KYAAAAA!!!
Jeritan melengking memecah keheningan malam.
Govan yang baru saja memejamkan mata langsung melek, tanpa pikir panjang, dia berlari ke arah kamar Nabila.
Belum sempat membuka pintu, Nabila sudah lebih dulu keluar dengan wajah panik, langsung menerjang tubuh govan hingga tersungkur ke lantai.
"Om! Hantu!!" serunya dengan suara gemetar, memeluk govan yang ada di bawahnya, jari telunjuknya menunjuk ke arah jendela kamarnya.
"Aduh berat, Bil!" Seru Govan sesak nafas ditindih Nabila.
Nabila menyingkir membantu Govan berdiri lalu memeluknya takut.
"Hantunya seram om," cicit Nabila.
"Hantu?" tanyanya seolah-olah tidak percaya, menatap keponakannya dengan ekspresi datar.
"Iya! Aku lihat putih-putih melayang di jendela! Aku takut Om!" Nabila mengangguk cepat.
"Udah besar kok masih takut hantu."
Govan mendesah panjang, dari tadi kesabarannya di uji. Dia menatap langit-langit seolah meminta kesabaran lebih dari Tuhan.
"Udah dibilang jangan kebanyakan nonton film horor. Liat kamu jadi parno kan? Lagian mana ada hantu mau ganggu kamu," ujarnya masuk ke dalam kamar.
"Tapi beneran, Om! Aku liat dengan jelas!" Nabila ikut dibelakangnya.
"Ini akibat kamu pulang larut malam nih, jadi dedemit pada ngikutin," gerutu Govan berjalan ke arah jendela kamar Nabila, menarik tirai dengan gerakan cepat. Matanya langsung tertuju pada sesuatu yang menggantung di luar jendela, berkibar pelan tertiup angin malam.
"Hantu macam apa yang punya jahitan rapi di bagian pinggang?" gumamnya, alisnya naik sebelah heran.
Govan membuka kunci jendela, lalu menjulurkan tangan ke luar. Dengan sedikit usaha, dia menarik benda itu masuk ke dalam kamar.
Ketika Govan berbalik, di tangannya tergantung sebuah rok putih panjang.
Dia menatap Nabila dengan ekspresi datar, lalu mengangkat rok itu di depan wajah keponakannya.
"Ini hantunya?" tanyanya singkat.
Nabila membeku sesaat, lalu nyengir kuda. "Eh… aku lupa… tadi sore aku jemur itu di jendela, biar besok kering..."
"Astaga, Nabila." Govan menepuk dahinya, menarik napas dalam-dalam.
"Tapi kan tadi aku kaget! Kelihatannya serem!" Nabila makin nyengir.
"Mulai besok! Kamu gak boleh lagi nonton film horor dan jangan jemur baju di jendela kalau gak mau ketakutan sendiri," kata Govan penuh penekanan.
"Hehehe... Oke, Om." Nabila menggaruk kepala sambil nyengir lebar.
Govan hanya menggelengkan kepala sebelum keluar kamar. Sementara itu, Nabila memelototi rok putihnya sendiri dan menggumam.
"Rok sialan, bikin jantung mau copot." Nabila menggantung rok itu lalu kembali merebahkan diri di kasur, namun matanya tak kunjung terpejam.
Perasaan setiap di setiap sudut kamarnya seolah ada sesuatu yang mengintai, pikiran tentang film horor yang baru saja ditontonnya siang tadi membuat tubuhnya merinding. Bayangan-bayangan aneh muncul di pikirannya, dan suara-suara aneh seolah terdengar semakin jelas.
"Duh, apaan sih ni otak, kok malah ke ingat film horor sih. gak asik ah," gerutu Nabila pada dirinya, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Nabila merasa seolah ada mata yang menatapnya, memandangi dari balik kegelapan. Ia menoleh cepat ke arah pintu, lalu ke jendela. Tak ada apa-apa, namun rasa takut itu terus menggantung di dadanya.
Gigi Nabila gemetar, ia beranjak dari tempat tidur keluar dari kamar menuju kamar Govan.
"Emm... ketuk gak ya," Ia ragu sejenak, menyentuh gagang pintu dengan tangan yang gemetar, kemudian mengetuk pintu kamar Govan.
Tok... Tok... Tok...
“Om… Om Govan…” suaranya bergetar pelan, hampir seperti bisikan.
Namun, sebelum ia sempat mengetuk lagi, bayangan kemarahan pamannya muncul di benaknya.
"Kamu bukan anak kecil, Nabila! Jangan manja!" suara bentakan Govan yang keras dan tajam menghantui pikirannya.
Sejenak, Nabila membeku di tempatnya, wajahnya memucat.
'Aku udah berbuat salah hari ini, nanti om marah lagi…' pikirnya, menggigit bibirnya.
Nabila tahu, kalau ia meminta pamannya untuk menemaninya tidur, Govan pasti akan marah besar, dan sekarang Govan pasti udah tidur, ia gak mau ganggu waktu istirahat govan.
Nabila menelan ludah, ragu. Ia berbalik ke kamarnya, lalu kembali berbaring di atas ranjang. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, memaksa matanya untuk terpejam.
*
*
*
"Nabila..."
Samar-samar mendengar suara lembut memanggil namanya. Nabila meringkuk di dalam selimut memeluk erat bantal guling.
"Nabila!" Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras lagi.
“Nabila! Bangun, sudah pagi!” suara govan menarik selimut Nabila.
"Astaga!" Govan kaget melihat Nabila seperti kepiting rebus. Wajahnya merah penuh peluh, kantong matanya hitam seperti habis bergadang.
"Om..." Mata Nabila membuka perlahan.
Matanya menangkap sosok pria bertubuh tinggi tegap duduk di tepi tempat tidurnya. Wajahnya tegas, Kulitnya sawo matang, mempertegas kesan maskulin yang melekat pada dirinya. Rambut hitamnya yang tertata rapi menambah pesona khas pria dewasa.
"Hoommm..." Nabila menguap lebar menatap Govan sayu.
“Kamu bergadang lagi?” tanya Govan menyentuh wajah Nabila khawatir kalau Nabila demam.
"Aku gak bisa tidur om, takut ada hantu," kata Nabila lemah.
"Kamu ini, mana ada hantu di dunia ini. Ya sudah sana tidur, om mau pergi kerja. Kalau lapar makan saja, om udah masakin makanan buat kamu." Govan mengecup kening Nabila, mengusap kepalanya lembut sebelum pergi dari kamarnya.
Wajah Nabila memerah, jantungnya berdegup kencang setiap kali mendapati perlakuan seperti itu dari pamannya.
Nabila merebahkan kembali tubuhnya ke kasur, semalaman dia ketakutan. Sekarang dia tidur dalam hitungan detik.
***
Pagi itu, suasana kantor XXX penuh dengan hiruk-pikuk karyawan yang sibuk menjalankan tugas mereka.
"Pagi pak Direktur," sapa karyawan pada pria dengan setelan jas hitam rapi, kemeja putih bersih di balik dasinya, serta sepatu kulit hitam mengilap. Wajahnya tampan, rahang kokoh membuat auranya tampak tegas sekaligus menawan.
Dialah Govan, pria berusia 32 tahun yang kini menjabat sebagai direktur di perusahaan ternama itu.
"Pagi," balas Govan ramah.
Langkahnya mantap menuju ruangannya. Setiap mata tertuju padanya, bukan hanya karena posisinya yang berpengaruh, tetapi juga karena kharismanya yang tak terbantahkan.
Namun, siapa sangka di balik sosok sukses yang kini berdiri sebagai direktur, Govan tidak sukses dalam hal percintaan. Hubungan percintaannya selalu kandas dengan alasan yang sama, tidak ada wanita yang siap menerima tanggung jawab untuk mengurus Nabila bersamanya.
Kini, di usianya yang ke-32, Govan memilih untuk fokus pada Nabila dan pekerjaannya. Ia memutuskan akan menikah setelah Nabila sukses dan bisa hidup mandiri.
Tok... Tok... Tok...
Pintu ketukan pintu membuyarkan lamunan govan
"Permisi pak." suara wanita lembut di balik pintu.
"Masuk," kata Govan.
Seorang wanita masuk, membawa berkas-berkas di tangannya. Ia adalah sekretaris pribadinya, Laras.
“Selamat pagi, Pak Govan. Ini berkas untuk presentasi rapat siang nanti,” ucap Laras sambil menyodorkan map dengan senyuman profesional.
Laras adalah sosok yang memancarkan pesona di setiap langkahnya. Wanita itu memiliki tubuh semampai dengan lekuk tubuh yang memikat. Rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, berkilauan saat terkena sinar matahari. Matanya tajam dengan bulu mata lentik, bibirnya merah alami tanpa perlu banyak polesan, dan kulitnya sehalus porselen.
Setiap kali Laras berjalan, hak sepatunya mengetuk lantai dengan ritme yang seolah memukau siapa saja di sekitarnya.
“Terima kasih, Laras.” Govan menerima map itu, lalu menatap Laras sejenak.
“Sama-sama, Pak. Jika ada yang perlu dipersiapkan lagi, saya siap membantu,” jawab Laras dengan nada lembut.
Di luar kecantikannya yang memesona, Laras adalah seorang profesional yang cerdas dan cekatan. Ia tahu bagaimana membaca situasi dan memahami kebutuhan atasannya. Itulah salah satu alasan Govan memilih Laras sebagai sekretarisnya.
“Pastikan presentasi nanti berjalan lancar. Jangan sampai ada detail yang terlewat,” ujar Govan, suaranya tenang namun penuh otoritas.
“Tentu, Pak. Semua sudah saya siapkan.” Laras mengangguk, senyuman kecil masih menghiasi wajahnya.
Setelah Laras keluar, Govan menghela napas panjang dan bersandar di kursinya. Tangannya mengusap wajah, matanya menatap kosong ke arah berkas di depannya.
Namun, saat ia membuka map untuk mengecek dokumen...
Sebuah kertas kecil terselip di antara halaman.
Alis Govan bertaut. Ia mengambilnya dan membacanya, dahinya mengerut sekejap rasa gugup menyerangnya.
Govan mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang sudah tertutup rapat.
Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la
Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge
Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd
Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan
Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa
Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal