Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.
Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun. Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang. Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi. "Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed. Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak menolak, dia membiarkan laki-laki itu menggendong anak mereka. "Di kulkas sepertinya stok sayur sama ikan sudah kosong. Sebentar mas tanyakan sama mama dulu, mana tau di sana ada sedikit lauk." Livia menghentikan kegiatannya dan menoleh, Hakam tersenyum kearahnya. "Kamu tunggu sebentar, ya?" Tanpa menunggu jawaban Livia, Hakam segera berlalu dari sana. Sepeninggal Hakam, Livia menarik kursi dan duduk di sana. Pikiran perempuan itu menerawang jauh, hatinya teriris mengingat bagaimana manisnya sikap Hakam dulu sebelum Yazeed lahir. Yang ia ingat, sikap Hakam mulai berubah saat suami Hana meninggal dunia. Sejak itu, dunia Hakam seolah hanya terfokus pada Hanin dan Hanan. Dia tak lagi punya waktu untuk Livia, bahkan setelah perempuan itu melahirkan pun tak membuat Hakam memperhatikannya. Di sisi lain, Hakam menemui Dania dan Hana yang tengah menonton TV bersama. Keduanya terkejutnya dengan kedatangan Hakam, bukan kedatangan laki-laki itu yang membuat mereka terkejut, melainkan Yazeed yang berada di gendongan Hakam. Pasalnya selama ini tak pernah sekali pun Hakam membawa Yazeed ke sana, mereka pun tak pernah berniat membawa bayi tak bersalah itu berkunjung. Hana tak ingin kehadiran anak itu malah membuat kasih sayang Dania dan Hakam berkurang pada dua anaknya. "Ma, di kulkas ada stok sayur sama ikan, nggak?" tanya Hakam. "Kenapa kamu nanya gitu? Biasanya kalo kamu mau belanja juga nggak nunggu stok di kulkas kosong, kan?" tanya Dania heran. "Bukan itu, Ma. Livia mau makan, di rumah stok di kulkas udah pada kosong. Makanya aku nanya ke sini." Dania dan Hana saling pandang mendengar jawaban Hakam. Baru saja Dania hendak membuka mulut, Hana sudah lebih dulu menyambar. "Di kulkas juga udah pada kosong, Kam. Cuma tinggal ayam beberapa potong buat si kembar nanti malam." Dania menoleh kearah putrinya, ia tau jika Hana sedang berbohong. Padahal stok daging dan sayur di kulkasnya masih aman. "Yaudah, deh kalau gitu. Aku ke warung aja beli telor, kasihan Livia belum makan sejak di rumah sakit tadi." Hakam hendak berlalu, baru saja ia melangkah Hana sudah memanggilnya. "Atau kalau dia mau, ada ayam bekas makan siang Hanin tadi. Kebetulan nggak dihabisin, gimana?" tawar Hana. "Masa aku kasih bekas Hanin buat Livia, Mbak? Yang bener aja. Udah nggak usah, nanti aku beli telor aja," tolak Hakam. "Apa yang salah? Lagian Hanin itu anaknya Livia juga, kan? Entah kalo dia anggap orang lain, bisa jadi dia bakal jijik, sih," balas Hana. Dia sengaja mengatakan itu, dia ingin membuat Hakam merasa serba salah hingga akhirnya menerima pemberiannya. "Ya, bukan gitu, Mbak. Livia juga nggak bakal jijik makan bekas Hanin, sih. Tapi ... nggak etis aja gitu, masa ngasih bekas sama dia." Hakam masih mencoba menolak dengan lembut, takut kakaknya tersinggung. "Udah nggak apa, bawa aja. Kalo dia nggak mau berarti dia menganggap Hanin orang lain. Lagian cuma buat makan siang, kan?" Hana bangkit dan berjalan ke meja makan. Dengan santainya ia mengeluarkan sepotong ayam bekas tadi dan memasukkannya ke dalam piring. Setelah itu dia membawanya kembali pada Hakam. "Nih, kasihan kalo dia harus nunggu lagi. Mending makan ini aja dulu," kata Hana sedikit memaksa. Hakam tak langsung menyambut uluran tangan sang kakak. Dia berpikir sejenak, apa Livia tak akan marah kalau diberi makanan sisa?Hana meletakkan amplop cokelat berisi uang itu diatas meja didepan mereka. Mata Zaidan dan Sirly membelalak demi melihat betapa tebalnya amplop yang Hana bawa, keduanya mencoba menerka-nerka berapa jumlahnya. "M–mbak? I–ini ... semuanya?" Sirly tercengang begitu amplop cokelat itu dijulurkan padanya, Hana mengangguk dan tersenyum. "Iya, itu totalnya ada 60 juta. Kamu aja yang pegang, biar lebih mudah transaksinya." Memang dari awal perjanjiannya Hana hanya duduk manis menunggu, sedang setiap proses yang dimulai dari mencari ruko sewaan, belanja semua furniture hingga lain-lain adalah tugas Sirly, adik Zaidan. "Mbak percaya sama aku, kan?" Sirly menatap Hana serius. Lagi, perempuan itu kembali mengangguk dan menyunggingkan senyum. "Percaya, dong, Sir. Kamu itu adiknya mas Zaidan, dan mas Zaidan adalah orang yang mbak percaya selain keluarga mbak." Hana meraih tangan Sirly dan menggenggamnya, mendengar ucapan Hana membuat senyum lebar terulas dari bibir Sirly dan Zaidan secar
Hanum menarik napas dalam-dalam, ia berusaha tenang dan mencengkram kuat pisau di genggamannya. Ia harus bisa lepas tanpa harus luka atau melukai. "Lepas," pinta Hanum dengan suara bergetar menahan takut. "Hhh ... ayolah, Hanum ... bapak tau kamu sedang galau dengan keadaan rumah tanggamu dengan putra bapak. Mari kita bersenang-senang, biarkan bapak yang memberimu kehangatan jika Karim memilih mencarinya diluar sana. Bapak tak kalah kuat dari suamimu, kok!" kekeh Sofian. Pria itu bicara tepat disamping telinga Hanum, bahkan deru napasnya terdengar jelas hingga membuat Hanum bergidik ngeri. Terlebih disaat pria itu menghidu aroma shampo yang menguar dari rambut yang ia gerai. "Bajingan!" umpat Hanum dalam hati. Ia masih berusaha setenang mungkin, tapi pisau itu masih ia cengkram dengan kuat. "Kamu bukan seleraku, Pak!" tukas Hanum membuat Sofian tertawa sumbang. "Yakin?" Secepat kilat, pria itu membalikkan tubuh menantunya hingga berbalik menghadapnya. Hanum semakin ket
"Mana bisa mendadak gitu, Pa? Aku juga belum ada persiapan," elak Gheza. "Papa nggak peduli. Kalau secepatnya kamu tidak membawa calon istrimu ke rumah ini, maka terima perjodohan yang sudah papa siapkan!" pungkas Ghani dan berlalu dari sana setelah memberikan Yazeed pada Nia. Gheza mendesah gusar. Hingga kini, belum ada satu pun perempuan yang bisa menarik hatinya. Hatinya masih tertaut pada satu nama yang hingga kini masih setia mengisi kekosongan hatinya. "Ma, bilangin sama papa aku nggak mau dijodohkan. Lagian ini bukan jamannya Siti Nurbaya, nyari istri juga nggak segampang nyari sayur. Aku mau fokus sama bisnis yang papa amanahkan, kalau aku menikah sekarang takutnya fokusku nanti terbagi dan menghancurkan bisnis keluarga ini." Gheza mencoba merayu sang mama agar mau membantunya bicara pada sang papa. "Kamu tau sendiri papamu gimana, kan? Kalau dia sudah bicara, maka nggak akan ada yang bisa membantah. Jadi maaf, kali ini mama nggak bisa bantu." Nia menyahut tanpa menol
Livia menoleh pada Masitah yang berdiri disampingnya, maksudnya ingin meminta bantuan wanita itu untuk menjelaskan pada Nia alasannya membawa Yazeed. "Ahm ... maaf, Nya. Livia terpaksa membawa anaknya, karena cucu si mbok yang biasa menjaganya di rumah sudah mulai masuk kerja hari ini." Masitah membantu menjelaskan pada majikan mereka, sedang Livia masih saja menunduk disampingnya. "Tapi tenang saja, Nya. Insyaallah anak Livia ini anteng, nanti kalau mbok lagi senggang biar tak bantu jagain. Kerjaan Livia juga nggak akan terganggu, kok!" tambah Masitah berusaha membujuk majikannya agar mengizinkan Livia membawa Yazeed selama bekerja. Nia masih saja diam seperti posisinya diawal. Livia semakin merasa cemas, takut jika hari ini adalah hari terakhir ia bekerja di sana. "Nya, boleh, ya? Nanti si mbok yang akan tanggung jawab kalau ada masalah dengan kerjaan Livia gara-gara anaknya harus ikut." Masitah menatap Nia memohon, begitu juga Livia yang langsung mendongak menatap majikanny
"Mbah, Alia udah dapat kerjaan. Katanya besok udah bisa langsung masuk," kata Alia pada Masitah saat mereka sedang bercengkrama setelah makan malam. "Alhamdulillah kalau begitu, Neng. Memangnya kerja dimana?" tanya Masitah yang ikut senang mendengar kabar baik dari sang cucu. "Di kafe Bintang yang baru buka depan Pertamina, Mbah. Tapi ... kalo Alia kerja, nanti Yazeed gimana, ya? Kan, mbak Livia juga kerja? Apa mending nggak usah aja, Mbah?" Alia dilema, takut Yazeed tak ada yang menjaga jika dia ikut kerja. "Ya, terserah kamu atuh, Neng. Kalau memang kamu maunya bantuin mbakmu jaga Yazeed, yaudah nggak usah kerja. Bener, kan, Pak?" kata Masitah menoleh pada suaminya, Muis yang tengah mengajak Yazeed bercanda mengangguk sekilas. "Jangan, Dek! Kamu kerja aja, nanti Yazeed bisa mbak bawa kerja, kok!" Livia yang baru selesai mencuci piring langsung menyambar begitu mendengar ucapan Masitah. Dia tak ingin menghalangi niat Alia yang ingin mandiri. Dia tau, Alia mencari kerja buka
Hari terus berlalu, tak terasa sudah hampir 1 bulan Livia bekerja di rumah Gheza. Selama itu pula mereka tak pernah bertegur sapa meski bersinggung bahu sekali pun. Gheza tampak cuek, seakan tak pernah kenal dengan Livia sebelumnya. Livia sendiri tak berani menyapa Gheza lebih dulu, apalagi saat melihat wajah datar laki-laki itu saat mereka tak sengaja bertemu. Tapi hari itu, Livia merasa penasaran. Dia ingin menanyakan pada Gheza, apa laki-laki itu memberitahu Hana tentang keberadaannya? Livia sengaja menunggu Gheza di dapur, dan benar saja tak lama dari itu Gheza keluar dan memasuki dapur. Saat melihat Livia di sana, dia melengos tak peduli dan berjalan menuju kulkas. Tak sedikit pun Gheza menoleh pada Livia yang berdiri tak jauh dari kulkas. Dengan santainya ia mengeluarkan botol minum dan meneguk isinya, setelah itu langsung berbalik. Namun, suara Livia yang memanggilnya menghentikan langkah kaki Gheza. "Gheza, tunggu!" Laki-laki itu kembali berbalik dan menatap Livia datar.
Selesai makan malam, Livia menghabiskan waktu bersama Muis dan yang lain. Mereka bercengkrama sambil bercanda, tiba-tiba saja Alia membahas perkara kedatangan Hakam tadi siang. "Mbak, tadi siang ... suami mbak datang ke sini," ujar Alia ragu-ragu. Mendengar itu, Livia jelas terkejut. Bukan hanya dia, tapi juga Masitah. Napas Livia tercekat, tiba-tiba rasa cemas menyelusup dadanya. Bagaimana bisa Hakam tau keberadaannya? "Se–rius, Al? Terus gimana? Dia nggak nemuin Yazeed, kan?" cecar Livia panik, Alia lekas menggeleng. "Nggak, Mbak. Tapi maaf, tadi aku terpaksa sembunyiin Yazeed didalam lemari." Wajah Alia tertunduk, mata Livia dan Masitah membola mendengar pengakuan Alia. "Ya Allah, Neng! Yang benar saja? Terus Yazeed nggak apa, kan?" tanya Masitah panik, ia menatap suami dan cucunya bergantian. "Nggak apa, Mbah. Untungnya laki-laki itu nggak lama di sini," jawab Alia, dia masih saja merasa bersalah. Takut Livia tak suka dengan keputusannya. "Hhh ... Alhamdulillah kalau
"Hey! Apa-apaan ini? Kenapa Anda balik lagi?" Alia berusaha mencegah Hakam yang hendak masuk ke rumahnya. Hakam mendorong kasar bahu Alia hingga membuat gadis itu terhuyung, ditengah ketegangan itu tiba-tiba tetangga samping rumah Muis keluar dengan membawa bayinya yang tengah menangis kencang. Hakam, Alia dan Muis menoleh serentak kearah perempuan yang tengah sibuk menenangkan anaknya. Wajah Hakam pias, dengan letupan amarah di dadanya Hakam berbalik dan berjalan cepat meninggalkan teras rumah Muis tanpa kata. Setelah laki-laki itu benar-benar menjauh, Alia dan Muis menghembuskan napas lega. "Al, dimana kamu sembunyikan Yazeed?" Pertanyaan Muis kembali mengundang panik di wajah sang cucu. Tanpa menjawab pertanyaan Muis, Alia berlari masuk dan langsung menuju kamarnya. Melihat gelagat sang cucu yang tampak panik, Muis bergegas menyusul. Wajah keriput pria itu terlihat tegang begitu mendengar tangis Yazeed. Sesampainya di kamar Alia, mata Muis terbelalak saat melihat bagaimana Al
"Anda siapa? Kenapa masuk rumah orang sembarangan?" tanya Alia, dia hendak menutup pintu tapi Hakam sudah lebih dulu mendorong hingga terbuka lebar. Alia menelan ludah dengan susah payah, terlebih saat Hakam benar-benar memasuki kamarnya dan menelisik habis dengan matanya. Alia menoleh pada sang kakek yang sama paniknya dengannya. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdo'a agar Hakam tak menemukan apa-apa di sana. "Dimana anak dan istriku? Dimana kalian menyembunyikan mereka?" Hakam sudah keluar saat tak menemukan apa yang ia cari, ia menatap Alia dan Muis tajam. "Mana buktinya jika saya menyembunyikan istri dan anakmu? Lagian nggak ada untungnya untuk saya, kan?" Muis mencoba menjawab dengan santai. "Saya yakin jika tebakan saya benar! Malam itu Anda tidak mungkin tega menurunkan seorang perempuan yang membawa bayi sembarangan, maka dari itu saya yakin jika Anda membawanya kemari. Lebih baik kalian jujur saja, sebelum saya geledah seisi rumah ini!" tekan Hakam. "Silahkan ji