Karena pencarian tak membuahkan hasil. Arnesh mengalami kebuntuan, dia tidak tahu harus mencari Gladys kemana lagi setelah ini.
Mau tidak mau, Arnesh harus memikirkan cara. Ia bisa saja datang ke tempat kerjanya. Tetapi orang-orang pasti akan curiga, dan juga Gladys tidak mau bicara dengannya.Ia meletakkan ponselnya di telinga. Meminta bantuan anak buahnya untuk mencari alamat rumah yang Gladys tinggali."Coba kau buntuti dia, awasi pergerakannya!" titah Arnesh.Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, sambil menjambak rambutnya frustasi. Dia akan merutuki dirinya sendiri, jika ia menjadi penyebab Gladys diusir.Karena kecerobohannya satu bulan lalu, Gladys harus menanggung akibatnya."Semoga saja aku bisa menemukanmu, Glad," gumamnya.Menancap pedal gas, meninggalkan kampung yang dulunya ditempati Gladys. Pasti wanita tertekan, dengan perkataan wanita yang menjadi Bibinya itu.Baru pertama bertemu saja, Bibinya sudah bersungut-sungut seperti itu. Wajah sendunya membuat Arnesh teringat, ia bisa menebak jika Gladys seperti memikul banyak beban.***Gladys bersiap-siap pergi bekerja, sebelum itu dia memuntahkan isi perutnya yang selalu terasa. Ia mengunci pintu, memulai kegiatannya di pagi yang cerah ini.Cerahnya cuaca, nyatanya tidak secerah perasaam Gladys. Sedari malam, ia terus menangis sampai kedua matanya sembab."Glad, mau bareng nggak?" Gladys menghentikkan langkah, berbalik pada kendaraan roda dua yang berhenti di sampingnya.Gladys menggelengkan kepala, saat Ghani menawarkan tumpangan, sepertinya dia akan berangkat kerja juga. Setahu Gladys, dia bekerja sebagai kantoran, dan juga tempat kerjanya berlawanan arah."Nggak usah, Mas. Aku jalan kaki aja," tolak Gladys.Mendapat penolakan dari Gladys, Ghani tidak menyerah begitu saja. "Lho kenapa? Supaya cepat sampai dan nggak cape, Glad.""Tapi, Mas ... tempat kita kerja kita berjauhan. Gimana kalau Mas Ghani kesiangan nanti.""Nggak bakalan, lagian masuknya juga masih lama kok. Ayo, naik."Tampaknya Gladys sungkan menerima ajakan. Entah perasaannya saja atau bagaimana, akhir-akhir ini Ghani seperti gencar mendekatinya."Malah bengong, ayo, Glad." Dengan ragu, Gladys naik ke motor, menyetujui ajakan tetangganya.Sesampainya di depan Hotel, Gladys memberikan helm pada pemiliknya. Ghani manggut-manggut. "Oh, ternyata kamu bekerja di Hotel ini. Udah lama?""Lumayan, sekitar 1 tahun.""Jika kamu butuh tumpangan, jangan sungkan. Aku bisa mengantarmu bekerja daripada harus berjalan kaki."Ghani terus memperhatikan Gladys yang banyak diam, tak menanggapi perkataannya. Ia memilih pamit, sebentar lagi jam kantor akan dimulai.Saat akan memasuki Hotel, tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tangan Gladys. Tubuhnya hampir terjengkang, jika tidak bisa menahan.Gladys membelalak, melihat Kemala datang ke sini. "Bibi ...." panggilnya dengan suara parau.Selama beberapa hari tidak bertemu, Gladys jadi rindu pada Bibinya. Kemala mendelik kesal, enggan melihat wajah keponakannya."Dasar cengeng! Sedikit-sedikit nangis terus bisanya! Bibi lagi nggak punya duit, Glad. Bagi duit dong," pinta Kemala, dengan wajah tanpa dosanya.Ia pikir, kedatangan Kemala karena merindukannya. Tetapi dugaannya salah, Kemala malah meminta uang padanya."Maaf, Bi ... Glad lagi nggak punya uang. Soalnya belum gajihan," cicitnya.Kemala berdecak kesal, sembari memperlihatkan wajah garang, tanpa pernah terlihat raut ketulusan di wajah sang Bibi."Jangan bohong kamu, Glad! Pelit banget sih jadi orang. Mentang-mentang udah nggak tinggal bersama Bibi kamu songong seperti itu. Bibi nggak mau tahu, harus ada!" kekeuh Kemala, memaksa dan memeras uang Gladys."Glad nggak bohong. Kalau ada mungkin udah aku kasih, kalau nggak ada, apa yang harus aku kasih?""Halah! Diam kamu, Glad. Jangan banyak bicara. Melawan saja bisanya." Kemala merebut paksa tas selempang Gladys, mengambil dompet dan menguras semua uang recehan yang Gladys punya.Kemala menunjuk kening Gladys dengan telunjuknya. "Pembohong kamu, ya! Bilangnya nggak punya uang. Ndasmu! Ini ada!""Bi, Glad mohon. Jangan diambil semuanya. Kalau diambil semua, Glad makan apa. Aku nggak punya uang lagi.""Bibi nggak peduli, Glad! Itu deritamu!" ketus Kemala, melangkah pergi begitu saja setelah membawa uang terakhir yang Gladys punya.Bahu Gladys melorot, lemas rasanya dihadapkan dengan cobaan bertubi-tubi.***Gladys hanya bisa meratapi nasibnya. Harus rela menahan lapar karena uangnya dibawa semua oleh Kemala. Padahal Gladys sengaja berhemat, agar uang itu cukup sampai gajihan.Biasanya Gladys akan mampir ke warung saat pulang kerja, sekarang lewat begitu saja. Gladys menghela napas panjang, mengelus perutnya.Dia sadar, bahwa ada nyawa di dalam perutnya, jika Gladys tidak makan. Bagaimana jika janinnya kelaparan jika tidak diberi asupan."Apa harus ngutang aja, ya? Benar-benar lemas sekali," keluhnya. Keluar dari kontrakan dengan pakaian santainya.Menuju warung, Gladys menyadari saat dirinya seperti sedang diikuti. Kakinya mempercepat langkah, hawa dingin menyeruak di malam sunyi ini."Tumben Neng datang malam-malam. Mau beli nasi, ya?" tanya Mak Yati, yang sedang membereskan warung karena akan tutup.'Lindungi aku, Tuhan. Kenapa aku merasa ada yang mengikutiku sejak pulang dari Hotel,' batinnya."Neng?" panggil Mak Yati, mampu membuat Gladys tersentak. "Lagi lihatin apa?""Oh nggak kok, nggak lihatin apa-apa. Boleh nggak aku ngutang dulu, Mak?""Kirain Mak ada apa. Kamu mau makan? Kebetulan masih ada sisa nasi dan lauk pauknya, kalau mau ambil saja, daripada mubazir." Kepala Gladys menatap haru, pada Mak Yati yang sudah sering membantunya."Terima kasih banyak, Mak."Keduanya pulang, sepanjang jalan Gladys hanya bisa berjalan takut ketika menyadari ada yang membuntutinya. Ya Tuhan. Siapakah orang itu?Takut terjadi sesuatu jika jalan sendiri, Gladys buru-buru melangkah. Sampai suara klakson mengagetkan Gladys."Mas Ghani? Boleh numpang nggak, Mas? Soalnya ada yang mengikutiku."Ghani mempersilahkan, tidak mengerti dengan apa yang Gladys sampaikan. "Siapa yang ngikutin kamu, Glad? Sampai wajahmu berkeringat seperti itu.""Nggak tahu, Mas. Aku merasa ada yang mengikuti." Ghani menambah laju sampai kontrakan."Jangan khawatir, aman kok.""Makasih udah nganterin," ucap Gladys.Di tempat lain, melihat pemandangan di kejauhan membuat wanita itu merasa kesal, kala Ghani dan Gladys semakin dekat.Dia adalah Bu Inayah, dia tidak akan membeiarkan putranya dekat dengan wanita seperti Gladys yang tak jelas asal-usulnya."Lihat saja kamu, Glad!" gumamnya.Gladys merasa tidak tenang sejak bertemu dengan Arnesh ia jadi apes begini. Apa jangan-jangan, Arnesh mengirimkan anak buah untuk membuntutinya.Tapi untuk apa?"Kamu jangan banyak pikiran, kamu udah aman di sini. Kalau butuh sesuatu panggil aja aku, Glad."Sebagai jawaban, Gladys mengangguk saja, meski tak minat dengan bantuan Ghani."Iya, Mas. Sekali lagi makasih banyak."Di dalam kontrakan miliknya, Gladys bersandar dibalik pintu. Tubuhnya melorot, air matanya kembali luruh. Dia jadi tak tenang, takut Arnesh menemukan keberadaannya.Gladys takut, trauma yang ia rasakan kembali datang jika berhadapan dengan Dokter itu. Apalagi 2 hari lalu, Arnesh membahas masalah pertanggung jawaban."Apa yang dia inginkan? Apa salahku padanya sehingga aku harus menanggung akibat dari perbuatannya? Kenapa ini nggak adil bagiku? Aku benar-benar nggak kuat!" lirih Gladys, menangis terisak-isak di kediamannya seorang diri. Meratapi nasibnya di tempat ini.Arnesh jadi tidak sabar, menunggu kabar anak buahnya yang ia perintah untuk mengikuti Gladys. Hanya ini, satu-satunya cara agar ia bisa bertemu Gladys. Supaya pembicaraan mereka lebih leluasa.Melihat suaminya yang sudah rapih dengan pakaian formalnya, Livya mengulas senyum, memerhatikan wajah rupawan Arnesh. Ia mendekat, memeluk suaminya dari belakang."Mas ...." panggil Livya, mendusel-duselkan wajah di punggung suaminya.Menghela napas dalam dan membuangnya perlahan, Arnesh hanya diam, membiarkan Livya memeluknya. "Kenapa?""Malam nanti dinner yuk. Ngehadirin acara peresmian restoran baru temanmu itu, katanya kita diundang ke sana," ujar Livya. Walau Arnesh tahu, ia mengingatkan saja agar suaminya mau.Sayangnya, Arnesh memiliki acara lain sepulang kerja nanti. Dia ingin menemui Gladys di rumahnya."Aku ada urusan yang nggak bisa aku batalkan. Gimana kalau kamu saja yang datang?" kata Arnesh menolak.Penolakan dari Arnesh, Livya mengerucutkan bibirnya ke depan. Entah sampai kapan k
Gladys tertawa, mentertawakan nasib buruk yang menimpanya. Setelah kesucian yang terenggut paksa, Arnesh datang ingin menikahinya. Mahkota yang ia jaga selama 21 tahun dan ia jaga untuk suaminya kelak, pupus begitu saja.Jika pun Arnesh bertanggung jawab. Apa kata orang-orang jika Gladys menikah dengan soerang pria beristri? Tentu saja Gladys tidak mau, sama saja itu hanya menambah masalahnya."Gampang sekali anda bicara seperti itu. Apa kesalahan saya kepada anda? Anda pikir menikahi saya adalah jalan terbaik? Nggak! Yang ada anda malah menambah masalah saya. Saya nggak mau dicap pelakor, karena menikah dengan suami orang!" papar Gladys, mengutarakan apa yang ia rasakan. Dia merasa direndahkan jika seperti ini.Arnesh hanya diam dan duduk, memperhatikan Gladys yang sedang menangis di hadapannya. Perasaan bersalah kian besar dan membuncah, ia menunduk, tidak kuasa melihat betapa terlukanya Gladys.Mereka diam selama beberapa saat, memendam sesuatu yang ingin disampaikan. Arnesh tahu,
Akhirnya setelah mendapatkan persetujuan Gladys, Arnesh menyuruh anak buahnya untuk mempersiapkan pernikahan disalah satu KUA yang masih berada disekitaran sana.Tak lupa, membawa saksi, untuk menyaksikan bahwa mereka suami istri sekarang. Gladys tremor, dia gemetar karena sudah menyandang istri dari seorang Dokter muda, Arnesh Aryawadhana. Ah, ralat, istri kedua maksudnya."Jangan tegang seperti itu, Glad. Santai aja. Aku nggak bakalan minta hakku kok," celetuk Arnesh, tersenyum gemas pada Gladys yang masih malu dan tegang bersama dengannya.Mata Gladys membola. "Anda jangan macam-macam, Pak Arnesh!" katanya. Masih menggunakan bahasa formal, lantaran masih sungkan dan juga Arnesh lebih tua darinya.Mereka berdua seperti kakak beradik ketimbang suami istri, karena perbedaan keduanya cukup jauh, hanya terpaut 11 tahun.Arnesh tertawa. "Bercanda. Aku nggak bakalan macam-macam, sekalipun iya, kamu 'kan istriku."Istri keduanya mendengus, mengalihkan pandang ke sembarang arah.Sikap Gladys
Gladys hanya diam bergeming, dia duduk lesehan beralaskan tikar. Menunggu pesanan makanan agar segera sampai, karena ia sangat lapar dan perutnya meronta makan.Bunyi cipratan air sayup-sayu terdengar, menandakan Arnesh belum selesai membersihkan diri. Gladys mengusap perut, tak tahan, sedari tadi perutnya terasa keroncongan."Glad ..." Gladys tersentak, saat Arnesh memanggilnya.Wanita muda itu dengan cepat menoleh malas. "Kenapa?" tanyanya.Arash menongolkan wajahnya dibalik pintu kamar mandi. "Kau punya handuk?""Punya, hanya satu," balas Gladys seadanya.Dia tidak tahu, kenapa Arnesh bertanya seperti itu. "Boleh pinjam?""Sebentar, Pak."Sepasang mata Gladys membeliak. Selain harua berbagi ranjang, ya kali harus berbagi handuk juga? Astaga, Gladys tidak habis pikir.Ia menyambar handuk miliknya, berjalan ragu ke kamar mandi berukuran sempit dan kecil. Mengulurkan tangan, memberikannya pada sang suami.Sayangnya, tangan Arnesh tidak bisa menggapai, lantaran Gladys terlalu jauh untuk
Apa yang terjadi malam tadi, Livya melupakannya begitu saja. Dia tidak mau memperpanjang masalah, biarlah dia memendam apa yang dirasakan, ini lebih baik. Livya meringis, menahan sakit dibagian pangkal pahanya.Arnesh menoleh sekilas, lalu lanjut melahap saran yang dibuatkan asisten rumah tangga."Maaf bangun telat, Mas. Jadi nggak sempat buatkan kamu sarapan," cicit Livya.Mengangguk singkat, Arnesh tetap menyuapkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya. "Nggak papa, aku nggak suka sama masalan kamu. Jadi nggak perlu repot-repot," tukasnya.Livya tersenyum paksa, karena memang Arnesh tidak suka dengan masakannya. "Kapan-kapan ke rumah orang tuaku yuk, Mas. Kamu ditanyain mulu sama mereka. Katanya suruh mampir.""Ya, aku usahakan." Senyuman Livya mengembang, ada seciul harapan yang suaminya ucapkan barusan. Dalam artian, Arnesh setuju."Mas, hari ini aku mau jalan bersama teman-temanku," kata Livya."Terus?" tanya Arnesh malas. Dari dulu dia memang tidak ingin tahu soal kegiatan Livya.
Malam hari, Gladys sudah pulang dari tempat kerja. Dia memegangi perutnya yang terasa lapar. Berhubung hari gajihan masih lama, Gladys harus menahan diri melewati masa ngidamnya.Gladys harus bisa menghemat demi bertahan hidup, menjalani kerasnya kehidupan di ibu kota. Meski kerja di Hotel yang gajinya tak seberapa, hanya cukup untuk biaya makan dan bayar kontrakan saja.Dia terduduk, memegangi kedua lututnya, manik matanya berkaca-kaca. Menjalani kehamilan dengan begitu sulit. Saat tahu dirinya berbadan dua, Gladys sulit menerima kenyataan yang ada membuat hidupnya terlunta-lunta."Tahan ya, Nak. Jangan ingin sesuatu dulu. Mama lagi nggak punya uang," isak Gladys.Untung saja dia masih waras, mempertahankan nyawa yang tumbuh di rahimnya. Digugurkan pun bayi ini tidak berdosa.Gladys menatap sisa makanan kemarin malam, yang masih ada di plastik. Gladys membukanya, ia memakannya tanpa tahu basi atau tidaknya.Perutnya terasa sakit, menahan lapar selama beberapa jam lamanya. Andai saja
Arnesh tertidur dengan posisi duduk. Dia terserang kantuk, saat membujuk Gladys yang mengunci diri di dalam sana. Wajah rupawannya terpejam, betah tidur meski di posisi yang tak nyaman.Di kamarnya, Gladys meringis kesakitan. Merasakan perutnya mules dan sakit secara bersamaan."Awh, s-sakit," Ia merintih kesakitan.Bangkit berdiri, menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Tidak tahu kenapa, Gladys mules yang tak biasa. Dia membuka pintu, terkejut saat melihat sang suami sedang tidur."Dokter Arnesh?" gumamnya.Tidak memperdulikan itu, Gladys buru-buru ngibrit.Gladys pikir, setelah membuang hajat sekali dia akan lega. Rupanya tidak, rasa mulas itu berangsur lama sampai akhirnya Gladys bolak-balik entah keberapa kalinya."Pak ...." Gladys memanggil Arnesh, meminta bantuan karena tubuhnya sudah terkulai di lantai. "Pak Arnesh!" Lagi, ia memanggil dengan menaikkan nada.Arnesh terbangun, dia berjingkat saat melihat Gladys menahan sakit dan memegangi perut. Tak ayal, Arnesh mengham
Di atas brankarnya, Gladys hanya bisa diam dan berbaring. Dia tidak dibiarkan banyak bergerak, Arnesh akan menegurnya. Berhubung ini bukan ruangan VVIP, Gladys seruangan dengan pasien lainnya.Dia hanya bisa memperhatikan Arnesh yang sedang memeriksa. Aneh, Gladys jadi tertarik untuk menoleh, tepatnya ke arah Dokter Arnesh yang manangani seorang anak kecil.Gladys menatap lekat, betapa rupawannya Dokter Arnesh. Entah kesialan atau keberuntungan ia bertemu dan dinikahi Dokter tampan nan muda itu."Ini pasti bawaan Baby yang mau lihat Papanya," monolog Gladys pada dirinya sendiri.Rasa sakit dan mulasnya sedikit berkurang, berkat penanganan Dokter tampan yang menjadi suaminya.Di tempat Arnesh berdiri, ia mengangkat wajah. Tadinya ingin memastikan Gladys, tapi istri kecilnya tengah menatap ke arahnya. Wajah yang tak tertutup masker itu tersenyum tipis, lekas Gladys berbalik dan memunggungi."Dok, apakah anak saya sudah diperbolehkan pulang?" tanya Ibu pasien, yang sudah beberapa hari in