Masuk“Enggak usah bawa-bawa orang tua, Ratina,” desis Amelia.
Ratina terdiam sejenak, kaget oleh tamparan itu. Dia tak sempat mengelak. Teman di sampingnya mendengus marah. “Heh, Amel! Beraninya nam—” Namun Amelia tak memberinya kesempatan. “Minggir! Nggak usah ikut campur,” katanya tegas. Lalu mendorongnya menjauh. Matanya kembali menatap Ratina. “Aku kira setelah Karina lulus, kita bisa jadi teman ngobrol. Ternyata kamu cuma teman munafik,” geram Amelia. Senyum sinis muncul di bibirnya. Sambil melipat kedua tangan dengan tatapan merendahkan. “Bangga kamu punya orang tua kaya? Tapi akhirnya tetap telat masuk kuliah kayak aku. Artinya kamu gagal terus waktu tes masuk, kan?” Ratina seketika melotot marah mendengarnya. Namun tak bisa menyangkal kata-kata itu. “Jangan main-main sama aku, Amel. Papa aku Manajer di perusahaan besar,” balasnya. Dengan menaikkan dagunya seolah balik menantang. Menonjolkan keunggulannya. Amelia mendengus jengkel. Tapi dia juga lelah jika terus melayani orang yang tak mau kalah sepertinya. “Ya, ya mau Papamu Direktur atau Presiden pun terserah.” Amelia berbalik, mengibaskan tangannya acuh. “Urus aja nilai IPK kamu yang anjlok itu. Kamu ke sini pasti buat nilai tambahan, kan? Kesian,” lanjutnya. Sambil melangkah pergi. Tak henti-hentinya melayangkan ejekan. Rahang Ratina mengeras. Benar-benar emosi mendengarnya. “Amelia!” teriaknya. Hendak mengejar. Namun temannya segera menahan. “Udah biarin. Malu diliat orang,” bisiknya. Ternyata beberapa orang mulai berdatangan dan melewati mereka. Ameelia sengaja pergi lebih dulu karena menyadari sekitar. Dia memilih naik ke lantai dua. Di salah satu ruang lab komputer yang kosong, Amelia duduk dan menyalakan layar. Amelia sempat mengikutsertakan game hasil ujian semester kemarin di salah satu perlombaan kecil. Yang diadakan oleh Akarin, sebuah organisasi game developer yang cukup terkenal. Meski kali ini hanya sebagai percobaan. Sejak dulu, Amelia sangat ingin menjadi seorang game developer. Dan kebetulan hari ini adalah pengumumannya. Amelia ingin memeriksa apakah dirinya beruntung. Saat melihat di website Akarin, masih belum ada pengumuman apa pun. ‘Apa nanti siang, ya?’ pikirnya. Hingga tiba-tiba terdengar suara seseorang dari belakang. “Wah. Kamu ikut lomba di Akarin ya?” Amelia trsentak. langusng menoleh ke sumber suara. Dia tak sadar dengan kedatangannya. Seorang pria berkemeja biru langit berdiri di belakangnya. Amelia mengernyit. “Siapa ya?” “Oh, maaf,” katanya. Lalu mengulurkan tangan. “Saya Alvin. Dosen baru di fakultas teknik informatika.” Amelia mengangguk pelan. Pantas saja tak pernah melihatnya, ternyata Dosen baru. “Saya Amelia, Pak,” jawabnya membalas jabat tangan itu. Alvin terdiam sejenak, menatapnya cukup lekat. “Maaf, bapak mau pakai ruangannya ya?” tanya Amelia. Seketika Alvin tersadar dari lamunan. Lalu tersenyum tipis. “Nggak, kok. Kebetulan aja lewat liat banner yang saya buat.” Amelia memiringkan kepalanya bingung. “Banner?” Alvin mengangguk yakin. “Iya. Saya anggota Akarin. Ikut jadi panitia perlombaan itu,” jawabnya sambil menunjuk ke layar di belakang Amelia. Sontak Amelia menutup mulutnya tak percaya. “Oh ya?! Terus siapa yang menang, Pak?” Alvin hendak membuka mulut. Namun ponsel di saku Amelia berdering. Nama di layar membuatnya membelalakkan mata. ‘Om Kayden?!’ batinnya kaget. ‘Ngapain dia nelpon?’ Amelia ragu menerimanya. Memilih menolak panggilan itu. Dan kembali fokus pada pria di depannya. “Gimana Pak? Siapa yang menang?” Tapi ponselnya kembali berdering. Mengacaukan pembicaraannya. Alvin terkekeh pelan. “Angkat aja. siapa tau penting.” Amelia menggeleng cepat. “Sekarang lebih penting Pak! Tolong kasih tau saya,” ucapnya dengan mata berbinar. Alvin menahan senyuman saat melihat reaksinya yang bersemangat. Dalam hati jadi ingin menjahilinya. “Maaf ya. Saya dilarang ngasih bocoran. Tapi nanti jam sepuluh hasilnya diumumkan, kok.” Mendengar hal itu, Amelia menunduk kecewa. Dan lagi-lagi ponsel di tangannya bergetar. ‘Astaga dia mau apa sih?!” geram Amelia dalam hati. Wajahnya masih tetap tersenyum tenang. “Maaf, Pak. Saya permisi angkat telepon,” pamitnya. Alvin mengangguk pelan. “Silahkan.” Amelia berbalik mematikan komputer dengan cepat. Lalu keluar ruangan. Dengan langkah yang sedikit dihentakkan. Seolah melampiaskan kejengkelannya. Amelia bergegas pergi ke toilet wanita. Di sana sepi dan tidak ada siapa pun. Kemudian dengan sangat terpaksa menerima panggilan itu. “Halo.” Jantungnya sedikit berdebar. Antara penasaran dan takut dengan apa yang dikatakan Kayden. “Cepet keluar. Aku tunggu di dekat gerbang.” Hanya kalimat singkat itu. Dan panggilan pun berakhir begitu saja. Itu bukan permintaan. Tapi terdengar seperti perintah. Amelia terpaku, menatap layar ponselnya tak percaya. Kemudian menunduk sambil memegang kepalanya. ‘Aku harus gimana kalau ketemu dia?’ pikirnya. Namun jika terus seperti ini. Amellia juga takut jika Kayden akan memberitahu Karina. Akhirnya kembali bangkit. ‘Ini salahmu juga, Amel. Harus kamu hadapi,’ batinnya bertekad. Amelia berjalan keluar dengan langkah berani. Dia berjalan menuju gerbang kampus. Di sana, mobil hitam mengilap sudah menunggu. Kayden berdiri di sampingnya. Bersandar santai, dengan pakaian semi formal. Membuatnya terlihat lebih tampan dan berkarisma. Bahkan beberapa perempuan yang lewat curi-curi pandang ke arahnya. Kayden selalu bisa membuat perempuan terpesona di mana pun dia berada. Seketika Aemlia ciut dan langsung bersembunyi di balik pohon. Keberaniannya tadi seketika hilang. ‘Aku harus nyamperin dia? Padahal udah beberapa kali Om Kay ke kampus jemput Karina dulu. Tapi kenapa sekarang kayak beda ya rasanya,’ batinnya ragu.“Amelia,” teriak Kayden.Ternyata, pria itu menyadari keberadaan Amelia di balik pohon. Dengan cepat Kayden menghampirinya.Amelia terlihat panik.‘Kenapa dia bisa tau, sih?’ geramnya dalam hati.Kemudian berlari menjauh. Tapi Kayden berhasil mengejar dan menangkapnya dengan cepat.“Mau kabur ke mana kamu Amelia?”Amelia hanya diam tak menjawab. Langsung memalingkan wajah. Tak berani menatapnya.Kayden mendengus pelan.“Kamu harus bertanggung jawab. Kamu kira aku laki-laki pemuas, yang ditinggal setelah—”Belum selesai berbicara, Amelia tiba-tiba membungkamnya.“Jangan keras-keras. Kalau ada yang denger gimana?” bisiknya.Dengan tatapan gelisah, menatap sekitar. Untung saja tak ada yang mendengarnya.Kayden menjauhkan tangan Amelia. Lalu menggenggamnya erat.“Kalau gitu sini ikut. Jangan kabur-kaburan,” ajaknya.Sambil menarik Amelia pergi. Masuk ke mobilnya.Mau tak mau Amelia menurut saja.Setelah duduk di kursi penumpang. Amelia menatap jendela. Masih enggan menatap pria itu.“Ada
“Enggak usah bawa-bawa orang tua, Ratina,” desis Amelia.Ratina terdiam sejenak, kaget oleh tamparan itu. Dia tak sempat mengelak.Teman di sampingnya mendengus marah.“Heh, Amel! Beraninya nam—”Namun Amelia tak memberinya kesempatan.“Minggir! Nggak usah ikut campur,” katanya tegas.Lalu mendorongnya menjauh. Matanya kembali menatap Ratina.“Aku kira setelah Karina lulus, kita bisa jadi teman ngobrol. Ternyata kamu cuma teman munafik,” geram Amelia.Senyum sinis muncul di bibirnya. Sambil melipat kedua tangan dengan tatapan merendahkan.“Bangga kamu punya orang tua kaya? Tapi akhirnya tetap telat masuk kuliah kayak aku. Artinya kamu gagal terus waktu tes masuk, kan?”Ratina seketika melotot marah mendengarnya. Namun tak bisa menyangkal kata-kata itu.“Jangan main-main sama aku, Amel. Papa aku Manajer di perusahaan besar,” balasnya.Dengan menaikkan dagunya seolah balik menantang. Menonjolkan keunggulannya.Amelia mendengus jengkel. Tapi dia juga lelah jika terus melayani orang yang
‘Kenapa aku bisa ada di sini?! Apa ini kamarnya?’Amelia menunduk, melihat ke balik selimut. Tubuhnya pun dalam kondisi telanjang bulat.Dalam kepalanya mulai berpikir. Berusaha mengingat-ingat.Seketika memori tentang kejadian tadi malam terlintas di kepalanya.Dari awal hingga akhir. Sampai saat dirinya merayu Kayden. Dan berakhir di tempat tidur.Amelia langsung menutup wajahnya.Rasa malu yang begitu dalam menyelimutinya. Membuat Amelia ingin tenggelam ke perut bumi. ‘Aku pasti sudah gila,’ geramnya dalam hati.Tak ingin membuang waktu di sini, Amelia segera turun dari tempat tidur.Namun pinggangnya terasa berdenyut dan pegal. Permainan Kayden semalam sangat ganasAmelia memaksakan diri untuk bergerak diam-diam. Berusaha tak membuat suara agar tak membangunkan Kayden.Dengan gerakan cepat, Amelia mengenakan gaun merah muda yang tergeletak di lantai.Meraih tas kecilnya, dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu.Sebelum pergi, masih memastikan Kayden masih tertidur. Kemudian menu
“Dari mana kamu dapet gaun itu, Amel?”Tatapan Kayden menyapu tubuh Amelia dari ujung kepala hingga kaki. Terpaku pada gaun berwarna merah muda yang membalut tubuhnya.Amelia menunduk. Lalu mengangkat sedikit ujung gaunnya.“Hm. Ini dikasih Karina. Gaun dia nggak ada yang pas bagian sini.”Tak sengaja, atau mungkin sengaja. Amelia menyentuh lekuk dadanya yang terlihat lebih berisi dalam balutan gaun itu.“Kebetulan ada gaun punya Mamanya, hehe,” lanjutnya.Dengan mata berkedip-kedip. Sambil cengengesan genit.Kayden mengernyit. Langsung Memalingkan wajah. Jakun di lehernya naik turun.“Kamu tunggu dulu di sini. Nanti aku anter kamu pulang.”Tanpa menunggu jawaban, Kayden berbalik lalu mengambil tubuh Karina yang sudah tertidur di sandaran Amelia. Menidurkan di kamarnya.Sementara Amelia, dalam kondisi sadar dan tak sadar. Kemudian melangkah ke sofa ruang tamu. Duduk bersandar.“Nyari cowok kaya Om Kay susah banget. Kalau dia sepuluh tahun lebih muda, udah aku terkam kayaknya,” gumamny
“Biasa aja kali matanya. Aku cuma nanya,” ujar Amelia sambil menyeruput kopinya.Karina mendengus pelan.“Lagian, hampir tiap hari kamu centilin Papa.”Ameila hanya menaikkan kedua bahu.“Semua cowok ganteng aku centilin,” sahutnya santai.Karina memutar bola matanya sebal. Namun tetap menjawab.“Papa nggak punya pacar. Dia tuh nggak terlalu tertarik buat nikah lagi kayaknya. Dipaksa sama Nenek juga selalu nolak.”Amelia mengangguk paham “Oh .... ”Tapi dalam hati, pikirannya melayang.‘Kalau gitu kenapa dia anggap serius candaan aku tadi?’Amelia sendiri masih tidak menyangka. Pria dingin seperti Kayden selalu acuh tak acuh pada godaanya selama ini. Kini malah balik membalasnya.“Eh, btw. Sekarang kamu beneran mau pulang kampung? Ikut aku aja ke pesta si Ratina, ya?” celetuk Karina.Amelia mempertimbangkannya sejenak.“Gimana ya. Tapi aku juga tanya Ayah sih. Bentar aku tanyain dulu.”Amelia segera mengambil ponselnya dan menelepon Ayahnya, Alan.Panggilan bersambung. Tak lama, Alan
“N-nakal? Aku cuma bantuin Om ngusir cewek nyebelin itu, kok.”Amelia tertawa kecil, canggung. Dia seolah berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.Namun Kayden hanya terdiam. Masih dengan wajah datarnya.“Ngaku-ngaku jadi Istriku? Oke. Kalau gitu, lakukan tugas kamu sebagai Istri.”Kayden mencondongkan tubuh. Nafasnya hangat membuat bulu kuduk Amelia meremang. Tangan besarnya menyentuh pinggang ramping Amelia. Mengusap perlahan seolah menguji batas.Amelia terbelalak. “Om kenapa kayak gini?”Suaranya bergetar, antara takut dan bingung. Amelia berusaha mendorong dada kekar di depannya.Tapi tubuh Kayden malah semakin mendekat. Hingga Amelia bisa merasakan tubuh kekar yang menghimpitnya."Selama ini kamu suka godain aku. Sekarang dibales, kenapa takut. Hm?" tanya Kayden.Seketika Amelia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tampan dan mempesona ada di depan matanya.Namun akal sehatnya masih mengingatkan bahwa hal ini adalah perbuatan yang tidak benar."Om. Aku—""A







