Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare
"Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa
Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban
"Aku nggak bisa, Han." Laki-laki berwajah tampan dengan kulit sawo matang itu menatap nyalang perempuan di sampingnya. "Tolong aku, Mas. Aku nggak ingin kita berpisah. Ini satu-satunya cara agar Mama tetap merestui hubungan kita," jawab perempuan cantik, berkulit putih dengan bulu mata lentik itu. Suaranya terdengar serak dengan mata berkaca-kaca. Aku? Tentu hanya bisa diam dan menunduk, tapi sesekali melirik ke arah depan di mana sepasang suami-istri itu sedang bernegosiasi. Entah ini keputusan yang benar atau tidak. Yang pasti, aku sedang membutuhkan banyak uang untuk melunasi utang peninggalan Ayah, sekaligus membantu biaya pernikahan Rendy--adikku. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, tentunya akulah yang menggantikan posisi Ayah karena Ibu memiliki penyakit asma sejak beberapa tahun yang lalu--tepatnya beberapa hari setelah kepergian Ayah untuk selamanya. "Kamu mau, kan, Ran?" Lamunanku tersadar dengan panggilan perempuan di hadapan. Ah, apa yang harus kukatakan? Sejuju
Aku ingat betul apa yang akan dilakukan suami Hana itu. Dia mengunci tubuh yang sudah terpojok ini sambil menekan kuat pergelangan tanganku di dinding. Sudah tidak ada jarak lagi antara kami, dan hanya tersekat pakaian di badan. Wajahnya tampak beringas sambil memandangku dengan tajam. "Ja--jangan lakukan. Katamu ti-tidak akan--"Seketika, dia membungkam mulutku dengan kasar hingga napas ini mulai tercekat. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah datang sebelumnya. Rasa bagai disengat aliran listrik hingga seluruh tubuh menegang. Susah payah aku meronta, tapi tenaga laki-laki di hadapan ini jauh lebih besar. Entah apa yang merasukinya saat ini hingga cara berpikirnya berubah seratus delapan puluh derajat. Semalam, sangat jelas jika dia tidak ingin menyentuhku seujung rambut pun, tapi sekarang? Aku hanya bisa menitikkan air mata karena dia tidak juga melepas cengkeraman tangan dan juga sesuatu yang menyebalkan di mulut ini. "Aaa ... apa yang kamu lakukan?" Kudorong tubuh laki-laki i
"Cukup sekali ini aku menyentuhmu. Dan uang yang kamu inginkan akan aku beri di luar dari yang Hana berikan." Laki-laki itu kemudian berjalan ke luar, tapi urung membuka pintu dan kembali berbalik. "Semoga kamu segera hamil dan segera juga pergi dari kehidupanku." Mendengar ucapan terakhir Rasya itu justru makin membuat hati ini tersiksa. Dia menganggapku sama dengan perempuan di luaran sana. Perempuan yang telah menjual kehormatan demi uang. Nyeri di dada ini menyertai nyeri di bagian bawah. "Aku benci kamu, Rasya!" Aku hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi kali ini. Dia memang cinta pertamaku, tapi dia juga neraka bagi keluargaku. Sekelebat ingatan masa lalu kembali membayang. Saat di mana Rasya begitu menghargaiku sebagai seorang perempuan dan dia memperjuangkan cinta kami meskipun orang tuanya melarang. Hubungan yang terjalin selama tiga tahun sejak kami duduk di bangku SMA. Dia sebagai siswa kelas tiga yang begitu dikagumi oleh para siswa perempuan hampir satu sekolah
"Aku ingat siapa dia, Ran. Dia, anak dari orang yang sudah menghancurkan keluargamu, 'kan?"Aku menarik napas panjang seraya memejam untuk sekadar menghalau sesak di dada. Saat kembali mengingat luka lama itu, hati ini begitu perih terasa. Narendra memang tahu semuanya, bahkan dia satu-satunya orang yang selalu ada saat teman yang lain mulai menjauh karena fitnah matre yang diaebarkan di seantero kampus. Mungkin bukan Rasya yang menyebarkan berita hoax itu, tapi sakit hatiku untuknya sudah telanjur mengakar. "Kalian ada hubungan apa? Kamu bilang, dia kakak ipar, tapi dia bilang suamimu. Mana yang benar?" Narendra terus mencecar.Setelah cukup lama terdiam, semua yang mengganjal di hati ini pun keluar. Aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Narendra. Bahkan, tentang pernikahan siriku dengan Rasya yang baru dua hari ini terjadi. Aku terisak sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan sebuah dekapan membuat hati ini menghangat. Narendra memelukku tanpa bertanya a
Perempuan paruh baya yang tubuhnya hampir mirip dengan tulang berbungkus kulit saja itu tergopoh-gopoh mrnghampiriku yang baru saja turun dari mobil Narendra. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Perempuan berjilbab hitam itu langsung memelukku dengan tubuhnya yang terasa bergetar. Bahkan, napasnya yang sedikit berat pun, aku bisa merasakannya dari gerakan dada dan suaranya. "Kamu ke mana saja, Rania? Ibu cemas mikirin kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. "Nia ceritakan di dalam, ya, Bu. Di luar dingin, nggak bagus buat kesehatan Ibu." Kulepas pelukan Ibu, lalu menggamit lengannya. Kami berjalan masuk ke rumah diikuti Narendra. Entah kenapa, Ibu bisa sehisteris itu, padahal aku sudah berpamitan jika akan pergi selama dua hari untuk mencari uang. Sore ini adalah hari jatuh tempo utang Ayah yang jumlahnya masih mencapai lima puluh juta rupiah, sedangkan tabungan pun kami tidak ada. Gaji bulananku dari bekerja sebagai kurir online dan penyanyi kafe setiap malam habis