Sampai kembali dikantor, baik Abi maupun Anya melangkah lesu menuju meja kerja masing-masing.
Dilihatnya pada jam dinding waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, seluruh ruang kantor sudah kosong hanya tersisa mereka berdua dan seorang cleaning service yang sedang membersihkan lantai. Anya pun menyelesaikan sisa pekerjaan yang ia tinggal tadi, agar tak menumpuk esok hari. Sementara di dalam ruangannya, duduk termenung sambil melempar pandangan pada dinding ruangan tempatnya bekerja yang terbuat dari kaca, Abi membelakangi meja dan menenggelamkan diri dibalik kursi kerjanya. Tenggelam dalam lamunan, masih penasaran tentang ayah kandungnya, ditambah lagi ia sadari lingkungan tempat dimana kemungkinan ayah kandungnya berada itu seperti lorong tergelap di dunia. Tentu tempat yang tidak aman sebenarnya bagi siapapun yang tinggal disana. Namun Abi tetap penasaran ingin sekali meli"Jadi kapan kalian nikah?" "Uhukk! uhukk!" Pertanyaan itu sontak membuat Anya tersedak, sementara Abi seperti tak bereaksi hanya menatap ibunya sejenak lalu melanjutkan makannya. Rita baru saja beralih pada Abi dan Anya setelah sejak tadi sibuk mendiskusikan tentang kehamilan Diana. Anya merasa tak berhak untuk menjawab, ia lantas menyikut lengan Abi membuat pria itu menoleh padanya. Anya menggerakan bola matanya, memberi isyarat agar ia saja yang menjawab pertanyaan ibunya. "Kok diem? Gak ada yang mau jawab Mama nih?" Rita memperjelas pertanyaannya. "Doain aja, Ma." Ucap Abi, lagi-lagi membuat Anya tak habis pikir dengan drama yang mereka mainkan di hadapan keluarga Abi yang seperti tak kunjung selesai. "Setiap hari didoain kok. Tapi kalo bisa jangan lama-lama. Kalo udah saling ngerasa cocok, ya tunggu apa lagi? Kalo kalian udah menikah, mau ngapain juga udah tenang kan."
"Diana hamil?" Tanya Rita dengan raut wajah bahagia sekaligus tak percaya dengan apa yang didengarnya. Diana pun mengangguk yakin sambil tersenyum lebar, ia berikan hasil tes dari rumah sakit untuk membuktikan ucapannya pada sang ibu. Rita pun mengulurkan tangan hendak meraih benda itu, namun kalah cepat sebab Sudoyo sudah lebih dulu menyambar. "Ih Papa!" Protes Rita. Namun tak dihiraukannya, Sudoyo tetap bergerak cepat membuka lembaran kertas itu lalu ia kenakan kacamatanya dan mulai menggerakan bola mata membaca isi suratnya. "Sini dulu Mama mau lihat!" Rita lantas merebut kertas itu, dan Sudoyo pun mengambil Megan dari gendongan Rita lalu tersenyum menatap wajahnya. "Eh, Mas Megan mau punya adik, iya nak? Walah.. anak bayi udah mau punya adek ini." Sudoyo mengusak hidungnya dengan lembut pada pipi Megan, kemudian mengembalikan bayi itu pada ibunya. Diana lantas meraih putranya dan mele
Sampai kembali dikantor, baik Abi maupun Anya melangkah lesu menuju meja kerja masing-masing. Dilihatnya pada jam dinding waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, seluruh ruang kantor sudah kosong hanya tersisa mereka berdua dan seorang cleaning service yang sedang membersihkan lantai. Anya pun menyelesaikan sisa pekerjaan yang ia tinggal tadi, agar tak menumpuk esok hari. Sementara di dalam ruangannya, duduk termenung sambil melempar pandangan pada dinding ruangan tempatnya bekerja yang terbuat dari kaca, Abi membelakangi meja dan menenggelamkan diri dibalik kursi kerjanya. Tenggelam dalam lamunan, masih penasaran tentang ayah kandungnya, ditambah lagi ia sadari lingkungan tempat dimana kemungkinan ayah kandungnya berada itu seperti lorong tergelap di dunia. Tentu tempat yang tidak aman sebenarnya bagi siapapun yang tinggal disana. Namun Abi tetap penasaran ingin sekali meli
Melewati jalan yang semakin lama semakin sempit, dan sepertinya kini hanya bisa dilalui satu mobil saja. Anya melirik ke kanan dan kiri, merasa begitu asing dengan tempat yang sedang mereka lalui. "Khhmm.. kita.. mau kemana sih?" Tanya Anya ragu, akhirnya bersuara juga setelah memendam pertanyaan itu sejak tadi. "Oh, kalo dikantor sama diluar kantor bahasa kamu emang beda ya?" Tanya Abi. "Gak maksud, maaf. Emang kedengerannya beda?" "Banget." Jawab Abi singkat. Anya menelan salivanya dengan gugup, menggaruk pelipisnya sesaat, ia jadi merasa serba salah dan lebih baik tak usah bicara saja. Sejak dari kantor tadi Abi bahkan tak mengizinkannya menyetir dengan alasan tak percaya Anya akan membawa mereka dengan selamat sampai tujuan. Kini ia malah dibawa ke tempat yang cukup jauh yang begitu asing baginya dengan semak belukar di sisi jalan yang tumbuh subur, bahkan jika ia perkirakan tingginya mungkin melebih tinggi badan Abi. Namun ditengah kegelisahan Anya, Abi malah me
Diana menatap lekat-lekat wajah Bayi yang kini sudah resmi menjadi putranya. Tak ada lagi keraguan atau ketakutan yang ia rasakan, ia begitu bahagia, meski ditengah terbukanya fakta bahwa ayah sang bayi memang tak ingin bertanggung jawab atas kelahiran anaknya. Namun Diana tak ingin berlarut-larut mengasihani anak ini. Persetan dengan apa yang dilakukan ayah kandungnya, Diana kini berjanji dalam hati ia akan menjaga dan merawat anak ini dengan sebaik-baiknya. Dan memberikan yang terbaik untuk kehidupannya. Bayu yang masih fokus mengemudi pun kini menoleh pada istrinya yang terdengar seperti sedang terisak meski samar. "Sayang, kenapa?" Tanya Bayu dengan lembut. "Gak apa-apa. Aku seneng aja, masih gak nyangka kita dikasih anak dengan jalan ini. Maksudku.. aku emang minta sama Tuhan untuk mempercayakan titipannya sama kita. Dan ternyata Dia jawab doaku dengan titipan yang bener-bener titipan dari adik
"Ini kepanasan gak sih?" Tanya Bayu pada sang istri, sambil ia berjongkok dihadapan wadah berisi air. Ia tengah membantu Diana menyiapkan air untuk mandi bayi kecil mereka. Diana lantas menyelupkan tangannya kedalam wadah itu dan spontan menarik kembali tangannya. "Mas, panas banget. Kamu mau mandiin bayi apa mau bubutin bulu ayam sih?" Tanya Diana. "Sepanas itu?" Tanya Bayu sambil terkekeh. "Malah ketawa lagi. Cepet tambahin lagi air dinginnya, Sayang. Ini udah dilepas bajunya nanti keburu kedinginan kasihan." Jawab Diana. Bayu pun bergegas menambahkan air dingin dan membantu Diana memandikan bayinya. "Halo anak manis. Mandi dulu ya biar seger. Mana senyumnya coba? Lucunya.." Bayu terus berusaha mengajak bayi mereka berkomunikasi sambil sesekali mengambil air dengan tangkupan jemarinya lalu ia tuangkan kembali ke badan sang bayi. Melihat itu Diana pun tersenyum sambil tangannya terus bergerak dengan lembut memanjakan kulit sang bayi yang halus. Ia lihat suaminya begi