Share

Babang 5

*Happy reading*

"Eh, eh, Gimana rasanya dekat-dekat dengan pak Alvaro, Bi? Duh, lutut gue pasti lemas banget, kalau bisa dekat kek lo tadi, sama cowok secakep itu."

Selepas Alvaro pergi, setelah aksi heroiknya pada Bianca. Gadis itu pun langsung diserbu teman-teman kampret yang tadi mengisenginya.

"B aja tuh," jawab Bianca dengan acuh. Sambil duduk santai di kursi yang kali ini sudah dipastikan tak akan ditarik siapapun.

Soalnya Bianca sudah memberi tatapan garang, pada teman di samping kanan dan kirinya, agar mereka tak berani berulah lagi.

Huft ... akhirnya, bisa duduk juga!

Bianca mendesah lega, sambil mengusap kedua pahanya diam-diam. 

Karena faktanya, sekalipun di mulut Bianca bilang 'B' aja dekat dengan tuh asisten Bos yang galak. Reaksi tubuhnya sebenarnya kebalikannya. 

Benar kata temannya, lututnya lemes, cuy!

"Sok cakep lu, Bi. Orang secakep Pak Alvaro masa di bilang 'B' aja. Buta kali ya mata lo?" 

Bianca hanya menanggapi ucapan itu dengan bahu terangkat acuh. Setelahnya dia pun mulai menyantap makan siangnya.

"Eh, Ngomong-ngomong, pak Alvaro itu ... sudah punya cewek belum, ya?" 

Ternyata pembahasan si asisten tak sepenuhnya selesai.

"Iya, ya? Sepanjang kerja di sini, kayaknya kita gak pernah lihat dia gandeng cewek mana pun, deh."

"Bener, tuh! Wah, jangan-jangan dia masih jomlo gaes!"

"Wew, asik, dong! Gue mau PDKT, ah.  Syukur-syukur bisa jadi bininya. Pasti hidupku akan lebih mapan."

"Jangan mimpi, doi paling sebel lihat cewek matre," sambar Bianca akhirnya, yang tak lagi kuat menahan mulutnya saat disuguhkan pembicaraan soal si Asisten terus.

Tidak. Lebih tepatnya, hatinya yang tiba-tiba gusar. Saat mendengar ada yang mau gebet si asistennya.

Entah kenapa, dia gak rela aja, gitu?

"Halah, bilang aja lo ngiri. Pengen dekat-dekat juga sama pak Alvaro," cibir temannya, yang disetujui cepat hatinya. Namun, di bantah keras mulutnya.

"Ngiri? Nggak salah dengar, nih? Kalian tuh yang ngiri, karena gue bisa dekat-dekat beliaunya."

***

"Yah, hujan," keluh Bianca, yang tangannya terulur hingga tetesan air mengenai telapak tangannya.

"Sudah tahu hujan, ngapain pakai tes tangan? Kurang kerjaan, emang?"

Suara familiar yang sadis itu membuat Bianca terlonjak. Hingga kepalanya memutar otomatis ke sumber suara.

"Bapak bisa nggak sih nggak ngagetin saya sehari aja? Heran deh, hobi banget bikin saya deg-degan." 

Bianca bahkan sampai mengusap dadanya dengan dramatis. Saking berisiknya debaran jantungnya hanya karena seorang Alvaro.

"Namanya orang masih hidup itu pasti deg-degan. Kalau nggak, ya berarti udah mati!"

Mulut oh mulut! Bianca cipok juga lama-lama. Pedasnya nagih, cuy!

"Garing tau, Pak," cibir Bianca pura-pura jaga image.

"Saya nggak sedang melawak. Hanya memberi fakta saja." Ternyata pria ini masih setia mengahut.

"Iya deh, iya. Segembiranya Bapak, deh." Bianca sengaja mempercepat obrolan mereka. Karena mulai dilanda rasa grogi berdekatan dengan pria itu lagi.

Sebenarnya, ada apa sih, sama Bianca? 

Padahal tau si Asisten Bos ini selalu galak dan julid terhadapnya. Bahkan sering menegaskan ketidaksukaannya terhadap Bianca. Tapi, kenapa malah Bianca baper, ya?

Bukan karena penasaran tentu saja. Karena Bianca tak suka menguji nyali.  Kasarnya, kalau udah ketahuan gak bisa di jangkau, ya udah. Masih ada pria lain yang bisa dijangkau.

Namun, sayangnya Alvaro ini tuh suka lain di mulut lain di sikap. Di mulut judes, di sikap adem bikin meleleh. Kan, Bianca jadi baper tanpa direncanakan. 

Ah, nyebelin pokoknya nih cowok satu.

Setelah terjadi keheningan selama satu menit, Bianca pun diam-diam mendongak untuk memandang Alvaro, yang ternyata tinggi banget.

Eh, buset! Dulu emaknya ngidam apa, ya, sampai punya anak setinggi ini?

Jilatin tiang listrik? Atau gadoin bambu? Tingginya gak kaleng-kaleng, cuy! 

Leher Bianca sampai pegel liatinnya. Kayaknya, nanti kalau Bis penuh. Bianca bisa modus nih, pegangin lengannya karena gak nyampe ....

"Bapak ngapain nunggu di halte? Seperti orang susah saja naik bis."

Benar, juga. Kenapa Bianca baru ingat hal ini, ya? Dia kan punya mobil? Kenapa malah ngejogrok di halte begini, sih? Kan, aneh.

"Siapa bilang saya ke sini buat naik bis?"

Eh?

"Lah, Terus mau ngapain ngapain Bapak di sini? Mau ngopi? Salah tempat kali, Pak. Noh, di seberang jalan ada kedai kopi mentereng," tunjuk Bianca.

"Saya mau nganterin kamu pulang."

Apa?

Bianca mengerjap bingung beberapa kali, sebelum akhirnya tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya hasil bleaching mahal.

"Serius, Pak? Kok, nggak bilang dari tadi, sih? Padahal kaki saya udah kesemutan nungguin bis datang. Ah, si Bapak mah suka gitu. Hayuk atuh, Pak. Saya gak bakal nolak."

Dengan semangat 45, Bianca pun langsung menggandeng tangan Alvaro. Sekaligus modus sebenarnya.

Sayangnya langsung ditepiskan Alvaro dengan cepat. Tak lupa memperlihatkan kilatan tak sukanya.

Bianca pun memberengut kesal. Sebelum menghentakan kaki seperti anak kecil. Apalagi saat Alvaro malah melengos begitu saja meninggalkannya, bibir Bianca pun makin maju lima centi.

Ih, susah banget sih mau modus doang. 

Baru saja hendak menyusul Alvaro. Tiba-tiba getar panjang, disertai bunyi nada dering lagu dangdut jadul menginterupsi langkah Bianca, pun Alvaro. 

Pria itu melirik ke arah Bianca, yang terlihat buru-buru mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"..."

"Ini juga mau pulang."

"..."

"Apa? Kamu mau dijemput sekarang? Oke, aku cari taksi dulu."

Bianca lalu menutup panggilannya dengan cepat. Sebelum menghampiri Alvaro dengan wajah gusar.

"Maaf, Pak. Saya cari taksi saja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status