“Tapi kamu suka, kan?”Qiana tak menjawab. Ia cuma menunduk, masih merasa malu dan geram bercampur aduk. Tapi dalam diamnya, bibirnya mempout lucu tanda kesal.Zayn menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Udah, yuk. Mama nanyain kamu. Kalau kelamaan, nanti dia pikir aku ngapa-ngapain kamu lagi di kamar.”Qiana menatap tajam. “Emang iya kan?”Zayn hanya tertawa dan menjentik pelan dahi Qiana sebelum keluar kamar.Qiana mendengus, tapi pipinya masih merah.“Dasar suami nggak tau malu." Qiana memprotes. "Ini tandanya gimana?"Zayn baru saja mau keluar kamar , tapi langsung berhenti sambil ngeluarin plester. "Kita tutup pakai ini aja sementara. Terus kita cari alasan yang tepat kalau-kalau ada yang tanya," balas Zayn tenang.Qiana ingin sekali membalas komentar suaminya itu dengan lemparan sandal atau apa pun yang bisa dijangkau. Tapi sayangnya, tubuhnya sendiri sudah mulai kehilangan semangat gara-gara satu hal, lapar.Suara perutnya yang berbunyi nyaring membuat ia refleks menunduk dan
Setelah memastikan pakaiannya rapi dan wajahnya tak lagi merah padam seperti kepiting rebus, Qiana akhirnya keluar dari kamar mandi untuk kedua kalinya pagi ini, kali ini dengan lebih tenang, meski tetap melangkah hati-hati.Matanya langsung menyapu ruangan. Tempat tidur kosong. Zayn sudah tidak di sana. Kamarnya juga sepi, hanya terdengar suara samar-samar orang berbicara dari lantai bawah. Mungkin dari ruang makan.Qiana mengembuskan napas lega. “Akhirnya…”Ia melangkah pelan ke depan meja rias, duduk, lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menghela napas panjang dan mulai menyisir rambutnya perlahan.“Muka kayak gini harusnya udah cukup oke lah ya ketemu mama papanya Zayn,” gumamnya, lalu mengambil cushion dan mulai menepuk ringan ke pipi. Makeup tipis-tipis saja, cukup untuk menyamarkan bekas begadang semalam karena, yah, begadang ‘aktivitas suami-istri’ itu beda jenis capeknya.Baru saja ia hendak merapikan bagian alis, mata Qiana terpaku pada pantulan lehernya di cermin.“E
"Astaga Kak Zayn!!!"Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka sedikit.“Qia?”Qiana membelalak. “U- udah mandinya?"Zayn mengangguk. "Hm.""Ya udah. Sekarang aku mau mandi." Qiana buru-buru turun dari ranjang begitu Zayn menjawab. Selimut yang melilit tubuhnya ia peluk erat-erat, seolah itu satu-satunya pertahanan terakhir yang masih bisa menyembunyikan rasa malunya. Langkahnya kecil-kecil, canggung, dan dia benar-benar menghindari kontak mata.Zayn yang berdiri di dekat lemari sambil mengenakan kaos, hanya bisa memperhatikan tingkah laku sang istri dari sudut matanya. Sekilas saja sudah cukup untuk membuat sudut bibirnya terangkat pelan.Gemas.Tapi ia tetap berusaha terlihat cool. Tidak ingin mempermalukan Qiana lebih jauh, meskipun dalam hatinya, ia ingin sekali menggoda gadis itu sampai pipinya makin merah.Qiana melangkah cepat ke arah kamar mandi, tapi sebelum sampai, ia tersandung karpet sedikit dan hampir saja terpeleset.“Woah!”Zayn spontan melangkah maju, refleks ingin menolong
Zayn nyaris terjatuh saat Qiana tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Pria itu refleks menahan tubuhnya agar tidak sepenuhnya menindih gadis yang masih tertidur itu.“Qia…” bisiknya pelan, menatap wajah Qiana yang terlihat gelisah dalam tidurnya.Gadis itu menggeliat kecil, menggenggam tangan Zayn semakin erat, lalu bergumam dalam igauan lirih.“Mama... jangan tinggalin Qia sendiri! Qia mau sama Mama...” Suaranya nyaris seperti bisikan yang pecah penuh kerinduan, seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan sosok satu-satunya yang membuatnya merasa aman.Zayn tertegun.Napasnya tertahan.Ia menatap Qiana yang masih terpejam, namun wajahnya menunjukkan kegelisahan yang jelas. Alisnya berkerut, bibirnya bergerak seolah ingin menangis, dan genggaman tangannya semakin kuat, seolah-olah Zayn adalah satu-satunya pegangan dalam mimpi yang mulai mengabur itu."Mimpi buruk lagi, ya?" gumam Zayn dalam hati. Perasaan aneh merambat di dada Zayn. Sesuatu yang menyesakkan dadanya
"Ahhh... Hhh.... Kak..." Sentuhan Zayn begitu lembut. Tidak menuntut. Tapi perlahan menyibak lapisan demi lapisan pertahanan yang selama ini Qiana bangun. Pikirannya sempat kosong. Lidahnya kelu. Ia bahkan lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar. Napas mereka berpadu dalam ruang yang mendadak terasa terlalu sunyi, terlalu hangat. “Qia…” bisik Zayn di sela helaan napasnya, tangannya berhenti di sisi wajah sang istri, mengusap pelan helai-helai rambut yang menutupi pipinya. Tubuh Qiana sedikit gemetar saat Zayn mulai melebarkan pahanya. Jarinya yang panjang mulai menyusuri paha putih mulus istrinya. "Kak... Ahhh!" Qiana tersentak. Tubuhnya mengejang ketika jemari Zayn bermain di liang kewanitaannya. Pijatan yang tadinya lembut menjadi gerakan intens yang mampu membuat sekujur tubuh gadis itu menegang. "Hhh... Aahhh..." "Kamu... basah, Qiana." Pipi Qiana memerah. Dadanya naik turun seiring helaan nafasnya yang semakin memburu. Ia memejamkan mata. Di balik kelopaknya yang tertu
Qiana berjalan melewati Zayn, dan saat Itu Dokter dengan sikap cuek dan dingin tersebut meraih lengan Qiana. Membuat istrinya tersentak kaget seketika Itu juga. "Kak Zayn? Ada apa?" "Dulu aku memang gak nafsu sama kamu, tapi gimana kalau sekarang aku berubah pikiran?" Qiana terdiam sejenak, matanya membulat kaget. Napasnya tercekat. Lengan Zayn yang masih menggenggam pergelangan tangannya terasa kuat dan panas, seakan mengalirkan sesuatu yang membuat tubuhnya refleks menegang. “A-apa maksud kamu?” gumamnya, mencoba menarik tangannya, tapi Zayn tak melepaskan. “Gimana kalau sekarang aku berubah pikiran?” ulang Zayn dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan, tapi tegas dan sarat tekanan. Qiana menatap pria itu dengan ekspresi setengah tak percaya. "Kamu lagi ngegertak aku, ya?" Zayn tak langsung menjawab. Ia hanya menatap dalam ke mata Qiana, seperti sedang menantang gadis itu untuk tetap tenang dalam jarak sedekat ini. Detik-detik berlalu dalam ketegangan. Lalu Qiana menghela