Share

Bab 7

last update Last Updated: 2025-03-16 14:06:44

Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.

Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun.

Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang.

Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi.

"Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed.

Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak menolak, dia membiarkan laki-laki itu menggendong anak mereka.

"Di kulkas sepertinya stok sayur sama ikan sudah kosong. Sebentar mas tanyakan sama mama dulu, mana tau di sana ada sedikit lauk." Livia menghentikan kegiatannya dan menoleh, Hakam tersenyum kearahnya.

"Kamu tunggu sebentar, ya?" Tanpa menunggu jawaban Livia, Hakam segera berlalu dari sana.

Sepeninggal Hakam, Livia menarik kursi dan duduk di sana. Pikiran perempuan itu menerawang jauh, hatinya teriris mengingat bagaimana manisnya sikap Hakam dulu sebelum Yazeed lahir. Yang ia ingat, sikap Hakam mulai berubah saat suami Hana meninggal dunia.

Sejak itu, dunia Hakam seolah hanya terfokus pada Hanin dan Hanan. Dia tak lagi punya waktu untuk Livia, bahkan setelah perempuan itu melahirkan pun tak membuat Hakam memperhatikannya.

Di sisi lain, Hakam menemui Dania dan Hana yang tengah menonton TV bersama. Keduanya terkejutnya dengan kedatangan Hakam, bukan kedatangan laki-laki itu yang membuat mereka terkejut, melainkan Yazeed yang berada di gendongan Hakam.

Pasalnya selama ini tak pernah sekali pun Hakam membawa Yazeed ke sana, mereka pun tak pernah berniat membawa bayi tak bersalah itu berkunjung. Hana tak ingin kehadiran anak itu malah membuat kasih sayang Dania dan Hakam berkurang pada dua anaknya.

"Ma, di kulkas ada stok sayur sama ikan, nggak?" tanya Hakam.

"Kenapa kamu nanya gitu? Biasanya kalo kamu mau belanja juga nggak nunggu stok di kulkas kosong, kan?" tanya Dania heran.

"Bukan itu, Ma. Livia mau makan, di rumah stok di kulkas udah pada kosong. Makanya aku nanya ke sini." Dania dan Hana saling pandang mendengar jawaban Hakam. Baru saja Dania hendak membuka mulut, Hana sudah lebih dulu menyambar.

"Di kulkas juga udah pada kosong, Kam. Cuma tinggal ayam beberapa potong buat si kembar nanti malam." Dania menoleh kearah putrinya, ia tau jika Hana sedang berbohong. Padahal stok daging dan sayur di kulkasnya masih aman.

"Yaudah, deh kalau gitu. Aku ke warung aja beli telor, kasihan Livia belum makan sejak di rumah sakit tadi." Hakam hendak berlalu, baru saja ia melangkah Hana sudah memanggilnya.

"Atau kalau dia mau, ada ayam bekas makan siang Hanin tadi. Kebetulan nggak dihabisin, gimana?" tawar Hana.

"Masa aku kasih bekas Hanin buat Livia, Mbak? Yang bener aja. Udah nggak usah, nanti aku beli telor aja," tolak Hakam.

"Apa yang salah? Lagian Hanin itu anaknya Livia juga, kan? Entah kalo dia anggap orang lain, bisa jadi dia bakal jijik, sih," balas Hana. Dia sengaja mengatakan itu, dia ingin membuat Hakam merasa serba salah hingga akhirnya menerima pemberiannya.

"Ya, bukan gitu, Mbak. Livia juga nggak bakal jijik makan bekas Hanin, sih. Tapi ... nggak etis aja gitu, masa ngasih bekas sama dia." Hakam masih mencoba menolak dengan lembut, takut kakaknya tersinggung.

"Udah nggak apa, bawa aja. Kalo dia nggak mau berarti dia menganggap Hanin orang lain. Lagian cuma buat makan siang, kan?" Hana bangkit dan berjalan ke meja makan.

Dengan santainya ia mengeluarkan sepotong ayam bekas tadi dan memasukkannya ke dalam piring. Setelah itu dia membawanya kembali pada Hakam.

"Nih, kasihan kalo dia harus nunggu lagi. Mending makan ini aja dulu," kata Hana sedikit memaksa.

Hakam tak langsung menyambut uluran tangan sang kakak. Dia berpikir sejenak, apa Livia tak akan marah kalau diberi makanan sisa?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
SumberÃrta
apa lu pikir Livia kucing gituhhhhhh
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
buang lemparin ke mukaa hana
goodnovel comment avatar
Zidan Kasan
ini bener" kebangetan nih keluarga, kalau aku punya mertua ipar dan juga suami model mereka udah tak tinggal pergi to ku kasih sianida mereka tu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengemis Maaf Istriku    110 (Ending)

    Setahun setelah pernikahannya dengan Gheza, Livia hidup dalam kedamaian yang tak pernah ia bayangkan. Namun, satu ikatan dari masa lalu masih belum terselesaikan, keluarganya.Saat menikah dengan Gheza, Livia sengaja tak ingin menghubungi Sofian atau pun Karim. Livia dinikahkan oleh wali hakim setelah beberapa kali memohon, permintaannya diterima begitu tau permasalahannya dengan keluarganya.Sejak detik itu juga, Livia tak sedikit pun punya niat untuk bertemu lagi dengan keluarganya, termasuk ibu kandungnya, meski awalnya Livia berniat mencari keberadaan wanita itu.Dia ingin mengubur habis tentang masa lalunya yang pahit. Sebab, setelah menikah dengan Gheza dia hanya ingin merasakan kebahagiaan dengan orang baru tanpa harus melibatkan orang-orang dari masa lalunya.Suatu sore, Livia menerima pesan dari kontak tak dikenal. Pesan itu dari Hernita, ibu kandungnya, yang memohon untuk bertemu. Setelah Gheza dan Nia meyakinkannya, Livia setuju.Awalnya, Livia kaget setengah mati. Kenapa d

  • Mengemis Maaf Istriku    109

    Setahun kemudian.Livia dan Gheza menikah secara sederhana, hanya disaksikan oleh Ghani, Nia, Ghaida, Muis, Masitah, dan Alia. Rumah yang dulu dibeli Hakam untuk menjamin keselamatan Livia, kini menjadi rumah bagi tiga anak, Yazeed, Hanan, dan Hanin.Gheza mengajak Livia pindah dan sudah berencana membelikan rumah baru, tapi Livia menolak untuk saat ini. Gheza mengalah, dia memilih tinggal di rumah peninggalan Hakam bersama Livia dan anak-anak.Dania, yang akhirnya mendapat perawatan dan dukungan emosional dari keluarga Gheza, tidak lagi hancur. Ia sering datang mengunjungi cucu kembarnya, meskipun ia masih menjaga jarak dan bungkam di hadapan Livia. Namun, di matanya, ada sedikit rasa terima kasih yang tidak terucapkan.Hana, di penjara, menjalani konsekuensinya. Ia tahu, satu-satunya alasan Hanan dan Hanin hidup nyaman di bawah perlindungan hukum adalah karena kebesaran hati perempuan yang ia benci, Livia.Livia, yang dulunya adalah menantu yang tak pernah mendapat tempat di hati me

  • Mengemis Maaf Istriku    108

    Penangkapan Hana dan kehancuran Dania datang seperti hukuman ilahi. Kabar itu menyebar dengan cepat, melenyapkan semua fitnah yang pernah disebar Hana. Kebenaran tentang pekerjaan gelap Hana—pengedaran narkoba dan menjadi simpanan pria beristri—membuat Dania terisolasi total. Kebencian Dania terhadap Livia lenyap, tergantikan oleh rasa malu yang mematikan dan kepedihan melihat putrinya ditahan.Dengan Dania yang bungkam dan Hana di penjara, urusan warisan Hakam berjalan mulus. Livia, didampingi Gheza dan Pak Wibowo, berhasil memastikan semua aset Hakam—rekening bank, asuransi, dan beberapa investasi lain—dialihkan sepenuhnya atas nama Yazeed, yang diwakili oleh Livia.Ghani dan Nia menawarkan bantuan logistik penuh. Mereka bahkan menyarankan agar Dania mendapatkan bantuan hukum untuk kasus Hana, bukan karena iba pada Dania, tetapi demi menjaga citra keluarga besar. Livia, dengan kebesaran hati, setuju untuk mencabut gugatan pencemaran nama baik, asalkan Dania tidak pernah lagi mengusi

  • Mengemis Maaf Istriku    107

    Siang itu, di kantor hukum Pak Wibowo, suasana terasa mencekam. Di satu sisi meja, duduk Gheza, Livia didampingi Alia, dan Pak Wibowo, yang terkenal sebagai pengacara yang dingin dan tanpa kompromi. Di sisi lain, Dania dan Hana datang dengan pengacara mereka yang terlihat kurang berpengalaman.Dania mendengus begitu melihat Livia. "Jadi ini pengacara yang kau pamerkan, Livia? Kau pikir kau bisa menakuti kami?"Namun, senyum Dania langsung luntur saat melihat Gheza duduk tegak di sebelah Livia."Gheza?" Dania terkejut. "Apa urusanmu di sini? Bukannya kau sepupu suami Hana?""Justru itu urusanku, Tante Dania," jawab Gheza dingin. "Suami Hana sudah meninggal. Dan sekarang, aku bertindak sebagai penanggung jawab hukum untuk Livia dan Yazeed. Kau sedang berhadapan dengan pengacaraku, bukan hanya Livia."Dania memandang pengacara Livia, Pak Wibowo. Mendengar nama Pak Wibowo saja sudah membuatnya gentar, sebab ia tahu reputasi Pak Wibowo yang tak pernah kalah.Pertemuan itu dimulai dengan Pa

  • Mengemis Maaf Istriku    106

    Livia akhirnya menerima tawaran Gheza. Ia tahu risikonya besar—risiko dicap "merebut" Gheza di masa berkabung, risiko Gheza memanfaatkan situasi, dan risiko terbesarnya: keselamatan dan pekerjaan Alia serta Nenek Masitah. Namun, ketegasan Gheza meyakinkannya."Baiklah, Gheza. Aku terima," ujar Livia, tatapannya tegas. "Tapi ini hanya hubungan profesional. Aku butuh perisai hukum. Dan tolong, pastikan Mbah dan Alia aman dari papamu."Gheza tersenyum lembut. "Syarat diterima. Mari kita urus ini."*Malam itu, di rumah mewah keluarga Gheza, suasana tegang menyelimuti meja makan. Ghani telah mendengar kabar burung tentang putranya yang secara terbuka membantu Livia."Jadi, kau berani-beraninya membantu mantan ART yang sudah kita pecat, Gheza?" desis Ghani, suaranya dipenuhi amarah. "Kau bahkan menggunakan pengacara terbaik perusahaan kita untuk urusan sepele seorang janda?"Nia dan Ghaida hanya diam, menyaksikan. Nia tahu Gheza memiliki perasaan yang kuat untuk Livia, dan Ghaida, yang leb

  • Mengemis Maaf Istriku    105

    Langkah Livia terhenti di depan pintu pagar. Rasa penasaran itu cepat berganti menjadi ketakutan saat ia melihat Dania dan Hana duduk di kursi teras, seolah mereka adalah pemilik sah tempat itu. Wajah Dania terlihat dingin, sementara Hana menyeringai tipis."Hanya sebulan, sudah berani berjalan-jalan dengan bunga. Duka macam apa itu?" sambut Dania, menghilangkan semua basa-basi.Alia melangkah maju, tangannya menggenggam lengan Livia erat, melindungi. "Bunga itu dari makam Mas Hakam, Tante. Bukan untuk berjalan-jalan."Dania mengabaikan Alia, matanya fokus pada Livia. "Aku sudah tidak sabar lagi, Livia. Kami sudah menunggu cukup lama. Ini waktunya kau angkat kaki dari rumah ini."Livia menyerahkan Yazeed pada Alia, lalu berjalan menuju teras. Ia menanggapi dengan ketenangan yang sudah ia latih selama sebulan terakhir."Aku sudah bilang, Ma. Rumah ini atas namaku. Hukum melindunginya," jawab Livia tegas.Dania berdiri, raut wajahnya menahan amarah yang meletup-letup. "Hukum? Kau pikir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status