Share

Bab 7 Terjebak

Author: D Lista
last update Last Updated: 2023-06-16 05:02:00

Bab 7 Terjebak

Zen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.

Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. 

"Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur.

"Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap.

"Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya.

"Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari."

"Saya malah senang bisa membantu, Bu."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"

Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku.

"Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih Amir seolah ingin merengek padaku. Dia tidak berani merengek di depan bapak ibu, apalagi Mbak Titin.

"Amir mau mendaftar ke SMP, Mbak," ucapnya lagi.

Dadaku seolah ditekan kuat hingga terasa sesak. Mendengar rintihan Amir aku tidak tega. Pikiran berk3camuk, uang dari mana untuk mengambil rapot dan ijazah Amir. Rapot dan ijazahku saja masih tertahan di sekolah. Setelah keluargaku kena tipu habis-habisan karena Mbak Titin gagal menjadi model. Hidup kami carut marut. Hanya emosi yang selalu menghiasi hari-hari. Sebab itu, aku memilih diam dan menyelesaikan sendiri masalah yang hadir.

"Tenanglah, Mir. Mbak akan usahakan ambil ijazah dan rapotmu."

Sejak itu, Amir bisa mendaftar ke SMP dengan bebas SPP karena prestasinya. Aku sangat bersyukur anak itu tetap rajin belajar walau hidup susah. Sayangnya, rapot dan ijazahku masih di sekolah sampai saat ini. 

Tekadku dengan bekerja merantau di Yogya, aku bisa mengumpulkan uang untuk mengambilnya. Siapa yang tahu nanti ada kesempatan aku bisa mendaftar kuliah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Semoga kuasanya mampu mengubah hidupku.

"Mbak Ning."

"Eh iya, Bu. Maaf." Aku tersenyum sendiri mengingat masa sulit itu. Berharap di kota ini kehidupanku akan berubah. Aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengeluh dengan keadaan. Pun menangis oleh pahitnya kenyataan. Bertemu Zen, aku harus bisa membayar kesalahanku padanya. Semoga masih ada pintu maaf untukku.

Malam tiba, keluarga Bu Tya berkumpul. Namun tidak ada suaminya. Kata Bu Tya suaminya masih harus bertuhas di luar kota menilai kampus baru. Oh ternyata bapak Zen yang katanya pembantu adalah orang penting di kampus. Benar-benar Zen telah membohongiku. Kesal rasanya dibohongi.

"Siapa dia, Ma?" tanya laki-laki yang terlihat lebih muda dari Zen. Sepertinya dia adik Zen.

"Oh, Syam. Ini Ning yang sementara bantu bersih-bersih di rumah. Dia mau kerja di kantin kampus katanya. Besok bisa kamu anter sekalian berangkat ke kampus?"

Aku mendongak seraya menatap wajah Syam yang lebih ceria dibanding muka kulkas kakaknya. Keduanya samasama tampan menuruni wajah Bu Tya yang cantik. Atau mungkin ayah merrka juga tampan. Ishh, kenapa pikiranku malah kesitu.

"Oh, kenalin namaku Syam Maulana. Panghil saja Syam ganteng." Aku terkejut dengan tingkah Syam yang berbeda jauh dibandingkan dengan Zen.

Syam terpingkal saat mengenalkan diri. Aku hanya mengulum senyum sambil melirik ke arah Zen yang membuang muka.

"Haningtyas Sari, Mas. Panggil saja Ning."

"Jangan panggil, Mas. Sepertinya kita seumuran, aku 21tahun."

"Saya baru 20, Mas."

"Tuh kan. Panggil Syam saja. Oya boleh panggil Hani nggak? Biasa kan panggilan sayang itu Han, Hani." Candaan Syam membuatku menegang teringat panggilan Zen khusus untukku saat itu.

"Hmm, maaf. Saya tidak terbiasa dipanggil dengan sebutan itu. Panggil Ning saja, Syam."

"Kan lebih keren dipanggil Hani daripada Ning." Syam masih berusaha protes.

"Syam. Orangnya nggak suka dipanggil itu kenapa kamu maksa."

"Ishh, sama aja dengan Mas Zen. Dia paling nggak suka orang asing panggil Zen. Coba Ning kamu panggil kakakku dengan sebutan apa?"

"Hmm, Mas Alan."

"Tuh, kan. Suka gitu dianya sejak putus hubungan sama gadis desa."

"Syam! Hati-hati kalau bicara. Jangan suka ember!"

"Sudah-sudah, kalian ini nggak di meja makan atau di mana aja suka ribut. Malu dilihat tamu kan?"

"Lagian Mama, siapa nyuruh dia tinggal di sini. Zen nggak suka orang asing masuk ke rumah kita."

Lagi, aku meneguk ludah susah payah. Kulihat Zen beranjak pergi dari meja makan dengan wajah kesal.

"Zen!" teriak Bu Tya memperingatkan. Namun Zen hanya menoleh lalu meminta maaf.

"Zen nggak nafsu makan." Zen pergi naik ke lantai dua kamarnya.

"Jangan dimasukkan hati, Ning. Kakakku memang suka begitu. Setahun ini lagi kena sakit jiwa."

"Syam. Jangan menjelekkan saudara sendiri."

"Iya, maaf, Ma."

"Ayo kita lanjutkan makannya. Ning selesai makan tolong antarkan makan malam Zen ke kamarnya."

Aku terkesiap mendengar perintah Bu Tya. Gimana aku bersikap nantinya kalau Zen seperti tadi gara-gara kehadiranku.

"Ba...baik, Bu."

"Jangan khawatir, Ning. Nanti kalau kakakku menyalak, teriak saja. Kamarku di sebelahnya."

Aku hanya menyengir kuda merespon ucapan Syam.

Selesai makan, aku membawa nampan ke lantai 2 dengan hati-hati. Walau jantung berdegup kencang, aku tetap harus bekerja profesional.

Sampai di depan kamar Zen, aku tidak bisa mengetuk pintu karena kedua tanganku memegang nampan. Kulihat nasi, sup dan udang cryspy sudah disiapkan Bu Tya di nampan. Seperti menu yang barusan kumakan. Jadi ingat Amir makan apa di rumah. Mbak Titin, Bapak dan Ibu. Apa kabar mereka. Ah baru juga sehari kangenku sudah terasa.

"Mas Alan, boleh masuk."

Sekali panggil tidak ada balasan. Aku berdecak kesal saat panggilan sampai tiga kali tidak juga di respon. Akhirnya kugedor pakai kaki.

"Sini aku gedorin," ujar Syam dari arah kamarnya.

"Mas, buka pintunya." Sekali Syam menyeru ternyata pintu tiba-tiba dibuka dari dalam. Batinku mendecis, nih orang sengaja memang nggak mau buka kalau aku yang minta.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara ketus.

"Tuh, Ning. Bawa masuk aja trus keluar. Awas macannya kadang jinak kadang menyalak."

Kukirik sekilas Zen melototkan mata pada Syam. Adik kakak saling melempar aura sengit. Syam lalu bergegas ke kamarnya kembali.

"Awas Mas, jangan menakuti anak gadis orang," larang Syam. Aku hanya mengeratkan gigi lalu masuk ke kamar Zen. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke kamar ini. Sebab Bu Tya sendiri melarangku mengambah area privasi putra sulungnya kecuali sang empunya yang meminta.

Bunyik pintu tertutup menyentak kesadaranku. Aku menoleh, ternyata Zen mengekoriku. 

"Ini, saya disuruh Bu Tya mengantarkan makan malam."

Hening, seolah aku hanya berbicara dengan diri sendiri. Merasa diacuhkan, gegas aku meletakkan nampan lalu permisi keluar. Namun, saat tangan memutar handle pintu, jantungku berdetak kencang.

Astaga, pintunya kenapa nggak bisa dibuka. Aku ketakutan, tetapi tak mau menunjukan pada laki-laki yang aku punggungi. Berusaha memutar handel dan membukanya, tetap saja gagal.

Apa yang dilakukan Zen padaku. Apa dia mau menakutiku. Ah, aku tudak boleh takut. Aku bisa berteriak seperti kata Syam tadi. Suara langkah kaki semakin mendekat hingga terdengar lekat di telinga. Aku urung membalik badan karena kulihat sepasang kaki sudah berada tepat di belakangku.

"Zen, tolong buka pintunya! Jangan gini. Kamu membuatku takut," mohonku.

Tanpa diduga kedua tangan Zen sudah mengurungku. Degup jantung kian berpacu, aku memberanikan diri membalik badan. Dengan kedua tangan siaga di depan dada, mana tahu Zen berbuat lebih jauh, aku bisa mendorongnya.

"Apa tujuanmu kemari? Mau menipuku? Mau menghancurkan nama baikku lagi, hah?!" Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Zen tidak mampu ku jawab. Nyaliku sudah menciut ditatap tajam manik matanya yang setajam elang.

"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!"

"Zen. Aku...."

"Jangan sebut nama itu!"

"Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."

D Lista

enjoy reading. mampir baca juga kisah best seller DLista,yuk. ISTRI YANG KABUR DI MALAM PERTAMA MENIKAHI ADIK IPAR SENDIRI

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Extra Part 2

    Extra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Extra Part 1

    Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 51 Ending

    Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 50 Ngidam

    Bab 50 Ngidam"Pa, kita mau jadi eyang." Suara berisik dari seberang membuat kening Zen berkerut. "Ishh, Papa dan Mama malah heboh ngomongin apa, sih? Halo, Ma. Halo...., Astaghfirullah. Harus tambah Sabar, Zen momong istri dan orang tua," guman Zen menghibur diri. Setelah melempar ponsel ke nakas, beberapa detik kemudian terdengar panggilan kembali. Zen berdecak kesal karena mamanya malah ngobrol dengan sang papa. "Ya, Ma." "Istrimu mual-mual kan, Zen?" "Ya, Ma. Dari tadi Zen kan dah cerita panjang lebar. Bahkan, Hani menanak nasi saja langsung mual saat mencium bau uapnya di dapur," lapor Zen. "Belikan tespek, sekarang." "Apaan, Ma?" "Ckk, nih anak sudah jadi dosen masak nggak tahu tespek," dengkus Bu Tya dari seberang. "Iya, untuk apa?" "Istrimu hamil, Zen." "Hah, serius, Ma? Lalu Zen beli tespeknya di mana?" "Astaghfirullah, Pa! Ajarin anakmu ini! Masak tanya beli tespek di mana?" teriak Bu Tya. "Di toko besi," sahut papanya masih bisa terdengar oleh Zen

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 49 Hamil

    Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 48 Menikah

    Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status