Share

Bab 6

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2025-06-20 12:26:04

Tempat itu terlalu cantik untuk disebut “lokasi survei”.

Villa semi-terbuka di kawasan Puncak, dengan kebun lavender yang dirawat rapi dan air mancur kecil di tengah taman. Udara pagi masih dingin dan wangi rumput basah menenangkan kepala yang semalam dipenuhi tumpukan moodboard.

Aku melirik jam. 08.43. Klien minta ketemu pukul 09.00. Masih ada waktu buat ngatur napas dan ngopi sebentar.

Baru saja aku hendak melangkah ke teras utama, suara ibu-ibu ramah menyambutku duluan.

“Mbak Irene, ya? Wah, cantik banget! Saya Gelora," katanya. Dia lalu memperkenalkan satu gadis di sampingnya dengan ramah. "Ini anak saya, Dini. Dia udah cerita soal Mbak. Katanya suka banget sama tema wedding milik Mbak Irene.”

Aku tersenyum, mengangguk pada mereka. “Wah, terima kasih, Bu, Mbak Dini. Saya senang jika banyak yang suka dengan konsep wedding milik kami."

Bu Gelora menepuk tanganku pelan, semangat. “Dini bilang, katanya dia mau pakai WO Mbak Irene, kalau nikah besok. Boleh, kan?"

"Tentu, Bu. Saya menunggu kedatangan Ibu dan Mbak Dini," jawabku ramah.

"Oh, iya, Mbak Irene kenal sama Gasan Ishaaq. Dia masih keluarga saya, lho."

Deg.

Aku membeku di tempat.

Bu Gelora masih lanjut cerita soal resepsi impiannya, tapi suaranya mulai memudar seperti radio yang sengaja dipelankan.

Gasan.

Of course. Karena semesta nggak pernah puas menyodorkan laki-laki itu tepat di tengah hidupku tiap kali aku mulai waras.

Seolah belum cukup membuatku membeku, tiba-tiba langkah kaki menuruni anak tangga kayu membuatku otomatis menoleh.

Dan di sanalah dia.

Dengan kemeja abu-abu yang digulung santai sampai siku, sneakers putih, dan tatapan yang—sial—langsung nyantol ke mataku dalam waktu kurang dari satu detik.

“Irene?” Nama itu keluar dari bibirnya, pelan, seperti semacam bisikan yang tertahan.

Aku tersenyum. Tipis. Nyaris profesional.

“Hai.”

Gasan menuruni dua anak tangga terakhir, berdiri cukup dekat untuk bisa mencium parfumnya. Masih sama. Aromanya menyebalkan dalam cara yang anehnya bikin kangen.

“Ini... surprise.” Nada suaranya agak serak.

Aku mengangguk ringan. “Kamu bagian dari keluarga calon mempelai?”

“Sahabat tunangannya. Kita udah temenan dari zaman kuliah. Dia sempat bilang lo yang pegang WO-nya, tapi gue pikir cuma nama aja yang mirip.”

“Ya, ternyata bukan.” Aku mencoba tertawa. Kaku. “Dunia kecil, ya?”

Gasan masih menatapku, dalam. Dengan ekspresi yang seolah-olah dia punya tiga ratus pertanyaan, tapi nggak bisa nanya satu pun.

“Gimana lo kabarnya?” Akhirnya dia bertanya lagi.

Aku mengangkat bahu. “Baik. Sibuk seperti biasa. Lo?”

“Berusaha tetap hidup,” jawabnya, masih dengan mata yang nggak lepas dari aku.

“Wah, jawabannya berat juga, ya.” Aku mengalihkan pandang ke arah taman, lalu balik lagi ke Bu Gelora yang sedang menjelaskan venue flow ke asistennya. “Kita kerja dulu, ya.”

Gasan tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di balik senyuman itu. Seperti kecewa, seperti lega, seperti, ya, aku juga nggak tahu.

Dan saat aku mulai berjalan menuju area presentasi, dia bersuara lagi. Pelan, tapi cukup jelas untuk kudengar. "Nanti, bisa sempatin buat ngobrol sebentar? Nggak lama, kok.”

Aku berhenti. Diam sejenak, lalu menoleh setengah badan, dengan nada datar yang kutata serapi mungkin. “Lihat nanti aja, itu pun kalau sempat.”

***

Selesai sudah. Meeting berjalan mulus, Bu Nirmala juga kerabatanya terlihat puas, dan kedua calon pengantin terlihat tak kalah antusias.

Aku pun bersyukur. Rasanya, aku ingin cepat-cepat balik ke Jakarta, mandi air hangat, dan membenamkan wajah ke bantal empuk sambil menyetel playlist jazz kesayangan.

Tapi, hidup kadang suka bercanda. Pertama, hujan deras turun mendadak. Tanpa aba-aba, sedangkan payungku? Ketinggalan di mobil.

Kedua, saat aku nyaris lari ke parkiran, tumit sepatu wedges-ku malah nyangkut di sela paving block dan... “Krak.”

“Ya Allah...” Aku meringis ketakutan. Apalagi, saat aku melihat kondisi kakiku.

Double sial.

"Aish, sial banget sih gue! Kenapa juga ada acara keseleo begini? Apa di skrip ada? Atau, semesta emang lagi gak pengin gue seneng terus?" Bibirku terus menggerutu.

“Irene?”

Aku pikir, dia sudah pergi karena gak ada alasan lagi buat dia bertahan di sini. Tapi, tebakanku salah.

Suaranya muncul begitu saja dari balik teduhan teras. Seperti biasa, aku tak butuh dua kali dengar untuk tahu siapa yang bicara di seberang sana.

Dia adalah Gasan.

Pria itu keluar dari bayangannya, memegang payung dan sialnya, mataku sempat terpanah oleh sosoknya yang sedang berjalan menghampiriku di bawah rintik hujan.

"Apa lo baik-baik saja?” tanyanya pelan.

Aku langsung menunduk, mengumpat dalam hati karena sempat tergoda olehnya. Tapi, lain di mulut lain di hati. Aku ingin mengabaikannya, tapi lidahku lebih dulu bekerja, "Lo ngapain di sini?”

"Kenapa lo malah nanya balik? Lo ok gak?" Suaranya terdengar keras di antara hujan yang semakin deras, bajuku basah, dan mataku juga sempat melihat baju bagian punggung Gasan basah.

Payung yang harusnya melindunginya, kini justru diteduhkan di atasku. Walau itu tak mengubah diriku yang sudah basah kuyup, tapi itu sedikit menyentil perasaanku.

Tapi, aku segera menyadarkan diriku. Jika tidak, pria di depanku pasti akan besar kepala, dan aku tidak sudi.

"Menurut lo? Apa gue terlihat baik-baik saja?" tanyaku sinis. "Sudahlah! Lo gak usah berpura-pura baik sama gue. Mending, sekarang lo balik dan urusi saja pekerjaan lo. Hush-hush!"

Bukannya pergi, dia justru terkekeh, dan soalnya, aku justru meremas ujung celanaku.

"Sayangnya, gue gak semudah itu diusir, Irene. Apalagi, saat liat cewek yang gue suka dalam kesulitan," katanya enteng.

“Gue cuma disuruh nemenin Rafa, awalnya. Tapi, pas tahu lo yang jadi WOnya, gue pikir lebih baik diem aja di sini.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang lo kelihatan butuh bantuan.”

Aku menatapnya. “Gue gak minta tolong.”

“Tapi, muka lo minta dikasihani,” ucapnya sambil nyengir.

Sial. Masih bisa bikin jantungku nyesek begitu.

Gasan maju selangkah. “Mau gue gendong ke mobil?” tawarnya ringan.

Aku mendesis. “Gendong pala lo!”

Dia tertawa, lalu berjongkok di depanku. “Kalau begitu, tumpangannya diganti. Gue jadi becak, lo duduk. Naik, Bu.”

Aku geleng-geleng. Tapi, pada akhirnya aku tetap naik. Karena tumitku benar-benar tak bisa dipakai jalan, dan hujan tak kunjung reda.

Di punggungnya, aku mencium samar aroma cologne yang familiar—maskulin, segar, dan sedikit bikin deg-degan. Angin hujan menerpa wajahku, dan entah kenapa, dadaku justru terasa hangat.

“Dulu gue pernah mimpi, lo minta digendong ke pelaminan,” gumam Gasan, masih berjalan hati-hati di tengah hujan.

“Dan sekarang lo realisasikan gendongnya, tapi versi cacat.”

“Nggak apa-apa. Semua hal besar kan selalu dimulai dari versi anehnya dulu.”

Aku tertawa kecil, meski wajahku masih menghadap ke arah lain, menyembunyikan rona yang pasti sudah naik ke pipi.

“Irene,” ucapnya tiba-tiba, suaranya lebih serius.

"Apa?”

“Kita ketemu lagi gini tuh karena takdir, atau sialan?”

Aku berpikir sebentar.

Lalu menjawab dengan senyum tipis, “Mungkin, sial yang disetir takdir.”

Dan entah kenapa, kalimat itu membuat kami berdua tertawa di tengah hujan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 16

    Jadi, aku hanya mengangguk tipis, “Noted,” jawabku singkat, mencoba menunjukkan ketegasan meski hati masih berdebar-debar.Kututup pintu, berjalan cepat ke lobi apartemen tanpa menoleh lagi. Langkahku terburu-buru, tetapi degup jantungku belum tenang. Rasanya ada sesuatu yang belum terselesaikan.Yang paling menyebalkan? Aku tidak tahu apakah itu karena kesal. Atau, karena kangen juga. Sebuah kemungkinan yang membuatku bingung.***Paginya, aku bangun dengan kepala pening dan punggung pegal. Tidurku tidak nyenyak, efek dari drama mobil mogok malam kemarin, Gasan yang muncul seperti iklan asuransi mendadak, dan ucapan “Gue kangen” yang masih berputar-putar di kepala.Begitu aku keluar kamar dengan niat mencari kopi, yang kutemui adalah adikku.“Pras! Itu telur siapa yang lo goreng sampai gosong begini?” Suaraku terdengar tajam, menunjukkan rasa kesalku.Adikku yang brengsek itu lagi duduk santai di kursi bar dengan hoodie setengah jatuh, main game di HP sambil nendang-nendang kursi. Di

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 15

    “Irene?” Suaranya samar seperti desiran angin malam, tetapi cukup membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Rasanya seperti baru saja disambar petir—cepat, tak terduga, dan sedikit menyakitkan. Aku merasa terpaku di tempat, kaku seperti patung yang tercengang.Dia mendekat, dengan gaya cool-nya yang khas, payungnya melindungi kita berdua dari gerimis yang mulai turun. “Lo ngapain di sini? Mobil lo mogok?” Suaranya tenang, tetapi ada seutas kekhawatiran yang tersembunyi di balik kata-katanya.Aku menelan ludah, enggan mengakui kelemahanku. Tapi, kenyataan memaksa aku untuk meletakkan egoku sementara.“Yes! Dan sialnya lagi, handphone gue mati. Dan gue kedinginan. Dan lo, jangan berdiri di situ kayak pangeran Disney, bikin semuanya makin absurd.” Aku berusaha terdengar tegas, tapi nada suaraku bergetar karena campuran kedinginan dan rasa frustasi.Dia terkekeh pelan, suaranya seperti selimut hangat di malam yang dingin. "Pangeran Disney? Yang mana? Yang ninggalin cewek abis jam dua b

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 14

    Nia menyeringai, sudut bibirnya terangkat sebelah, seraya menyambar satu keripik lagi. Matanya menyipit, penuh arti. “Atau jangan-jangan bukan semesta, tapi hati kalian emang harus disatukan, Mbak.” Nada bicaranya terdengar mengejek, tapi di balik itu tersirat sedikit kekhawatiran.Aku melotot, jari telunjuk menunjuk ke arahnya. “Please deh, jangan sok jadi motivator TikTok!” Aku menekankan kata, tubuh sedikit condong ke depan, menunjukkan kekesalanku yang tak tertahankan.Nia tertawa lepas, suaranya nyaring, menggelegar di ruangan. “Mbak Irene Handoyo si perfeksionis, baru aja suaranya gemetar kayak wifi lagi buffering,” katanya sambil menahan tawa, bahunya bergetar.Aku mendesah, kepala menggeleng pelan. Oke, mungkin dia benar. Aku mengusap wajahku, merasa frustrasi.“Apaan, sih? Gue cuma lagi kesel aja. Baru juga hidup gue mulai stabil, kerjaan lancar, klien kalem, eh tiba-tiba lo malah bilang tentang dia lagi." Aku mengepalkan tangan, menunjukkan betapa besar kekesalanku.Nia memi

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 13

    "Deg-degan ya, Mbak," bisik Nia sambil merapikan map di pangkuannya."Gue lebih deg-degan, kalau Ibu tiba-tiba nelpon gue lagi," balasku, sambil menekan bel dan menarik napas.Siang ini, aku dan Nia baru aja sampai di sebuah rumah besar bercat putih krem di kawasan Menteng. Taman depannya luas, ada patung-patung kecil bergaya klasik, dan pagar otomatis yang bikin kami ngerasa kayak mau meeting sama klien dari kerajaan Inggris. Tapi, nggak. Ini rumah Bu Nirmala, klien kaya raya yang akan menikahkan anaknya bulan depan.Yang buka pintu adalah seorang perempuan paruh baya bersanggul rapi dengan senyum tipis. "Silakan masuk, Mbak Irene, Mbak Nia. Ibu Nirmala sudah menunggu."Kami lalu dibawa masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu yang dinginnya bisa nyimpen es krim. Tak lama, Bu Nirmala muncul bersama sepasang muda-mudi, anak perempuannya, Kania, dan calon suaminya. Kania tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kulot, sementara Andra memakai batik dan ekspresinya agak kaku—miri

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 12

    Aku hampir pura-pura jadi orang lain. Tapi, ya sudahlah. Aku maju, pelan-pelan, sambil berharap bumi terbuka dan menelanku sebelum aku sampai di hadapannya.“Hai, aku Dio,” katanya dengan senyum super percaya diri. “Tadi, Ibu kamu bilang kamu suka bunga, jadi aku beliin yang paling gede. Katanya cewek suka yang heboh-heboh.”Aku nyengir kaku. “Heboh, sih. Tapi, ini udah kayak mau grand opening supermarket.”Aku melirik sekitar, dan saat itu juga aku melihat beberapa staf di dalam kantor udah mulai ngintip dari balik tirai, beberapa bahkan ngerekam. Satu orang, sumpah demi kopi tubruk, kedengaran bicara, “MBAK iRENE DILAMAR KAYAKNYA!”Sialnya, pria di depanku mendengar hingga bibirnya mengulas senyum begitu lebar. “Aku antar kamu pulang, ya? Biar sekalian kita ngobrol-ngobrol. Aku udah siapin topik!”Aku menatap buket di tangannya, lalu menatap wajahnya yang mirip Reza versi fanmade. Dan untuk sesaat, aku serius mempertimbangkan pindah domisili ke luar negeri.Dengan sangat terpaksa ak

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 11

    Begitu pintu apartemen tertutup, aku langsung melempar tas ke sofa dan berdiri di tengah ruang tamu sambil menghela napas panjang. Pras yang lagi duduk di lantai sambil main game cuma melirik sekilas.“Dapet pencerahan dari calon suami masa depan?” tanyanya tanpa niat membantu.“Dia manggil gue Ma Irene,” jawabku datar.Pras tertawa sampai miring. “Wah, mantap, tuh. Udah kayak ratu kerajaan Majapahit.”Aku mengabaikan dia dan langsung ambil ponsel. Ku-dial nomor Ibu dengan tak sabar. Begitu tersambung, suara Ibu terdengar ceria banget. “Gimanaaa? Seru, kan? Alvino itu anaknya baik banget loh, rajin ngurus tanaman, suka olahraga--"“Bu!” potongku cepat. “Dia bawa foto bonsai ke kafe dan ngajak aku ke rumah buat kenalan sama bonsai dari Jepang yang namanya Katsuro!”“Bukannya kamu suka tanaman, Ren? bagus, dong. Kalian cocok," kata beliau dengan gampangnya.Aku ingin menangis sekarang. “Tapi, aku sukanya tanaman mati dalam pot kecil, bukan bonsai harga ratusan juta! Dan satu lagi, Bu. D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status