"Apa anda yakin ingin datang ke acara makan malam ini tuan Barra?" tanya Gabriel, pasalnya makan malam ini akan membicarakan soal pernikahan Barra dan Luna yang akan di langsungkan pekan depan. "Iya, cepat siapkan mobil." Gabriel dengan patuh pergi ke garasi untuk mengeluarkan salah satu mobil milik Barra, Gabriel tidak ikut kesana karena makan malam ini hanya melibatkan anggota keluarga inti Barra dan Luna. Barra akhirnya mau menerima rencana pernikahannya dengan Luna setelah menolaknya berkali-kali, tapi Barra tidak serta merta menerima Luna sebagai istrinya nanti karena bagi Barra pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan di atas kertas. Tidak ada status suami istri yang nyata di antara ia dan Luna, juga tidak ada kewajiban bagi Barra untuk bersikap seperti seorang suami untuk Luna. Pernikahan ini terjadi karena paksaan, jadi jangan harap Barra akan menganggapnya sebagai istri apalagi membahagiakannya. Barra sampai di restoran bintang lima yang paling terkenal di kota ini, juga
Sarah segera mengemas barangnya yang ada di kontrakan setelah mengetahui niat jahat Nathaniel, untungnya ia belum lama tinggal disini jadi tidak terlalu banyak barang yang akan ia bawa. Sarah menyeret kopernya di tengah gelapnya malam, ia tidak menyangka kalau ternyata Nathaniel bisa sejahat itu padanya. Nathaniel benar-benar lihai menyembunyikan topeng aslinya, untungnya ia tau lebih dulu rencana busuk Nathaniel untuk menghancurkannya juga Barra sebelum semuanya terlambat. Sarah menyetop taksi saat sampai di pertigaan jalan, pikirannya blank seketika karena kekecewaannya pada Nathaniel. Saat ditanya tujuanpun Sarah bukannya menunjukkan alamat apartemen Helena, ia tanpa sadar malah menjawab alamat kondominium Barra. Lima belas menit berlalu taksi itu akhirnya memberhentikan lajunya tepat di lobby kondominium mewah, Sarah memberinya ongkos serta tip lalu membawa keluar barang bawaannya dari bagasi mobil."Selamat malam nyonya, anda ingin ke unit mana?" tanya security yang bertugas di
"Selamat pagi pak Barra," sapa semua karyawan saat Barra datang.Meja itu masih kosong, padahal satu menit lagi jam kerja akan segera di mulai. Netranya melirik ke segala arah untuk mencari keberadaan Sarah, tapi nampaknya Sarah memang tidak masuk kerja hari ini. Gabriel tersenyum tipis melihat tingkah Barra yang seperti anak ayam kehilangan induknya, bilangnya tidak perduli lagi tapi ketika Sarah tidak ada ia langsung kelimpungan. Pekerjaannya tidak ada yang beres sejak tadi, ia merindukan sosok cantik itu dan aroma tubuhnya."Buatkan aku kopi," titah Barra lewat interkom. Gabriel datang membawakan segelas kopi untuknya, juga beberapa dokumen yang harus ia diskusikan sesegera mungkin dengan Barra. "Apa Sarah meminta izin untuk tidak masuk ke kantor hari ini?" tanya Barra di tengah diskusi. "Tidak tuan Barra, tapi sepertinya dia tidak akan masuk hari ini atau mungkin beberapa hari ke depan. Biar saya yang mewakilkan izinnya ke pihak HRD," sahut Gabriel. Kening Barra mengernyit, "D
Sarah mengerjapkan kedua matanya saat tubuhnya mulai terasa gerah karena sesuatu yang mendekapnya erat, entah sejak kapan ia tertidur yang jelas sekarang sudah pukul lima sore dan langit mulai menampilkan cahaya senjanya yang indah. Sarah menoleh ke arah Barra yang tengah tertidur lelap di sebelahnya, ia menatap lekat wajah pria yang kini sudah memenuhi seluruh ruang di hatinya. Barra membuka kedua matanya secara tiba-tiba dan kini pandangan mereka saling bertemu, setelah sekian lama berjauhan akhirnya Barra dapat merasakan lagi momen saat berdekatan seperti ini dengan Sarah. Barra menangkup sebelah wajah Sarah, mencoba mendekati bibir ranum yang sudah lama tidak ia cicipi. Sarah pun mulai tenggelam dalam tatapan Barra, sampai akhirnya mereka hanyut dalam sebuah ciuman yang panas. Tangan Barra mulai menyelinap masuk ke dalam baju Sarah dan menggenggam gundukan kenyal yang hanya terbalut bra tipis, ciuman Barra kini berganti ke leher Sarah yang membuatnya mendesah pelan karena hisapan
Mereka akhirnya sampai di butik dan langsung di sambut penuh hormat oleh karyawan Arista, wanita paruh baya itu langsung memeluk calon menantu kesayangannya dan membawanya ke ruangan fitting sedangkan Barra hanya menunggunya di ruangan Arista. Barra menyapu pandangannya ke setiap sudut ruangan Arista, sampai tatapannya tertuju pada figura kecil di sudut ruangan dengan sebuah foto usang di dalamnya. Enzo Fabiano, rupanya Arista masih terus mengingatnya meskipun pria bajingan itu sudah mencampakkannya dan Barra. Barra mengeluarkan foto itu dari figura, lalu membakarnya hingga terobek sebagian terutama wajahnya. Pria bajingan itu tidak pantas di kenang, ia lebih pantas di lenyapkan dari dunia ini. Kalau Arista tetap kekeuh ingin menyimpan foto itu biarlah, lagipula foto itu hanya tersisa secuil dan menyisakan bagian kakinya saja. "Sayang, aku cari kamu kemana-mana. Aku kira kamu pulang," rengek Luna, ia datang ke ruangan Arista dengan memakai baju pengantin. Barra menendang sisa foto
"Oke saya akan kesana sekarang, terimakasih sudah menghubungi saya Tiwi!" ucap Sarah lalu menutus panggilan teleponnya. Sarah berjalan tertatih menuju ke luar kamar, namun baru saja ia melangkah di ujung tangga tiba-tiba ia di cegat oleh dua pria bertubuh kekar dan berpenampilan seperti bodyguard. "Maaf nona Sarah, anda tidak diizinkan pergi kemana-mana sampai sembuh oleh tuan Barra." ucap salah satunya. "Tapi ada hal penting yang ingin aku lakukan! tolong menyingkir!" Sarah mendorong tubuh kekar itu agar tidak menghalangi jalannya tapi sayang usahanya sia-sia, tubuh itu bahkan tidak bergerak sedikitpun setelah Sarah mengeluarkan tenaganya hingga tetes terakhir. "Kalau kalian tidak mau menyingkir baiklah aku akan melompat ke bawah!" ancamnya yang kali ini sukses membuat wajah kedua bodyguard itu pias. "Nona, tolong jangan mempersulit kami. Kami hanya menjalankan perintah untuk menjaga nona, atau begini saja lebih baik nona hubungi dulu tuan Barra untuk meminta izin." bujuknya.
Setelah semua urusannya di perusahaan selesai, Sarah kembali lagi ke rumah sakit untuk melanjutkan sesi terapinya yang sempat tertunda. Saat melihat Barra yang tengah duduk di sofa seorang diri Sarah langsung menghambur dan memeluknya erat, saat ini Sarah tidak perduli apa status Barra. Yang jelas saat ini Sarah sedang ingin meluapkan semua perasaan yang ada di hatinya, dan hanya di pelukan Barra Sarah dapat melakukan semua itu."Jadi kamu hanya mendapatkan enam puluh persen dari hasil penjualan itu?" tanya Barra. "Iya, itupun aku harus berdebat sengit dulu dengan Mario si pencuri bajingan itu." Kedua mata Sarah membulat lebar, ia baru teringat kalau tadi sempat menampar Mario yang terjangkit HIV. Wajahnya langsung berubah panik dan meminta Barra untuk mengajaknya tes HIV, meskipun hanya menampar Mario Sarah tetap harus waspada karena kesialan bisa datang karena ketidak sengajaan. "Oke, jangan panik. Kita tes sekarang dan sekalian terapi pergelangan kakimu agar bisa berjalan cantik
Beberapa hari di rawat di rumah sakit, kaki Sarah akhirnya sembuh juga dan kini ia tengah bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Gabriel membawanya ke sebuah kondominium milik Barra yang baru saja di beli tiga hari yang lalu, sengaja Barra membeli kondominium itu untuk Sarah dan atas nama Sarah karena Barra tau Sarah tidak lagi memiliki tempat untuk bernaung. "Kalian sudah siap?" tanya Gabriel, Sarah dan Helena kompak mengangguk.Helena bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah terjatuh lagi sambil terus memegangi kepalanya, wajah Helena memang sudah pucat sejak datang namun ketika ditanya ia selalu menjawab kalau ia baik-baik saja. "Hel, kita ke dokter aja yuk. Mumpung kita masih di rumah sakit," bujuk Sarah."Tidak usah Sarah, aku baik-baik saja kok. Ini cuma efek alkohol di tubuhku saja yang belum ilang," "Kamu yakin Hel? kamu tidak sedang membohongi aku kan?" tanya Sarah penuh selidik karena setahu Sarah Helena itu kuat minum. "Iya aku yakin, ayo kita pulang. Aku mau liat ko