Share

Menggoda Sang Paman
Menggoda Sang Paman
Author: Centong ajaib

Maaf Om

Author: Centong ajaib
last update Last Updated: 2025-02-03 15:26:48

Hosh...

Seorang gadis berlari memasuki halaman rumah dengan napas tersengal. Keringat menetes di pelipisnya, membasahi anak rambut yang terlepas dari ikatan asalnya.

Tubuhnya yang berisi bergerak cepat, meski setiap langkah terasa berat. Rambut bergelombang tergerai, sebagian menempel di pipinya yang bulat karena keringat. Kacamata yang bertengger di hidungnya sedikit melorot akibat hentakan langkah tergesa-gesanya.

Gadis itu bernama Nabila, ia dalam masalah besar karena pulang larut malam.

“Astaga…” gumamnya, menepuk dadanya yang masih berdetak kencang. Dada naik turun, menahan rasa panik yang masih menguasai dirinya.

Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Lampu teras rumah menyinari wajahnya yang kemerahan karena kelelahan. Nabila menggigit bibir, khawatir membuka pintu rumah.

Jam di ponselnya menunjukkan pukul 11.10 malam.

“Duh, kenapa sih nggak lihat jam tadi? Paman pasti marah...” gumamnya pelan sambil memutar kunci pintu dengan sangat hati-hati, berusaha membuat suara sekecil mungkin.

Pintu depan berderit pelan, saat pintu terbuka kegelapan menyambutnya. Nabila mengendap-endap seperti pencuri.

Nabila mencoba menutup pintu tanpa suara. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Semoga Om Govan sudah tidur, pikirnya. Ia tahu betul bagaimana pamannya bisa berubah menjadi seperti singa kelaparan jika dirinya melanggar aturan.

Namun, harapannya sirna ketika.

klik...

Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala terang.

“Dari mana saja kamu, hah?! Jam segini baru pulang?” Suara berat dan dingin itu membekukan langkah Nabila.

Nabila menoleh perlahan dan mendapati pamannya yang bernama Govan, berdiri di sudut ruangan dengan tatapan penuh amarah.

Tubuh kekarnya yang hanya berbalut celana santai membuatnya tampak seperti patung pahlawan hidup. Matanya sipit menatap tajam Nabila seperti elang yang mengintai mangsanya. Rahang kokohnya mengeras, tanda ia sedang menahan amarah.

"Jawab!” bentak Govan menghampiri nabila, langkahnya menghentak tegas di lantai.

“A-anu, Om…” Nabila menelan ludah, mencengkeram tasnya lebih erat lalu cengengesan, menggaruk kepala yang jelas tidak gatal. Kakinya seolah tertancap di lantai, tak berani bergerak.

“Tadi bilangnya keluar sebentar, tapi pulang jam segini. Ditelepon nggak angkat. Kemana aja kamu, hah?!” tanya Govan penuh tekanan

Nabila hanya menunduk, tidak berani menatap pamannya. Tubuh chubby-nya bergetar kecil, matanya yang bulat di balik kacamata mulai berkaca-kaca. Ia tahu ia salah. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang lupa waktu saat nongkrong dengan temannya.

"Kamu tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi kalau kamu keluyuran malam-malam begini? Kamu masih anak-anak, Nabila! Perempuan pula!” Govan mendesis, suaranya seperti cambuk yang melayang-layang di telinga Nabila.

"Tapi aku bukan anak kecil lagi," cicit Nabila menciut.

"Ha, melawan!" bantak govan Nabila semakin menciut. Ini pertama kalinya dia dimarahin pamannya begini.

“Maaf, Om… Aku nggak bakal ulangi lagi…” gumam Nabila, suaranya hampir seperti isakan. Air mata mulai menggenang di sudut mata nabila, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia mencuri pandang ke arah pamannya, memasang wajah memelas berharap pria itu melunak.

"Is... Anak ini." Govan mendesis memijat keningnya, frustasi, napasnya berat, bukan karena lelah, tetapi karena amarah yang belum sepenuhnya reda.

Pikirannya melayang ke masa-masa beberapa tahun yang lalu, saat ia menggendong tubuh kecil Nabila yang menangis tanpa henti di pemakaman kedua orang tuanya.

Sejak hari itu, hidupnya berubah drastis. Ia bukan lagi pria bebas yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Ia harus menjadi segalanya bagi Nabila mengantikan peran ayah, ibu, kakak, bahkan pelindung.

"Om?" Melihat Nabila dengan wajah memelas seperti itu membuat amarahnya perlahan mereda.

Bagaimanapun juga Nabila adalah satu-satunya keluarga yang ia punya, dan dia tidak tega memarahinya sampai membuatnya takut seperti ini.

“Om bukan marah karena kamu pulang malam, Nabila. Om marah karena Om takut… Takut kehilangan kamu.” Govan melihat wajah Nabila yang seolah menyesali perbuatannya.

Govan mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri, suaranya mulai melembut.

 “Maaf, Om… Aku nggak bermaksud bikin Om khawatir.” Nabila mendongak perlahan, air matanya akhirnya jatuh membasahi pipinya.

 “Walaupun kamu udah dewasa, Om cuma ingin kamu lebih berhati-hati. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira. Kalau ada apa-apa terjadi sama kamu, Om nggak tahu apa Om bisa memaafkan diri Om sendiri.” Govan memeluk nabila, menepuk kepalanya dengan lembut.

Nabila terisak pelan dipelukan govan, Govan menghela napas panjang, ia tahu Nabila bukan anak kecil lagi, tetapi bagi dirinya, Nabila akan selalu menjadi gadis kecil yang ia lindungi dengan segenap jiwa.

“Dengar baik-baik,” kata Govan akhirnya, suaranya lebih lembut. “Ini terakhir kalinya kamu begini, jangan pernah pulang larut malam lagi. Kalau ada apa-apa di luar sana, Om yang repot, tahu?”

“Iya, Om.” Nabila mengangkat kepalanya cepat lalu mengangguk seperti burung pelatuk.

“Sekarang tidur, udah larut,” perintah Govan menunjuk ke arah kamar Nabila.

Wajah Nabila langsung cerah. Ia mengangguk penuh semangat, lalu berlari ke arah kamarnya.

“Meski om galak, om itu pria paling tampan dan baik hati yang pernah aku kenal!” candanya sambil tertawa kecil.

“Dasar bocah, ” gumamnya, merasa tersanjung sekaligus geli.

Meski Nabila sering membuatnya kesal, gadis itu adalah alasan terbesar ia tetap bertahan hidup sampai detik ini. Jika ia tidak ada siapa lagi yang mengurus Nabila?

Sanak saudara semuanya melepas tangan, gak mau urus Nabila sejak orang tua Nabila meninggal. Govan satu-satunya yang bersedia mengurus Nabila, meski usianya sangat muda kala itu.

"Hadeh." Govan memijit keningnya.

Di balik pintu kamar.

"Berhasil!" sorak Nabila tersenyum kecil, merasa puas.

Seperti biasa, air matanya menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan hati Govan. Ia tahu pamannya keras, tetapi juga punya sisi lembut yang mudah tersentuh jika melihatnya menangis.

“Dasar Om gampang luluh,” gumamnya sambil terkikik pelan.

Namun, senyum di wajahnya segera pudar saat ia melihat pantulan dirinya di cermin. Rambutnya berantakan, wajahnya masih ada bekas keringat, dan kaos yang ia pakai agak kusut karena terburu-buru tadi.

“Astaga, mirip zombie!” desisnya.

Tanpa pikir panjang, Nabila mengambil handuk dan menuju kamar mandi di dalam kamarnya, membersihkan dirinya lalu mengenakan piyama yang lebih nyaman.

Tub...

"Aduh capeknya." Nabila merebahkan dirinya ke kasur, menarik seimut bersiap untuk tidur.

Tuk...

Nabila mendongak melihat ke arah jendela, ia yakin suara tadi berasal dari luar jendela miliknya.

Tuk...

Suara itu terdengar lagi, Nabila semakin parno. Jantung Nabila berdebar cepat, dan seketika rasa takut menyelimuti dirinya.

'Gak mungkin mbak kunti ngikutin dia gara-gara pulang malam, kan?' pikirnya

Nabila mencoba mendekat ke arah jendela, baru beberapa langkah tubuhnya membeku, kakinya gemetar melihat ke arah jendela. ada sebuah bayangan putih bergerak.

“Tu..tunggu... Apa itu?” gumamnya, terlonjak mundur, tubuhnya merinding.

Tiba-tiba, ada ketukan keras di kaca jendela.

“KYAAAA!!!" teriak Nabila nyaring terkejut, wajahnya pucat, tubuhnya kaku, hampir tak bisa bergerak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggoda Sang Paman   Ayo tinggal disini

    Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la

  • Menggoda Sang Paman   Ngajak nginep? Yg bener aja

    Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge

  • Menggoda Sang Paman   Disangka istri

    Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd

  • Menggoda Sang Paman   Waduh!

    Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan

  • Menggoda Sang Paman   Untukmu

    Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa

  • Menggoda Sang Paman   Gaun

    Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status