Share

Bab 4: Jadi Santri? No Way!

Byurr!

Tampa aba-aba, seember air dingin disiram ke wajah dan tubuh Nayla, membuat gadis itu terlonjak kaget dari tidurnya. Mata pandanya menandakan bahwa semalam dia tak bisa tidur sama sekali, dan hanya menghabiskan waktu untuk marah-marah dan tak terima dengan keputusan kakeknya.

Semalam, sekitar pukul satu dini hari, abah membawa Nayla masuk ke sebuah kamar asing dengan lemari kayu kecil dan ranjang bertingkat. Demi mencegah cucunya kabur, abah memutuskan untuk mengurung dan mengunci Nayla di kamar yang biasa para santriwati tempati untuk beristirahat.

“Bangun!” bentak orang itu lagi sambil menarik kain satin yang dikenakan Nayla dan memaksanya untuk berdiri.

Nayla yang masih belum sadar betul, tak bisa berbuat banyak. Walaupun dalam hati, ia tengah mengumpulkan niat untuk bisa menghajar orang itu dengan benda apapun yang bisa ia jangkau.

Hal pertama yang dilihatnya ada seorang perempuan seumurannya, dengan wajah sinis, mata melotot, bibir manyun, dan warna kulit sawo matang, tengah berdiri angkuh dan penuh emosi sambil berkacak pinggang di hadapannya.

“Apa-apaan sih lo?” tanya Nayla tak terima, dia mengusap wajahnya dan rambutnya yang lepek terkena air.

Ana yang harusnya bertanya, kenapa kamu masih  ada di sini, sedangkan santri lain sudah berada di masjid untuk sholat subuh berjamaah dan setoran hapalan!” tanyanya penuh selidik, “Oh atau jangan-jangan kamu bolos sholat subuh? Astagfirullahaladzim!” katanya lagi dengan ekspresi kaget ala-ala, plus gelengan kepala seolah Nayla ini adalah sosok manusia paling berdosa di dunia. (Ana, diambil dari Bahasa Arab yang artinya aku/saya)

“Kenapa gue harus ke sana? dan buat apa gue harus turutin semua perintah lo!” Nayla dengan sikap keras kepalanya, mana mau mengalah begitu saja.

“’Kenapa?’ kamu tanya ‘Kenapa kamu harus turutin perintah saya?’” mata besarnya kian melotot, membuat pemandangan menyeramkan di mata Nayla dan memaksanya untuk mundur beberapa langkah.

“Karena ini!” ujarnya mengangkat dagu dengan angkuh, sambil satu jemari menunjuk pada label nama di dada yang bertuliskan:

Laila Nurjanah

Ketua Penananggung Jawab Keamanan Pondok Putri

Pesantren Nurul-Huda

“Karena ana adalah ketua penanggung jawab keamanan pondok putri yang ditunjuk langsung oleh Abah Ahmad untuk mendisiplinkan santri-santri di sini,” ucapnya bangga sambil menepuk dada. “Karena ini adalah wilayah ana, dan karena kamu berada di wilayah saya, berarti kamu harus patuhi semua perintah saya, paham!”

“Oh jadi lo merasa udah paling besar di sini?” tantang Nayla tak terima. Selain abah, Nayla tak akan terima diperintah siapapun, termasuk oleh perempuan jelmaan singa betina di hadapannya.

“Faktanya memang begitu.”

Menyebalkan, adalah satu kata yang paling tepat untuk mewakili pandangan Nayla tentang perempuan bernama Laila ini.

“Lo gak tau siapa gue?”

“Kenapa ana harus tau?” jawabnya acuh tak acuh, tentu jawaban itu membuat jemari Nayla mengepal karena gatal ingin segera menimpuk wajah menyebalkan itu dengan sapu.

“Lagipula dari penampilannya saja ana yakin bahwa-,” dia sengaja memotong kalimatnya, sembari memindai tubuh basah Nayla dari ujung kepala sampai ujung kaki. Terlihat bagaimana Laila memandang  aneh pada pakaian dress satin pendek yang membentuk tubuh Nayla dengan sempurna. Lalu, dengan tanpa ba-bi-bu, Laila entengnya berkata, “Bahwa kamu bukan perempuan baik-baik.”

Mata Nayla melotot tak terima, “Lo pasti gak bakal selancang ini kalau tahu siapa gue sebenarnya!”

“Siapa peduli, gak ada yang pantas ana takutin kecuali Tuhan.”

Nayla tergugu, “Y-ya bener sih, tapi lo gak seharusnya bertingkah seperti ini kalau tahu gue siapa. Asal lo tahu ya kalau gue adalah-awhh!”

Srett! Tanpa pikir panjang, Laila langsung menyeret paksa Nayla ke luar dari kamarnya.

Ana tak peduli kamu siapa, yang saya tahu bahwa jika kamu melakukan kesalahan di wilayah saya, memberimu hukuman adalah tanggung jawab bagi saya!” Laila mendorong tubuh Nayla sampai dia terduduk di area taman yang terletak di tengah-tengah pondok santri putri.

Byurr~

Satu ember air kembali disiramkan ke tubuh Nayla, membuat gadis itu mengigil karena air dingin yang bersatu padu dengan suasana pagi dan angin yang menusuk tulang.

“Lihat!” teriaknya bermaksud untuk meperingati para santri putri yang kebetulan baru pulang dari mesjid.

“Ini adalah balasannya kalau sampai ada yang berani melanggar peraturan dan melawan perintah dari Abah. Selalu ingat bahwa sebelum kalian melakukan kesalahan, ingatlah namaku, Laila, ketua penanggung jawab keamanan pondok putri yang ditunjuk langsung oleh Abah Ahmad. Ingat itu!” suara itu mengelegar, seperti sebuah peringatan awal sebelum dimulainya peperangan.

Nayla, tak diam saja, dia bukan pemeran protagonis di film atau drama yang akan diam saja, menerima sambil menangisi takdirnya yang selalu teraniaya. Maka, dengan tangan mengepal penuh amarah, Nayla bangkit dan menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan nyalang.

“Lo gak akan sanggup membayangkan apa yang akan seseorang lakukan untuk membalaskan kelancangan lo sama gue.”

“Oh ya? Siapa yang bisa membela kamu dan memberi pelajaran pada saya?” tantang Laila pongah.

“Ikut gue!”

Kini gantian Laila yang diseret paksa oleh Nayla menuju ke sebuah tempat. Nayla tak mau diam saja mendapat perlakuan memalukan yang dilakukan Laila padanya. Bagaimanapun, Nayla harus bisa membalas semua perlakuan perempuan menyebalkan itu. tak perlu di nanti-nanti, Laila harus mendapat balasannya saat ini juga, kontan!

Nayla mencoba mengingat-ingat jalan yang kemarin malam dilaluinya.

“Heh, kenapa kamu masuk ke Bumi Ageung tanpa ijin?” Laila panik ketika perempuan asing ini tiba-tiba masuk melalui gerbang utama Bumi Ageng, tempat khusus di mana Abah Ahmad dan para guru sekaligus pendiri  pesantren Nurul Huda tinggal. Biasanya, gerbang utama hanya dikhusukan untuk abah beserta para tamu istimewa yang tak sembarang santri bisa melewatinya.

“Sekali lagi kamu sudah melanggar peraturan! Lihat saja hukuman untukmu akan ana tambah tiga kali lipat!”

“Bodo!”

Nayla lalu diam sejenak, mengedarkan pandangan mencari sosok seseorang. Di ujung taman, terlihat sosok yang ia cari. Seorang lelaki tua dengan gamis putih panjang, sorban, dan sajadah tersampir di bahunya. Sepertinya dia baru saja selesai melaksanakan sholatnya di mesjid.

“Abah!” Nayla berteriak, membuat abah menoleh ke sumber suara. Melihat itu, wajah Nayla mendadak cerah, tanpa menunggu lama, Nayla langsung menyeret Laila menuju ke hadapan abah.

“Bah! Lihat apa yang dilakukannya padaku,” bibir Nayla mengerucut sembari menunjuk ke arah tubuhnya yang basah kuyup.

“Asslamualaikum Abah, selamat pagi.” Aneh, Laila sama sekali tak terlihat panik, dia malah tiba-tiba bersikap lembut. Singa garang yang tadi ditunjukannya berubah menjadi kucing manis di hadapan abah.

“Ada apa?” intonasi abah masih sedingin udara pagi ini.

“Ini Abah, dia tiba-tiba siram aku tanpa alasan yang jelas, dia juga mempermalukan Nayla di depan para santri putri hanya karena kesalahan  kecil.”

“Ijin menjelaskan Abah, maaf, namun kesalahan kecil yang dimaksud olehnya adalah melewatkan sholat subuh berjamaah dan bolos hapalan, walaupun dia tidak sedang berhalangan.”

“Bagaimana lo bisa tahu kalau gue gak lagi berhalangan?”

“Saya tahu dari lemari dan tempat sampah baik di kamar mandi maupun di luar kamar yang tidak terdapat bekas pembalut. Selain itu di tangannya tidak terdapat gelang merah sebagai tanda bahwa dia termasuk santri yang tengah berhalangan,” ucapnya santai sambil melirik ke arah Nayla dan tak lupa senyuman manis yang malah terlihat seperti seringai mengerikan di mata Nayla

“Maka dari itu, sesuai dengan ketentuan, maka santri yang melanggar peraturan pesantren, harus mendapat hukuman.”

Mata Nayla melotot. Sepertinya perempuan ini bukan lawan yang bisa ia anggap remeh. Dia tidak selemah yang Nayla kira.

“Tapi Abah, apapun alasannya, Abah tak bisa membiarkan dia mempermalukan cucu Abah.”

“Cucu?” kini, gantian mata Laila yang membulat. Melihat kepanikan di wajah rivalnya itu, membuat Nayla tersenyum penuh kemenangan.

“Iya gue cucunya Abah. Kenapa? Gak percaya kan lo haha! Liat aja apa yang bakal dilakuin Abah buat beri lo pelajaran karena udah berani menghukum cucu tersayangnya.”

“Ma-maaf Abah. Laila gak tahu.” Laila tertunduk, “Laila gak tahu kalau sebenarnya dia adalah cucu-“

“Hukuman apa yang biasa kamu berikan untuk para santri yang melanggar peraturan?” sanggah abah tiba-tiba.

“Biasanya, mereka akan disuruh untuk memberihkan seluruh area wc putri,” cicit Laila lemah.

“Jangan!”

Senyum Nayla bertambah lebar, dia sudah tahu bahwa abah pasti akan membelanya, “Rasain lo, makannya jangan pernah berani ngehukum gue karena gue adalah cucu ter-“

“Tambah hukuman lain, itu terlalu mudah untuk kesalahan sefatal itu.”

Mata Nayla membulat sempurna, dengan ekspresi kaget tak percaya, dia menatap abah demi memastikan bahwa dia tak salah dengar.

“Selama dia di sini, dia menjadi tanggung jawabmu Laila, perlakukan dia seperti kau memperlakukan santri lainnya. Tak boleh dibedakan. Tak boleh diistimewakan. Bahkan kau berhak memberinya hukuman berat jika dia melakukan kesalahan dan melanggar peraturan lagi.”

“Baik Abah, akan Laila laksanakan.”

“Tap-tapi Bah?”

Tanpa mau mendengarkan, abah melenggang pergi, meninggalkan Laila yang tersenyum licik dan Nayla yang membeku di tempatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status