!" titah Arnesh.

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, sambil menjambak rambutnya frustasi. Dia akan merutuki dirinya sendiri, jika ia menjadi penyebab Gladys diusir.

Karena kecerobohannya satu bulan lalu, Gladys harus menanggung akibatnya.

"Semoga saja aku bisa menemukanmu, Glad," gumamnya.

Menancap pedal gas, meninggalkan kampung yang dulunya ditempati Gladys. Pasti wanita tertekan, dengan perkataan wanita yang menjadi Bibinya itu.

Baru pertama bertemu saja, Bibinya sudah bersungut-sungut seperti itu. Wajah sendunya membuat Arnesh teringat, ia bisa menebak jika Gladys seperti memikul banyak beban.

***

Gladys bersiap-siap pergi bekerja, sebelum itu dia memuntahkan isi perutnya yang selalu terasa. Ia mengunci pintu, memulai kegiatannya di pagi yang cerah ini.

Cerahnya cuaca, nyatanya tidak secerah perasaam Gladys. Sedari malam, ia terus menangis sampai kedua matanya sembab.

"Glad, mau bareng nggak?" Gladys menghentikkan langkah, berbalik pada kendaraan roda dua yang berhenti di sampingnya.

Gladys menggelengkan kepala, saat Ghani menawarkan tumpangan, sepertinya dia akan berangkat kerja juga. Setahu Gladys, dia bekerja sebagai kantoran, dan juga tempat kerjanya berlawanan arah.

"Nggak usah, Mas. Aku jalan kaki aja," tolak Gladys.

Mendapat penolakan dari Gladys, Ghani tidak menyerah begitu saja. "Lho kenapa? Supaya cepat sampai dan nggak cape, Glad."

"Tapi, Mas ... tempat kita kerja kita berjauhan. Gimana kalau Mas Ghani kesiangan nanti."

"Nggak bakalan, lagian masuknya juga masih lama kok. Ayo, naik."

Tampaknya Gladys sungkan menerima ajakan. Entah perasaannya saja atau bagaimana, akhir-akhir ini Ghani seperti gencar mendekatinya.

"Malah bengong, ayo, Glad." Dengan ragu, Gladys naik ke motor, menyetujui ajakan tetangganya.

Sesampainya di depan Hotel, Gladys memberikan helm pada pemiliknya. Ghani manggut-manggut. "Oh, ternyata kamu bekerja di Hotel ini. Udah lama?"

"Lumayan, sekitar 1 tahun."

"Jika kamu butuh tumpangan, jangan sungkan. Aku bisa mengantarmu bekerja daripada harus berjalan kaki."

Ghani terus memperhatikan Gladys yang banyak diam, tak menanggapi perkataannya. Ia memilih pamit, sebentar lagi jam kantor akan dimulai.

Saat akan memasuki Hotel, tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tangan Gladys. Tubuhnya hampir terjengkang, jika tidak bisa menahan.

Gladys membelalak, melihat Kemala datang ke sini. "Bibi ...." panggilnya dengan suara parau.

Selama beberapa hari tidak bertemu, Gladys jadi rindu pada Bibinya. Kemala mendelik kesal, enggan melihat wajah keponakannya.

"Dasar cengeng! Sedikit-sedikit nangis terus bisanya! Bibi lagi nggak punya duit, Glad. Bagi duit dong," pinta Kemala, dengan wajah tanpa dosanya.

Ia pikir, kedatangan Kemala karena merindukannya. Tetapi dugaannya salah, Kemala malah meminta uang padanya.

"Maaf, Bi ... Glad lagi nggak punya uang. Soalnya belum gajihan," cicitnya.

Kemala berdecak kesal, sembari memperlihatkan wajah garang, tanpa pernah terlihat raut ketulusan di wajah sang Bibi.

"Jangan bohong kamu, Glad! Pelit banget sih jadi orang. Mentang-mentang udah nggak tinggal bersama Bibi kamu songong seperti itu. Bibi nggak mau tahu, harus ada!" kekeuh Kemala, memaksa dan memeras uang Gladys.

"Glad nggak bohong. Kalau ada mungkin udah aku kasih, kalau nggak ada, apa yang harus aku kasih?"

"Halah! Diam kamu, Glad. Jangan banyak bicara. Melawan saja bisanya." Kemala merebut paksa tas selempang Gladys, mengambil dompet dan menguras semua uang recehan yang Gladys punya.

Kemala menunjuk kening Gladys dengan telunjuknya. "Pembohong kamu, ya! Bilangnya nggak punya uang. Ndasmu! Ini ada!"

"Bi, Glad mohon. Jangan diambil semuanya. Kalau diambil semua, Glad makan apa. Aku nggak punya uang lagi."

"Bibi nggak peduli, Glad! Itu deritamu!" ketus Kemala, melangkah pergi begitu saja setelah membawa uang terakhir yang Gladys punya.

Bahu Gladys melorot, lemas rasanya dihadapkan dengan cobaan bertubi-tubi.

***

Gladys hanya bisa meratapi nasibnya. Harus rela menahan lapar karena uangnya dibawa semua oleh Kemala. Padahal Gladys sengaja berhemat, agar uang itu cukup sampai gajihan.

Biasanya Gladys akan mampir ke warung saat pulang kerja, sekarang lewat begitu saja. Gladys menghela napas panjang, mengelus perutnya.

Dia sadar, bahwa ada nyawa di dalam perutnya, jika Gladys tidak makan. Bagaimana jika janinnya kelaparan jika tidak diberi asupan.

"Apa harus ngutang aja, ya? Benar-benar lemas sekali," keluhnya. Keluar dari kontrakan dengan pakaian santainya.

Menuju warung, Gladys menyadari saat dirinya seperti sedang diikuti. Kakinya mempercepat langkah, hawa dingin menyeruak di malam sunyi ini.

"Tumben Neng datang malam-malam. Mau beli nasi, ya?" tanya Mak Yati, yang sedang membereskan warung karena akan tutup.

'Lindungi aku, Tuhan. Kenapa aku merasa ada yang mengikutiku sejak pulang dari Hotel,' batinnya.

"Neng?" panggil Mak Yati, mampu membuat Gladys tersentak. "Lagi lihatin apa?"

"Oh nggak kok, nggak lihatin apa-apa. Boleh nggak aku ngutang dulu, Mak?"

"Kirain Mak ada apa. Kamu mau makan? Kebetulan masih ada sisa nasi dan lauk pauknya, kalau mau ambil saja, daripada mubazir." Kepala Gladys menatap haru, pada Mak Yati yang sudah sering membantunya.

"Terima kasih banyak, Mak."

Keduanya pulang, sepanjang jalan Gladys hanya bisa berjalan takut ketika menyadari ada yang membuntutinya. Ya Tuhan. Siapakah orang itu?

Takut terjadi sesuatu jika jalan sendiri, Gladys buru-buru melangkah. Sampai suara klakson mengagetkan Gladys.

"Mas Ghani? Boleh numpang nggak, Mas? Soalnya ada yang mengikutiku."

Ghani mempersilahkan, tidak mengerti dengan apa yang Gladys sampaikan. "Siapa yang ngikutin kamu, Glad? Sampai wajahmu berkeringat seperti itu."

"Nggak tahu, Mas. Aku merasa ada yang mengikuti." Ghani menambah laju sampai kontrakan.

"Jangan khawatir, aman kok."

"Makasih udah nganterin," ucap Gladys.

Di tempat lain, melihat pemandangan di kejauhan membuat wanita itu merasa kesal, kala Ghani dan Gladys semakin dekat.

Dia adalah Bu Inayah, dia tidak akan membeiarkan putranya dekat dengan wanita seperti Gladys yang tak jelas asal-usulnya.

"Lihat saja kamu, Glad!" gumamnya.

Gladys merasa tidak tenang sejak bertemu dengan Arnesh ia jadi apes begini. Apa jangan-jangan, Arnesh mengirimkan anak buah untuk membuntutinya.

Tapi untuk apa?

"Kamu jangan banyak pikiran, kamu udah aman di sini. Kalau butuh sesuatu panggil aja aku, Glad."

Sebagai jawaban, Gladys mengangguk saja, meski tak minat dengan bantuan Ghani.

"Iya, Mas. Sekali lagi makasih banyak."

Di dalam kontrakan miliknya, Gladys bersandar dibalik pintu. Tubuhnya melorot, air matanya kembali luruh. Dia jadi tak tenang, takut Arnesh menemukan keberadaannya.

Gladys takut, trauma yang ia rasakan kembali datang jika berhadapan dengan Dokter itu. Apalagi 2 hari lalu, Arnesh membahas masalah pertanggung jawaban.

"Apa yang dia inginkan? Apa salahku padanya sehingga aku harus menanggung akibat dari perbuatannya? Kenapa ini nggak adil bagiku? Aku benar-benar nggak kuat!" lirih Gladys, menangis terisak-isak di kediamannya seorang diri. Meratapi nasibnya di tempat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status