Kejadian tadi siang membuatku harus dirawat inap sekarang. Aku pingsan saat sedang bekerja dan Narendra yang membawaku ke rumah sakit. Malu, itu yang kurasakan saat ini. Baru dua pekan bekerja, tapi kesehatan justru menurun. Di kamar yang terlihat mewah ini, aku hanya melihat Ibu. Beliau sedang tidur di sofa. Pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu. Aku masih belum tahu tentang sakit apa yang menimpa tubuh ini. Tadi, aku sempat sadar sebentar, tapi setelah minum obat dan diberi suntikan oleh dokter, aku kembali tertidur. Bahkan, aku masih ingat kalau Natendra menemani di sini. "Kamu sudah bangun, Ran?" "Alhamdulillah, Mbak sudah bangun."Narendra dan Rendy berucap bersamaan saat baru saja membuka pintu. Mereka tampak kompak dengan postur tubuh yang hampir sama. "Kalian dari mana?" tanyaku lirih. Tenagaku masih belum terlalu pulih. "Habis makan malam, Mbak. Aku ditraktir calon suamimu yang ganteng ini. Padahal, aku tadi sudah hampir nonjok dia, tapi nggak jadi." Rendy
Narendra begitu panik. Dia membungkus pergelangan tanganku dengan selimut sambil berulang kali memencet bel darurat. Sakit memang, bahkan kepalaku kembali terasa ringan. Aku ingin segera memejam dan meninggalkan kesengsaraan ini. Namun, ada yang mengganjal perasaan. Aku yang awalnya tidak ingin mengandung benih Rasya, kini mencoba ikhlas setelah laki-laki itu sah menalakku. Ya, talak tiga dengan lantang diucapkan Rasya meskipun aku tahu jika dia melakukannya dengan ragu. Dia tahu persis bagaimana sifatku. Rania paling tidak suka dengan keputusan setengah-setengah. Karena jika dia hanya mengucap satu talak saja, kupastikan pecahan gelas itu akan menekan dan melukai lebih dalam."Jangan tidur dulu, Ran! Sebentar lagi, dokter datang dan mengobati lukamu." Narendra menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku tersenyum melihat wajah tampan Narendra saat panik seperti ini. Dia terlihat layaknya laki-laki sempurna yang memiliki banyak cinta untuk Rania. Akan tetapi, di sisi lain masih ada Rasya dan
PoV RasyaAwalnya, aku tidak percaya saat pertama kali melihat perempuan yang dipilih Hana untuk menjadi adik madunya. Wajah itu, wajah yang selama ini kucari. Dosa keluargaku kepadanya sangatlah besar. Namun, aku tidak bisa berkutik karena ada Hana di antara kami. Hingga akhirnya aku setuju untuk menikahi Rania. Tentu itu adalah keinginan terdalamku sejak dulu, menjadikan Rania bagian penting dalam hidup ini. Namun, kekuasaan dan kediktatoran Papa membuatku tidak bisa menolak apa pun yang beliau perintahkan. Termasuk meninggalkan Rania dan menikahi Hana meskipun masih berstatus mahasiswa semester empat, sedangkan Hana yang usianya beberapa tahun di atasku sudah sukses menjadi seorang dokter.Aku ingin sekali memiliki Rania seutuhnya setelah kami sah menjadi suami-istri secara agama, tapi hati ini menolak. Masih ada yang mengganjal karena aku melihat keterpaksaan di wajah perempuan berjilbab itu. Pasti kebenciannya kepadaku masih sangat besar. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan p
PoV RasyaDemi menjaga nama baik keluarga, aku terpaksa mengiyakan permintaan Papa. Padahal, aku memang menginginkan anak itu, tapi juga ibunya. Akan kupikirkan lagi bagaimana caranya nanti karena keberadaannya pun sulit dilacak satu bulan terakhir ini. Rumah yang seharusnya ditinggali Rania dan keluarganya tampak sepi dan para tetangga mengatakan jika mereka tidak pernah pulang ataupun memberi kabar. Sepertinya, Rania tahu jika aku akan mencari ke rumahnya. "Mas, kamu kenapa jadi seperti ini? Sampai mencukur kumis dan cambang saja tidak sempat. Apa semua ini karena Rania? Kamu juga tidak pernah lagi menyentuhku sejak Rania datang di hidup kita. Apa Mas nggak cinta lagi sama aku?"Hana, melihat wajahnya saja aku rasanya malas. Terlalu banyak muslihat yang dia lakukan hingga aku bisa terjebak dalam pernikahan tanpa cinta ini selama sepuluh tahun. "Bukan urusanmu. Aku akan segera menceraikanmu, Han. Entah Papa setuju atau tidak. Entah gak warisku akan dicabut atau tidak. Yang jelas, a
Pagi ini, langit tampak mendung dengan desir angin yang cukup dingin membelai wajah. Balkon lantai dua belas ini menjadi tempat favoritku sebulan terakhir ini. Sembari memandangi kota yang padat, aku mencoba menikmati hidup. Narendra sengaja menyuruhku pindah ke apartemen yang satu lantai dengan apartemennya bersama Ibu dan Rendy. Tepatnya, hanya ada dua apartemen di lantai dua belas ini. Yang kutempati dan yang Narendra tempati. Selepas pulang dari rumah sakit, apartemen ini sudah disiapkan dengan sempurna untuk menyambutku dan Narendra melamarku saat itu juga. "Kamu sudah tahu bagaimana perasaanku, Ran. Aku memang tidak bisa romantis, tapi setidaknya ini kulakukan tidak terlalu biasa." Narendra menghela napas panjang seraya menunduk. Kemudian, Ibu mendekat membawa sesuatu--kotak kecil dari kaca--dan diberikan kepada Narendra. "Be my queen, Rania Felisya Rose. Will you marry me?" Sebuah cincin berwarna putih tampak dari kotak kaca kecil yang terbuka. Aku tidak bisa berkata apa p
Tirai warna putih sejak tadi berkibar karena pintu balkon yang sengaja kubuka menjadi pemandangan di depan mata. Pagi ini, aku enggan beranjak dari tempat tidur. Entah kenapa, tubuh ini rasanya sangat lelah. Mungkin karena kemarin pertama kalinya aku beraktivitas di luar hampir seharian.Hati yang terluka, tidak selamanya akan sembuh dengan sendirinya. Butuh waktu dan usaha untuk sekadar menutupnya agar tidak makin menganga. Namun, sering kali diri sendiri lupa jika keberadaan orang terdekat adalah penyembuh utama.Aku memang benci dengan Rasya, tapi mendengar hidupnya yang sekarang, ada rasa iba yang menelusup. Namun, saat kembali ingat perbuatan keluarganya yang membuat Ayah pergi untuk selamanya, membuatku kembali geram.Ah, pikiran ini pun seakan-akan menambah penat. Tidak perlu aku memikirkan laki-laki yang sudah merusak hidup ini. Aku harus fokus pada rencana pernikahannya dengan Narendra yang akan dilangsungkan dua pekan lagi."Ran, kamu sudah bangun belum, Nak? Ayo, sarapan du
Aku dan Narendra menikmati suasana malam di pinggir jalan sambil menyantap seblak ekstra pedas. Laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi sandaran hidupku itu juga menyukai pedas rupanya. Namun, melihat wajahnya yang memerah itu membuatku mengulum senyum. Bahkan, tiga gelas es susu cokelat sudah habis sebagai pendamping makan. "Kalau nggak kuat, nggak usah maksa! Mana, buat aku aja?" Kurebut mangkuk di hadapannya yang tinggal berisi setengah porsi seblak. "Memangnya, kamu nggak kepedesan, Ran? Gila, ini seblak apa jus cabe?" Narendra mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan mulut. "Ini makanan kesukaanku, Ren. Nggak berasa pedesnya kalau kayak punyamu." Aku mulai menyantap seblak milik Narendra karena milikku sudah habis sejak tadi. "Jangan, deh, Ran. Nanti, anakku juga kepedesan. Kasihan."Perkataan Narendra justru membuatku tersedak. Bahkan, pedasnya sampai terasa di hidung. Sakit. Narendra pun kebingungan karena aku terus terbatuk-batuk dengan air mata yang mengalir dengan s
Seharusnya aku senang karena tidak ada lagi alasan untuk mengingat Rasya, tapi kesedihan ini tidak bisa dipungkiri. Janin dalam kandunganku gugur karena pendarahan di saat hati ini sudah menerima sepenuhnya. Bahkan, di usia yang sudah masuk bulan keempat ini, mungkin ruhnya sudah ditiupkan. Dan itu menambah rasa sesal yang mendalam.Aku mengunci mulut rapat-rapat sejak kejadian itu. Rasa kehilangan ini begitu nyata dan sangat menyayat hati. Bahkan, Narendra yang tidak salah apa pun itu mendapat imbas dari sikap diam dan kemarahanku.Saat aku tersadar setelah menjalani kuret, wajah Narendra yang menjadi pemandangan pertama. Dia terlihat begitu sedih, tapi aku buru-buru membuang muka. Aku marah karena dia menolak membawaku pulang tadi pagi.Kalau saja tadi aku langsung pulang, mungkin tidak akan bertemu Rasya dan aku tidak akan mengalami keguguran."Maafkan aku, Ran. Aku hanya ingin yang terbaik buatmu, tapi aku nggak memikirkan jika orang itu akan datang saat aku pergi. Aku minta maaf,