Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-03-13 14:58:56

Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.

Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang.

"Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia.

Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya.

Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya.

"Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu.

"Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi." Livia menjawab ramah.

"Loh, Yazeed dirawat? Kok Hakam keliatan santai aja? Mertua sama iparmu juga."

Mendengar pertanyaan wanita itu membuat Livia menghembuskan napas pelan. Jelas saja mereka santai saja, memangnya mereka peduli dengan keadaan Yazeed?

"Ah, itu mungkin cuma perasaan bu Dewi aja. Lagian mas Hakam, kan, pagi sampai sore kerja. Malamnya dia temenin aku di rumah sakit, kok!" kata Livia. Dia berusaha menutupi keburukan sifat suami dan keluarganya, menurut perempuan itu belum saatnya orang-orang tau bagaimana perlakuan mereka terhadapnya dan sang anak.

"Terus kenapa kamu pulangnya malah naik angkot gini? Emang Hakam nggak jemput gitu? Padahal, kan, dia dan keluarganya baru juga pulang dari luar." Wanita itu menatap Livia penuh selidik, dia memang sudah lama curiga dengan rumah tangga Livia. Hanya saja dia tak ingin dikatakan kepo dengan urusan orang lain.

"Masa, sih, Bu? Mas Hakam masih di kantor, kok!" sahut Livia yakin.

"Mereka baru pulang setengah jam lalu, kamu nggak dikasih tau?" Perlahan perempuan itu menggeleng, dadanya bergemuruh mendengar pengakuan tetangganya itu.

Setengah jam lalu dia masih berjuang menunggu angkot di halte depan rumah sakit, dan kalau memang Hakam baru pulang, dia pasti melihat Livia di sana, kan?

"Ah, mungkin ... mereka lupa ngasih tau, Bu. Soalnya hape saya juga mati, kehabisan daya." Livia berusaha mengelak, wanita didepannya hanya membulatkan mulut dan mengangguk meski tak percaya.

"Kalau gitu saya permisi dulu, Bu. Yazeed sudah haus kayaknya," pamit Livia.

Bu Dewi hanya mengangguk dan mempersilahkan, kemudian bergumam sambil memandang kepergian Livia.

"Kasihan sekali kamu Livia, dinikahi hanya untuk status. Mudah-mudahan kebahagiaan segera menghampiri anak itu." Gumam wanita itu berlalu.

*

Hakam menghembuskan napas lega saat melihat sang istri berjalan menuju rumah mereka. Langkah Livia semakin dekat dengan teras, perempuan itu menatap datar suaminya yang tengah berdiri di sana sambil melipat tangan.

"Kenapa kamu lama sekali?" tanya Hakam, Livia mengerutkan kening kemudian tersenyum sinis.

"Kami pulang dengan kendaraan umum, bukan milik pribadi." Jawaban Livia terdengar bak sindiran bagi Hakam.

"Apa maksudmu?" tanya laki-laki itu tak suka.

"Aku benar, kan? Memangnya kamu pikir aku pulang dijemput supir pribadi? Aku itu naik angkot, dan harus nunggu dulu berjam-jam." Livia menyahut sambil berlalu masuk kedalam rumah.

Perempuan itu menghempaskan bokongnya diatas sofa ruang tamu, sedang tas bawaannya ia taruh begitu saja di lantai.

"Makanya nggak usah gengsi jadi orang, kalau mau minta jemput ya, tinggal bilang. Gampang, kan?" Dengan tak tau dirinya Hakam berucap.

"Aku yang gengsi, atau kamu yang nggak peka? Memangnya ada suami yang membiarkan anak istrinya pulang sendiri sedang dia asik-asikkan menghabiskan waktu dengan keluarganya?"

Hakam terdiam, dia menelan ludah berkali-kali sebab rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. Livia tersenyum sinis melihat ekspresi suaminya, berarti benar apa yang dikatakan tetangganya tadi. Livia merasa miris, kenapa suaminya setega itu?

"Aku nggak nyangka kamu bakal setega itu, Mas. Kalau memang kamu tak suka denganku, bisakah jangan ikut sertakan Yazeed? Ingat! Dia anakmu! Darah dagingmu yang lahir dari rahimku! Kenapa tak sedikit pun ada rasa sayangmu untuknya?"

Air mata Livia sudah meleleh. Dadanya terasa sesak sekali. Sangat sakit rasanya melihat sendiri bagaimana tak adilnya suami terhadap anak mereka. Padahal Yazeed adalah anak yang Hakam tunggu-tunggu kelahirannya, tetapi kenapa setelah lahir sikapnya malah berbeda?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 51

    "Mbak, gimana dengan usaha yang mbak ceritakan?" tanya Hakam saat mereka sedang sarapan bersama di rumah sang mama.Hana gelagapan mendengar pertanyaan Hakam. Pasalnya, sejak semalam Zaidan mau pun Sirly tak bisa dihubungi. Nomor WhatsApp keduanya tak aktif, saat ditelpon biasa pun tak tersambung. Padahal semalam saat ia keluar dan bertemu dengan Gheza di mall niatnya ingin bertemu dengan Zaidan, tapi sekian lama menunggu laki-laki itu tak kunjung datang dan WhatsAppnya mendadak tak bisa dihubungi."Huh? Tenang aja, temen mbak lagi nyari lokasinya. Kemarin sudah ketemu, sih, tapi kayaknya kurang cocok, deh. Jadi hari ini rencananya mbak sama dia mau keluar dan survey tempat serta lokasinya." Hana berusaha tenang, meski dadanya ribut tak berhenti."Oh, bagus deh! Aku cuma takut kalo temen mbak itu cuma nipu dan bawa lari uang kita." Hana tercekat mendengar ucapan Hakam, tapi dia berusaha menenangkan dirinya. Mana mungkin Zaidan melakukan itu? Dia anak orang kaya, rumahnya malah lebih m

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 50

    "Untuk kado, Mbak!" Dari arah belakang, Gheza cepat-cepat menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada sang mama. Mendengar jawaban Gheza, tentu saja membuat Nia dan Ghaida menoleh dengan kening terlipat. Kenapa Gheza seolah ingin menyembunyikan itu semua dari Hana? "Oh, kirain ... padahal, kan, Tante Nia belum punya cucu." Hana terkekeh mendengar jawaban sepupu suaminya itu. "Jangankan cucu, Han, mantu aja sampe sekarang belum keliatan wujudnya, tuh!" canda Nia menyindir Gheza yang berdiri didekat mereka. Gheza menghela napas, ujung-ujungnya dia yang kena sindir. Kenapa harus nikah cepat kalau ujung-ujungnya pisah seperti .... Hana dan Nia sama-sama tertawa, seolah tengah menertawakan Gheza. Laki-laki itu semakin jenuh dan kesal, hanya Ghaida yang masih fokus memilih mainan bayi di sana, tak sedikit pun gadis itu menghiraukan keberadaan Hana. "Kamu sendiri mau kemana, Han?" Setelah puas menertawakan Gheza, Nia mengalihkan pembicaraan. "Eum, aku ada janji sama temen. Kalau

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 49

    Sore harinya, Livia dan Masitah berpamitan seperti biasa karena pekerjaan mereka sudah selesai. Keduanya sedang bersiap-siap saat Ghaida datang menghampiri. "Mbak, besok Yazeed ikut lagi, nggak?" tanya gadis itu mendekati Masitah yang tengah menggendong Yazeed dengan kain jarik. "Eum ... kalau diizinkan insyaallah saya akan bawa Yazeed setiap hari, Non. Soalnya di rumah nggak ada yang jaga," ucap Livia lembut. "Nggak apa, Mbak. Bawa aja tiap hari, nanti kalo aku libur biar Yazeed sama aku aja. Biar mbak bisa fokus sama kerjaan," kata Ghaida antusias. Gadis itu sudah hampir menyelesaikan kuliahnya, sebab itu dia lebih sering di rumah. "Ah, terimakasih banyak, Non. Saya takut merepotkan, jadi lebih baik Yazeed main di ruang loundry saja sama saya." Livia mencoba menolak tawaran Ghaida dengan lembut dan senyuman. "Mana ada merepotkan, yang ada aku malah seneng ada temen mainnya. Yaudah, kalo gitu hati-hati, ya? Sampai ketemu lagi besok, gantengku!" Ghaida melambaikan tangan dan

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 48

    Mendengar teriakan Marni yang melengking membuat Keysha urung membuka pintu kamarnya. Perempuan itu berbalik dan berjalan cepat menuju kamar Marni. Sesampainya di sana, ia melihat Marni sudah meraung sambil memeluk tubuh Sofian yang tergeletak dengan darah mengalir membasahi lantai didekatnya. Keysha tak kalah terkejut, perempuan itu syok hingga lututnya terasa lemas seketika, terlebih saat melihat cairan merah yang cukup banyak itu. "Siapa yang melakukan ini padamu, Pak?!" raung Marni. Ragu-ragu, Keysha mendekati Marni dan mencoba mengelus punggung wanita itu. Ia berusaha mengelakkan pandangannya dari tubuh Sofian. "Dimana Hanum?! Dimana perempuan itu?!" Teriak Marni berdiri. Ia hendak berlari ke kamar menantunya, tapi Keysha lebih dulu menahannya. "Ibu nggak nuduh mbak Hanum, kan?" Marni langsung menoleh mendengar pertanyaan Keysha. "Ibu cuma pengen tau, apa dia tau sesuatu? Yang ada di rumah saat kita pergi hanya Hanum, nggak mungkin dia nggak tau apa yang terjadi pada ba

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 47

    Hana meletakkan amplop cokelat berisi uang itu diatas meja didepan mereka. Mata Zaidan dan Sirly membelalak demi melihat betapa tebalnya amplop yang Hana bawa, keduanya mencoba menerka-nerka berapa jumlahnya. "M–mbak? I–ini ... semuanya?" Sirly tercengang begitu amplop cokelat itu dijulurkan padanya, Hana mengangguk dan tersenyum. "Iya, itu totalnya ada 60 juta. Kamu aja yang pegang, biar lebih mudah transaksinya." Memang dari awal perjanjiannya Hana hanya duduk manis menunggu, sedang setiap proses yang dimulai dari mencari ruko sewaan, belanja semua furniture hingga lain-lain adalah tugas Sirly, adik Zaidan. "Mbak percaya sama aku, kan?" Sirly menatap Hana serius. Lagi, perempuan itu kembali mengangguk dan menyunggingkan senyum. "Percaya, dong, Sir. Kamu itu adiknya mas Zaidan, dan mas Zaidan adalah orang yang mbak percaya selain keluarga mbak." Hana meraih tangan Sirly dan menggenggamnya, mendengar ucapan Hana membuat senyum lebar terulas dari bibir Sirly dan Zaidan secar

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 46

    Hanum menarik napas dalam-dalam, ia berusaha tenang dan mencengkram kuat pisau di genggamannya. Ia harus bisa lepas tanpa harus luka atau melukai. "Lepas," pinta Hanum dengan suara bergetar menahan takut. "Hhh ... ayolah, Hanum ... bapak tau kamu sedang galau dengan keadaan rumah tanggamu dengan putra bapak. Mari kita bersenang-senang, biarkan bapak yang memberimu kehangatan jika Karim memilih mencarinya diluar sana. Bapak tak kalah kuat dari suamimu, kok!" kekeh Sofian. Pria itu bicara tepat disamping telinga Hanum, bahkan deru napasnya terdengar jelas hingga membuat Hanum bergidik ngeri. Terlebih disaat pria itu menghidu aroma shampo yang menguar dari rambut yang ia gerai. "Bajingan!" umpat Hanum dalam hati. Ia masih berusaha setenang mungkin, tapi pisau itu masih ia cengkram dengan kuat. "Kamu bukan seleraku, Pak!" tukas Hanum membuat Sofian tertawa sumbang. "Yakin?" Secepat kilat, pria itu membalikkan tubuh menantunya hingga berbalik menghadapnya. Hanum semakin ket

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 45

    "Mana bisa mendadak gitu, Pa? Aku juga belum ada persiapan," elak Gheza. "Papa nggak peduli. Kalau secepatnya kamu tidak membawa calon istrimu ke rumah ini, maka terima perjodohan yang sudah papa siapkan!" pungkas Ghani dan berlalu dari sana setelah memberikan Yazeed pada Nia. Gheza mendesah gusar. Hingga kini, belum ada satu pun perempuan yang bisa menarik hatinya. Hatinya masih tertaut pada satu nama yang hingga kini masih setia mengisi kekosongan hatinya. "Ma, bilangin sama papa aku nggak mau dijodohkan. Lagian ini bukan jamannya Siti Nurbaya, nyari istri juga nggak segampang nyari sayur. Aku mau fokus sama bisnis yang papa amanahkan, kalau aku menikah sekarang takutnya fokusku nanti terbagi dan menghancurkan bisnis keluarga ini." Gheza mencoba merayu sang mama agar mau membantunya bicara pada sang papa. "Kamu tau sendiri papamu gimana, kan? Kalau dia sudah bicara, maka nggak akan ada yang bisa membantah. Jadi maaf, kali ini mama nggak bisa bantu." Nia menyahut tanpa menol

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 44

    Livia menoleh pada Masitah yang berdiri disampingnya, maksudnya ingin meminta bantuan wanita itu untuk menjelaskan pada Nia alasannya membawa Yazeed. "Ahm ... maaf, Nya. Livia terpaksa membawa anaknya, karena cucu si mbok yang biasa menjaganya di rumah sudah mulai masuk kerja hari ini." Masitah membantu menjelaskan pada majikan mereka, sedang Livia masih saja menunduk disampingnya. "Tapi tenang saja, Nya. Insyaallah anak Livia ini anteng, nanti kalau mbok lagi senggang biar tak bantu jagain. Kerjaan Livia juga nggak akan terganggu, kok!" tambah Masitah berusaha membujuk majikannya agar mengizinkan Livia membawa Yazeed selama bekerja. Nia masih saja diam seperti posisinya diawal. Livia semakin merasa cemas, takut jika hari ini adalah hari terakhir ia bekerja di sana. "Nya, boleh, ya? Nanti si mbok yang akan tanggung jawab kalau ada masalah dengan kerjaan Livia gara-gara anaknya harus ikut." Masitah menatap Nia memohon, begitu juga Livia yang langsung mendongak menatap majikanny

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 43

    "Mbah, Alia udah dapat kerjaan. Katanya besok udah bisa langsung masuk," kata Alia pada Masitah saat mereka sedang bercengkrama setelah makan malam. "Alhamdulillah kalau begitu, Neng. Memangnya kerja dimana?" tanya Masitah yang ikut senang mendengar kabar baik dari sang cucu. "Di kafe Bintang yang baru buka depan Pertamina, Mbah. Tapi ... kalo Alia kerja, nanti Yazeed gimana, ya? Kan, mbak Livia juga kerja? Apa mending nggak usah aja, Mbah?" Alia dilema, takut Yazeed tak ada yang menjaga jika dia ikut kerja. "Ya, terserah kamu atuh, Neng. Kalau memang kamu maunya bantuin mbakmu jaga Yazeed, yaudah nggak usah kerja. Bener, kan, Pak?" kata Masitah menoleh pada suaminya, Muis yang tengah mengajak Yazeed bercanda mengangguk sekilas. "Jangan, Dek! Kamu kerja aja, nanti Yazeed bisa mbak bawa kerja, kok!" Livia yang baru selesai mencuci piring langsung menyambar begitu mendengar ucapan Masitah. Dia tak ingin menghalangi niat Alia yang ingin mandiri. Dia tau, Alia mencari kerja buka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status