LOGINTempat itu terlalu cantik untuk disebut “lokasi survei”.
Villa semi-terbuka di kawasan Puncak, dengan kebun lavender yang dirawat rapi dan air mancur kecil di tengah taman. Udara pagi masih dingin dan wangi rumput basah menenangkan kepala yang semalam dipenuhi tumpukan moodboard. Aku melirik jam. 08.43. Klien minta ketemu pukul 09.00. Masih ada waktu buat ngatur napas dan ngopi sebentar. Baru saja aku hendak melangkah ke teras utama, suara ibu-ibu ramah menyambutku duluan. “Mbak Irene, ya? Wah, cantik banget! Saya Gelora," katanya. Dia lalu memperkenalkan satu gadis di sampingnya dengan ramah. "Ini anak saya, Dini. Dia udah cerita soal Mbak. Katanya suka banget sama tema wedding milik Mbak Irene.” Aku tersenyum, mengangguk pada mereka. “Wah, terima kasih, Bu, Mbak Dini. Saya senang jika banyak yang suka dengan konsep wedding milik kami." Bu Gelora menepuk tanganku pelan, semangat. “Dini bilang, katanya dia mau pakai WO Mbak Irene, kalau nikah besok. Boleh, kan?" "Tentu, Bu. Saya menunggu kedatangan Ibu dan Mbak Dini," jawabku ramah. "Oh, iya, Mbak Irene kenal sama Gasan Ishaaq. Dia masih keluarga saya, lho." Deg. Aku membeku di tempat. Bu Gelora masih lanjut cerita soal resepsi impiannya, tapi suaranya mulai memudar seperti radio yang sengaja dipelankan. Gasan. Of course. Karena semesta nggak pernah puas menyodorkan laki-laki itu tepat di tengah hidupku tiap kali aku mulai waras. Seolah belum cukup membuatku membeku, tiba-tiba langkah kaki menuruni anak tangga kayu membuatku otomatis menoleh. Dan di sanalah dia. Dengan kemeja abu-abu yang digulung santai sampai siku, sneakers putih, dan tatapan yang—sial—langsung nyantol ke mataku dalam waktu kurang dari satu detik. “Irene?” Nama itu keluar dari bibirnya, pelan, seperti semacam bisikan yang tertahan. Aku tersenyum. Tipis. Nyaris profesional. “Hai.” Gasan menuruni dua anak tangga terakhir, berdiri cukup dekat untuk bisa mencium parfumnya. Masih sama. Aromanya menyebalkan dalam cara yang anehnya bikin kangen. “Ini... surprise.” Nada suaranya agak serak. Aku mengangguk ringan. “Kamu bagian dari keluarga calon mempelai?” “Sahabat tunangannya. Kita udah temenan dari zaman kuliah. Dia sempat bilang lo yang pegang WO-nya, tapi gue pikir cuma nama aja yang mirip.” “Ya, ternyata bukan.” Aku mencoba tertawa. Kaku. “Dunia kecil, ya?” Gasan masih menatapku, dalam. Dengan ekspresi yang seolah-olah dia punya tiga ratus pertanyaan, tapi nggak bisa nanya satu pun. “Gimana lo kabarnya?” Akhirnya dia bertanya lagi. Aku mengangkat bahu. “Baik. Sibuk seperti biasa. Lo?” “Berusaha tetap hidup,” jawabnya, masih dengan mata yang nggak lepas dari aku. “Wah, jawabannya berat juga, ya.” Aku mengalihkan pandang ke arah taman, lalu balik lagi ke Bu Gelora yang sedang menjelaskan venue flow ke asistennya. “Kita kerja dulu, ya.” Gasan tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di balik senyuman itu. Seperti kecewa, seperti lega, seperti, ya, aku juga nggak tahu. Dan saat aku mulai berjalan menuju area presentasi, dia bersuara lagi. Pelan, tapi cukup jelas untuk kudengar. "Nanti, bisa sempatin buat ngobrol sebentar? Nggak lama, kok.” Aku berhenti. Diam sejenak, lalu menoleh setengah badan, dengan nada datar yang kutata serapi mungkin. “Lihat nanti aja, itu pun kalau sempat.” *** Selesai sudah. Meeting berjalan mulus, Bu Nirmala juga kerabatanya terlihat puas, dan kedua calon pengantin terlihat tak kalah antusias. Aku pun bersyukur. Rasanya, aku ingin cepat-cepat balik ke Jakarta, mandi air hangat, dan membenamkan wajah ke bantal empuk sambil menyetel playlist jazz kesayangan. Tapi, hidup kadang suka bercanda. Pertama, hujan deras turun mendadak. Tanpa aba-aba, sedangkan payungku? Ketinggalan di mobil. Kedua, saat aku nyaris lari ke parkiran, tumit sepatu wedges-ku malah nyangkut di sela paving block dan... “Krak.” “Ya Allah...” Aku meringis ketakutan. Apalagi, saat aku melihat kondisi kakiku. Double sial. "Aish, sial banget sih gue! Kenapa juga ada acara keseleo begini? Apa di skrip ada? Atau, semesta emang lagi gak pengin gue seneng terus?" Bibirku terus menggerutu. “Irene?” Aku pikir, dia sudah pergi karena gak ada alasan lagi buat dia bertahan di sini. Tapi, tebakanku salah. Suaranya muncul begitu saja dari balik teduhan teras. Seperti biasa, aku tak butuh dua kali dengar untuk tahu siapa yang bicara di seberang sana. Dia adalah Gasan. Pria itu keluar dari bayangannya, memegang payung dan sialnya, mataku sempat terpanah oleh sosoknya yang sedang berjalan menghampiriku di bawah rintik hujan. "Apa lo baik-baik saja?” tanyanya pelan. Aku langsung menunduk, mengumpat dalam hati karena sempat tergoda olehnya. Tapi, lain di mulut lain di hati. Aku ingin mengabaikannya, tapi lidahku lebih dulu bekerja, "Lo ngapain di sini?” "Kenapa lo malah nanya balik? Lo ok gak?" Suaranya terdengar keras di antara hujan yang semakin deras, bajuku basah, dan mataku juga sempat melihat baju bagian punggung Gasan basah. Payung yang harusnya melindunginya, kini justru diteduhkan di atasku. Walau itu tak mengubah diriku yang sudah basah kuyup, tapi itu sedikit menyentil perasaanku. Tapi, aku segera menyadarkan diriku. Jika tidak, pria di depanku pasti akan besar kepala, dan aku tidak sudi. "Menurut lo? Apa gue terlihat baik-baik saja?" tanyaku sinis. "Sudahlah! Lo gak usah berpura-pura baik sama gue. Mending, sekarang lo balik dan urusi saja pekerjaan lo. Hush-hush!" Bukannya pergi, dia justru terkekeh, dan soalnya, aku justru meremas ujung celanaku. "Sayangnya, gue gak semudah itu diusir, Irene. Apalagi, saat liat cewek yang gue suka dalam kesulitan," katanya enteng. “Gue cuma disuruh nemenin Rafa, awalnya. Tapi, pas tahu lo yang jadi WOnya, gue pikir lebih baik diem aja di sini.” “Dan sekarang?” “Sekarang lo kelihatan butuh bantuan.” Aku menatapnya. “Gue gak minta tolong.” “Tapi, muka lo minta dikasihani,” ucapnya sambil nyengir. Sial. Masih bisa bikin jantungku nyesek begitu. Gasan maju selangkah. “Mau gue gendong ke mobil?” tawarnya ringan. Aku mendesis. “Gendong pala lo!” Dia tertawa, lalu berjongkok di depanku. “Kalau begitu, tumpangannya diganti. Gue jadi becak, lo duduk. Naik, Bu.” Aku geleng-geleng. Tapi, pada akhirnya aku tetap naik. Karena tumitku benar-benar tak bisa dipakai jalan, dan hujan tak kunjung reda. Di punggungnya, aku mencium samar aroma cologne yang familiar—maskulin, segar, dan sedikit bikin deg-degan. Angin hujan menerpa wajahku, dan entah kenapa, dadaku justru terasa hangat. “Dulu gue pernah mimpi, lo minta digendong ke pelaminan,” gumam Gasan, masih berjalan hati-hati di tengah hujan. “Dan sekarang lo realisasikan gendongnya, tapi versi cacat.” “Nggak apa-apa. Semua hal besar kan selalu dimulai dari versi anehnya dulu.” Aku tertawa kecil, meski wajahku masih menghadap ke arah lain, menyembunyikan rona yang pasti sudah naik ke pipi. “Irene,” ucapnya tiba-tiba, suaranya lebih serius. "Apa?” “Kita ketemu lagi gini tuh karena takdir, atau sialan?” Aku berpikir sebentar. Lalu menjawab dengan senyum tipis, “Mungkin, sial yang disetir takdir.” Dan entah kenapa, kalimat itu membuat kami berdua tertawa di tengah hujan.Hari itu sudah terasa berat sejak pagi.Mulai dari laptop yang tiba-tiba error saat presentasi, klien yang terus mengganti konsep padahal sudah H-7 acara, sampai rekan kerja yang mendadak cuti padahal hari itu seharusnya jadi hari survei lokasi. Aku bolak-balik mengatur ulang jadwal, telponan sambil makan siang seadanya—sepotong roti dan kopi dingin yang rasanya sudah seperti air cucian gelas.“Nggak bisa hari ini, Mbak. Vendor lighting-nya bilang mereka full sampai Kamis!” teriak Dita dari meja belakang.Aku menghela napas sambil berdiri, “Ya udah, hubungin Mas Haryo. Dia pernah bantu kita waktu acara di PIK. Minta dia pasang backup plan!”Dita mengangguk cepat, lalu kembali mengetik sambil nyemil keripik.“Mbak Ren, klien yang akadnya minggu depan minta tambahan photobooth lagi. Bisa dimasukin ke budget nggak?” tanya Cindy, buru-buru menghampiri dengan iPad di tangan.Aku menjawab sambil berjalan ke printer, “Masukin dulu aja, bilangin mereka itu add-on. Kita kirim revisi invoice ma
Lima tahun kemudian.Pagi itu terasa berbeda, tapi juga akrab. Rumah kami tak lagi dipenuhi suara tangis bayi atau drama begadang tengah malam. Aluna dan Aksa—yang sekarang sudah lima tahun—sedang bersiap ke sekolah PAUD, dibantu oleh dua nenek yang, meskipun sering cekcok kecil soal siapa yang lebih jago dandanin cucu, selalu kompak saat berangkat bareng.Gasan sudah rapi dengan setelan kerjanya, sambil memeluk anak-anak sebelum mereka pergi. “Good luck main dan belajar, ya! Jangan berantem rebutan pensil lagi!”Aksa mengangguk polos, sementara Aluna malah balas, “Tapi, kalo pensilnya warna ungu, boleh rebutan dikit, kan?”Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengecup pipi mereka sebelum berangkat. Lalu kulirik jam di dinding—waktunya bersiap handle meeting klien.Ya, hidup kami sudah mulai kembali ke “normal” versi kami. Aku kembali aktif di dunia wedding organizer, sesekali mengisi seminar kecil, dan tetap jadi ibu rumah tangga penuh kejutan. Gasan kembali jadi CEO startup-ny
Hari itu, aku lagi Zoom meeting dengan klien. Gasan ada di sebelahku, menggendong Aksa yang sudah berusia 2 bulan, sementara Aluna tidur tenang di bouncer. Pakaian formal di atas, celana training di bawah—kehidupanku sekarang memang selalu multitasking.“Jadi, Mbak Irene, untuk dekorasinya, kami ingin nuansa bohemian garden, tapi--”Preeeetttt!Aku kaget, momen meeting jadi hening sejenak. Klien bahkan berhenti ngomong.Aku langsung matiin mic, melirik Gasan dengan ekspresi setengah panik. “Itu siapa, Gas?”Gasan buru-buru angkat Aksa yang udah mulai rewel. “Bukan aku! Aku, sumpah, nggak!” Tapi dengan wajah serius, dia tambah melanjutkan, “Cuman, mungkin... mungkin Aksa? Dia kan mulai coba ngomong…”Aku cuma bisa ketawa kecil dan minta maaf ke klien. “Maaf, Bapak/Ibu, ini ada backing sound dari anak saya.”Dan, dari dapur, suara Pras yang udah nyaman dengan situasi teriak, “Jangan-jangan sound-nya surround, ya? Itu bisa buat iklan popok, tuh!”Klienku di layar Zoom tertawa kecil, sepe
Hari ketiga, aku pulang, ditemani oleh dua keluarga yang heboh menyambut kedatangan cucu-cucu mereka.Tapi, rasanya bukan aku yang baru melahirkan—melainkan semua orang di dalam rumah sakit itu ikut overwhelmed. Mama Gasan menangis sambil cium pipi bayiku berkali-kali, sementara Mama dan Papa sibuk bertanya soal pantangan makanan dan cara memandikan bayi yang benar menurut buku dan menurut warisan nenek moyang.Aku duduk di mobil bersama Pras, yang anehnya cukup tenang sambil memandangi dua keponakannya yang tertidur dalam dekapan para nenek. Tapi keningku mengernyit saat sadar kalau arah mobil yang dikendarai Gasan, bukan ke apartemenku.Aku menoleh ke samping. “Gas, ini kita mau mampir ke mana?”Dia hanya tersenyum kecil, mengelus rambutku, lalu mengecup keningku lembut. “Istirahat saja, Ren. Nanti, kalau udah sampai, aku bangunin.”Aku masih ingin tanya, tapi tubuhku terlalu lelah. Jadi aku nurut. Aku pejamkan mata, membiarkan detak pelan Gasan di sampingku jadi pengantar tidur.*
Semua tertawa. Bahkan Mama sampai lap kaca mata karena kena confetti.Gasan menoleh ke aku, mengusap air mataku lembut.“Makasih ya, udah jagain mereka sampai sekarang. Dan makasih karena udah jadi ibu dari anak-anak kita.”Aku mengangguk, menggenggam tangannya.“Gas, kamu yakin siap jadi ayah?”Dia menghela napas, lalu senyum.“Kalau ngidam aja aku kuat, berarti ganti popok pun bisa!” Gasan memelukku dan menjadikanku menjadi satu-satunya wanita yang beruntung memiliki suami yang royal perhatiannya padaku.***Memasuki bulan kedelapan, perutku sudah benar-benar buncit. Aku udah gak bisa handle klien, jadi kuserahkan semua ke Nia dan tim. Beruntung aku memiliki mereka yang bisa diandalkan. Pras, juga beberapa kali datang untuk membantu juga merusuh. Heran aku, kok bisa dia seenergic itu tanpa lelah.Ok, lupakan Nia, tim, dan Pras. Kini, aku tengah merasakan jalan dari kamar ke dapur saja rasanya kayak ekspedisi, capek, dn berat. Baru duduk lima menit, punggung pegal. Berdiri lima men
Aku melempar bantal ke arahnya. “Bukan buat dihirup! Maksudku... ya ampun, kenapa baunya enak banget, sih?! Aku lewat SPBU aja rasanya kayak... kayak liat pemandangan pantai.”Gasan menatapku seperti baru tahu istrinya punya bakat jadi tokoh utama film misteri.“Ren, itu aneh.”“Aku tahu! Makanya aku nggak ngomong dari kemarin! Tapi, rasa pengennya makin kuat. Aku nggak minta kamu nyedotin selang bensin, tenang aja. Aku cuma pengen ngelewatin pom bensin lebih sering aja. Mungkin dua-tiga kali sehari, atau sepuluh.”Gasan berdiri. Mengangguk dramatis. “Baik. Kalau ini cara kamu bahagia, kita akan keliling Jakarta. Setiap SPBU akan kita lewati. Kita bikin tur ‘Aromaterapi Kilang Minyak’. Bahkan, kalau perlu aku bikinin playlist, Smells Like Bensin Spirit.”Aku ketawa sambil ketuk jidat. “Ya Allah, suami aku bener-bener serius.”Tapi, malam itu dia beneran ajak aku naik mobil keliling komplek, sambil muter-muter lewat SPBU. Tiap kali aku ngendus pelan sambil senyum malu-malu, dia cuma ne







