Share

Bab 5: Pangeran Berpeci

“Nih!”

“Maksud lo apa?!” Lagi dan lagi, Nayla tak mampu membendung emosinya, ketika melihat sebuah benda kecil dan mungil di tangannya.

“Gunakan ini untuk melaksanakan hukumanmu!” Laila menampilkan ekspresi penuh kemenangan. Ia senang ketika melihat Nayla berada dalam fase ‘frustasi tingkat tinggi’. Bukannya tega, hanya saja Laila sangat benci ketika harus berurusan dengan orang yang melanggar peraturan, apalagi dalam kasus ini, baru kali ini ada santri yang memberontak dan berani melawannya. Semakin membara-lah niat Laila untuk memberi santri kurang ajar ini pelajaran berharga yang tak akan pernah dilupakannya.

“Lo gila!” sumpah serapah itu sudah puluhan kali diucapkan Nayla sepagi ini. Menjadi rekor baru sebagai, jumlah umpatan terbanyak yang diucapkannya hanya dalam jangka waktu satu jam saja.

“Masa gue harus bersihin rumput di lapangan ini cuman pakai gunting kuku!”

Ya, benda kecil nan imut yang diberikan Laila adalah sebuah gunting kuku. Laila memberikan benda itu sebagai hukuman  atas tindakan Nayla yang bolos sholat subuh berjamaah pagi tadi. Laila pikir bahwa gadis itu tak akan jera jika hanya diberikan hukuman klasik yang biasa, ia harus memberinya hukum lain yang akan mampu membuat Nayla tak akan pernah berani melanggar peraturan lagi.

Melihat ilalang di lapangan, yang biasa digunakan para santri untuk berolahraga, sudah tumbuh sangat tinggi, membuat otak Laila terpikirkan sebuah ide cemerlang.

Tapi bukankah memotong rumput dengan menggunakan mesin pemotong adalah hal yang kurang menantang? Makannya otak cerdas Laila memiliki ide lain, yaitu menghukum Nayla untuk memangkas habis rumput ilalang di lapangan ini dengan menggunakan gunting kuku.

Ya, sebuah gunting kuku kecil dengan gambar helo kitty yang tak kalah imutnya.

“Lo kalau benci sama gue bilang! Biar kita selesaikan secara gentle. Kalau perlu kita kelahi, kita kelahi saja di sini, mumpung lapangannya masih kosong!”

“Ana tidak benci, malahan ana sayang sama anti (aka kamu dalam Bahasa Arab), buktinya saya tidak membiarkan kamu tersesat terlalu lama dalam jeratan setan yang hina bina,” Laila tersenyum sok manis, yang membuat Nayla bertambah muak saja. “Saya sengaja menghukum kamu agar kamu sadar dan tidak pernah lagi meninggalkan sholat yang merupakan perintah Tuhan.”

“Gue gak butuh ceramah dari lo!”

“Ya memang, kamu tidak perlu ceramah saya, tapi kamu butuh hukuman dari saya,” Laila menyeringai. Untuk pertama kalinya, Nayla menemukan lawan debat yang seimbang.

“Bersihkan seluruh area lapangan ini. Pangkas habis rumput dan ilalang yang meranggas dengan menggunakan alat yang saya berikan.”

“Gue gak mau! Kenapa juga gue harus ngelakuin itu?”

“Ya karena kamu gak punya pilihan lain.”

“Siapa bilang?”

“Abah yang bilang. Dan saya yakin kalau kamu gak akan tega membuat abah kembali kecewa dengan tindakanmu?’

Sial! Dia tahu kartu AS Nayla. Abah. Penyihir itu menggunakan nama abah untuk memeras Nayla.

“Waktumu tersisa 3 jam 45 menit lagi, setelah kamu menyia-nyiakan lima belas menit waktu berhargamu untuk berdebat dengan saya,” ujarnya sambil melirik jam tangan yang melingkar di tangannya, “Kalau sampai pada pukul 3 siang, rumput di lapangan ini belum terpangkas, maka ana akan memberimu hukuman lain yang lebih tidak masuk akal dari ini. Paham!”

Setelah mengatakan itu, Laila pergi. Meninggalkan Nayla yang tak berhenti menyumpahinya dalam hati.

***

Ckrek

Ckrek

Ckrek

“Sial! Ini penghinaan, mana ada selebritis papan atas diperlakukan sehina ini?”

Sudah satu jam berlalu dan baru beberapa lembar daun ilalang yang berhasil dipangkasnya. Satu persen, oh tidak, 0,00001 persennya saja belum ada. Memangnya apa yang diharapkan, Nayla bisa memotong habis ilalang di lapangan seluas ini, secepat kilat, hanya dengan menggunakan gunting kuku saja gitu? Tentu tidak, dan Nayla yakin spiderman, superman, betmen dan men-men lainnya pun gak akan sanggup melakukannya.

Memang dasar Laila saja yang gila.

“Dia gila. Perempuan itu memang gila. Dasar Laila si penyihir!”

“Berhentilah menggerutu dan mulai bekerja. Waktumu habis hanya untuk menyumpahiku, dan itu tak ada gunanya!” teriakan Laila menggelegar dari ujung lapangan sana, sekaligus memberi jawaban pada kamu-kamu yang mungkin berpikir, kenapa tidak mencabut saja biar cepat atau guanakan cara lain toh Laila tidak akan tahu? Ya itu bisa saja dilakukan jika si nenek sihir itu tidak duduk di sana sembari mengawasi Nayla yang jongkok sambil panas-panasan di tengah lapangan, sementara dia duduk santai di bawah payung besar dengan segelas es jeruk yang seakan mengejek kesusahan Nayla saat ini.

“Ilalang itu tak akan bisa memotong dirinya sendiri!”

“Berisik! Bisa diem gak lo, gue gak butuh saran dari lo!”

Nayla kembali menggunting selembar daun ilalang, dengan bibir yang masih mencak-mencak, menyumpahi Laila yang semoga selalu mendapat kesialan, setiap hari, selama hidupnya. Sesekali Nayla menggaruk tangan dan wajahnya yang gatal karena ulah serangga yang menggigitnya. Di tengah-tengah kesusahan itu, mata Nayla tak sengaja menangkap objek yang sedari tadi ia cari. Sebuah mesin pemotong rumput terlihat tersandar pada dinding tinggi di bawah pohon jambu.

 Letaknya tak terlalu jauh, tapi tentu jika Nayla ke sana akan menimbulkan kecurigaan Laila. Maka, yang bisa Nayla lakukan sekarang adalah menunggu Laila lengah, sehingga ia bisa menjangkau mesin pemotong rumput itu dan menggunakannya untuk memangkas rumput-rumput ini.

Bak gayung bersambut, Nayla melihat pergerakan aneh Laila. Gadis itu nampak berdiri dengan kaki tak bisa diam. Kebelet ke kamar kecil sepertinya, dan kesempatan itu tentu tak akan disia-siakannya. Ketika melihat Laila pergi, Nayla segera berdiri dan bergegas menghampiri mesin pemotong rumput itu. Baru saja tangannya hendak menyentuh alat itu, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan nyaring dari balik dinding.

“Ampun Tadz, ampun, saya janji gak akan kabur lagi! Hahahaha!” teriakan itu terdengar aneh, setelah suara meminta pengampunan, dilanjutkan suara gelak tawa yang menggelegar.

Karena penasaran, Nayla menempelkan telinganya ke permukaan dinding itu.

“Hahahahah! Iya Tadz, iya, saya bersumpah Ustadz, saya gak akan nakal lagi, gak akan kabur lagi. Tapi tolong hentikan, saya udah gak kuat! Hahahaha!” dari suaranya, Nayla duga bahwa itu adalah suara anak laki-laki.

“Apa lagi ada yang dihukum kayak gue kali ya?” tanya Nayla pada dirinya sendiri, “Apa perlu gue liat?”

“Liat aja deh, lumayan buat hiburan.” Nayla menerbitkan seulas senyum ketika melihat pohon jambu tinggi di sampingnya.

Hap! Hap!

Dengan tangkas, Nayla memanjat pohon jambu yang berukuran cukup tinggi itu. jika kau bertanya, darimana Nayla mendapatkan kemampuan memanjat itu? Bisa jadi jawabannya adalah karena pengalamannya saat kecil dulu yang sering nyolong buah mangga milik tetangga, membuat bakat itu tetap terjaga dan tak dilupakannya sampai dewasa.

Setelah berada di posisi atas, Nayla mengedarkan pandangannya demi mencari dahan pohon jambu yang dirasa cukup kuat untuk bisa ia duduki. Nayla tersenyum cerah ketika ia berhasil menemukan dahan pohon yang sesuai.

“Nah, gini kan enak ngintipnya,” Nayla membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman dan meminimalisir risiko agar gak ketahuan.

Gadis itu lalu berusaha memperjelas penglihatannya, demi melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di sana. Hal yang pertama dilihatnya adalah santri-santri putra yang nampak berkerumun. Entah apa yang sedang dilakukan, namun terlihat kerumunan itu membentuk satu lingkaran besar, dengan beberapa orang di tengahnya.

Santri-santri di sisi lingkaran, nampak tertawa menikmati kesusahan dari teman-temannya yang tengah mendapat hukuman. Tujuh santri putra dengan usia rata-rata 10-11 tahun yang terlihat pasrah, berjongkok di tengah-tengah, berusaha mengikhlaskan rambut mereka yang tengah dibotaki. Sementara tak jauh dari pemandangan itu, ada seorang santri lagi yang terlihat sedang digelitiki oleh beberapa orang dengan menggunakan tongkat berbulu di ujungnnya. Perkiraan Nayla, dialah pemilik suara yang tadi Nayla dengar.

Pandangan Nayla kembali mengedar, kali ini matanya jatuh pada sosok yang paling menarik perhatian, seorang lelaki yang terlihat berbeda. Dengan perawakan tinggi, punggung lebar, dan kulit tangan yang putih. Pria itu nampak berdiri membelakangi Nayla dengan tongkat yang digenggam di tangan kanan. Dari auranya yang berbeda, Nayla tebak bahwa pria itu adalah pemimpin yang sedang mengawasi anak buahnya agar melaksanakan hukuman sesuai perintahnya.

Namun, di detik berikutnya, Nayla kaget dengan gerakan pria itu yang tiba-tiba berbalik dan menatap tepat ke arah posisi di mana Nayla mengintip. Mata mereka akhirnya bertemu.

Satu detik

Dua detik

Dan di detik ketiga, entah memiliki magis apa, namun mata itu mampu membuat konsentrasi Nayla buyar, pegangannya pada dahan akhirnya terlepas, membuat tubuhnya oleng dan-

Gedebuk!

Nayla terjatuh.

Namun anehnya, tak terdapat raut kesakitan di wajah Nayla. Yang ada malah senyum sumringah dengan mata berbinar. Seakan terhipnotis, Nayla membeku beberapa saat, sampai akhirnya ia sadar dan spontan bergumam,

“Ya Tuhan, dia ganteng banget!” dan ini adalah kali pertama Nayla memuji nama Tuhan lagi setelah beberapa tahun melupakan-Nya.

Lelaki itu, mampu membius Nayla sampai tak bisa berkutik. Mata coklatnya yang terlihat bertambah indah ketika ditempa sinar mentari, membuat Nayla semakin terjebak. Dan dua detik, adalah waktu cukup untuk membuat Nayla jatuh cinta.

Siapa lelaki itu?

“Siapapun dia, gimanapun caranya, gue harus bisa dapetin dia. Titik!” ucapnya semangat, sambil satu tangan mengusap-usap bokongnya yang kini mulai terasa sakit.

Lelaki itu, nyatanya mampu mengubah pemikiran Nayla. Membuatnya akhirnya menyadari bahwa mungkin saja, tempat membosankan ini, tak seburuk yang ia kira. Membuat gadis bar-bar itu akhirnya menemukan satu alasan untuk tetap tinggal di sini. 

Nayla harus bisa mendapatkan lelaki itu, bagaimanapun caranya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status