Share

8. Jangan Sakit Elle

Elleza menggeliat, matanya yang terasa berat ia buka perlahan-lahan. Ringisan keluar dari bibirnya saat merasakan nyeri pada tangan kanan.

Setelah kesadarannya terkumpul penuh, ia melirik ke arah punggung tangannya yang tertancap selang infus. Gadis itu mendesah, ternyata lambungnya tetap saja lemah. Hanya menghabiskan semangkuk ramen pedas saja, ia sudah tumbang.

“Aish, aku pasti masih di rumah kak Gwen. Jam berapa sekarang?” Monolognya sambil mengedarkan pandangan ke dinding-dinding kamar untuk melihat jam.

Ketika kepalanya menoleh ke arah kiri, ia tersentak kecil karena merasakan pipinya menyentuh sesuatu yang agak tajam. Elleza menurunkan pandangan, dan dilihatnya rambut Allarick yang menggesek-gesek pipinya.

Pria itu menggeliat karena terusik dengan pergerakan Elleza, namun tak berselang lama ia kembali tenang dengan kepala yang menelusup di ceruk leher Elleza, dan kedua tangannya memeluk tangan kiri Elleza.

Elleza hanya diam, tak berniat membangunkan atau menjauhkan pria itu darinya. Ada perasaan hangat kala merasakan pelukan erat pria itu di lengannya. Hembusan nafas teratur milik Allarick, entah mengapa terasa menenangkan. Namun, tak bisa di pungkiri, jantung Elleza memompa dengan sangat cepat bahkan ia seolah dapat mendengarnya.

“Yah, biarkan seperti ini dulu, aku masih lelah. Nanti kalau aku bangun, dan bajingan tengik ini masih disini, akan kutendang pantatnya hingga mencium lantai,” gumam Elleza pelan. Ia menyamankan posisinya dengan memiringkan kepalanya di atas kepala Allarick.

Tanpa gadis itu sadari, Allarick tersenyum dalam pejamnya. Pria itu sebenarnya ikut terbangun saat Elleza baru menggeliat. Ia sudah akan beranjak pergi karena takut Elleza marah jika tau ia tidur disamping gadis itu, tapi ternyata Elleza masih bersikap tenang dan bahkan tak membangunkannya.

“Dulu saat aku jatuh sakit, kau selalu merawatku dan berakhir tidur di sampingku, Elle. Walau awalnya aku sempat risih, tapi jujur saja, hal itu selalu membuatku merasa nyaman dan membaik. Kini aku melakukan hal yang sama, agar kau lekas membaik juga Elle,” batin Allarick seraya mengecup pundak Elleza pelan.

***

Setelah dua jam, Elleza kembali bangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Menolehkan kepalanya ke samping, ia mendesah lega saat tak menemukan si bajingan Allarick. Gadis itu kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar. Entah apa yang ia pikirkan, tapi ia agak linglung.

Ceklek

Pintu kamar terbuka, membuat Elleza refleks menoleh ke arah pintu. Di sana ada Gwen yang datang membawa nampan, dan Richard membawa peralatan medis di belakangnya.

“Bagaimana keadaanmu Elle?” tanya Richard mendekat untuk memeriksa Elleza.

“Sudah lebih baik.”

Gwen meletakkan nampan di nakas. “Kau mencari Allarick? Dia sedang mandi,” katanya saat melihat Elleza masih memandang ke arah pintu seolah menunggu seseorang masuk.

“A-ah tidak. Untuk apa aku mencari orang itu.” Elleza menjawab gelagapan. “Em kak Gwen. Apa kakak tau di mana ponselku?”

“Tidak tau. Sepertinya di bawa Allarick.”

“Ben-“

“Elle. Jangan kau ulangi lagi memakan makanan pedas seperti itu, berbahaya bagi lambungmu.” Richard menyela ucapan Elleza.

Gadis yang di nasehati itu hanya mengangguk lesu. Yah, bagaimana lagi? Ia kuat makan pedas, tapi lambungnya saja yang manja dan tidak bisa di ajak kerja sama. Salahkan juga Allarick Bastard Xaviero yang sudah membuatnya galau berkepanjangan sehingga mencari pelampiasan dengan memakan makanan pedas.

Usai melakukan pemeriksaan, Richard keluar lebih dulu sedangkan Gwen sudah bersiap menyuapi makan Elleza.

“Aku bisa sendiri kak. Kakak susul saja kak Richard, maaf aku merepotkan,” ucap Elleza seraya menjulurkan tangan untuk mengambil alih mangkuk yang di pegang Gwen.

“Biar aku saja. Gwen keluar sana.” Sahut seseorang dari arah pintu.

Keduanya menoleh ke sumber suara. Allarick masuk dengan pakaian santai dan wajah yang segar sehabis mandi. Pria itu mengambil alih mangkuk, lalu mendorong-dorong Gwen agar keluar kamar.

“Al sialan!!”

Tak mempedulikan umpatan Gwen, Allarick kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang. Ia menyusun bantal di belakang punggung Elleza agar lebih nyaman. Setelah itu ia duduk di tepi ranjang, bersiap menyuapkan bubur untuk mantan tunangannya.

“Aku bisa sendiri.”

“Makan.” Titah Allarick tegas, tanpa mempedulikan tangan Elleza yang berusaha merebut mangkuk.

“Berikan padaku!!”

“Tidak. Ayo makan cepat!”

Elleza mencebik, “Tidak mau!” rajuknya dengan melipat tangan di depan dada, kepalanya menghadap ke samping.

Tak

Mangkuk yang di letakkan Allarick dengan keras di nakas membuat Elleza sedikit tersentak. Gadis itu merasa takut saat melirik wajah Allarick yang tegang dan dingin.

“Baiklah. Aku akan panggil kak Lucas untuk menjemputmu kemari. Kau makan saja di rumah.” Allarick mengeluarkan ponsel Elleza yang ia bawa dari saku, membuat gadis itu melotot.

“JANGAN!!” Elleza berteriak, tangannya memegang lengan Allarick.

Allarick mengangkat sebelah alisnya, ia menyentak tangan Elleza pelan untuk melanjutkan kegiatannya. Mati matian ia menahan diri agar tak menunjukkan smirk, apalagi tawanya kian ingin meledak saat melihat ekspresi ketakutan Elleza yang menggemaskan.

“J-jangan katakan pada kak Lucas, hm? Please.”

“Why?”

Dengan ekspresi yang di buat seperti penasaran, Allarick mendekatkan wajahnya pada Elleza. Ia sebenarnya sudah tau kalau Elleza sangat takut pada Lucas kala membuat kesalahan, apalagi kalau gadis itu terluka karena tingkahnya sendiri. Pernah sekali, gadis itu jatuh karena berlarian hingga lututnya berdarah. Dan saat itu, Lucas tak memperbolehkannya keluar rumah sama selama satu minggu.

Apalagi saat lambung Elleza pernah bermasalah karena makan pedas sama seperti saat ini, Lucas membuat Elleza harus mendekam beberapa hari di rumah sakit meski keadaannya sudah sehat. Bahkan makanan yang di konsumsi Elleza juga dia yang mengatur, sekaligus Elleza di paksa memakan sayur-sayuran yang sangat tidak di sukai gadis itu.

“Why Elle?” Ulang Allarick.

“B-baiklah, aku mau makan. T-tapi boleh aku minta tolong?” Elleza mengangkat wajahnya yang semula menunduk, menatap Allarick penuh harap. Lagi-lagi, Allarick hanya mengangkat alis.

“T-tolong katakan pada kak Gwen aku ingin menginap malam ini. Dan kembalikan ponselku, aku ingin minta tolong Tamara agar mengatakan kalau aku menginap di rumahnya. Kau jangan mengadu pada kak Lucas.”

“Jadi kau ingin berbohong pada kakakmu?”

Elleza menautkan jarinya. “Aku, aku hanya tidak mau di hukum Al. Kau tau sendiri bagaimana kak Lucas yang overprotektif padaku,” ungkapnya kesal.

“Baiklah. Tapi ada syaratnya.”

“Apa?”

Allarick tersenyum manis, ia kembali mengambil mangkuk. “Syaratnya, kau harus habiskan ini dan minum obat tanpa merengek.” Ia memberi kode dengan dagunya agar Elleza menerima suapan yang ia sodorkan.

Dalam diam, Elleza mengunyah makanan dengan sesekali melirik Allarick yang menunduk mengambil bubur dengan sendok. Allarick yang seperti ini, masih saja terasa asing baginya. Apalagi dengan status mereka sekarang, yang sudah tak lagi memiliki hubungan.

“Jangan sakit Elle. Aku tak menyukainya.” Allarick mengusap bubur di sudut bibir Elleza, lalu menatap gadis yang tengah terpaku itu dalam.

***

Pagi ini keadaan Elleza sudah lebih baik, bahkan bisa dikatakan ia sudah sehat. Berbeda dengan moodnya yang berantakan dan badannya pegal-pegal karena ulah Allarick bajingan.

Semalam Allarick kembali mengancam akan mengadukannya pada Lucas jika ia tidak mau tidur seranjang dengan pria itu.

Dan ketika Elleza terpaksa mengiyakan, pria itu semakin kurang ajar dan tidak tahu diri. Bayangkan saja, semalaman ia di jadikan guling oleh Allarick, bahkan ia tak bisa bergeser menjauh sedikitpun.

"Apa yang sebenarnya otak kecilmu itu sedang pikirkan, Elle? Wajahmu tegang sekali."

"Sejak kapan Allarick Xaviero repot-repot menanyakan apa yang di pikirkan orang lain, huh?" Elleza membalas sarkas, matanya memicing pada Allarick yang berdiri di depannya.

"Mulai sekarang, apa yang kau mau dan yang kau pikirkan, aku harus tau," kata Allarick bersidekap dada.

"Cih, dalam mimpimu!"

Allarick menggelengkan kepala dan tersenyum tipis, mengamati Elleza yang turun dari ranjang dengan grasa grusu, kakinya sengaja dihentak hentakkan dan begitu memasuki kamar mandi, pintu di tutup dengan keras.

"Elleza memang tidak bisa slay," gumam Allarick.

Setelah mandi, Elleza mengenakan dress yang ia beli kemarin. Ah, ralat. Dress yang di belikan Allarick.

Jika ia adalah Elleza Ainsley yang dulu, maka ia akan berputar putar seraya bernyanyi riang saking senangnya memakai baju pemberian Allarick.

Namun sekarang, alih-alih senang ia malah muak. Jika mengingat ia butuh dress ini karena tak membawa baju ganti, ia akan dengan senang hati merobek atau membakarnya.

"Cantik," gumam Allarick begitu melihat Elleza baru datang dan duduk di sampingnya.

"Setelah menjadi mantan, perempuan memang selalu terlihat lebih cantik dan menggoda, Al." Richard menimpali.

"Berhenti mengejekku!"

Richard mengendikan bahu. "Aku tak mengejekmu. Aku hanya mengejek kebodohan otak pintarmu itu," ucapnya enteng.

"My princess. Are you okay?"

Ketiga orang itu menoleh bersamaan ke arah Jayden yang berlari mendekat dengan Gwen di belakangnya.

Elleza beranjak, kemudian menggendong Jayden dan membawanya duduk di pangkuan.

"I'm okay Jayden. Kan ada daddy nya Jayden yang mengobati aunty," ucap Elleza, lalu mengecup pipi Jayden yang wangi bedak bayi.

"Tentu saja. Daddy ku baik, tidak suka teriak seperti monster jahat." Jayden membusungkan dada sombong. Ekor matanya melirik Allarick seolah menyindir.

"Sudah sudah. Ayo kita sarapan," sahut Gwen, mencoba mengakhiri perang dingin antara paman dan keponakan.

Saat semua orang sedang menikmati sarapan masing-masing, Allarick mengambil ponsel dari saku kemudian meletakkan di telinga.

"Ah benarkah? Seri baru action figure Iron Man sudah ada? Baiklah nanti aku akan membelinya. Kalau tidak membeli sekarang pasti kehabisan." Allarick sengaja berbicara dengan keras, seraya melirik Jayden yang tiba-tiba menghentikan suapannya.

Richard dan Gwen saling pandang, sepertinya mereka tahu tujuan Allarick sebenarnya. Begitupun dengan Elleza, ia bahkan yakin kalau sebenarnya Allarick hanya berpura-pura bertelepon.

Setelah kembali meletakkan ponsel, Allarick tersenyum miring. Ia menolehkan kepala, dan mendapati Jayden sedang menatapnya dengan puppy eyes yang dibuat semenggemaskan mungkin.

"Uncle, aku mau kok di ajak ke sana? Auncle pasti butuh teman kan?" tanya Jayden dengan mata berkedip lucu.

Allarick menautkan alis. "Tidak. Uncle tidak butuh teman lagi, kan uncle ke sana dengan aunty Elle." Jawaban Allarick itu membuat Elleza melotot seketika. Apa-apaan ini, dia yang membuat masalah dengan Jayden, kenapa Elleza jadi kena imbasnya.

"Kalau kau mau ikut, tanya saja pada aunty Elle di bolehkan atau tidak," tambah Allarick.

Jayden mengangguk, memiringkan badannya lalu mendongak menatap Elleza yang memangkunya dengan jurus yang sama seperti tadi.

"My princess, aku ikut boleh kan? Aku janji tidak akan nakal," rayunya. Mau tak mau Elleza mengangguki dengan senyuman, meski dalam hati ia merutuk karena harus terjebak pergi bersama Allarick lagi.

"Setelah ini aku akan minta saham di Xaviero's, sebagai bayaran karena Allarick sudah memanfaatkan putra kita untuk mendekati Elleza." Richard berbisik pada Gwen.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status