LOGINHappy Reading
*****
Jenni menatap sang pembantu tajam. Menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. "Ssstt, diam!" bentaknya.Ardha bungkam, menggigit bibir bawahnya disertai meremas kedua tangannya. "Bu ... Bapak nggak akan mati, kan?"
"Saya bilang diam," bentak Jenni. Perempuan itu mulai sibuk menegakkan badan Harsa setelah memeriksa tubuh yang lemah tersebut. "Bantu saya angkat."
"Ba-baik." Ardha mulai mendekati tubuh majikan lelakinya. Meletakkan tangan kanan Harsa ke pundaknya, sedangkan tangan kiri, berada di pundak Jenni.
Sang nyonya rumah memberi perintah masuk ke ruang kerja. Harsa didudukkan pada kursi kebesaran yang sering dipakai Jenni untuk mendesain gaun dan pakaian.
"Bu, Bapak mau diapain ini?" tanya Ardha, sekali lagi. Rasa penasaran membuatnya terus mengejar jawaban pada sang nyonya rumah.
"Jangan banyak tanya." Jenni mendelik, mulai emosi karena Ardha yang terlalu banyak bertanya. "Jaga dia sampai saya kembali lagi."
Ardha mengangguk walau masih ketakutan jika majikannya mati. Namun, ketika sadar bahwa obat yang dia masukkan tadi adalah obat pemberian Harsa sendiri, pembantu itupun tenang.
"Semoga Bapak nggak akan menyakiti diri sendiri demi masalah ini," gumam Ardha.
"Apa kamu sangat mengkhawatirkanku?" kata Harsa lirih.
Sang pembantu membulatkan mata ketika majikannya membuka mata. "Pak, Anda benar-benar nggak kenapa-napa?"
"Seperti yang kamu lihat." Lelaki dengan potongan rambut klimis yang selalau rapi tersebut, merentangkan tangannya.
"Syukurlah. Saya sangat ketakutan ketika Bapak tadi tiba-tiba pingsan dan tertidur."
"Tenang, tetaplah bergerak sesuai kewajaran," bisik Harsa. Setelahnya, lelaki itu kembali ke posisi semula karena mendengar suara langkah mendekat ke ruangan tersebut.
"Gimana keadaannya?"
"Bapak dari tadi nggak bergerak sama sekali, Bu. Saya benar-benar takut kalau sampai Bapak meninggal," sahut sang pembantu, berpura-pura.
"Diamlah, saya tidak sebodoh itu sampai harus membunuhnya di rumah sendiri." Jenni mengeluarkan selembar kertas, lalu bergerak memegang jempol Harsa. Mencelupkan permukaan jempol yang terdapat sidik jari pada tinta dan memindahkannya pada kertas yang dibawa tadi.
Ardha mengamti tingkah majikannya tanpa berkedip sama sekali. Entah kertas apa yang dibawa Jenni, dia semakin yakin jika hubungan pernikahan kedua majikannya itu tidak baik-baik saja.
"Bantu saya memindahkan Bapak ke kamar," pinta Jenni setelah menyimpan kertas yang sudah dibubuhi sidik jari Harsa.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Ardha menuruti semua perkataan Jenni hingga sampai di kamar utama yang terletak di lantai dua.
"Kamu rapikan tidurnya, saya akan menelpon dokter agar tidak ada kecurigaan apa pun darinya."
"Baik, Bu."
Ardha membenarkan letak tidur majikan lelakinya. Namun, saat itu juga kedua mata Harsa terbuka.
"Bapak!" teriak Ardha yang langsung dibungkam dengan telapak tangan majikannya.
"Cepat kamu ke ruang kerja dan ambil kertas yang sudah dibubuhi cap jempolku," perintah Harsa.
"Tapi, Pak. Ibu masih keluar. Takutnya beliau ada di ruang kerjanya."
Harsa diam, kemingkinan besar perkataan pembantunya itu benar. "Jika seperti itu, kamu cari dia. Setelahnya, katakan jika aku sudah siuman dan mulai tidak bisa mengendalikan diri."
"Hah? Maksudnya apa, tidak bisa mengendalikan diri?"
"tidak perlu banyak bertanya. Cepat katakan seperti yang aku perintah." Harsa memasang wajah menakutkan seperti pertama Ardha bertemu dengannya.
Ardha keluar kamar dan berusaha memanggil majikannya, turun ke lantai bawah, mencari ke semua ruangan yang ada di sana bahkan sampai ke ruangl kerja. Namun, Jenni belum juga ditemukan.
"Ke mana sebenarnya, Bu Jenni?" gumam Ardha. Kakinya terus melangkah hingga sampai ke kolam renang. Samar, dia mendengar percakapan sang majikan.
"Aku sudah memagang suratv kuasa itu, Bebe. Lalu, apa langkah kita selanjutnya?"
Ardha bergerak mendekati sang majikan, tetapi tidak menyapa atau memberi tahu seperti yang diperintahkan Harsa. Dia bersembunyi dan menguping pembicaraan Jenni dengan seorang pria melalui video call.
"Sebentar lagi, obat itu akan bereaksi dan pastinya Harsa butuh pelampiasan untuk meredamnya." Lelaki yang sedang berkomunikasi dengan Jenni, terus menceritakan secara gamblang rencana jahatnya pada Harsa.
Ardha membekap mulutnya tak percaya jika ada seorang istri yang begitu jahat dan ingin mencelakai suaminya sendiri. "Pantas Pak Harsa memintaku untuk memihaknya, ternyata Bu Jenni benar-benar jahat."
"Saat itu, tidak ada penghalang bagi kita berdua," kata lelaki, lawan bicara Jenni. Keduanya pun tertawa.
Ardha menutup mulutnya rapat-rapat, dia ingin segera pergi dari tempat persembunyiannya dan menceritakan apa yang sudah didengar pada Harsa. Namun, ketika berbalik, sikunya mengenai vas bunga yang membuat bunga tersebut jatuh berantakan. Bunyinya begitu nyaring.
"Siapa di sana?!" bentak Jenni yang langsung menoleh ke sumber suara.
Ardha menampakkan dirinya dan memasang wajah resah. "Saya, Bu. Maaf jika saya memecahkan vas bunga itu. Saya terburu-buru mencari Bu Jenni karena keadaan Pak Harsa yang nggak baik-baik saja," katanya tergopoh.
"Tidak baik-baik saja bagaimana?"
"Ibu harus melihatnya sendiri. Saya bingung menjelaskannya." Ardha sengaja menarik tangan kanan majikannya. Jenni dengan cepat memutus sambungan videonya.
Sang pembantu mengajak majikannya kembali ke kamar utama untuk melihat keadaan Harsa. Namun, sesampainya di kamar tersebut, tidak ada seorang pun.
"Pak ... Bapak di mana?' teriak Ardha panik. Dia terus memanggil-manggil majikannya. Membuka pintu kamar mandi seolah dia sang pemilik kamar.
"Sudah, jangan dicari lagi. Mungkin, dia memang tidak ada di kamar ini."
"Lalu, di mana?"
"Kita cari ke kamarmu saja." Jenni melangkahkan kakinya terlebih dulu, keluar kamar. Ardha pun mengikutinya dari belakang.
"Coba kamu buka kamarmu. Apakah benar dia ada di dalam."
Ardha membuka pintu kamarnya dan saat itulah terlihat Harsa yang tengah mengerang berada di sana.
"Gimana?" tanya Jenni.
"Iya, Bu. Bapak ada di dalam, tapi kenapa?"
Tak menjawab, Jenni malah mendorong tubuh pembantunya dan mengunci dari luar.
"Bu ... Bu. Kenapa saya dikunci?" teriak Ardha.
Happy Reading***"Yan, lepas," pinta Thalia terbata, tetapi sang pengacara malah mengetatkan tangannya. Sang asisten hampir kehabisan napas. Air matanya sudah mengajak sungai, isakan pun mulai terdengar. Yandra menatap sang kekasih, raut wajahnya berubah sedih dan perlahan tangannya mengendur."Maafkan aku, Honey. Aku nggak bermaksud menyakitimu." Kedua tangan sang pengacara menangkup pipi Thalia. Bergerak perlahan mengusap air mata yang berjatuhan. Lalu, lelaki itu menyatukan kening mereka. Ada banyak kesedihan di mata sang pengacara melihat kekasihnya kesakitan."Kamu gila, Yan. Kenapa ada pengacara yang memiliki sifat sepertimu," bentak Thalia sambil berusaha melepaskan diri. "Honey, jangan katakan itu. Aku cuma terlalu mencintaimu, aku sangat takut kamu pergi. Meninggalkan aku dengan sejuta harapan dan rencana masa depan kita," ucap sang pengacara begitu memilukan.Andai Thalia benar-benar jatuh cinta pada Yandra, mungkin kalimat yang dikeluarkan tadi sangat menyentuh hati sehi
Happy Reading*****Jenni diam, tetapi tatapannya berpindah-pindah antara Elang dan Harsa. Sepertinya, perempuan itu sedang mencari dukungan dari salah satu lelaki di hadapannya. "Apakah benar bukti yang kamu katakan itu adalah hasil tes DNA janinmu?" tanya Harsa mengulang pertanyaan Elang sebelumnya.Elang tersenyum. "Bagus jika kamu melakukannya. Jadi, nggak akan ada nama pria lain yang tercemar karena ulah pengacara itu," ucapnya. "Aku cuma belajar darimu, Lang," ucap Jenni. Tak ada lagi panggilan manja pada lelaki yang pernah berhubungan dekat dengannya. Elang mendengkus, lalu tertawa lirih. "Jadi, kamu sudah menduga jika hal-hal seperti ini akan terjadi?""Pastinya. Hubungan kami tidak terjalin dalam satu atau dua bulan dan kami sering melakukan hubungan intim. Yandra tidak pernah mau memakai pengaman saat kami melakukannya." Cukup lantang, Jenni membeberkan hubungan intimnya bersama Yandra tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun. Perempuan itu bahkan seolah mengabaikan kehadira
Happy Reading*****"Mas Harsa?" kata Jenni terkejut. Tak menyangka Harsa masuk tanpa diketahui siapa pun.Elang tersenyum tipis. Jemarinya bergerak di dalam saku. Mematikan alat perekam yang dihidupkan tadi. Bukti itu sudah kuat. "Kenapa kamu merusak nama baik sahabat karibku?" bentak Harsa, tak terima ketika sang istri menyebut nama Yandra.Sebenarnya, sudah agak lama Harsa berdiri di depan pintu sambil menguping pembicaraan keduanya. Ingin juga mengetahui siapa ayah janin di rahim sang istri. Namun, pengakuan Jenni menjadi tamparan baginya. Harsa tak terima jika sahabat karibnya dijadikan kambing hitam oleh perempuan yang gemar berselingkuh itu. Jenni melirik Elang, berusaha mencari dukungan. Lelaki berkemeja hitam itupun menoleh ke arah Harsa. "Tenang, Sa. Nggak perlu kamu membela sahabat karibmu secara brutal. Kita ini cuma manusia biasa, tempat salah dan khilaf. Mungkin, Yandra saat ini sedang khilaf. Jadi, dia nggak peduli jika Jenni adalah istrimu sehingga menyebabkan masal
Happy Reading*****Ardha dan Thalia memukul keras lengan Elang. Lalu, ketiganya pun tertawa."Apa pun yang kamu lakukan, aku percaya semua akan berakhir baik," kata Thalia. "Pokoknya, Mas Awan nggak boleh membahayakan diri sendiri demi mendapat kebenaran dari Jenni," tambah Ardha. Masih ada sisa-sisa kekhawatiran pada perempuan yang telah melahirkan Zanitha itu. "Tenang saja, Dek. Nggak usah khawatir berlebihan sama Mas," sahut Elang. Mengusap lembut kepala perempuan yang sangat disayanginya itu. "Ya, sudah. Adek percaya sama rencana, Mas Awan." Ardha berusaha menenangkan hatinya bahwa Elang pasti bisa mengatasi semua permasalahan tersebut dan mendapat bukti kuat tentang Yandra dan Jenni. "Jadi, setelah kita mendapatkan bukti-bukti kuat itu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Elang pada dua perempuan di depannya. "Menurutmu, Mas?" tanya Ardha membalik pertanyaan Elang. "Kamu ini sengaja ngetes kita apa gimana, sih, Lang?" sindir Thalia, "jelas-jelas kalau kita dapa
Happy Reading*****Seketika, Ardha menoleh pada si mas. Matanya membulat dan hampir saja dia tersedak karena mendengar pertanyaan Elang. "Mas, kenapa ngambil kesimpulan seperti itu?" tanya Ardha. "Mas cuma menyimpulkan apa yang sudah didengar dari rekaman ini." Elang menunjukkan benda berbentuk bulat lonjong di tangannya. "Coba saja dengarkan, kamu pasti akan mengambil kesimpulan sama seperti yang Mas katakan sekarang."Ardha mengambil benda mungil di tangan Elang, mulai menyetel alat perekam tersebut dan mendengarkan dengan saksama. Ardha tak henti-hentinya membekap mulutnya sendiri dengan tangan ketika suara bentakan yang bernada ancaman keluar dari bibir sang pengacara. Sesekali menatap Thalia dan Elang, bergantian. Ardha benar-benar tak percaya jika ternyata Yandra jauh lebih jahat dari perkiraannya. Setelah semua rekaman sudah didengarkan, wajah perempuan itu memucat. "Mas, bagaimana bisa Yandra mengkhianati sahabat karibnya sendiri?" ucap Ardha. "Sekarang, Adek pasti berke
Happy Reading***Ardha menatap Elang disertai gelengan kepala, tanda jika lelaki itu tidak boleh meneruskan perkataan kasarnya tadi. "Li, katakan dengan jelas. Ada apa sebenarnya? Kamu nggak perlu sampai takut seperti ini." Ardha menggeser posisi duduknya lebih dekat pada sang sahabat. Penepuk-nepuk punggung Thalia lembut, menenangkan. "Ar, kamu nggak akan pernah percaya jika aku mengatakan semuanya," ucap Thalia. Detik berikutnya, dia menatap si bos. "Lang, aku nggak mau lagi dekat-dekat sama Yandra. Dia lelaki yang cukup menakutkan," keluhnya.Kening Elang berkerut, kedua alisnya hampir menyatu mendengar perkataan sang asisten. "Lia, aku mengenalmu sudah bertahun-tahun dan baru kali ini, kamu ketakutan.""Lang, Yandra ...." Ucapan Thalia terhenti karena ada yang mengetuk pintu ruangan tersebut. "Masuk," pinta Ardha. Seorang lelaki masuk dengan membawa tas plastik berisi susunan kotak makan beserta beberapa gelas jus kemasan. "Pak, ini makanan yang dipesan Bu Ardha kita kurirny







