Jakarta menyambutku kembali dengan macet, deadline, dan daftar klien yang lebih panjang dari antrian diskon skincare di online shop.
Tapi, seperti biasa, aku beradaptasi dengan cepat. Hidupku kini berputar di antara kain tulle, bunga peony, rundown pesta, dan suara klien yang minta "lebih dreamy, tapi tetap elegan, tapi juga nggak terlalu lebay". Yes, dunia Wedding Organizer memang nggak pernah santai. Apalagi, setelah momen Bandung kemarin—yang entah kenapa, masih nyangkut sedikit di kepalaku—aku memutuskan untuk kembali fokus ke kerjaan. Dan kerjaan kali ini datang dengan level chaos dewa. Tantangan terbaruku? Satu nama, Inaya. Yup. Si Inaya. Artis top, ikon kecantikan, langganan endorsement skincare, langganan fashion show Paris. Dan sekarang, dia menikah… dengan seorang konglomerat batu bara Kalimantan. Menikah bukan sehari, bukan dua hari, tapi tujuh hari tujuh malam. Kalau biasanya client ngomong, “Aku pengin pernikahannya intimate dan bermakna”, Inaya bilang, “Aku pengin semua orang di Asia Tenggara tahu aku menikah.” Jika di tanya capek apa gak? Akan kujawab, iya. Apa semua tantangan ini menarik? Banget. Hari pertama, lamaran formal. Hari kedua, siraman. Hari ketiga, pengajian dan malam Midodareni. Hari keempat, akad nikah. Hari kelima, resepsi glamor di ballroom bintang lima. Hari keenam, pesta privat di villa Puncak. Hari ketujuh, pesta adat, lalu after party ala konser Coachella. Dan siapa yang dipercaya mengatur semuanya? Irene Handoyo, aku. Calon wanita tersibuk se-Indonesia Raya. Aku bangun jam lima pagi, tidur jam dua dini hari. Ngurus vendor, ngatur layout, ngecek undangan digital, hingga mikirin posisi lilin aromaterapi di kamar pengantin. Setiap hari seperti marathon tanpa garis finish, bahkan aku lupa dengan kaki keseleo kemarin. "Jangan mati dulu ya, Ren," bisikku ke wajah sendiri yang kusam di cermin, malam hari kelima. "Pesta masih dua hari lagi. Selesai ini lo boleh tumbang." Kenyataannya, hari ketujuh datang kayak badai. Hujan turun di tengah prosesi adat, MC sakit tenggorokan, dan tiba-tiba sound system error. Aku berdiri di tengah venue dengan jas hujan transparan dan rambut berantakan, mengatur semuanya sambil minum kopi dingin dari gelas plastik. Di antara keribetan itu, aku merasa kepala mulai ringan. Dunia seperti bergoyang pelan. Suara jadi bergema. Aku jalan ke belakang panggung dekorasi buat ambil napas, tapi kaki malah limbung, dan semua teras mulai memudar. Tapi, sebelum kesadaranku hilang, ada suara berat yang kudengar samar. "Irene!" Aku merasa tubuhku ditopang seseorang. Tangan hangat menggenggamku. Napas di dekat telingaku. "Ren, bangun! Astaga…" Aku berusaha membuka mata. Samar-samar kulihat wajah itu. Wajah yang sudah lama tidak muncul, 3 Minggu mungkin, tapi tetap jelas dalam memoriku. Gasan. Kenapa dia di sini? "Lo… ngapain?" gumamku pelan, bahkan untuk bicara pun aku lemas. Dia tersenyum miring, suara khasnya tetap terdengar menyebalkan dan entah kenapa, menenangkan. "Semesta suruh gue nyusul lo, kali." Aku nyengir tipis meski wajahku pucat. "Semesta emang kurang kerjaan," gumamku sebelum semua berubah gelap. *** Entah berapa lama aku terlelap, tapi begitu mataku terbuka yang pertama kulihat adalah langit-langit villa dengan ukiran kayu khas Jawa yang megah. Yang kedua? Suara kipas angin menderu pelan dan aroma lavender dari diffuser di pojok ruangan. Lembut dan menenangkan. Dan yang ketiga? Suara sendok beradu dengan cangkir. Lalu, siluet seseorang duduk di kursi samping ranjangku. Membaca buku, dengan kemeja lengan digulung dan rambut sedikit berantakan. "Akhirnya, bangun juga. Gue kira lo koma sampe gala dinner ulang tahun gue tahun depan," katanya tanpa menoleh, suaranya santai. Aku meringis. "Kenapa lo ada di sini?" "Karena lo pingsan di antara vendor sound system dan bridal bouquet, dan manajer lo panik bukan main," jawabnya, kini menoleh dan menyodorkan gelas kecil. "Minum ini dulu. Jahe madu. Katanya lo kedinginan." Aku menerimanya tanpa protes. Tenggorokanku terasa kering dan hangatnya jahe langsung menyebar di tubuh. "Lo nyelamatin gue?" Gasan mengangkat bahu. "Enggak juga. Gue cuma lewat pas lo jatuh kayak video slow motion." Aku mencibir lemah. "Lo romantis banget, sumpah." Dia tertawa. "Gue udah tau lo bakal bilang gitu." Sejenak hening. Hanya suara alam dari jendela terbuka, angin, gesekan daun, dan suara burung kecil di kejauhan. "Gue kangen lo, Ren." Suara Gasan pelan, tapi jelas. Aku menoleh pelan, menatap matanya yang untuk pertama kalinya—tidak berisi godaan atau sarkasme. Hanya kejujuran. "Gue kira, lo sibuk nyari cewek lain buat diajak nikah dadakan lagi." Gasan nyengir. "Udah nyoba. Nggak ada yang bisa bikin gue kesel dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan, selain lo." Aku menghela napas panjang. Lelahku belum hilang, tapi ada bagian dalam diriku yang tiba-tiba terasa ringan. Mungkin karena jahe, mungkin juga karena dia. Atau mungkin karena semesta memang punya cara aneh untuk mempertemukan dua orang dengan cara paling tidak wajar. "Gasan," bisikku. "Hmm?" "Lo tinggal di sini buat nemenin gue sembuh, atau sekalian ngelamar lagi?" Dia tertawa, keras, dan lepas. "Gue bawa jas lagi, Ren. Siapa tau lo berubah pikiran." Aku cuma bisa menutup wajah dengan bantal. "Dasar manusia nggak kapok." Tapi, diam-diam aku tersenyum. Kami masih dalam diam beberapa saat. Gasan duduk di lantai, bersandar ke sisi kursiku, sementara aku tetap memeluk cangkir teh yang sekarang udah nggak hangat lagi. Udara di luar makin dingin, dan langit mulai bergradasi jingga. “Dulu,” kataku pelan, “gue pernah mikir, kalau gue kerja sekeras-kerasnya, capek-capek banget, sampai nggak ada waktu buat ngerasa sedih, mungkin hidup akan terasa lebih gampang.” Gasan menoleh, alisnya sedikit naik. “Terus?” tanyanya. Aku mengangkat bahu. “Ternyata capek itu nggak bisa nutupin sepi. Malah kadang makin kerasa.” Gasan nggak langsung jawab. Dia cuma menarik napas panjang dan ikut menatap ke langit. “Lo pernah ngerasa sendirian banget?” tanyaku, kali ini lebih lirih. “Kayak semua orang ngira lo kuat, padahal lo cuma lagi gak punya pilihan lain selain terus jalan?” “Sering,” jawab Gasan singkat. “Apalagi, jadi kakak sulung, anak harapan keluarga. Lo kira enak?” Aku menoleh padanya. “Gue juga pernah di posisi lo. Ngerasa harus tanggung semuanya. Sampai lupa caranya nangis.” Aku tertawa kecil. “Gue kira cowok gak nangis.” “Gue gak bilang gak bisa. Gue bilang lupa.” Kami saling menatap, dan untuk pertama kalinya, aku merasa tenang. Nggak harus jadi kuat, nggak harus nyembunyiin lelah. Hanya duduk dan didengar. Itu aja udah cukup. “Apa yang lo lakuin pas ngerasa kayak gitu?” tanyaku. Gasan tersenyum, lalu berdiri. Dia mengambil cangkir tehku dan pergi sebentar ke dapur villa. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan dua cangkir teh hangat dan sebungkus wafer coklat. “Gue bikin teh, terus gue makan manis,” katanya sambil duduk di kursinya sendiri. “Terus, biasanya gue tontonin video kucing di I*******m.” Aku ngakak. “Serius?” “Serius. Kucing gemuk loncat gagal itu healing banget, Ren.” Kami tertawa bersama, dan itu tawa pertama yang keluar dari mulutku hari ini tanpa dipaksakan. Rasanya ringan. “Gue suka lo yang gini,” kata Gasan tiba-tiba. “Yang lelah, tapi tetap ada. Yang bisa nangis, tapi nggak drama. Yang manusia.” Aku diam, tapi hatiku seperti menoleh ke arahnya. Dan mungkin, hanya mungkin… aku nggak sekuat itu. Tapi, selama ada seseorang yang tetap di situ saat aku rapuh, mungkin aku nggak harus pura-pura kuat terus-terusan.“Aduh, itu minyaknya buat dua wajan, bukan satu!” sahut Nino dari ruang makan sambil ketawa ngakak.“Aku cuma disuruh jagain! Bukan disuruh jadi chef!” seru Rara, panik sambil kipas-kipas asap.Aku yang baru buka pintu kamar langsung mengernyit. “Ya ampun, kalian bikin villa ini kayak ajang MasterChef edisi gagal.”“Pagi juga, Bos,” sahut Nia, muncul dari arah luar sambil bawa kopi. “Mau teh, kopi, atau dengerin Pras ngamuk-ngamuk sambil masak?”“Aku pilih kopi dan sedikit drama,” jawabku nyengir.Pras melongok dari dapur, nenteng spatula seperti senjata. “Lo tau nggak, Mbak Ren, gue cuma mau bikin telur orak-arik. Tapi, nih bocah-bocah kayaknya lagi bikin bencana nasional!”Aku tertawa keras, lalu berbalik masuk dapur. Aroma mentega dan roti panggang langsung menyambut, bercampur dengan pemandangan yang jujur saja membuat hatiku menghangat dalam sekejap.Gasan berdiri di dekat kompor, mengenakan celemek pinjaman yang jelas terlalu besar untuk tubuhnya. Salah satu talinya bahkan nyari
Permainan selesai dengan tawa yang masih bersisa, terutama karena Nino dipaksa nyanyi dangdut di atas meja makan. Satu per satu akhirnya bubar. Namun, ada yang lanjut karaoke, ada juga yang udah ngorok di bean bag.Aku sendiri memilih keluar sebentar ke teras belakang, jujur aku butuh udara. Udara dingin Lembang langsung menyapa, membuat pipiku memerah. Aku menarik hoodie lebih rapat sambil menatap kolam renang yang berkilat kena lampu taman.Nggak lama, suara pintu geser terdengar. Aku menoleh, dan tentu saja dia.“Boleh ikut?” suara Gasan pelan, senyum tipis di wajahnya.Aku cuma mengangguk, pura-pura sibuk meniup uap dari gelas cokelat panas. Padahal, jantungku udah ribut sendiri.Dia duduk di kursi sebelahku, sengaja agak dekat. “Dingin nggak?” tanyanya.“Lumayan,” jawabku singkat.Tanpa banyak kata, dia buka hoodie yang dipakainya dan menaruh di bahuku. Refleks aku protes, “Eh, lo sendiri nanti kedinginan!”Gasan hanya nyengir. “Nggak papa. Gue bukan Dilan yang akan membiarkan pa
"Gue kasih sempaknya Patrick!""Dih, najis!" teriak kami semua.***Hari H.Jam tujuh pagi kami udah kumpul di halaman kantor. Beberapa bawa bantal leher, beberapa lain bawa roti sobek isi sosis buat sarapan dadakan. Cuaca cerah, dan suasana penuh tawa.“Guys, udah siap jadi rombongan paling heboh di Lembang?” teriak Nino dari jendela mobil.“YEAAAH!” semua sahut kompak, disusul klakson panjang dari Nia yang nyetir di mobil depan.Perjalanan dimulai. Sepanjang jalan tol, mobil penuh dengan obrolan, nyanyi bareng lagu 90-an, dan jokes receh yang bikin perut keram. Di satu titik, playlist masuk ke lagu nostalgia boyband dan Nino langsung nyanyi falsetto, disambut gelak tawa satu mobil.Sementara itu, aku duduk di bangku tengah, kepala bersandar ke jendela, sesekali melihat ke luar dan tersenyum kecil. Rasanya udah lama nggak selega ini.Menjelang siang, kami sampai di villa. Udara Lembang yang sejuk langsung menyambut, dan suara jangkrik samar-samar jadi backsound alami.“Gue klaim kama
“Oke. Gini aja. Rendi, kamu tetap siapin plan B buat dekor baru. Pakai furnitur besi dan kayu, lighting-nya kita upgrade biar tetap hangat. Anya, kontak vendor tanaman buat opsi kaktus mini dan sukulen, kalau dia mau yang hidup tapi tetap cocok dengan industrial vibe. Nia, bantu sounding ke klien, dan bilang kita akan kasih mockup visual dalam 48 jam.” Nia langsung mengacungkan jempol. “Siap, Jenderal.” Rendi dan Anya saling pandang, lalu mengangguk. “Oke, kita gerak sekarang.” Saat mereka keluar dari ruangan, aku sempat mendengar Nia berbisik, “Gila ya, tuh orang, baru habis ‘perang dunia’, tapi otaknya tetap nyala.” Aku cuma tersenyum kecil dan mengetuk meja pelan, mencoba mengembalikan fokus. Dunia kerja nggak pernah nunggu mood kita stabil. Tapi, justru di tengah riuh inilah, aku merasa masih berfungsi. Dan untuk hari ini, itu cukup. Pantry sore itu sepi. Hanya ada suara mesin kopi yang bergemuruh dan denting sendok dari cangkir yang baru saja kuseduh. Aku berdiri menyandar d
Bukan Rio.“Ya, saya sendiri. Ini siapa ya?”“Aku Rino. Adiknya Rio.”Aku terdiam. Nama itu samar-samar pernah disebut, tapi aku belum pernah benar-benar berinteraksi dengannya. Bahkan, waktu aku dan Rio masih bersama, dia lebih sering cerita soal keluarganya yang lain.“Maaf ganggu malam-malam. Tapi, aku pikir kamu harus tahu.”“Harus tahu apa?”“Bang Rio, dia udah beberapa kali nemenin ayah Mbak Irene kontrol, iya. Tapi, dia juga udah mulai sering tidur di rumah sakit. Bahkan, kemarin dia batal operasi karena nungguin ayah Mbak.”Deg.Aku menggigit bibir bawah. “Maksud kamu?”“Aku gak tahu pasti apa yang dia rencanakan. Tapi, aku rasa dia gak sepenuhnya lepasin kamu, Mbak. Dan, kalau kamu sekarang dekat sama orang lain, kamu harus hati-hati. Bukan, karena Bang Rio jahat, melainkan karena dia masih nganggep Mbak adalah satu-satunya penyesalan yang gak bisa dia perbaiki.”Aku menutup mata. Napasku sedikit tertahan.“Terima kasih sudah ngasih tahu,” kataku pelan. “Tapi, Rio tahu kamu h
“WOY, CEO kesayangan bangsa! Dicari ke mana-mana, ternyata malah gumpet di sini!”Aku menoleh, terkejut dengan kedatangan tiga laki-laki masuk ke dalam carlfe sambil bercanda. Aku mengenali mereka sebagai Devan, Lingga, dan Fadil.Gasan mendesah kecil sambil nyengir, lalu berdiri, salaman ala sahabat yang sudah lama tak bertemu. “Gue pikir kalian masih di coworking space!”“Kita udah selesai dari tadi, terus Dion bilang lo ngilang. Ya kita ikutin jejak digital lo, dong,” jawab si Gavin sambil menunjuk ponselnya.Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa kikuk. Gasan melirik ke arahku, lalu kembali ke teman-temannya. “Ren, lo masih inget sama mereka, kan?"Tiba-tiba dunia jadi sunyi sejenak. Tiga pasang mata langsung pindah fokus ke aku. Fadil langsung menyikut Gasan pelan.“Loh, cewek lo ganti sekarang, Gas?”“Yang mana?” sahut Gasan cepat, terlihat takut. "Lo jangan bikin huru-hara, deh!"“Oh, apa gue yang salah?” gumam si Fadil.Aku menahan tawa. “Tenang aja. Gue gak tahu kal