Masuk“Amelia,” teriak Kayden.
Ternyata, pria itu menyadari keberadaan Amelia di balik pohon. Dengan cepat Kayden menghampirinya. Amelia terlihat panik. ‘Kenapa dia bisa tau, sih?’ geramnya dalam hati. Kemudian berlari menjauh. Tapi Kayden berhasil mengejar dan menangkapnya dengan cepat. “Mau kabur ke mana kamu Amelia?” Amelia hanya diam tak menjawab. Langsung memalingkan wajah. Tak berani menatapnya. Kayden mendengus pelan. “Kamu harus bertanggung jawab. Kamu kira aku laki-laki pemuas, yang ditinggal setelah—” Belum selesai berbicara, Amelia tiba-tiba membungkamnya. “Jangan keras-keras. Kalau ada yang denger gimana?” bisiknya. Dengan tatapan gelisah, menatap sekitar. Untung saja tak ada yang mendengarnya. Kayden menjauhkan tangan Amelia. Lalu menggenggamnya erat. “Kalau gitu sini ikut. Jangan kabur-kaburan,” ajaknya. Sambil menarik Amelia pergi. Masuk ke mobilnya. Mau tak mau Amelia menurut saja. Setelah duduk di kursi penumpang. Amelia menatap jendela. Masih enggan menatap pria itu. “Ada urusan apa, Om?” Kayden kembali mendengus melihat sikapnya. “Liat orangnya kalau ngomong, Amelia. Itu lebih sopan,” tegurnya. Dengan enggan, Amelia memutar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan wajah datar Kayden seperti biasa. Jarang tersenyum. “Kemaren kenapa nggak bilang kalian ke pesta? Sampai tengah malem, mabuk pula. Di belakangku kalian emang senakal ini, hm?” tanya Kayden. Suaranya terdengar jengkel, penuh omelan. Amelia perlahan menunduk. “N-nggak, kok,” jelasnya gugup. “Kalau bilang dulu, Om pasti nggak bakal iziniin kan?” “Emang!” balas Kayden langsung. “Buat apa pergi ke pesta-pesta kayak gitu. Nggak berguna. Kalau mau refreshing ke tempat lain kan bisa?” Amelia menghela nafas panjang. “Om udah dong. Iya aku ngerti. Kayak Ayah aku aja ngomel terus,” gerutunya. Seketika, mata Kayden menyipit. Satu tangannya terulur, menarik dagu Amelia agar menatapnya. “Kamu masih anggap aku kayak Ayah kamu? Kamu lupa, kita udah ngelakuin apa semalam?” ujarnya dengan nada rendah. Wajah Amelia sontak memerah seperti tomat. Langsung menarik dagunya menjauh. Kenangan semalam kembali menghantam pikirannya. “Karina tau tentang ini?” tanyanya sedikit berhati-hati. Kayden menghela napas pelan. "Mana mungkin. Aku pasti udah dihajar habis-habisan karena nidurin sahabatnya." Namun Kayden berhenti sejenak. Lalu meralat perkataannya. "Ah, salah. Sahabatnya yang nidurin Ayahnya." Pandangannya menatap Amelia sekilas, penuh sindiran yang tak terucap. Amelia semakin tertunduk. Tentu merasa kata-kata itu untuk dirinya. Akhirnya, dengan keberanian yang dikumpulkan. Amelia kembali menghadap Kayden. “Aku minta maaf soal semalem. Aku tau aku yang salah. Mending kita lupain aja.” Mendengar hal itu, seketika Kayden menoleh dengan alis mengernyit. Wajahnya berubah serius. “Maksud kamu apa?” Amelia tak gentar. “Itu cuma kesalahan karena aku mabuk, Om. Jadi anggap aja nggak pernah terjadi,” katanya tegas. Namun rahang Kayden mengeras. jelas tak suka mendengarnya. Dengan gerakan cepat, dia mendekat dan menarik tubuh Amelia lebih dekat. “Om Kayden!” protes Amelia. Refleks mendorongnya. Namun pelukan Kayden lebih erat. “Kamu kira aku bisa lupain gitu aja? Kamu yang ngerayu aku duluan. Kamu harus bertanggung jawab sampe akhir,” desisnya geram. Amelia menelan ludah. Sambil menggeleng. “T-tapi ini salah, Om. Kita harusnya nggak ngelakuin ini.” Berusaha mempertahankan logikanya. Namun berbeda dengan Kayden. “Kita udah terlanjur melewati batas, Amelia.” Pria itu mendekatkan wajahnya. Sebelum Amelia bisa berkata lagi, Kayden sudah menyergap bibirnya. Amelia tersentak, tangannya mencoba mendorong tubuh Kayden. Tapi ciuman itu justru lebih dalam. Kayden melumatnya dengan penuh semangat. Perlahan, Amelia sedikit terbuai. Sensasi yang sama dari semalam mulai membiusnya. ‘Ah. Kenapa dia jago ciuman sih?’ geram Amelia dalam hati. Merutuki dirinya yang lagi-lagi terlena oleh sentuhan Kayden. Tapi lama-kelamaan, nafasnya menjadi sesak. Amelia memukul bahu Kayden berulang kali. Berharap untuk dilepaskan. Menyadari hal itu, Kayden akhirnya menjauhkan bibirnya, tanpa melepas pelukan. Takut Amelia akan kabur lagi. Kayden mengambil tangan Amelia yang baru saja memukulnya. Mengecup pelan telapak tangan itu. Senyuman nakal mengembang di bibirnya. Mirip senyuman yang selalu Amelia perlihatkan padanya. “Kamu milikku sekarang, Amelia.” Sontak jantung Amelia berdebar tak karuan. Kayden yang dingin dan selalu berwajah datar. Kini tersenyum. Membuat ketampanannya lebih terpancar. Meski Amelia sering terpesona, namun dengan cepat dia tersadar. ‘Nggak, Amel. Dia itu Papanya sahabatmu,’ batinnya. Berusaha meyakinkan diri sendiri yang mulai goyah. Kemudian menarik tangannya dari genggaman Kayden. “Pokoknya aku bukan milik siapa-siapa. Kenapa Om jadi kayak gini, sih? Sebelumnya aku godain nggak pernah digubris.” Kayden menggeram pelan. Akhirnya melepaskan pelukannya. Bersandar lelah di punggung kursi. Melipat kedua tangannya “Aku juga laki-laki, Amel. Kalau terus digodain sampe bertahun-tahun. Apalagi semalam lebih ekstrem, emang ada yang bisa tahan?” Amelia cemberut. Namun, ucapan Kayden itu memicu sebuah memori lain. Semalam, mungkin memang Amelia yang memulai dengan lebih intens. Tapi, ada satu hal yang berbeda. Karena tidak ada gaun Karina yang muat. Dengan terpaksa Amelia mengenakan gaun yang dulu adalah gaun mantan istri Kayden. "Mungkin…" ucapnya pelan. Mencoba mencari alasan. "Mungkin aja Om kepancing karena gaun yang aku pake, kan?" Kayden mengernyit. "Apa?" "Apakah Om jadi inget Mamanya Karina karena aku pake gaun itu? "Makanya Om sampe hilang kendali, ngalakuin itu sama aku." tanya Amelia. Memberanikan diri. Pertanyaan itu membuat Kayden terdiam. Dia memiringkan kepalanya. Menatap Amelia cukup lama. “Kamu ngiranya gitu? Kalau aku jawab iya. Emang kamu mau apa?”“Amelia,” teriak Kayden.Ternyata, pria itu menyadari keberadaan Amelia di balik pohon. Dengan cepat Kayden menghampirinya.Amelia terlihat panik.‘Kenapa dia bisa tau, sih?’ geramnya dalam hati.Kemudian berlari menjauh. Tapi Kayden berhasil mengejar dan menangkapnya dengan cepat.“Mau kabur ke mana kamu Amelia?”Amelia hanya diam tak menjawab. Langsung memalingkan wajah. Tak berani menatapnya.Kayden mendengus pelan.“Kamu harus bertanggung jawab. Kamu kira aku laki-laki pemuas, yang ditinggal setelah—”Belum selesai berbicara, Amelia tiba-tiba membungkamnya.“Jangan keras-keras. Kalau ada yang denger gimana?” bisiknya.Dengan tatapan gelisah, menatap sekitar. Untung saja tak ada yang mendengarnya.Kayden menjauhkan tangan Amelia. Lalu menggenggamnya erat.“Kalau gitu sini ikut. Jangan kabur-kaburan,” ajaknya.Sambil menarik Amelia pergi. Masuk ke mobilnya.Mau tak mau Amelia menurut saja.Setelah duduk di kursi penumpang. Amelia menatap jendela. Masih enggan menatap pria itu.“Ada
“Enggak usah bawa-bawa orang tua, Ratina,” desis Amelia.Ratina terdiam sejenak, kaget oleh tamparan itu. Dia tak sempat mengelak.Teman di sampingnya mendengus marah.“Heh, Amel! Beraninya nam—”Namun Amelia tak memberinya kesempatan.“Minggir! Nggak usah ikut campur,” katanya tegas.Lalu mendorongnya menjauh. Matanya kembali menatap Ratina.“Aku kira setelah Karina lulus, kita bisa jadi teman ngobrol. Ternyata kamu cuma teman munafik,” geram Amelia.Senyum sinis muncul di bibirnya. Sambil melipat kedua tangan dengan tatapan merendahkan.“Bangga kamu punya orang tua kaya? Tapi akhirnya tetap telat masuk kuliah kayak aku. Artinya kamu gagal terus waktu tes masuk, kan?”Ratina seketika melotot marah mendengarnya. Namun tak bisa menyangkal kata-kata itu.“Jangan main-main sama aku, Amel. Papa aku Manajer di perusahaan besar,” balasnya.Dengan menaikkan dagunya seolah balik menantang. Menonjolkan keunggulannya.Amelia mendengus jengkel. Tapi dia juga lelah jika terus melayani orang yang
‘Kenapa aku bisa ada di sini?! Apa ini kamarnya?’Amelia menunduk, melihat ke balik selimut. Tubuhnya pun dalam kondisi telanjang bulat.Dalam kepalanya mulai berpikir. Berusaha mengingat-ingat.Seketika memori tentang kejadian tadi malam terlintas di kepalanya.Dari awal hingga akhir. Sampai saat dirinya merayu Kayden. Dan berakhir di tempat tidur.Amelia langsung menutup wajahnya.Rasa malu yang begitu dalam menyelimutinya. Membuat Amelia ingin tenggelam ke perut bumi. ‘Aku pasti sudah gila,’ geramnya dalam hati.Tak ingin membuang waktu di sini, Amelia segera turun dari tempat tidur.Namun pinggangnya terasa berdenyut dan pegal. Permainan Kayden semalam sangat ganasAmelia memaksakan diri untuk bergerak diam-diam. Berusaha tak membuat suara agar tak membangunkan Kayden.Dengan gerakan cepat, Amelia mengenakan gaun merah muda yang tergeletak di lantai.Meraih tas kecilnya, dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu.Sebelum pergi, masih memastikan Kayden masih tertidur. Kemudian menu
“Dari mana kamu dapet gaun itu, Amel?”Tatapan Kayden menyapu tubuh Amelia dari ujung kepala hingga kaki. Terpaku pada gaun berwarna merah muda yang membalut tubuhnya.Amelia menunduk. Lalu mengangkat sedikit ujung gaunnya.“Hm. Ini dikasih Karina. Gaun dia nggak ada yang pas bagian sini.”Tak sengaja, atau mungkin sengaja. Amelia menyentuh lekuk dadanya yang terlihat lebih berisi dalam balutan gaun itu.“Kebetulan ada gaun punya Mamanya, hehe,” lanjutnya.Dengan mata berkedip-kedip. Sambil cengengesan genit.Kayden mengernyit. Langsung Memalingkan wajah. Jakun di lehernya naik turun.“Kamu tunggu dulu di sini. Nanti aku anter kamu pulang.”Tanpa menunggu jawaban, Kayden berbalik lalu mengambil tubuh Karina yang sudah tertidur di sandaran Amelia. Menidurkan di kamarnya.Sementara Amelia, dalam kondisi sadar dan tak sadar. Kemudian melangkah ke sofa ruang tamu. Duduk bersandar.“Nyari cowok kaya Om Kay susah banget. Kalau dia sepuluh tahun lebih muda, udah aku terkam kayaknya,” gumamny
“Biasa aja kali matanya. Aku cuma nanya,” ujar Amelia sambil menyeruput kopinya.Karina mendengus pelan.“Lagian, hampir tiap hari kamu centilin Papa.”Ameila hanya menaikkan kedua bahu.“Semua cowok ganteng aku centilin,” sahutnya santai.Karina memutar bola matanya sebal. Namun tetap menjawab.“Papa nggak punya pacar. Dia tuh nggak terlalu tertarik buat nikah lagi kayaknya. Dipaksa sama Nenek juga selalu nolak.”Amelia mengangguk paham “Oh .... ”Tapi dalam hati, pikirannya melayang.‘Kalau gitu kenapa dia anggap serius candaan aku tadi?’Amelia sendiri masih tidak menyangka. Pria dingin seperti Kayden selalu acuh tak acuh pada godaanya selama ini. Kini malah balik membalasnya.“Eh, btw. Sekarang kamu beneran mau pulang kampung? Ikut aku aja ke pesta si Ratina, ya?” celetuk Karina.Amelia mempertimbangkannya sejenak.“Gimana ya. Tapi aku juga tanya Ayah sih. Bentar aku tanyain dulu.”Amelia segera mengambil ponselnya dan menelepon Ayahnya, Alan.Panggilan bersambung. Tak lama, Alan
“N-nakal? Aku cuma bantuin Om ngusir cewek nyebelin itu, kok.”Amelia tertawa kecil, canggung. Dia seolah berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.Namun Kayden hanya terdiam. Masih dengan wajah datarnya.“Ngaku-ngaku jadi Istriku? Oke. Kalau gitu, lakukan tugas kamu sebagai Istri.”Kayden mencondongkan tubuh. Nafasnya hangat membuat bulu kuduk Amelia meremang. Tangan besarnya menyentuh pinggang ramping Amelia. Mengusap perlahan seolah menguji batas.Amelia terbelalak. “Om kenapa kayak gini?”Suaranya bergetar, antara takut dan bingung. Amelia berusaha mendorong dada kekar di depannya.Tapi tubuh Kayden malah semakin mendekat. Hingga Amelia bisa merasakan tubuh kekar yang menghimpitnya."Selama ini kamu suka godain aku. Sekarang dibales, kenapa takut. Hm?" tanya Kayden.Seketika Amelia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tampan dan mempesona ada di depan matanya.Namun akal sehatnya masih mengingatkan bahwa hal ini adalah perbuatan yang tidak benar."Om. Aku—""A







