Di dalam ruang kerjanya, Reynald tengah berpikir tentang perkataan kakeknya tadi pagi. Beberapa berkas yang berserakan terlupakan begitu saja di hadapannya. Fokusnya berubah untuk sejenak.
Memang sih, perempuan itu terlihat manis dan lain sekali tipenya dari semua wanita yang pernah Kakek jodohkan padaku. Tapi apa benar ini pilihan yang tepat bagi Kakek. Bukan! Apa dia memang perempuan yang tepat untukku? Apalagi kemarin Ardant memberiku data hasil cek up Kakek terakhir kali. Memang kondisinya sedang tidak bagus. Aarrgh ... ini sungguh membuatku frustrasi!!!
Pria itu terlalu sibuk dengan pikirannya hingga sebuah ketukan di pintu ruangannya membuat Reynald tersadar. Reynald mengangkat kepalanya dan menemukan sosok sahabatnya sudah berdiri di depan pintu ruang prakteknya.
“Hei ... kenapa wajahmu seperti itu? Kali ini siapa lagi wanita yang Kakek jodohkan padamu?” kata Ardant yang sudah hapal di luar kepala arti dari mimik wajah sahabatnya saat ini.
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Reynald sambil menatap sahabatnya heran.
“Sudah tak terhitung banyaknya aku melihat wajahmu yang seperti ini,” kata Ardant sambil menghela napas kemudian duduk di hadapan Reynald. “Kali ini gadis seperti apa yang jadi calon pendampingmu?”
“Malaikat penyelamat nyawa, begitu kata Kakek!” kata Reynald datar.
“Ah, jadi begitu. Apa gadis manis penuh semangat dengan rambut hitam lurus yang panjang sepunggung?” tebak Ardant.
“Kamu kenal dia?”
“Ya, aku tahu gadis itu. Beberapa kali dia ke sini menjenguk Kakek. Kakek juga yang memberinya pekerjaan di VO-Channnel. Pantas saja Kakek menyebutnya malaikat penyelamat. Bukankah dia gadis yang manis?” kata Ardant panjang lebar dengan penuh semangat berbanding terbalik dengan raut wajah sahabat yang duduk di depannya.
“Manis apanya?”
“Hei ... jangan begitu. Kamu kan belum mengenalnya lebih dekat. Kalau kamu kenal dia lebih dekat, kamu pasti akan menyebutnya gadis yang manis dan mungkin saja kamu bisa menyukainya.”
“Memangnya kamu dekat dengannya?” tanya Reynald penuh selidik.
“Tidak juga, sih. Hanya beberapa kali mengobrol dengannya. Menurutku dia gadis yang baik. Aku rasa kali ini Kakek memilih calon yang tepat untukmu!”
“Tepat apanya? Aku bahkan tak bisa memilih pasanganku sendiri,” gerutu Reynald jengkel.
“Sudahlah, terima saja. Aku rasa gadis itu masih jauh lebih baik daripada artis cantik yang selalu mengejarmu itu!” kata Ardant sambil mengangkat dagunya menunjuk seseorang yang berjalan mendekat saat pria itu berjalan keluar dari ruang praktek Reynald. “Bersemangatlah! Semoga harimu menyenangkan,” ucap Ardant lagi sambil tersenyum tipis kemudian pergi meninggalkan Reynald sendirian.
“Hai, Rey!” sapa Safira sambil tersenyum manis diikuti sang managernya. Wanita yang selalu menjaga lekuk tubuhnya agar tetap indah itu pun melangkah menghampiri Reynald sambil membuka kacamata hitamnya.
“Dokter Steven kan di lantai tiga bukan di sini!” kata Reynald dingin dan tak acuh. Pria itu sungguh tak ada waktu untuk meladeni tingkah artis manja yang satu ini. Reynald bahkan tak mau bersusah-susah untuk melihat bahkan melirik Safira.
“Aku ke sini untuk menemuimu, Rey. Tidak bisakah kita bicara berdua?” kata Safira lagi kemudian menyuruh managernya pergi meninggalkan mereka berdua.
“Tak ada yang perlu kita bicarakan, Safira.” Reynald bangkit berdiri dari duduknya. Namun Safira berusaha menghalangi jalannya dan berharap pria itu mau menyisakan fokusnya untuk dirinya walau hanya sejenak. “Jangan halangi jalanku! Aku ada operasi penting siang ini,” ucap dokter tampan itu dengan tatapan menusuk lalu melangkah pergi meninggalkan Safira begitu saja.
“Tunggu Rey!” Safira segera memanggil Reynald sebelum pria itu meninggalkan ruangannya. Namun Reynald sama sekali tak menggubrisnya. “Hhh ... kenapa dia jadi sedingin ini, sih. Padahal dulu dia baik sekali padaku.” Safira mulai menggerutu. “Apa sekarang aku tidak terlihat menarik?” tanya Safira pada managernya yang belum sempat beranjak dari tempatnya saat Reynald meninggalkan mereka.
“Kamu jelas memang menarik sekali. Sampai mata semua pria akan menatapmu ke mana pun kamu pergi. Tapi mungkin dia begitu karena dulu kamu cuma memanfaatkannya supaya bisa kembali pada mantan pacarmu yang tidak baik itu! Padahal dulu dia sangat peduli sekali padamu,” jelas Tania mulai menceramahi Safira seperti biasanya.
“Apa benar dulu dia sepeduli itu padaku?”
“Iya. Kamu saja yang terlalu fokus sama mantanmu itu sampai pria baik seperti dia hanya kamu manfaatkan saja. Pantas saja dia jadi sekecewa ini padamu. Kamu menyesal kan sekarang?”
“Tenang saja. Apapun yang terjadi aku akan mendapatkan hatinya kembali!” kata Safira penuh percaya diri.
“Menurutku itu pasti sulit sekali.”
“Sudah kamu diam saja! Ini urusanku!”
Safira sebenarnya tahu kalau semuanya sudah salah sejak awal. Dia memang pernah memanfaatkan kebaikan dan perhatian dokter tampan itu hanya untuk kepentingan pribadi dan keegoisannya. Walaupun Reynald dengan tulus selalu ada untuknya di saat dia benar-benar terpuruk dulu. Namun kini pria itu berpaling darinya bahkan enggan menatapnya. Namun dia selalu berharap bisa memperbaiki semuanya dan kembali mendapatkan hati Reynald.
Safira melipat kedua tangannya di depan dada sambil berpikit tentang trik apa lagi yang bisa dia lakukan untuk meluluhkan hari dokter tampan pujaannya tersebut. Hingga sebuah senyuman akhirnya mengembang menghiasi bibirnya yang berlapis lipstik merah cerah yang memikat.
Safira segera menyeret Tania ke sebuah restoran dan memesan banyak sekali makanan. Kemudian kembali ke rumah sakit dan mulai membagikan bento makanan yang dia pesan ke semua stasiun perawat yang ada di lantai tempat Reynald bekerja. Safira juga tak lupa menyiapkan kudapan yang sedang hits di media sosial akhir-akhir ini. Sebagai imbalan untuk setiap perawat yang memberi tahunya segala hal tentang Reynald yang selama ini belum diketahuinya.
Sudah beberapa jam ini, Safira berjalan hilir mudik ke sana kemari di dekat ruang praktek Reynald dan berharap bisa bertemu lagi dengan pria pujaannya tersebut. Sampai terdengar suara berat yang memanggil namanya. Sayangnya suara berat itu bukanlah suara yang saat ini sangat ingin dia dengar.
“Safira,” panggil pria itu sekali lagi lalu berjalan cepat menghampiri Safira. “Sedang apa kamu di sini? Bukankah jadwal konsultasi kita besok?”
Safira akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap pria di depannya dengan senyum yang dipaksakan. “Ah, Dokter Steven. Aku ada keperluan lain.”
“Di sini?” Pria itu memandang sekeliling ruangan besar dengan beberapa pintu ruang praktek dan stasiun perawat dengan heran. “Ini kan poli bedah?”
Safira hanya bisa tersenyum kaku. “Emang apa masalahnya kalau aku di sini?” tanya Safira balik.
“Kamu sakit?” tanya Steven lagi.
Belum sempat menjawab pertanyaan Steven, sudut mata Safira menemukan sosok yang selama ini ditunggunya baru saja tiba di depan meja perawat bersama Ardant. Senyum semringah mulai mengembang menghiasi bibir Safira dan dengan tak acuh, wanita itu melewati Steven begitu saja untuk menghampiri Reynald.
“Rey!”
****
Hai readers, salam kenal dari aku, penulis yang hobi menggalau. Yuk menggalau bersama ceritaku ini. semoga kalian suka dengan kisah Leanna dan Dokter Reynald.
Mungkin untuk sebagian orang, menikahi pria kaya dan tampan adalah sebuah kesempurnaan hidup. Namun Leanna tidak merasa seperti itu. Menikah dengan Reynald terasa seperti mengemban sebuah tugas yang berat, seperti apa yang Safira katakan sebelumnya. Anak di dalam kandungannya bahkan sudah mendapatkan tanggung jawab besar jauh sebelum dia dilahirkan.Awalnya mungkin Leanna tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun begitu membuka mata keesokan paginya, dia benar-benar menyadari kalau hidupnya tidak akan semudah itu. Baru saja membuka matanya dan raut wajah penuh kekhawatiran dapat terlihat jelas dari beberapa orang yang kini memenuhi ruang rawatnya.“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Kakek Antony. “Kenapa kamu membiarkan istrimu kelelahan?” kata Kakek Antony pada Reynald begitu melihat pria itu masuk ke dalam ruang rawatnya.“Kamu juga kenapa tidak mengatakan lebih awal kalau Leanna di rawat di sini?” kata Kakek Antony pada Fiona yang terlihat merengut tidak terima disalahkan.“Justru aku y
Setelah kepanikan dan kehebohan di sepanjang lorong menuju poli obstetri dan ginekologi tadi, Leanna akhirnya langsung dapat penanganan dari Dokter Vira. Setelah melakukan banyak pemeriksaan Leanna akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan untuk beristirahat selagi menunggu hasil pemeriksaan yang sudah dilakukannya barusan.Meskipun nyeri di perut Leanna sudah berkurang dan wanita itu pun kini sudah terlihat mulai nyaman berbaring di ranjangnya, tetapi Safira dan Fiona masih terlihat penuh kekhawatiran.“Benar sudah tidak sakit?” tanya Safira lagi. “Kalau memang masih sakit nanti kupanggilkan Dokter Vira lagi,” kata Safira.“Kamu belum makan, kan? Kamu mau makan apa biar kupesankan,” kata Fiona tak kalah paniknya.“Sebaiknya kalian juga duduk sebentar. Memangnya tidak lelah berlari-lari seperti tadi?” kata Leanna yang mulai pusing melihat kedua wanita cantik itu berjalan hilir mudik di depan ranjangnya.“Kalau perutmu masih terasa sakit, kamu tarik napas yang panjang saja, ya,” kata Safi
Sudah beberapa hari ini Fiona lebih sering berada di butik Leanna dengan setumpuk buku referensi pernikahan yang dibawanya. Menghabiskan hari sambil berceloteh tentang model gaun seperti apa yang cocok untuk gaun pengantinnya. Dekorasi seperti apa yang bagus untuk acara pernikahannya kelak, hingga jenis dan warna bunga yang bagaimana yang bagus digunakan untuk menghiasi ballroom tempat acaranya nanti. Leanna sampai pusing sendiri menanggapi semua celotehan Fiona tentang rencana pernikahannya tersebut. Belum lagi ketika Fiona bertanya beberapa pilihan konsep pernikahan yang ada di buku referensi tersebut. Leanna sampai bingung harus pilih yang seperti apa. Karena semua konsep yang Fiona usulkan semuanya memiliki keunikan tersendiri. “Kalian sedang apa?” tanya Safira yang tiba-tiba datang. Wanita itu membuka kacamata hitamnya kemudian ikut duduk di sebelah Fiona. “Merencanakan pernikahan,” jawab Leanna singkat. “Pernikahan siapa?” tanya Safira bingung. Leanna hanya melirik ke arah Fi
Tuan Darwin duduk di samping Kakek Antony kemudian kedua orang tua Kennard dan Kennard yang duduk persis di samping Fiona. Mereka semua saling menyapa dengan anggukan dan senyuman singkat kepada Kakek Antony. “Bukankah kamu yang meminta Kennard untuk membawa serta kami sekeluarga?” balas Tuan Darwin sambil menatap Kakek Antony tajam. Yang menurut Leanna seperti harimau yang sedang menakut-nakuti mangsanya. “Tentu, kalau cucumu itu ingin mendapatkan cucu perempuanku yang berharga.” “Kalau begitu, apakah kamu sudah bersedia menyerahkan cucu perempuanmu yang berharga itu pada cucuku?” tanya Tuan Darwin yang kali ini dengan senyuman tipis di bibirnya. “Mengingat sudah berapa lama kita berteman, seharusnya kamu tahu jelas apa jawabanku, kan, Win?” balas Kakek Antony lagi sambil menatap Tuan Darwin lekat-lekat. “Baiklah! Kita tidak perlu berbasa basi seperti ini lagi. Bagaimana kalau langsung menetapkan tanggal pernikahan untuk mereka saja?” kata Tuan Darwin yang saat ini raut wajahnya
Belaian lembut di pipi Leanna pun membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya. Sebuah kecupan bahkan mendarat di bibir Leanna saat wanita itu membuka mata. Reynald kemudian menatapnya dalam-dalam sambil merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi Leanna. “Pagi,” sapa Reynald saat Leanna sudah sadar sepenuhnya. “Hari ini sudah tidak ada seminar, tapi sepertinya kita harus lekas pulang,” kata Reynald dengan nada suara lembut. “Pulang?” “Hmm. Kamu lupa kalau nanti malam ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga Raharjo?” “Nanti malam? Ah, iya. Acaranya Fiona?” “Betul. Awalnya saya ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini, tapi tadi pagi sekali Fiona menelepon untuk mengingatkan saya tentang pertemuan keluarga ini.” “Ah, benar juga. Tidak mudah membuat Tuan Darwin mau datang mengurus masalah Fiona dan Kennard. Kita tidak boleh mengacaukannya.” “Tentu. Karena itu … ayo lekas bangun, Sayang,” kata Reynald sambil mengusap pipi Leanna kemudian tersenyum dan menatap is
“Memangnya kenapa?” tanya Reynald.“Jawab saja, Mas. Kita ini pasangan serasi atau bukan?”“Memangnya menurut kamu, kalau pasangan serasi itu seperti apa?” Reynald kembali balik bertanya.“Wajahnya cantik dan ganteng. Kelihatan sangat saling mencintai. Kompak dalam hal apa pun,” ucap Leanna menyebutkan isi salah satu artikel yang pernah di bacanya di media sosial.“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya.”“Apa?” Leanna justru bingung dengan jawaban yang diberikan Reynald.“Sudah jam 7, saya dan Steven harus kembali ke ruang seminar. Kalau kamu masih mau jalan-jalan lagi bersama Safira tidak apa-apa. Nanti minta Pak Sugio saja yang antarkan.”“Eh, tapi –”Reynald bangkit berdiri sambil mengusap puncak kepala Leanna dengan penuh rasa sayang kemudian tersenyum pada Leanna sebelum beranjak pergi. Begitu juga dengan Steven. Pria itu pun ikut bangkit berdiri menyusul Reynald.“Jangan lupa meneleponku kalau sudah selesai!” kata Safira sambil menatap Steven dengan tatapan tidak rela berpisah.“O