Puas menyesali diri, Pandu minta izin untuk bicara dengan Alina. Ia berjalan perlahan menuju kamar sempit yang tak jauh dari ruang tamu. Perlahan, kaki jenjang itu masuk ke ruangan 3x2 meter tersebut. Hatinya terenyuh, menatap Alina yang duduk bersandar di dinding. Kedua mata wanita itu basah dan dadanya tampak sesak.Pandu mendekat, kemudian berjongkok di depan Alina yang masih menangis. Jika tak ingat hubungan mereka bukan suami istri lagi, ingin rasanya ia mendekap wanita itu, mencurahkan semua rasa yang masih tersimpan utuh untuk Alina. “Lin.” Pandu menatap wanita yang bergeming di hadapannya. “Terima kasih sudah menjaga mereka.” Seketika, bayangan kesusahan Alina hadir di pelupuk mata. Pandu tak bisa melanjutkan kata-kata. Ia banyak salah, bahkan sekadar memohon maaf saja rasanya tak layak. Pria itu bersimpuh, menyejajarkan diri dengan Alina. Tubuh Pandu bergetar. Air matanya mengalir deras di depan wanita yang dulu halal baginya. Jika waktu bisa diputar, ia tak ingin mengenal R
Rosa terkejut. Rasanya, seperti sebuah batu besar menghantam tubuh mendengar pengakuan Pandu. Seketika hati Rosa terasa nyeri. Istri mana yang ikhlas, jika suami kembali bertemu dengan mantan istrinya sampai pulang menjelang pagi? Rosa tak menyangka, Pandu dan Alina bermain di belakangnya. Rasa cemburu dan curiga mulai menghampiri Rosa. “Apa kalian melakukan sesuatu hingga pulang dini hari begini?”Mendengar pertanyaan Rosa, Pandu menjadi marah. “Alina wanita terhormat, jangan pernah mencurigainya.” Pria itu membuka sepatu dan mengambil pakaian dari dalam lemari. “Besok aku akan membawa mereka ke sini. Sebelum mereka datang, ada baiknya kamu pindah ke rumah itu.”Rosa menggeleng. Seketika hatinya tambah sakit mendengar permintaan Pandu yang seolah mengusir. Pandu dan Alina pernah hidup bersama, dan Rosa yakin, pria itu sangat mencintai Alina. Jika keduanya kembali hidup serumah, pasti akan membuka kembali peluang mereka untuk bersama. “Jika kamu membawa Zea dan Zyan ke sini, aku masih
Pandu kecewa ketika kedua anaknya menolak untuk tinggal bersama. Walaupun Alina telah membujuk, tetapi keduanya tetap tak bersedia. “Mereka akan ikut, jika kamu juga ikut serta, Alina.” Wanita itu menggeleng. Ia masih ingat bagaimana kasarnya Pandu ketika mengusirnya dulu. “Maaf, Mas, aku sadar diri, tempatku di sini, seperti katamu dulu bahwa aku—”“Lin, tolong jangan ungkit kesalahanku yang dulu. Terlalu menyakitkan jika mengingatnya,” potong Pandu cepat. Ia tak ingin suasana yang mulai membaik menjadi kacau karena perdebatan kisah enam tahun lalu. Alina menghela napas lemah ketika Pandu memohon. Mungkin, bagi Pandu sangat mudah melupakan kejadian lalu, tetapi tidak dengannya. “Jangan bawa kami ke rumahmu, Mas. Rosa enggak akan sanggup melihatnya. Aku sudah merasakan apa yang akan dirasakan Rosa, jika aku dan anak-anak tinggal di sana. Sangat sakit. Jangan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kali dengan wanita yang berbeda.”“Aku akan bicara dengan Rosa.”“Jangan, Mas! Kamu
Pandu mendatangi kamar Zea yang telah rapi dan cantik. Nuansa pink dipadukan warna putih membuat kamar itu elegan khas putri remaja. Perlahan, pria itu duduk di atas tempat tidur empuk yang belum tersentuh pemiliknya. Bayangan kedatangan Zea di kamar ini pupus, ketika gadis itu menolak dan memilih tinggal bersama Alina di kontrakkan sempit. Begitu kuat cinta mereka, hingga harta tak mampu menggantikannya.Rosa masuk ke dalam kamar, mendekati Pandu yang terpaku. Pria itu larut dalam khayalan, hingga tak menyadari kehadiran Rosa. “Mas.”Pandu menoleh, menatap wanita yang berjalan mendekatinya. Tak lama, ia kembali menatap bantal empuk yang belum tersentuh. “Aku pria yang tidak beruntung.”“Kita harus bersyukur, Mas. Kamu sangat beruntung memiliki segalanya. Allah memberikan rezeki melimpah, perusahaanmu maju, dan tabungan juga banyak.”Pandu tersenyum miris mendengar perkataan Rosa. “Rezeki itu enggak melulu masalah uang atau kekayaan. Allah memberiku harta yang banyak, tetapi di sisi
Zea segera menaiki anak tangga. Tanpa ragu, gadis itu membuka pintu sebuah kamar. Wajah Zea berbinar, melihat kamarnya yang sangat cantik dengan tempat tidur yang empuk. Zea mengempaskan tubuh di ranjang. Sesekali ia berguling-guling, menikmati kasur lembut yang telah lama tidak ia rasakan.Alina tersenyum melihat putrinya yang begitu bahagia.“Ma, sepertinya Zea akan tidur nyenyak malam ini. Enggak ada nyamuk yang mengganggu serta suara bising motor yang lewat,” ungkap Zea polos.Alina tersenyum. Ia bahagia jika putrinya bahagia. “Maaf, ya, karena selama ini Zea enggak nyaman.”“Enggak apa-apa, Ma. Sekarang Zea senang sekali.”Alina berjalan menuju kamarnya. Tangan wanita itu tampak ragu ketika membuka pintu kamar. Sejenak Alina memejamkan mata, sebelum membuka pintu. Raut wajah wanita itu berubah takjub, ketika kamar yang ia tempati dulu bersama Pandu sekarang berubah menjadi sangat mewah dan indah. Perpaduan warna gold dan putih begitu hangat dan romantis. Ranjang besar dengan ukir
Seorang wanita paruh baya menghampiri, kemudian memberikan sebuah kunci kepada Pandu. “Ayo masuk,” ucap Pandu, setelah pintu berhasil dibuka.Langkah Rosa meragu. Ia heran dengan apa yang dilakukan suaminya. “Ini rumah tempat tinggal kita,” ucap Pandu sambil menggelar sebuah karpet permadani. “Kita tinggal di sini?” tanya Rosa mengulang kembali perkataan Pandu.“Iya.”“Kamu bercanda, Mas?”Pandu menggeleng, kemudian membuka pintu sebuah kamar tidur kecil yang tak jauh dari ruang tamu. Bau apek dan lembap membuat Rosa tak nyaman, apalagi hanya tersedia sebuah kasur lipat di sana. Wajah wanita itu tampak tak bersahabat, apalagi ketika ia memasuki kamar mandi yang menyediakan sebuah kloset jongkok dan bak mandi kecil. Dapur mereka pun sangat sederhana, hanya tersedia kompor satu tungku, tabung gas 3 kilogram, beberapa piring, dan peralatan memasak.“Mas, apa maksud semua ini?” tanya Rosa tak percaya. Dari tadi ia hanya melihat setiap bagian rumah, bahkan baju mewahnya enggan untuk dud
Berbagai hidangan lezat telah tersaji di meja. Bi Mirna sengaja memasak makanan spesial untuk mereka. Alina dan kedua anaknya yang melihat meja makan hampir penuh dengan makanan menjadi bingung.“Ayo, Bu silakan,” ucap Bi Mirna dengan wajah berseri. Semenjak kedatangan Alina dan kedua anaknya, senyum wanita itu kembali. Bahkan, Bi Mirna tak sabar ingin memberikan pelayanan terbaik untuk mereka. “Zyan sama Zea harus makan yang banyak, biar tambah gede.”“Terima kasih, Bi,” jawab Alina sambil menggeser kursi, kemudian duduk di sana. “Nanti enggak perlu menghidangkan makanan sebanyak ini. Mubazir jika enggak habis.”“Ini perintah Bapak, Bu, agar Ibu dan anak-anak makan enak.”Alina hanya tersenyum. Pandu pasti mengira kalau selama ini mereka tak bisa makan enak. Padahal, Zyan sering membelikan mereka makanan lezat setiap kali gajian, walaupun tidak banyak ragamnya.***Pandu masuk ke kamar Rosa yang tak terkunci. Matahari mulai meninggi, tetapi wanita itu belum juga bangun. Pria itu meng
Keseriusan Fusena patut diacungi jempol. Tanpa ragu, ia menemui Zyan guna membicarakan maksud kedekatannya dengan Alina. Pria itu sangat menghargai Zyan. Meskipun masih muda, tetapi posisinya tak bisa dipandang sebelah mata, karena Zyan adalah wali nasab yang memiliki hubungan darah dengan Alina. “Mama sudah banyak mengeluarkan air mata, Om. Saya enggak mau Mama kembali menangisi kehidupan yang seharusnya membuat ia bahagia.”Fusena mengangguk. Putra Pandu ini sangat dewasa dalam bersikap dan mengerti keadaan yang dialami orang tua mereka. “Kamu bisa pegang kata-kata saya. Saya bukan mencari istri untuk sesaat, tetapi sampai menua.”Zyan menyelami kesungguhan Fusena untuk meminang mamanya. Ia bisa melihat pria ini serius dan akan memperlakukan Alina dengan baik. Zyan pun tak akan membelenggu Alina untuk hidup tanpa suami. Wanita itu masih muda dan ia punya kesempatan bahagia, meski bukan dengan Pandu. “Sebagai seorang anak, saya akan mengikuti keinginan Mama, jika itu yang terbaik un