Byurr!
Tampa aba-aba, seember air dingin disiram ke wajah dan tubuh Nayla, membuat gadis itu terlonjak kaget dari tidurnya. Mata pandanya menandakan bahwa semalam dia tak bisa tidur sama sekali, dan hanya menghabiskan waktu untuk marah-marah dan tak terima dengan keputusan kakeknya.
Semalam, sekitar pukul satu dini hari, abah membawa Nayla masuk ke sebuah kamar asing dengan lemari kayu kecil dan ranjang bertingkat. Demi mencegah cucunya kabur, abah memutuskan untuk mengurung dan mengunci Nayla di kamar yang biasa para santriwati tempati untuk beristirahat.
“Bangun!” bentak orang itu lagi sambil menarik kain satin yang dikenakan Nayla dan memaksanya untuk berdiri.
Nayla yang masih belum sadar betul, tak bisa berbuat banyak. Walaupun dalam hati, ia tengah mengumpulkan niat untuk bisa menghajar orang itu dengan benda apapun yang bisa ia jangkau.
Hal pertama yang dilihatnya ada seorang perempuan seumurannya, dengan wajah sinis, mata melotot, bibir manyun, dan warna kulit sawo matang, tengah berdiri angkuh dan penuh emosi sambil berkacak pinggang di hadapannya.
“Apa-apaan sih lo?” tanya Nayla tak terima, dia mengusap wajahnya dan rambutnya yang lepek terkena air.
“Ana yang harusnya bertanya, kenapa kamu masih ada di sini, sedangkan santri lain sudah berada di masjid untuk sholat subuh berjamaah dan setoran hapalan!” tanyanya penuh selidik, “Oh atau jangan-jangan kamu bolos sholat subuh? Astagfirullahaladzim!” katanya lagi dengan ekspresi kaget ala-ala, plus gelengan kepala seolah Nayla ini adalah sosok manusia paling berdosa di dunia. (Ana, diambil dari Bahasa Arab yang artinya aku/saya)
“Kenapa gue harus ke sana? dan buat apa gue harus turutin semua perintah lo!” Nayla dengan sikap keras kepalanya, mana mau mengalah begitu saja.
“’Kenapa?’ kamu tanya ‘Kenapa kamu harus turutin perintah saya?’” mata besarnya kian melotot, membuat pemandangan menyeramkan di mata Nayla dan memaksanya untuk mundur beberapa langkah.
“Karena ini!” ujarnya mengangkat dagu dengan angkuh, sambil satu jemari menunjuk pada label nama di dada yang bertuliskan:
Laila Nurjanah
Ketua Penananggung Jawab Keamanan Pondok Putri
Pesantren Nurul-Huda
“Karena ana adalah ketua penanggung jawab keamanan pondok putri yang ditunjuk langsung oleh Abah Ahmad untuk mendisiplinkan santri-santri di sini,” ucapnya bangga sambil menepuk dada. “Karena ini adalah wilayah ana, dan karena kamu berada di wilayah saya, berarti kamu harus patuhi semua perintah saya, paham!”
“Oh jadi lo merasa udah paling besar di sini?” tantang Nayla tak terima. Selain abah, Nayla tak akan terima diperintah siapapun, termasuk oleh perempuan jelmaan singa betina di hadapannya.
“Faktanya memang begitu.”
Menyebalkan, adalah satu kata yang paling tepat untuk mewakili pandangan Nayla tentang perempuan bernama Laila ini.
“Lo gak tau siapa gue?”
“Kenapa ana harus tau?” jawabnya acuh tak acuh, tentu jawaban itu membuat jemari Nayla mengepal karena gatal ingin segera menimpuk wajah menyebalkan itu dengan sapu.
“Lagipula dari penampilannya saja ana yakin bahwa-,” dia sengaja memotong kalimatnya, sembari memindai tubuh basah Nayla dari ujung kepala sampai ujung kaki. Terlihat bagaimana Laila memandang aneh pada pakaian dress satin pendek yang membentuk tubuh Nayla dengan sempurna. Lalu, dengan tanpa ba-bi-bu, Laila entengnya berkata, “Bahwa kamu bukan perempuan baik-baik.”
Mata Nayla melotot tak terima, “Lo pasti gak bakal selancang ini kalau tahu siapa gue sebenarnya!”
“Siapa peduli, gak ada yang pantas ana takutin kecuali Tuhan.”
Nayla tergugu, “Y-ya bener sih, tapi lo gak seharusnya bertingkah seperti ini kalau tahu gue siapa. Asal lo tahu ya kalau gue adalah-awhh!”
Srett! Tanpa pikir panjang, Laila langsung menyeret paksa Nayla ke luar dari kamarnya.
“Ana tak peduli kamu siapa, yang saya tahu bahwa jika kamu melakukan kesalahan di wilayah saya, memberimu hukuman adalah tanggung jawab bagi saya!” Laila mendorong tubuh Nayla sampai dia terduduk di area taman yang terletak di tengah-tengah pondok santri putri.
Byurr~
Satu ember air kembali disiramkan ke tubuh Nayla, membuat gadis itu mengigil karena air dingin yang bersatu padu dengan suasana pagi dan angin yang menusuk tulang.
“Lihat!” teriaknya bermaksud untuk meperingati para santri putri yang kebetulan baru pulang dari mesjid.
“Ini adalah balasannya kalau sampai ada yang berani melanggar peraturan dan melawan perintah dari Abah. Selalu ingat bahwa sebelum kalian melakukan kesalahan, ingatlah namaku, Laila, ketua penanggung jawab keamanan pondok putri yang ditunjuk langsung oleh Abah Ahmad. Ingat itu!” suara itu mengelegar, seperti sebuah peringatan awal sebelum dimulainya peperangan.
Nayla, tak diam saja, dia bukan pemeran protagonis di film atau drama yang akan diam saja, menerima sambil menangisi takdirnya yang selalu teraniaya. Maka, dengan tangan mengepal penuh amarah, Nayla bangkit dan menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan nyalang.
“Lo gak akan sanggup membayangkan apa yang akan seseorang lakukan untuk membalaskan kelancangan lo sama gue.”
“Oh ya? Siapa yang bisa membela kamu dan memberi pelajaran pada saya?” tantang Laila pongah.
“Ikut gue!”
Kini gantian Laila yang diseret paksa oleh Nayla menuju ke sebuah tempat. Nayla tak mau diam saja mendapat perlakuan memalukan yang dilakukan Laila padanya. Bagaimanapun, Nayla harus bisa membalas semua perlakuan perempuan menyebalkan itu. tak perlu di nanti-nanti, Laila harus mendapat balasannya saat ini juga, kontan!
Nayla mencoba mengingat-ingat jalan yang kemarin malam dilaluinya.
“Heh, kenapa kamu masuk ke Bumi Ageung tanpa ijin?” Laila panik ketika perempuan asing ini tiba-tiba masuk melalui gerbang utama Bumi Ageng, tempat khusus di mana Abah Ahmad dan para guru sekaligus pendiri pesantren Nurul Huda tinggal. Biasanya, gerbang utama hanya dikhusukan untuk abah beserta para tamu istimewa yang tak sembarang santri bisa melewatinya.
“Sekali lagi kamu sudah melanggar peraturan! Lihat saja hukuman untukmu akan ana tambah tiga kali lipat!”
“Bodo!”
Nayla lalu diam sejenak, mengedarkan pandangan mencari sosok seseorang. Di ujung taman, terlihat sosok yang ia cari. Seorang lelaki tua dengan gamis putih panjang, sorban, dan sajadah tersampir di bahunya. Sepertinya dia baru saja selesai melaksanakan sholatnya di mesjid.
“Abah!” Nayla berteriak, membuat abah menoleh ke sumber suara. Melihat itu, wajah Nayla mendadak cerah, tanpa menunggu lama, Nayla langsung menyeret Laila menuju ke hadapan abah.
“Bah! Lihat apa yang dilakukannya padaku,” bibir Nayla mengerucut sembari menunjuk ke arah tubuhnya yang basah kuyup.
“Asslamualaikum Abah, selamat pagi.” Aneh, Laila sama sekali tak terlihat panik, dia malah tiba-tiba bersikap lembut. Singa garang yang tadi ditunjukannya berubah menjadi kucing manis di hadapan abah.
“Ada apa?” intonasi abah masih sedingin udara pagi ini.
“Ini Abah, dia tiba-tiba siram aku tanpa alasan yang jelas, dia juga mempermalukan Nayla di depan para santri putri hanya karena kesalahan kecil.”
“Ijin menjelaskan Abah, maaf, namun kesalahan kecil yang dimaksud olehnya adalah melewatkan sholat subuh berjamaah dan bolos hapalan, walaupun dia tidak sedang berhalangan.”
“Bagaimana lo bisa tahu kalau gue gak lagi berhalangan?”
“Saya tahu dari lemari dan tempat sampah baik di kamar mandi maupun di luar kamar yang tidak terdapat bekas pembalut. Selain itu di tangannya tidak terdapat gelang merah sebagai tanda bahwa dia termasuk santri yang tengah berhalangan,” ucapnya santai sambil melirik ke arah Nayla dan tak lupa senyuman manis yang malah terlihat seperti seringai mengerikan di mata Nayla
“Maka dari itu, sesuai dengan ketentuan, maka santri yang melanggar peraturan pesantren, harus mendapat hukuman.”
Mata Nayla melotot. Sepertinya perempuan ini bukan lawan yang bisa ia anggap remeh. Dia tidak selemah yang Nayla kira.
“Tapi Abah, apapun alasannya, Abah tak bisa membiarkan dia mempermalukan cucu Abah.”
“Cucu?” kini, gantian mata Laila yang membulat. Melihat kepanikan di wajah rivalnya itu, membuat Nayla tersenyum penuh kemenangan.
“Iya gue cucunya Abah. Kenapa? Gak percaya kan lo haha! Liat aja apa yang bakal dilakuin Abah buat beri lo pelajaran karena udah berani menghukum cucu tersayangnya.”
“Ma-maaf Abah. Laila gak tahu.” Laila tertunduk, “Laila gak tahu kalau sebenarnya dia adalah cucu-“
“Hukuman apa yang biasa kamu berikan untuk para santri yang melanggar peraturan?” sanggah abah tiba-tiba.
“Biasanya, mereka akan disuruh untuk memberihkan seluruh area wc putri,” cicit Laila lemah.
“Jangan!”
Senyum Nayla bertambah lebar, dia sudah tahu bahwa abah pasti akan membelanya, “Rasain lo, makannya jangan pernah berani ngehukum gue karena gue adalah cucu ter-“
“Tambah hukuman lain, itu terlalu mudah untuk kesalahan sefatal itu.”
Mata Nayla membulat sempurna, dengan ekspresi kaget tak percaya, dia menatap abah demi memastikan bahwa dia tak salah dengar.
“Selama dia di sini, dia menjadi tanggung jawabmu Laila, perlakukan dia seperti kau memperlakukan santri lainnya. Tak boleh dibedakan. Tak boleh diistimewakan. Bahkan kau berhak memberinya hukuman berat jika dia melakukan kesalahan dan melanggar peraturan lagi.”
“Baik Abah, akan Laila laksanakan.”
“Tap-tapi Bah?”
Tanpa mau mendengarkan, abah melenggang pergi, meninggalkan Laila yang tersenyum licik dan Nayla yang membeku di tempatnya.
“Nih!”“Maksud lo apa?!” Lagi dan lagi, Nayla tak mampu membendung emosinya, ketika melihat sebuah benda kecil dan mungil di tangannya.“Gunakan ini untuk melaksanakan hukumanmu!” Laila menampilkan ekspresi penuh kemenangan. Ia senang ketika melihat Nayla berada dalam fase ‘frustasi tingkat tinggi’. Bukannya tega, hanya saja Laila sangat benci ketika harus berurusan dengan orang yang melanggar peraturan, apalagi dalam kasus ini, baru kali ini ada santri yang memberontak dan berani melawannya. Semakin membara-lah niat Laila untuk memberi santri kurang ajar ini pelajaran berharga yang tak akan pernah dilupakannya.“Lo gila!” sumpah serapah itu sudah puluhan kali diucapkan Nayla sepagi ini. Menjadi rekor baru sebagai, jumlah umpatan terbanyak yang diucapkannya hanya dalam jangka waktu satu jam saja.“Masa gue harus bersihin rumput di lapangan ini cuman pakai gunting kuku!”Ya, benda kecil nan imut yang diberikan Laila adalah sebuah gunting kuku. Laila memberikan benda itu sebagai hukuman
“Toiletnya pasti terlewat.”Laila berjalan ke arah pojok kamar mandi, memeriksa toilet jongkok berwarna hijau di sana.“Loh? Kok-““Udah bersih kan?,” Nayla berdiri di ambang pintu kamar mandi, dengan suara lembut dan senyum manis yang senantiasa terpatri sejak tadi.Melihat senyum yang tak biasanya terbit di bibir Nayla, membuat Laila merinding sendiri.Ada apa dengan gadis itu? Tak biasanya mulutnya berkata selembut kain sarung putra yang baru dicuci? Biasanya hanya dua kata yang keluar dari bibirnya, umpatan dan sumpah serapah.“Ah, kamu pasti lupa menguras tempat air-“ Laila tertegun ketika ia membuka tutup penampungan air, dan hanya satu kata yang dapat mewakilinya, bersih, tempat itu benar-benar bersih, sampai-sampai tak ada satupun lumut dan jentik nyamuk yang biasanya bersarang di sana.“Udah gue bersihin, bahkan sudah kugosok pinggirannya, plus keran-kerannya sekalian,&rdq
“Matanya coklat indah, bak permata yang berkilau ditimpa sinar mentari,” mata Nayla menatap ke atas, mencoba mendeskripsikan kembali ‘surga dunia’ yang kemarin dilihatnya.“Gurat wajahnya sempurna. Dengan rahang tegas, alis tebal, bulu mata lentik, dan mata yang menenggelamkan dalam pesonanya,” rupa-rupanya puisi dadakan itu masih belum tamat.“Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, sangat pas buat dijadiin sandaran hidup gue.”“Hemm,” hanya deheman itu yang mampu Nisa ucapkan. Pasalnya, doia tak tahu harus merespon dengan cara apalagi. Sejak pagi tadi, ah tidak, pukul tiga tadi, Nayla membangunkannya dengan alasan ‘Pengen curhat soal masalah penting’. Nisa mana tahu kalau ‘Masalah penting’ yang dimaksud gadis itu adalah memuji seseorang dengan puisi dadakan yang terdengar alay.“Punggungnya tegap, sangat cocok dijadiin tulang punggung buat gue dan anak-anak gue kelak.”HuhNisa menghembuskan napas lelah, ia sudah tak tahan lagi. Ia sudah muak. Sepertinya sahabatnya itu terlalu berlebihan da
“Perjanjian Hudaibiyah. Seharusnya itu jawabannya,” Nisa menghela napas, tak tahu harus berbicara apa pada sahabatnya yang kini terus berjalan terpincang-pincang sambil terus menggosok-gosok dahinya yang sakit.Sebenarnya Nisa pun merasa kasihan, tak tega dia melihat Nayla yang dihukum berjalan jongkok mengelilingi lapangan sebanyak 3 putaran di tengah terik panas matahari siang tadi. Tapi, apa mau dikata, salahnya juga menjawab asal-asalan pertanyaan Bu Diah dan bermain-main dengan guru yang menduduki peringkat kedua teratas sebagai orang yang harus diwaspadai di pesantren Nurul Huda.“Mana gue tahu, soalnya aja gue gak ngerti,” Nayla cemberut. Dia sudah muak dengan semua kesialan yang terus mendatangi hidupnya akhir-akhir ini. Mulai dari skandal yang menjatuhkan karirnya sampai hancur tak bersisa, kemarahan Abah, sampai akhirnya dia terjebak di sebuah tempat antah berantah yang sangat ia benci ini.“Seharusnya Nona tahu, lagipula, siapa juga yang menjawab soal sejarah islam dengan j
“Kenapa bisa gini?” Nisa mengusapkan lagi kapas yang telah diberi obat merah ke lutut Nayla yang terluka.“Gue gagal masuk ke area itu,” jawabnya sambil meringis merasakan perih dan sakit di lututnya yang berdarah ketika obat itu bereaksi. “Area itu dijaga, malahan gue yang dimarahi.”Nisa menghela napas lelah. Se-tergila-gila itu kah sahabatnya sampai nekat melakukan segala cara untuk bisa mengejar lelaki itu? Tak tahukah Nayla bahwa obsesinya ini mungkin akan membuatnya berada dalam zona ‘bahaya’? Yang terpenting, tak sadarkah Nayla bahwa saat ini ia mengejar-ngejar manusia yang sebenarnya tak pantas mendapatkan cintanya? Manusia itu memiliki hati yang terlalu keras untuk bisa dipecahkan Nayla begitu saja. Dan gadis itu malah seakan memberi kesempatan, menyerahkan diri sendiri untuk dapat dihancurkan oleh lelaki itu.“Itu pondok khusus laki-laki, tentu saja dijaga. Mustahil santri lain, apalagi perempuan bisa masuk ke sana.”Nisa tak paham jalan pikiran Nayla. Sejauh ini, 20 tahun
Pagi ini, sekitar lima belas menit lagi menuju adzan pertama sholat subuh, Laila sudah berjalan dengan gagahnya menelusuri setiap jengkal pondok putri. Seperti tugasnya setiap hari, Laila akan melaksanakan pemeriksaan intensif dan berkala di seluruh area demi memastikan tidak ada santri lain sejenis Nayla yang bersembunyi dan bolos sholat subuh berjamaah. Tuk Tuk Tuk Ketukan sepatu boots berwarna coklat kebanggannya, nampak berbunyi setiap kali ia melangkah, seakan memberi peringatan bagi para santri yang berniat bolos, untuk jangan macam-macam dengan Laila. “Sepertinya sudah aman, lorong-lorong tempat persembunyian mereka pun kosong,” gumamnya pelan setelah meninjau area yang biasa digunakan para santri untuk bersembunyi. Merasa udara semakin dingin, Laila membenarkan posisi jasnya, sebuah jas dengan warna hijau neon yang mencolok, yang menjadi ciri khas dari si penanggung jawab keamanan pondok putri itu. Laila dikenal memiliki gaya berpakaian yang unik, dia lebih senang memadu
“Kita mau ke mana, Abah?”Belum sempat Nayla masuk ke kelas tadi, tiba-tiba gadis itu dikejutkan dengan suara abah yang memanggilnya. Tentu awalnya Nayla merasa senang, karena setelah dua hari perang dingin, akhirnya abah mau juga berbicara dengannnya.“Ke suatu tempat,” jawaban template itu lagi. ini sudah kali ke sekian Nayla mendapatkannya. Bukannnya apa-apa, hanya saja Nayla penasaran, ke mana abah akan membawanya pergi.“Apa Abah akan menghukumku lagi? Seingatku, aku tak melakukan kesalahan besar akhir-akhir ini,” Nayla mencoba mengingat-ingat lagi, barangkali akhir-akhir ini ia membuat satu tindakan yang secara tak sadar telah membuat abah marah dan kembali memberinya hukuman.Eh tunggu? Apakah ini soal Laila? Apakah dia yang mengadu pada abah soal kejadian kemarin?“Kalau soal Laila, Abah, aku udah baikan kok sama dia, jadi kumohon jangan menghukumku lagi.”“Laila? Kenapa Neng bawa-bawa namanya?”Jawaban bingung abah membuat Nayla tahu bahwa ini bukan tentang kejadian kemarin.
“Sa.”“Sa-nya digigit.”“Tsa.”“Pinter,” pujinya sambil mengusap pelan puncak kepala Aisha.“Kalau ada huruf hiajiyah dengan bentuk mangkok dan tiga titik di atas, dibacanya bukan ‘sa’ tapi ‘Tsa’, pelafalannya diujung lidah. Mengerti?”Aisha mengangguk sambil tersneyum. Begitupun dengan seorang perempuan dewasa yang nampak duduk sambil terpesona melihat pemandangan indah di depan mata.Sejak satu jam lalu, sejak langkah kaki pertama Ustadz Zayyan masuk ke dalam kelas, sudah membuat wajah gadis itu berubah drastis. Dari yang tadinya sebal, kesal nan emosi, menjadi riang, gembira dan senyum yang senantiasa terpatri.Ya, bagaimana tidak senyum, jika tepat satu meter di depannya, sang pujaan hati yang sejak kemarin dia cari-cari akhirnya nongol sendiri di depan mata. Selain bisa melihat ketampanan sang pangeran, hal yang membuat hati Nayla seakan tengah mengadakan konser itu, adalah ketika melihat begitu lembutnya pria itu mengajari anak-anak belajar huruf hijaiyah.“Man mungkin lelaki se