Bryan bernapas lega, ketika Malik—pengacara keluarga—tiba bersamaan dengan kedatangan Zyan. Zyan segera menghampiri Zea yang duduk di kursi. Gadis itu menghambur ke pelukan Zyan. Tangis yang dari tadi tersimpan akhirnya keluar juga. Bryan memberikan kesempatan pada keduanya, dan beralih menemui Malik.“Saya mohon, tolong bantu Zea, Om. Dia enggak bersalah. Lakukan apa pun, agar Zea bisa keluar dari sini,” pinta Bryan. Ia sangat menyayangi gadis itu. Entah kenapa, setiap kali melihat Zea terkena masalah, ia selalu ingin menjadi yang terdepan untuk melindunginya.“Baik, kamu tenanglah, saya akan mempelajari kasusnya dulu.” Malik menemui petugas penyidik. Ia mulai melakukan tugasnya sebagai seorang pengacara dan mengumpulkan berbagai informasi yang menimpa Zea. Sementara itu, Bryan kembali ke ruangan tempat kedua kakak beradik itu berada. Pemandangan di depan matanya cukup menjelaskan bagaimana kondisi Zea. Meskipun selama bersamanya Zea berusaha terlihat baik-baik saja, tetapi ia tahu
“Astagfirullah!” Zyan yang dari tadi larut dalam kesedihan mulai menyadari sesuatu. Mamanya pasti saat ini khawatir, karena Zea belum kembali. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Alina. “Mas, Zea belum siap ketemu Mama,” lirih Zea, ketika Zyan mendekatkan ponselnya ke telinga. Zea tak mau menambah beban Alina, apalagi luka di wajahnya masih terlihat jelas. Sudah pasti wanita itu akan bersedih, jika mengetahui masalah yang menimpa dirinya.“Bagaimana kalau Zea tinggal di apartemen saya dulu, Mas?” tanya Bryan memberi solusi. “Hari ini adalah hari terakhir ujian, beberapa siswa ada yang sedang merayakannya. Mungkin, Bu Alina bisa mengerti.”Mendengar perkataan Bryan, Zea tersenyum dalam kesedihannya. “Teman-teman merayakannya dengan hangout, jalan-jalan, dan makan bersama, tetapi aku di kantor polisi,” ungkap Zea tiba-tiba.Zyan memeluk pundak adiknya dengan seulas senyum di bibir. Ia merasa lebih tenang, ketika Zea mulai membaik dan bisa tersenyum. “Nanti Ma
Bryan menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat Zea dan Chika bertengkar. Keduanya mulai mencari petunjuk. Tak hanya itu, mereka juga bertanya pada masyarakat setempat tentang kejadian tadi siang.“Awalnya saya pikir mereka hanya bicara sekadarnya, jadi saya enggak memperhatikan,” ungkap salah seorang warga.“Kami sadar ada pertengkaran ketika mendengar suara minta tolong,” terang seorang ibu menceritakan kejadian tadi siang.Keduanya berusaha mengumpulkan informasi. Warga menunjukkan di mana mereka menemukan ketiga siswi itu berkelahi. Zyan mengamati tempat itu, dan memandang sekeliling. Beberapa rumah yang memiliki CCTV tak luput dari pantauan. Mereka mengamati ke mana CCTV itu merekam. Tak lama kemudian, Zyan mulai mendapatkan petunjuk dan mencoba mencari tahu pemilik rumah yang tepat berada di dekat kejadian. Dibantu Pak RT dan beberapa warga, Zyan mendatangi pemilik rumah. Semula mereka terkejut dengan kedatangan Zyan dan tak ingin dilibatkan dalam kasus ini. Namun Zyan yang pi
“Allah sangat baik padaku, Mas. Dia telah mengubah hidupku semenjak bertemu denganmu. Dia memberikanku kebahagiaan selama bersamamu dan anak yang cantik.”Pandu tersenyum sinis. Kebahagiaan yang Rosa raih berjalan mulus karena kebodohan Pandu, hingga mereka lupa ada kebahagiaan lain yang mereka runtuhkan. Setiap kali mengingatnya, Pandu membenci dirinya sendiri. Untuk membuat seorang Rosa tersenyum, ia mengorbankan kebahagiaan tiga orang yang ia cintai.Pandu berjalan mundur, kemudian menopang tubuhnya yang lemah dengan kedua tangan di meja. Dada Pandu kembali sesak, mengingat bagaimana nasib mempermainkannya. Ia pikir, Rosa wanita terhormat yang akan menggantikan posisi Alina, wanita yang akan membuat hatinya damai dan bahagia. Ternyata itu tak pernah terjadi setelah kenyataan pahit mendatanginya. Wanita yang baru ia nikahi ternyata bukanlah wanita baik-baik. Video tak pantas Rosa ketika bercinta dengan seorang pria membuatnya kecewa. Pandu bisa melihat dengan jelas bagaimana wanit
Kedatangan mereka disambut bahagia oleh Alina. Semalam, tidur wanita itu tak nyenyak karena memikirkan kedua anaknya. Ia takut Pandu menemukan mereka, kemudian membawanya pergi. Walaupun Zyan dan Zea bukan anak kecil yang mudah untuk dibujuk, tetapi ia tetap waspada.“Masuk, Bryan,” ucap Alina pada anak majikan yang ikut serta. “Berarti, semalam Bryan juga enggak pulang?” tanya Alina pada pria muda itu.“Iya, Bu. Semalam kami ada pesta kecil-kecilan.”“Zyan juga ikut?” tanya Alina menatap putra sulungnya. “Iya, Ma. Lagi pula, mana mungkin Zyan membiarkan Zea pergi keluar sendirian, apalagi acaranya malam hari.”Wanita itu mengangguk paham. “Mama sangat cemas kemarin.”“Kan, Zyan sudah hubungi Mama.”“Tetap saja, Mama selalu khawatir selama kalian enggak ada di samping Mama.”Zyan memeluk wanita itu. “Sampai kapan pun, kami enggak akan meninggalkan Mama.”Setelah berbincang sebentar, pria itu pamit. Sedangkan Zea langsung ke kamar berganti pakaian secepat mungkin, sebelum Alina memerg
“Ternyata gadis itu membalikkan semua fakta,” ujar Zyan, setelah keluar dari ruang rawat Chika.“Dia memang enggak menyukai Zea dari dulu, Mas. Karena itu, ia selalu memancing Zea untuk marah.”“Karena dia menyukaimu,” tebak Zyan.Bryan menatap Zyan yang berjalan menyusuri koridor rumah sakit. “Saya bisa melihat, sorot matanya mengungkapkan ia menyukaimu dan kamu menyukai Zea. Karena itu, ia merasa Zea adalah ancaman baginya.”Ucapan Zyan tak bisa disanggah Bryan. Ia yakin, kelakuan Chika yang sangat memusuhi Zea tak lepas dari rasa suka gadis itu padanya. Beberapa kali gadis itu protes pada Bryan karena merasa diabaikan dan tak dihargai cintanya. “Saya minta maaf, Mas.”“Semua sudah berlalu, sekarang kita memikirkan cara membebaskan Zea dari tuntutan.”Keduanya bergerak menemui Malik di kantornya. Mereka menyerahkan salinan rekaman CCTV dan hasil visum Zea. Malik harus mulai melancarkan strategi, karena pihak Martin telah memiliki bukti lengkap dan kasus yang menimpa Zea akan segera
Sebuah panggilan dari orang tak dikenal masuk ke ponsel Rosa. Tanpa curiga, wanita itu langsung menjawab panggilan. Selama ini banyak mitra dan konsumen yang menghubunginya tentang bisnis yang ia jalani. “Assalamu’alaikum.” “Wah, sudah salihah sekarang, ya?”Tiba-tiba wajah Rosa berubah. Dadanya naik turun, menahan kemarahan mendengar suara pria yang sangat ia kenal. “Apa maumu?” tanya Rosa dengan suara bergetar.“Aku ingin kita bertemu di tempat biasa. Kamu pasti ingat.”Sambungan terputus. Rosa bimbang, apa yang diinginkan Daniel darinya? Haruskah ia izin pada Pandu untuk keluar rumah? Agama memperingatkan, haram hukumnya seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Setelah menimbang beberapa saat, Rosa pergi tanpa menghubungi Pandu. Ini untuk kebaikan mereka, Rosa akan menyelesaikan semua urusannya dengan Daniel untuk menyelamatkan rumah tangganya yang sedang kritis. Wanita itu berpamitan pada asistennya. Dengan mengendarai sebuah minibus keluaran terbaru, Rosa pergi menemui pria
Regina mendatangi Alina yang sedang mengelap meja makan. Wanita itu ikut membantu pekerjaan Alina, meskipun beberapa kali Alina melarangnya. “Enggak apa-apa, ini juga rumah saya. Jadi, sewajarnya jika saya harus membersihkannya,” ungkap Regina, ketika Alina memintanya untuk duduk. Semenjak Alina bekerja di rumah ini. Wanita itu seperti punya teman bicara, apalagi Regina tipe wanita rumahan dan tak suka hidup glamor, ikut arisan tak penting, atau saling pamer kekayaan suami dengan teman-teman sosialita. Ia akan keluar rumah jika menghadiri acara bersama Bagas.“Oh, ya, lulus SMA, Zea mendaftar kuliah di mana?” tanya Regina, kemudian menarik salah satu kursi dan duduk di sana.Alina mendesah, ia tak mengerti apa yang dipikirkan putrinya itu. “Zea enggak ingin kuliah, Bu.”“Bryan pun begitu. Ia enggak berminat kuliah. Karena memang dari awal papanya sudah meminta untuk bergabung di perusahaan. Jadi, ia merasa untuk apa lagi kuliah kalau pekerjaan sudah menanti.” Regina terkekeh, kala me