“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
“Maafkan saya, Mbak. Maaf atas perbuatan saya yang sengaja menyakiti Mbak dan anak-anak. Saya menyesal ….” Suara isak tangis seorang wanita terdengar dari sebuah kontrakan kecil padat penduduk. Rosa tak sanggup menahan buliran air mata yang jatuh di pipi kala memohon ampunan dari Alina Cahya Kirani, wanita yang sudah ia rebut suaminya.“Bertahun-tahun saya mencari, sekarang saya bahagia bisa bertemu kembali denganmu, Mbak.”Wanita berhijab syar’i itu bangkit kemudian duduk bersimpuh di kaki wanita yang dulu berhasil ia singkirkan.Diraihnya tangan wanita yang duduk di kursi itu lalu menciumnya. “Maafkan saya, maaf … selama ini saya tak bisa hidup dengan tenang. Jujur, walaupun saya berhasil mendapatkan Mas Pandu, tapi saya tak bahagia, Mbak.” Alina tak mampu berkata-kata, begitu banyak kesedihan, kekecewaan dan luka yang membuat mulutnya terkunci. Masih bisa dirasakannya ketika tangan dingin Rosa dan tetesan air mata jatuh di kulit tangannya
Pandu berjalan mendekati jendela, tangannya terulur membuka jendela hingga mengundang tetesan-tetesan air membasahi wajahnya yang bersatu dengan air mata. Tak dihiraukannya tubuh tegap itu dihempas angin dingin hingga menusuk ke tulang. Jika dengan ini bisa membasuh luka hatinya, ia akan lakukan. “Kalian di mana?” lirih Pandu menatap pucuk cemara yang terombang ambing angin. Pikirannya kembali menerawang pada keluarga kecilnya yang dulu ia campakkan. “Apakah kalian baik-baik saja di luaran sana?” Tubuh tegap itu tumbang, jatuh di hamparan lantai granit yang dingin. Setiap kali mengingat ketiganya, ia begitu cemas. Entah bagaimana mereka bertahan, bahkan mereka pergi tanpa membawa apapun yang seharusnya menjadi milik mereka. Pandu takkan bisa memaafkan dirinya jika hal buruk terjadi pada orang-orang terkasihnya.“Pulanglah, papa rindu kalian.”***SPW***Rosa menatap sayu sang suami yang duduk bersandar di dinding dengan kedua tangan memijit kepala. Walaupun tak pernah bertanya tapi i
Sebelum ke kelas, Zea menuju kantin sekolah. Pagi hari kondisi kantin masih sepi. Zea mengeluarkan roti goreng kemudian meletakkannya di dalam rak keranjang yang tak jauh dari etalase. “Semuanya lima puluh bungkus, Bu,” ucap Zea pada wanita yang sedang membersihkan kantin.“Ya, semoga habis lagi, sepertinya sudah banyak yang menyukai roti gorengmu, Zea.” “Alhamdulillah, Bu.”Beberapa siswa mulai berdatangan ke kantin. Kebanyakan dari mereka membeli kue atau roti sebagai pengganjal perut karena belum sarapan. Zea yang melihat Bu Sarmi mulai kerepotan melayani siswa mencoba membantu. Ia meneruskan pekerjaan Bu Sarmi membersihkan kantin.“Hai, Zee!” sapa Bryan yang tiba-tiba datang lalu duduk di salah satu kursi. Laki-laki itu selalu memplesetkan nama Zea dengan Zee setiap kali memanggil gadis itu. “Rajin banget lo bantuin Bu Sarmi,” celetuknya.“Ini lebih berguna dari pada ngegibahin orang atau kabur saat pelajaran berlangsung.”“Lo nyindir gue?”“Enggak, lo aja yang baperan.”Bryan b
Kedatangan Pandu di salah satu Villa miliknya membuat si penjaga villa kaget. Tak biasanya laki-laki itu bermalam di sini, apalagi datang larut malam, sendirian saat cuaca sedang tak bersahabat. Biasanya Pandu akan menghubunginya melalui telepon untuk menanyakan pertanyaan yang sama.“Mereka tidak pernah ke sini?” tanya Pandu basa basi, karena ia pun sudah tau jawabannya. “Tidak pernah, Pak.”Laki-laki itu menghela napas kasar kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa. Semenjak Alina dan kedua anaknya pergi, ia merasa seperti orang terbuang. Sepi dan tak bergairah. Padahal Pandu memiliki segalanya. Istri yang cantik, harta berlimpah dan sahabat yang banyak. Tapi, semua tak mampu mengisi kekosongan hatinya. Ia terbebani memikirkan hidup Alina setelah mereka berpisah. Apalagi kedua orang tua Alina telah meninggal, Alina hanya lulusan SMA dan tak punya pekerjaan. Alina memiliki seorang paman. Orang kepercayaan Pandu telah menyelidikinya dan menyatakan bahwa Alina dan anak-anaknya tidak a
Zea merasa curiga ketika Alina belum juga bangkit dari tempat tidur. Selepas sholat shubuh wanita itu kembali bergulung dalam selimut. Ini bukanlah kebiasaan Alina. Wanita itu pekerja keras dan bersemangat dalam mencari nafkah.“Mama kenapa?”“Kepala mama pusing Zea,” keluh Alina sambil memijit kepalanya yang terasa berputar. “Zea bikinkan teh ya, Ma.” Gadis itu segera ke dapur, memasak air di panci kecil kemudian menyeduh teh untuk Alina.Zea meletakkan secangkir teh tak jauh dari Alina berbaring. Ia bergegas ke dapur, mengambil adonan roti yang telah mengembang lalu menggorengnya. Untung saja saat ini libur sekolah, jadi Zea punya waktu untuk mengambil alih pekerjaan Alina.“Mama mana?” tanya Zyan yang baru saja pulang sholat subuh dari masjid. “Nggak enak badan, Mas.”Laki-laki itu bergegas menuju kamar Alina. Ia berjalan mendekat lalu duduk di kasur lusuh yang terhampar di lantai. Tangan Zyan bergerak menyentuh dahi sang ibu memastikan wanita itu baik-baik saja.“Mama pusing, ha