Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h
Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg
Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika
Bab 12A Ketus"Buruan masuk!" titahnya tak mau dibantah."Hah.""Zen kenapa masih ada di kampus.""Hmm, saya nunggu bus, Pak Alan," ucap Ning basa-basi."Saya tidak tanya. Buruan masuk, atau saya tinggal di sini biar dimangsa nyamuk," ketusnya. Ning hanya menghentakkan kaki.Ning masuk ke mobil dengan perasaan masih ngedumel. Ia hanya melirik ke samping, wajah Zen tetap fokus ke jalan depan. Tanpa disangka mobil keluar dari kampus lalu setelah melewati jalan besar, Zen menepikan mobilnya."Turun!"Ning terkesiap mendengarnya. Ia hampir saja terlelap saking lelahnya."Maksudnya gimana, Mas?""Itu halte masih rame. Kamu bisa menunggu bus di sana.""Astaga, nih orang sengaja bantu setengah-setengah." Masih dengan ngedumel, Ning terima daja perlakuan Zen padanya. Toh dia bukan siapa-siapa laki-laki itu. Meski dulu Ning pernah menyimpan rasa pada Zen. Kali ini, ia akan mengubur rasa itu setelah mengetahui perlakuan Zen yang membencinya.Dengan langkah gontai, Ning menuju halte yang masih
Bab 12B"Syukurlah, Ning ada yang nemenin makan. Kasian kalau makan sendirian.""Iya dong, Ma. Aku kan anak ganteng mama yang paling baik.""Ckkk, ganteng-ganteng tapi masih sendiri, Syam.""Nggak sendiri, Ma. Udah ada Ning, nih.""Syam, apaan sih.""Kalian ini cocok kalau bercanda. Jangan dimasukkan hati ya Mbak Ning.""Iya, Bu.""Oya, Ma. Mbok Nem kemana? Mas Zen minta dibawain minuman dua untuknya sama Mbak Vina di atas.""Wah Mbok Nem lagi mau mijit mama, Syam. Mbak Ning aja yang bawa ke atas ya setelah selesai makan!""Siap, Bu." Ning merasa gusar setelah menjawab dengan mantap."Nggak usah khawatir, Mas Zen nggak mungkin menerkammu, Ning," canda SyamMembuat Ning mendengkus."Nggak lucu, Syam." Syam justru tergelak. Melihat wajah kesal Ning sudah menjadi hobinya. Senyumnya pun mengembang. Ia tidak tahu kalau di dalam hati Ning sudah ketar-ketir. "Habis dari kamar Mas Zen, nanti kita bahas yang kamu omongin kemarin.""Apa?""Ning, masih muda kok sudah pikun. Katanya mau usaha ker
Bab 13 Rencana Pindah Kos"Ma... maaf kalau tidak ada yang dibutuhkan, saya permisi.""Pergilah. Kamu cuma mengganggu kesenangan kami berdua," ujar Vina.Gegas Ning melangkah keluar melewati pintu. Karena sambil melamun, dia menabrak Syam yang sedari tadi berdiri di depan kamar Zen."Maaf, Ning. Apa ada yang sakit?"Ning tidak mampu menjawab. Matanya sudah berkaca-kaca. Bukan akibat dari bok*ngnya yang terantuk lantai, melainkan hatinya yang tersayat. Ia tidak menyangka Vina dan Zen sudah sejauh itu berciuman di depannya."Beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Syam lagi.Ning menggelengkan kepalanya lalu berdiri."Ada apa, Syam?" Zen mendengar berisik di luar kamar pun mendatangi tempat Ning dan Syam."Ning tadi melamun nabrak aku, Mas. Tapi dianya nggak papa kok. Ayo Ning kita lanjutkan rencana kita?" Ning mengangguki ajakan Syam. Sebab mereka sudah janjian mau membahas tentang pemasaran keripik singkongnya di kampus."Mau kemana kalian?""Kencan, Mas. Emang Mas Zen dan Mbak Vina aja ya
Bab 14A Pulang "Ning, jadi pindahan ke kos?" tanya Syam saat berkunjung makan siang di kantin. Suasana kantin yang ramai membuat Ning menghentikan obrolan singkat dnegan Syam. "Tunggu, Syam! Bentar lagi saya off." "Oke. Pesan makan dua porsi seklaian buat kamu ya. Aku tunggu di meja sebelah pinggir itu," tunjuk Syam pada meja kosong yang masih tersisa. Ning tidak mau mendebat. Ia harus bekerja profesional karena jam sibuk kantin jadi banyak pelanggan yang mengantri. "Ning, kamu dekat sama adiknya Pak Alan ya?" "Eh, Mbak Rika. Biasa aja, Mbak. Syam cuma mau bantuin usah keripik saya." "Oh, syukurlah. Jangan lupa stok di sini harus dapat jatah lho. Aku juga pengin mencicipi, Ning." "Siap, Mbak." Ning senang atasannya memberi dukungan padanya untuk menitipkan keripik singkong di kantin. Setelah off, Ning makan siang bersama Syam. Mereka membahas rencana memasarkan keripik. Selain dititipkan di kantin kampus, Syam mengusulkan pada Ning supaya membuat akun online shopping di salah
Bab 14B Pulang "Apa dia sangat berarti bagimu?" "Mungkin." "Lalu?" Syam mencoba mengulik masalah pribadi gadis yang penuh semangat seperti Ning. "Saya telah membuatnya terluka. Ah, sudah lupakan saja, Syam. Kita tidak perlu membahasnya." "Apa dia laki-lali?" "Hmm. Udah jangan tanya lagi. Ayo, saya mau pulang kampung untuk membicarakan masalah produksi keripik dengan bapak ibu. Nanti keburu Mas Eko nungguin." "Ya udah ayo aku temani." "Makasih. Keduanya melangkah menyusuri koridor kampus menuju gedung rektorat. "Jangan lupa mendaftar kuliah. Nanti fokus jualan malah tujuan utamanya lalai," cibir Syam yang disambut gelak tawa oleh Ning. "Kenapa disaat begini kamu justru menghiburku, Syam. Aku semakin takut dengan Zen. Aku harus menjaga jarak dari keluarganya terutama kamu," ucap Ning dalam hati. "Iya-iya. Bawel. Saya pulang sekalian menebus ijazah juga tahu, nggak?" "Apa?! Jadi selama ini kamu nggak ada ijazah?" "Nggak, Syam. Saya belum ada uang untuk mengambilnya." "Miri