*Happy reading*
"Eh, eh, Gimana rasanya dekat-dekat dengan pak Alvaro, Bi? Duh, lutut gue pasti lemas banget, kalau bisa dekat kek lo tadi, sama cowok secakep itu."
Selepas Alvaro pergi, setelah aksi heroiknya pada Bianca. Gadis itu pun langsung diserbu teman-teman kampret yang tadi mengisenginya.
"B aja tuh," jawab Bianca dengan acuh. Sambil duduk santai di kursi yang kali ini sudah dipastikan tak akan ditarik siapapun.
Soalnya Bianca sudah memberi tatapan garang, pada teman di samping kanan dan kirinya, agar mereka tak berani berulah lagi.
Huft ... akhirnya, bisa duduk juga!
Bianca mendesah lega, sambil mengusap kedua pahanya diam-diam.
Karena faktanya, sekalipun di mulut Bianca bilang 'B' aja dekat dengan tuh asisten Bos yang galak. Reaksi tubuhnya sebenarnya kebalikannya.
Benar kata temannya, lututnya lemes, cuy!
"Sok cakep lu, Bi. Orang secakep Pak Alvaro masa di bilang 'B' aja. Buta kali ya mata lo?"
Bianca hanya menanggapi ucapan itu dengan bahu terangkat acuh. Setelahnya dia pun mulai menyantap makan siangnya.
"Eh, Ngomong-ngomong, pak Alvaro itu ... sudah punya cewek belum, ya?"
Ternyata pembahasan si asisten tak sepenuhnya selesai.
"Iya, ya? Sepanjang kerja di sini, kayaknya kita gak pernah lihat dia gandeng cewek mana pun, deh."
"Bener, tuh! Wah, jangan-jangan dia masih jomlo gaes!"
"Wew, asik, dong! Gue mau PDKT, ah. Syukur-syukur bisa jadi bininya. Pasti hidupku akan lebih mapan."
"Jangan mimpi, doi paling sebel lihat cewek matre," sambar Bianca akhirnya, yang tak lagi kuat menahan mulutnya saat disuguhkan pembicaraan soal si Asisten terus.
Tidak. Lebih tepatnya, hatinya yang tiba-tiba gusar. Saat mendengar ada yang mau gebet si asistennya.
Entah kenapa, dia gak rela aja, gitu?
"Halah, bilang aja lo ngiri. Pengen dekat-dekat juga sama pak Alvaro," cibir temannya, yang disetujui cepat hatinya. Namun, di bantah keras mulutnya.
"Ngiri? Nggak salah dengar, nih? Kalian tuh yang ngiri, karena gue bisa dekat-dekat beliaunya."
***
"Yah, hujan," keluh Bianca, yang tangannya terulur hingga tetesan air mengenai telapak tangannya.
"Sudah tahu hujan, ngapain pakai tes tangan? Kurang kerjaan, emang?"
Suara familiar yang sadis itu membuat Bianca terlonjak. Hingga kepalanya memutar otomatis ke sumber suara.
"Bapak bisa nggak sih nggak ngagetin saya sehari aja? Heran deh, hobi banget bikin saya deg-degan."
Bianca bahkan sampai mengusap dadanya dengan dramatis. Saking berisiknya debaran jantungnya hanya karena seorang Alvaro.
"Namanya orang masih hidup itu pasti deg-degan. Kalau nggak, ya berarti udah mati!"
Mulut oh mulut! Bianca cipok juga lama-lama. Pedasnya nagih, cuy!
"Garing tau, Pak," cibir Bianca pura-pura jaga image.
"Saya nggak sedang melawak. Hanya memberi fakta saja." Ternyata pria ini masih setia mengahut.
"Iya deh, iya. Segembiranya Bapak, deh." Bianca sengaja mempercepat obrolan mereka. Karena mulai dilanda rasa grogi berdekatan dengan pria itu lagi.
Sebenarnya, ada apa sih, sama Bianca?
Padahal tau si Asisten Bos ini selalu galak dan julid terhadapnya. Bahkan sering menegaskan ketidaksukaannya terhadap Bianca. Tapi, kenapa malah Bianca baper, ya?
Bukan karena penasaran tentu saja. Karena Bianca tak suka menguji nyali. Kasarnya, kalau udah ketahuan gak bisa di jangkau, ya udah. Masih ada pria lain yang bisa dijangkau.
Namun, sayangnya Alvaro ini tuh suka lain di mulut lain di sikap. Di mulut judes, di sikap adem bikin meleleh. Kan, Bianca jadi baper tanpa direncanakan.
Ah, nyebelin pokoknya nih cowok satu.
Setelah terjadi keheningan selama satu menit, Bianca pun diam-diam mendongak untuk memandang Alvaro, yang ternyata tinggi banget.
Eh, buset! Dulu emaknya ngidam apa, ya, sampai punya anak setinggi ini?
Jilatin tiang listrik? Atau gadoin bambu? Tingginya gak kaleng-kaleng, cuy!
Leher Bianca sampai pegel liatinnya. Kayaknya, nanti kalau Bis penuh. Bianca bisa modus nih, pegangin lengannya karena gak nyampe ....
"Bapak ngapain nunggu di halte? Seperti orang susah saja naik bis."
Benar, juga. Kenapa Bianca baru ingat hal ini, ya? Dia kan punya mobil? Kenapa malah ngejogrok di halte begini, sih? Kan, aneh.
"Siapa bilang saya ke sini buat naik bis?"
Eh?
"Lah, Terus mau ngapain ngapain Bapak di sini? Mau ngopi? Salah tempat kali, Pak. Noh, di seberang jalan ada kedai kopi mentereng," tunjuk Bianca.
"Saya mau nganterin kamu pulang."
Apa?
Bianca mengerjap bingung beberapa kali, sebelum akhirnya tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya hasil bleaching mahal.
"Serius, Pak? Kok, nggak bilang dari tadi, sih? Padahal kaki saya udah kesemutan nungguin bis datang. Ah, si Bapak mah suka gitu. Hayuk atuh, Pak. Saya gak bakal nolak."
Dengan semangat 45, Bianca pun langsung menggandeng tangan Alvaro. Sekaligus modus sebenarnya.
Sayangnya langsung ditepiskan Alvaro dengan cepat. Tak lupa memperlihatkan kilatan tak sukanya.
Bianca pun memberengut kesal. Sebelum menghentakan kaki seperti anak kecil. Apalagi saat Alvaro malah melengos begitu saja meninggalkannya, bibir Bianca pun makin maju lima centi.
Ih, susah banget sih mau modus doang.
Baru saja hendak menyusul Alvaro. Tiba-tiba getar panjang, disertai bunyi nada dering lagu dangdut jadul menginterupsi langkah Bianca, pun Alvaro.
Pria itu melirik ke arah Bianca, yang terlihat buru-buru mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?"
"..."
"Ini juga mau pulang."
"..."
"Apa? Kamu mau dijemput sekarang? Oke, aku cari taksi dulu."
Bianca lalu menutup panggilannya dengan cepat. Sebelum menghampiri Alvaro dengan wajah gusar.
"Maaf, Pak. Saya cari taksi saja."
*Happy reading*"Maaf, Pak. Saya cari taksi saja."Dengan sigap, Alvaro mencekal tangan Bianca, saat gadis itu hendak melewatinya. Cowok itu menarik Bianca menuju sedan hitam mengkilat, yang terparkir di dekat mereka."Eh, Pak. Saya bilang, saya naik taksi saja, Pak. Masih ada perlu soalnya," tolak Bianca yang dengan konyolnya berpegangan pada tiang halte.Apaan sih, gadis ini?"Ck, Lepasin itu, Bianca! Jangan bikin malu!" Alvaro memelototi orang yang bisik-bisik sambil menunjuk mereka."Tapi, ta--""Kamu tadi sudah setuju, jadi sekarang saya tidak terima penolakan!" ucap Alvaro dengan suara menggelegar.
*Happy reading*"Sial! Sial! Sial!"Alvaro menepikan mobil ketika sudah di tempat sepi. Semua agar dia bisa melampiaskan kekesalannya, pada stir mobil yang tidak bersalah. Andaikan stir itu adalah lengan manusia, sekarang pasti sudah terlihat bekas cengkeraman Alvaro di sana."Sial!"Sekali lagi, Alvaro memaki sendiri, mengeluarkan perasaan tak nyamannya terhadap pemandangan yang tak sengaja dilihat tadi.Sekalipun dia berulang kali menekankan dalam hati. Jika itu bukanlah urusannya. Tetap saja, bayangan Bianca ditampar pacarnya benar-benar mengganggunya sekali.Dia merasa ... apa, ya? Iba, mungkin. Tapi lebih ke ... entahlah, Alvaro tak bisa menggambarkan dengan detail apa yang d
*Happy reading*"Selamat pagi, Pak," sapa Bianca yang terus menunduk ketika memasuki lift.Cewek itu masuk dari lobi, sedangkan Alvaro sudah naik dari basement. Mereka berdua tidak saling berbicara karena keadaan lift yang hampir penuh. Bianca segera turun ketika sudah sampai di lantai tempatnya bekerja.Bahunya bergerak naik perlahan kemudian turun dengan perlahan. Sebisa mungkin dia harus menghindari Alvaro. Ada dua alasan utama yang coba ditanamkan lekat-lekat ke pikiran. Yang pertama karena pacarnya cemburu buta, yang kedua karena perlahan-lahan perhatiannya mulai teralihkan pada Alvaro.Bianca berharap kalau Alvaro tidak menyaksikan apa yang sudah dilakukan pacarnya. Beruntung ada supir taxi yang menengahi, hingga cowoknya tidak jadi menyingkap jas yang terika
Babang 9*Happy Reading*"Sayang, makasih ya, buat hadiahnya. Aku suka banget."Entah sudah berapa kali Bianca mengucapkan kalimat itu, sambil terus menatap benda melingkar yang berkilau di lengannya.Senyumnya tak bisa luntur, tiap kali mengingat perlakuan manis Marcel, yang sangat jarang dia dapatkan.Bukan jarang sebenarnya, tapi lebih ke ... mahal.Ya. Mahal sekali. Karena perlakuan Marcel harus selalu di tukar kesakitannya."Iya, Sayang. Aku juga minta maaf buat kejadian kemarin, ya?" balas Marcel sambil mengusap rambut Bianca dengan lembut."Iya, gak papa kok. Aku ngerti."Bianca hanya tersenyum tipis, saat diingatkan kejadian yang sering terjadi dalam hubungan mereka.Saking seringnya, Bianca kini malah jadi terbiasa.Terbiasa disakiti, dan terbiasa dengan sikap Marcel yang seperti musim pancaroba. Bisa berganti hanya dalam hitungan detik."Habis ini mau kemana lagi, Sayang? Aku turuti. Mumpung
Babang 10*Happy Reading* "Eh, bener juga apa yang lo kata, ya?" gumam si Tante Betawi itu mengaminkan. "Ya, udah. Gue--" "Saya nggak jadi beli, deh. Biar Tante ini saja yang beli. Saya mau cari jas lain yang lebih baik," ucap wanita muda memotong ucapan Tante Betawi, sambil meninggalkan toko begitu saja. "Lah? Keduluan gue." Wanita tua itu melongo seketika. Lain hal Tante Betawi yang melongo, Bianca malah tersenyum penuh kemenangan melihat kejadian tadi. Karena itu berarti, saingannya dalam memperebutkan jas ini berkurang sudah. "Nah, Tante--" Ddrrttt ... ddrrtt ... dddrrtt .... Baru saja Bianca mau angkat bicara, ponselnya sudah berdering nyaring, dengan nama Marcel di layar depannya. Ck, ganggu aja! "Ya, udah ya, Tan. Saya duluan." Tahu akan watak pacarnya, Bianca pun buru-buru mengangkat panggilan Marcel, agar pria pemarah itu tidak ngamuk lagi. "Oh, iya. Maaf, Tan. Saya bohong soal kualit
*Happy Reading*Menyadari kehadiran Marcel. Bianca pun segera menjauhkan diri dari Alvaro, dan bergegas masuk ke mobil pacarnya, tanpa repot-repot berpamitan pada pria yang sebenarnya masih termasuk atasannya itu.Persetan dengan status Alvaro. Saat ini, Bianca lebih ketakutan pada tatapan nyalang Marcel, yang terus menatapnya dan Alvaro.Aduh! Mampus ini, mah! Marcel bisa salah paham lagi, dan ....Akh!Baru juga Bianca mendaratkan pantat di kursi samping kemudi, tangan Marcel sudah dengan cepat menjambak rambut Bianca kasar."Dasar jalang! Siapa lagi ya lo godain sekarang?" desis Marcel dengan suara dalam, membuat kuduk Bianca langsung meremang karena ketakutan."Yang, ka-kamu salah paham, Yang. I-itu tadi ... Bos aku. Dia--""Owh ... Bos elo. Pintar ya sekarang cari mangsanya?"Bianca sontak menelan salivanya kelat, saat melihat senyum miring Marcel."Bu-bukan begitu, Yang. Ak-aku dan dia gak ada hubungan
Babang 12*Happy Reading*"Hentikan!"Tiba-tiba saja Bianca menyusup di antara keduanya. Alvaro menyeringai ketika Bianca berdiri membelakanginya dengan kedua tangan terentang.Tak ayal, mata Marcel pun langsung menyalang ke arah keduanya. "Kamu membelanya, Bi?"Takut-takut, Bianca menurunkan kedua tangannya saat mendengar gelegar suara Marcel barusan, kemudian menoleh ragu-ragu ke belakang. Tubuhnya pun mulai gemetaran.Alvaro maju hingga tubuhnya menjulang di depan Bianca untuk menutupi pandangan Marcel. Namun, sebuah tinju menghantam perutnya saat belum sepenuhnya siap. Hingga Alvaro terbungkuk sambil menahan sakit.Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali Marcel melayangkan tinjunya. Tidak peduli Alvaro siap atau tidak, bisa atau tidak membalas. Marcel terus saja melayangkan pukulannya, seperti kesetanan.Bianca hanya bisa berteriak-teriak di tempatnya melihat hal itu. Dia ingin menolong, tapi tidak bisa. Tenaganya kalah telak p
"Halo," ucap Alvaro dengan senyum mengembang setelah menepikan mobil.Suara ramah yang dipadukan senyum manis membuat Bianca nyaris meneteskan air liur. Sungguh merupakan perpaduan maut yang bisa membuat cewek-cewek jatuh hati.Sayang pria ini terlalu pelit memperlihatkannya pada publik."Enggak, kok. Ini cuma mau mampir ke apartemen dulu, setelah itu Al meluncur ke situ."Bianca sekuat mungkin menahan diri untuk tidak menoleh ke arah Alvaro. Saat suara lembut itu terdengar rungunya.Meski sebenarnya dia sangat kepo sekali pada orang yang menelpon Alvaro, hingga mampu membuat cowok jutek ini berubah jadi seperti kucing manis seperti itu.Pasti pacarnya, gak salah lagi!