Share

Bab 7

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2025-06-21 08:27:32

Jakarta menyambutku kembali dengan macet, deadline, dan daftar klien yang lebih panjang dari antrian diskon skincare di online shop.

Tapi, seperti biasa, aku beradaptasi dengan cepat.

Hidupku kini berputar di antara kain tulle, bunga peony, rundown pesta, dan suara klien yang minta "lebih dreamy, tapi tetap elegan, tapi juga nggak terlalu lebay".

Yes, dunia Wedding Organizer memang nggak pernah santai. Apalagi, setelah momen Bandung kemarin—yang entah kenapa, masih nyangkut sedikit di kepalaku—aku memutuskan untuk kembali fokus ke kerjaan. Dan kerjaan kali ini datang dengan level chaos dewa.

Tantangan terbaruku? Satu nama, Inaya.

Yup. Si Inaya. Artis top, ikon kecantikan, langganan endorsement skincare, langganan fashion show Paris. Dan sekarang, dia menikah… dengan seorang konglomerat batu bara Kalimantan. Menikah bukan sehari, bukan dua hari, tapi tujuh hari tujuh malam.

Kalau biasanya client ngomong, “Aku pengin pernikahannya intimate dan bermakna”, Inaya bilang, “Aku pengin semua orang di Asia Tenggara tahu aku menikah.”

Jika di tanya capek apa gak? Akan kujawab, iya. Apa semua tantangan ini menarik? Banget.

Hari pertama, lamaran formal.

Hari kedua, siraman.

Hari ketiga, pengajian dan malam Midodareni.

Hari keempat, akad nikah.

Hari kelima, resepsi glamor di ballroom bintang lima.

Hari keenam, pesta privat di villa Puncak.

Hari ketujuh, pesta adat, lalu after party ala konser Coachella.

Dan siapa yang dipercaya mengatur semuanya? Irene Handoyo, aku. Calon wanita tersibuk se-Indonesia Raya.

Aku bangun jam lima pagi, tidur jam dua dini hari. Ngurus vendor, ngatur layout, ngecek undangan digital, hingga mikirin posisi lilin aromaterapi di kamar pengantin. Setiap hari seperti marathon tanpa garis finish, bahkan aku lupa dengan kaki keseleo kemarin.

"Jangan mati dulu ya, Ren," bisikku ke wajah sendiri yang kusam di cermin, malam hari kelima. "Pesta masih dua hari lagi. Selesai ini lo boleh tumbang."

Kenyataannya, hari ketujuh datang kayak badai. Hujan turun di tengah prosesi adat, MC sakit tenggorokan, dan tiba-tiba sound system error. Aku berdiri di tengah venue dengan jas hujan transparan dan rambut berantakan, mengatur semuanya sambil minum kopi dingin dari gelas plastik.

Di antara keribetan itu, aku merasa kepala mulai ringan. Dunia seperti bergoyang pelan. Suara jadi bergema. Aku jalan ke belakang panggung dekorasi buat ambil napas, tapi kaki malah limbung, dan semua teras mulai memudar.

Tapi, sebelum kesadaranku hilang, ada suara berat yang kudengar samar. "Irene!"

Aku merasa tubuhku ditopang seseorang. Tangan hangat menggenggamku. Napas di dekat telingaku.

"Ren, bangun! Astaga…"

Aku berusaha membuka mata. Samar-samar kulihat wajah itu. Wajah yang sudah lama tidak muncul, 3 Minggu mungkin, tapi tetap jelas dalam memoriku.

Gasan.

Kenapa dia di sini?

"Lo… ngapain?" gumamku pelan, bahkan untuk bicara pun aku lemas.

Dia tersenyum miring, suara khasnya tetap terdengar menyebalkan dan entah kenapa, menenangkan.

"Semesta suruh gue nyusul lo, kali."

Aku nyengir tipis meski wajahku pucat. "Semesta emang kurang kerjaan," gumamku sebelum semua berubah gelap.

***

Entah berapa lama aku terlelap, tapi begitu mataku terbuka yang pertama kulihat adalah langit-langit villa dengan ukiran kayu khas Jawa yang megah.

Yang kedua? Suara kipas angin menderu pelan dan aroma lavender dari diffuser di pojok ruangan. Lembut dan menenangkan.

Dan yang ketiga?

Suara sendok beradu dengan cangkir. Lalu, siluet seseorang duduk di kursi samping ranjangku. Membaca buku, dengan kemeja lengan digulung dan rambut sedikit berantakan.

"Akhirnya, bangun juga. Gue kira lo koma sampe gala dinner ulang tahun gue tahun depan," katanya tanpa menoleh, suaranya santai.

Aku meringis. "Kenapa lo ada di sini?"

"Karena lo pingsan di antara vendor sound system dan bridal bouquet, dan manajer lo panik bukan main," jawabnya, kini menoleh dan menyodorkan gelas kecil. "Minum ini dulu. Jahe madu. Katanya lo kedinginan."

Aku menerimanya tanpa protes. Tenggorokanku terasa kering dan hangatnya jahe langsung menyebar di tubuh.

"Lo nyelamatin gue?"

Gasan mengangkat bahu. "Enggak juga. Gue cuma lewat pas lo jatuh kayak video slow motion."

Aku mencibir lemah. "Lo romantis banget, sumpah."

Dia tertawa. "Gue udah tau lo bakal bilang gitu."

Sejenak hening. Hanya suara alam dari jendela terbuka, angin, gesekan daun, dan suara burung kecil di kejauhan.

"Gue kangen lo, Ren." Suara Gasan pelan, tapi jelas.

Aku menoleh pelan, menatap matanya yang untuk pertama kalinya—tidak berisi godaan atau sarkasme. Hanya kejujuran.

"Gue kira, lo sibuk nyari cewek lain buat diajak nikah dadakan lagi."

Gasan nyengir. "Udah nyoba. Nggak ada yang bisa bikin gue kesel dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan, selain lo."

Aku menghela napas panjang. Lelahku belum hilang, tapi ada bagian dalam diriku yang tiba-tiba terasa ringan. Mungkin karena jahe, mungkin juga karena dia.

Atau mungkin karena semesta memang punya cara aneh untuk mempertemukan dua orang dengan cara paling tidak wajar.

"Gasan," bisikku.

"Hmm?"

"Lo tinggal di sini buat nemenin gue sembuh, atau sekalian ngelamar lagi?"

Dia tertawa, keras, dan lepas. "Gue bawa jas lagi, Ren. Siapa tau lo berubah pikiran."

Aku cuma bisa menutup wajah dengan bantal. "Dasar manusia nggak kapok."

Tapi, diam-diam aku tersenyum.

Kami masih dalam diam beberapa saat. Gasan duduk di lantai, bersandar ke sisi kursiku, sementara aku tetap memeluk cangkir teh yang sekarang udah nggak hangat lagi. Udara di luar makin dingin, dan langit mulai bergradasi jingga.

“Dulu,” kataku pelan, “gue pernah mikir, kalau gue kerja sekeras-kerasnya, capek-capek banget, sampai nggak ada waktu buat ngerasa sedih, mungkin hidup akan terasa lebih gampang.”

Gasan menoleh, alisnya sedikit naik.

“Terus?” tanyanya.

Aku mengangkat bahu. “Ternyata capek itu nggak bisa nutupin sepi. Malah kadang makin kerasa.”

Gasan nggak langsung jawab. Dia cuma menarik napas panjang dan ikut menatap ke langit.

“Lo pernah ngerasa sendirian banget?” tanyaku, kali ini lebih lirih. “Kayak semua orang ngira lo kuat, padahal lo cuma lagi gak punya pilihan lain selain terus jalan?”

“Sering,” jawab Gasan singkat. “Apalagi, jadi kakak sulung, anak harapan keluarga. Lo kira enak?”

Aku menoleh padanya.

“Gue juga pernah di posisi lo. Ngerasa harus tanggung semuanya. Sampai lupa caranya nangis.”

Aku tertawa kecil. “Gue kira cowok gak nangis.”

“Gue gak bilang gak bisa. Gue bilang lupa.”

Kami saling menatap, dan untuk pertama kalinya, aku merasa tenang. Nggak harus jadi kuat, nggak harus nyembunyiin lelah. Hanya duduk dan didengar. Itu aja udah cukup.

“Apa yang lo lakuin pas ngerasa kayak gitu?” tanyaku.

Gasan tersenyum, lalu berdiri. Dia mengambil cangkir tehku dan pergi sebentar ke dapur villa. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan dua cangkir teh hangat dan sebungkus wafer coklat.

“Gue bikin teh, terus gue makan manis,” katanya sambil duduk di kursinya sendiri. “Terus, biasanya gue tontonin video kucing di I*******m.”

Aku ngakak. “Serius?”

“Serius. Kucing gemuk loncat gagal itu healing banget, Ren.”

Kami tertawa bersama, dan itu tawa pertama yang keluar dari mulutku hari ini tanpa dipaksakan. Rasanya ringan.

“Gue suka lo yang gini,” kata Gasan tiba-tiba. “Yang lelah, tapi tetap ada. Yang bisa nangis, tapi nggak drama. Yang manusia.”

Aku diam, tapi hatiku seperti menoleh ke arahnya.

Dan mungkin, hanya mungkin… aku nggak sekuat itu. Tapi, selama ada seseorang yang tetap di situ saat aku rapuh, mungkin aku nggak harus pura-pura kuat terus-terusan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 16

    Jadi, aku hanya mengangguk tipis, “Noted,” jawabku singkat, mencoba menunjukkan ketegasan meski hati masih berdebar-debar.Kututup pintu, berjalan cepat ke lobi apartemen tanpa menoleh lagi. Langkahku terburu-buru, tetapi degup jantungku belum tenang. Rasanya ada sesuatu yang belum terselesaikan.Yang paling menyebalkan? Aku tidak tahu apakah itu karena kesal. Atau, karena kangen juga. Sebuah kemungkinan yang membuatku bingung.***Paginya, aku bangun dengan kepala pening dan punggung pegal. Tidurku tidak nyenyak, efek dari drama mobil mogok malam kemarin, Gasan yang muncul seperti iklan asuransi mendadak, dan ucapan “Gue kangen” yang masih berputar-putar di kepala.Begitu aku keluar kamar dengan niat mencari kopi, yang kutemui adalah adikku.“Pras! Itu telur siapa yang lo goreng sampai gosong begini?” Suaraku terdengar tajam, menunjukkan rasa kesalku.Adikku yang brengsek itu lagi duduk santai di kursi bar dengan hoodie setengah jatuh, main game di HP sambil nendang-nendang kursi. Di

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 15

    “Irene?” Suaranya samar seperti desiran angin malam, tetapi cukup membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Rasanya seperti baru saja disambar petir—cepat, tak terduga, dan sedikit menyakitkan. Aku merasa terpaku di tempat, kaku seperti patung yang tercengang.Dia mendekat, dengan gaya cool-nya yang khas, payungnya melindungi kita berdua dari gerimis yang mulai turun. “Lo ngapain di sini? Mobil lo mogok?” Suaranya tenang, tetapi ada seutas kekhawatiran yang tersembunyi di balik kata-katanya.Aku menelan ludah, enggan mengakui kelemahanku. Tapi, kenyataan memaksa aku untuk meletakkan egoku sementara.“Yes! Dan sialnya lagi, handphone gue mati. Dan gue kedinginan. Dan lo, jangan berdiri di situ kayak pangeran Disney, bikin semuanya makin absurd.” Aku berusaha terdengar tegas, tapi nada suaraku bergetar karena campuran kedinginan dan rasa frustasi.Dia terkekeh pelan, suaranya seperti selimut hangat di malam yang dingin. "Pangeran Disney? Yang mana? Yang ninggalin cewek abis jam dua b

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 14

    Nia menyeringai, sudut bibirnya terangkat sebelah, seraya menyambar satu keripik lagi. Matanya menyipit, penuh arti. “Atau jangan-jangan bukan semesta, tapi hati kalian emang harus disatukan, Mbak.” Nada bicaranya terdengar mengejek, tapi di balik itu tersirat sedikit kekhawatiran.Aku melotot, jari telunjuk menunjuk ke arahnya. “Please deh, jangan sok jadi motivator TikTok!” Aku menekankan kata, tubuh sedikit condong ke depan, menunjukkan kekesalanku yang tak tertahankan.Nia tertawa lepas, suaranya nyaring, menggelegar di ruangan. “Mbak Irene Handoyo si perfeksionis, baru aja suaranya gemetar kayak wifi lagi buffering,” katanya sambil menahan tawa, bahunya bergetar.Aku mendesah, kepala menggeleng pelan. Oke, mungkin dia benar. Aku mengusap wajahku, merasa frustrasi.“Apaan, sih? Gue cuma lagi kesel aja. Baru juga hidup gue mulai stabil, kerjaan lancar, klien kalem, eh tiba-tiba lo malah bilang tentang dia lagi." Aku mengepalkan tangan, menunjukkan betapa besar kekesalanku.Nia memi

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 13

    "Deg-degan ya, Mbak," bisik Nia sambil merapikan map di pangkuannya."Gue lebih deg-degan, kalau Ibu tiba-tiba nelpon gue lagi," balasku, sambil menekan bel dan menarik napas.Siang ini, aku dan Nia baru aja sampai di sebuah rumah besar bercat putih krem di kawasan Menteng. Taman depannya luas, ada patung-patung kecil bergaya klasik, dan pagar otomatis yang bikin kami ngerasa kayak mau meeting sama klien dari kerajaan Inggris. Tapi, nggak. Ini rumah Bu Nirmala, klien kaya raya yang akan menikahkan anaknya bulan depan.Yang buka pintu adalah seorang perempuan paruh baya bersanggul rapi dengan senyum tipis. "Silakan masuk, Mbak Irene, Mbak Nia. Ibu Nirmala sudah menunggu."Kami lalu dibawa masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu yang dinginnya bisa nyimpen es krim. Tak lama, Bu Nirmala muncul bersama sepasang muda-mudi, anak perempuannya, Kania, dan calon suaminya. Kania tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kulot, sementara Andra memakai batik dan ekspresinya agak kaku—miri

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 12

    Aku hampir pura-pura jadi orang lain. Tapi, ya sudahlah. Aku maju, pelan-pelan, sambil berharap bumi terbuka dan menelanku sebelum aku sampai di hadapannya.“Hai, aku Dio,” katanya dengan senyum super percaya diri. “Tadi, Ibu kamu bilang kamu suka bunga, jadi aku beliin yang paling gede. Katanya cewek suka yang heboh-heboh.”Aku nyengir kaku. “Heboh, sih. Tapi, ini udah kayak mau grand opening supermarket.”Aku melirik sekitar, dan saat itu juga aku melihat beberapa staf di dalam kantor udah mulai ngintip dari balik tirai, beberapa bahkan ngerekam. Satu orang, sumpah demi kopi tubruk, kedengaran bicara, “MBAK iRENE DILAMAR KAYAKNYA!”Sialnya, pria di depanku mendengar hingga bibirnya mengulas senyum begitu lebar. “Aku antar kamu pulang, ya? Biar sekalian kita ngobrol-ngobrol. Aku udah siapin topik!”Aku menatap buket di tangannya, lalu menatap wajahnya yang mirip Reza versi fanmade. Dan untuk sesaat, aku serius mempertimbangkan pindah domisili ke luar negeri.Dengan sangat terpaksa ak

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 11

    Begitu pintu apartemen tertutup, aku langsung melempar tas ke sofa dan berdiri di tengah ruang tamu sambil menghela napas panjang. Pras yang lagi duduk di lantai sambil main game cuma melirik sekilas.“Dapet pencerahan dari calon suami masa depan?” tanyanya tanpa niat membantu.“Dia manggil gue Ma Irene,” jawabku datar.Pras tertawa sampai miring. “Wah, mantap, tuh. Udah kayak ratu kerajaan Majapahit.”Aku mengabaikan dia dan langsung ambil ponsel. Ku-dial nomor Ibu dengan tak sabar. Begitu tersambung, suara Ibu terdengar ceria banget. “Gimanaaa? Seru, kan? Alvino itu anaknya baik banget loh, rajin ngurus tanaman, suka olahraga--"“Bu!” potongku cepat. “Dia bawa foto bonsai ke kafe dan ngajak aku ke rumah buat kenalan sama bonsai dari Jepang yang namanya Katsuro!”“Bukannya kamu suka tanaman, Ren? bagus, dong. Kalian cocok," kata beliau dengan gampangnya.Aku ingin menangis sekarang. “Tapi, aku sukanya tanaman mati dalam pot kecil, bukan bonsai harga ratusan juta! Dan satu lagi, Bu. D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status