Home / Romansa / Menggodamu Hingga Takluk Padaku / 4. Membela Atau Menghancurkan

Share

4. Membela Atau Menghancurkan

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-08-05 08:02:27

Calla tetap diam di tempatnya, namun menatap Dylan tajam.

“Lalu kenapa kamu berubah pikiran? Beberapa jam lalu kamu menyuruhku pergi. Sekarang kamu bilang aku harus tinggal dan ikut dalam semua sandiwara ini. Kenapa?”

Angin malam yang menyusup dari sela balkon ikut menerbangkan helai-helai rambut merah Calla di sisi wajahnya.

Lampu gantung di langit-langit taman memantulkan cahaya redup ke wajah Dylan, membuat pria itu tampak seperti sosok misterius yang berasal dari dunia yang berbeda.

Dylan menatapnya lama sebelum akhirnya mengangkat bahu ringan. “Karena aku adalah seorang pebisnis.”

Jawaban itu membuat Calla mengerutkan alis. “Maksudmu?”

“Aku tak pernah mengambil keputusan tanpa menimbang untung dan rugi.” Dylan melangkah pelan ke sisi balkon, mengambil gelas kristal berisi whiskey dari nampan yang diletakkan pelayan di meja kecil.

“Segala hal termasuk siapa yang boleh tinggal atau pergi dari rumah ini, ditentukan oleh seberapa menguntungkannya keberadaan mereka.”

Calla memeluk tubuhnya sendiri, merasa seperti angka dalam neraca laba rugi yang dingin. “Dan apa menurutmu kehadiranku di Mansion ini akan mendatangkan keuntungan?”

Dylan menatapnya dengan sorot mata kelabu dingin yang tak bisa ditebak. Lalu perlahan ia pun mengangkat gelasnya ke arah Calla seolah bersulang, sebelum menjawab dengan tenang.

“Entahlah. Waktu yang akan memperlihatkannya padaku.”

Calla mendengus pelan, lalu memutuskan untuk menatap ke arah lain dan berharap agar Dylan meninggalkannya sendirian.

Rasanya aneh. Baru satu hari ia kembali, dan Dylan sudah mendatangi dirinya dua kali.

Padahal dulu Calla merasa Dylan menganggapnya seperti kuman yang harus dijauhi.

Namun ternyata Dylan tak langsung pergi. Sorot matanya sempat melirik ke arah lengan Calla yang kali ini tertutup oleh gaun berlengan panjang.

Meski tersamarkan, ia tahu betul apa yang tersembunyi di baliknya. Lebam kebiruan dan goresan luka bekas cengkeraman kuku Marissa beberapa jam yang lalu.

Dylan mendekat selangkah. Wajahnya tak berubah ekspresi, namun suara yang keluar darinya sangat jelas, dan masih tetap dingin.

“Kamu harus segera turun ke bawah, Rivera. Sekarang juga.”

Calla menatapnya. “Kenapa?”

“Karena para tamu sudah mulai datang. Mereka datang untuk menunjukkan belasungkawa, dan sebagai bagian dari keluarga, kamu dan Marissa harus menyambut mereka.”

Calla menghela napas pelan. “Jangan tersinggung, tapi aku tidak begitu mengenal Tuan Steven Asher. Sulit untuk berpura-pura sedih jika aku tak merasakan apa-apa."

Dylan mengangkat satu alisnya yang lebat. “Maka pelajarilah itu dari ibumu. Tunjukkan kesedihan bahkan jika itu palsu. Dunia ini tak butuh emosi, Rivera. Tapi butuh sebuah pertunjukan.”

Calla mencengkeram sisi gaunnya erat-erat. “Dan jika aku tak mau?”

Dylan tersenyum tipis, seperti pria yang sudah tahu hasil akhir dari permainan sebelum permainan itu dimulai. “Mau tidak mau, kamu akan tetap turun juga pada akhirnya."

Calla ingin marah. Ingin membalas, tapi lidahnya kelu. Ia tahu Dylan tidak hanya menggertak.

Semua kata-katanya adalah titah, dan takkan ada seorangpun yang berani membantah.

Calla pun memejamkan mata dan menundukkan wajahnya, mencoba mengumpulkan napas dan harga diri yang tersisa.

Di saat yang sama, Dylan sudah melangkah menjauh. Punggungnya yang lebar dan kokoh bahkan tak menoleh sedikit pun ke arah Calla.

Ia datang hanya untuk memberi perintah, disertai ultimatum terselubung yang entah apa konsekuensinya bagi yang menolak.

Dan Calla hanya bisa mendesah pelan, lalu mengayunkan kakinya dengan gontai mengikuti Dylan dari belakang.

Dua hari. Ia akan menyudahi semua ini setelah dua hari. Menelepon Knox dan meminta kekasihnya itu untuk menjemputnya kalau perlu, jika ibunya masih saja bersikeras menahannya di sini.

Berada di dekat Dylan selama beberapa menit saja rasanya sudah menguras seluruh tenaganya, dan rasanya lelah sekali.

Namun Calla pun tak pelak berpikir... apakah beban berat yang menggelayuti dadanya adalah sebuah representasi perasaannya yang tak berbalas di masa lalu, ataukah sebuah firasat buruk yang akan datang menghampiri di kemudian hari?

***

Perjamuan malam itu berlangsung sesuai dengan yang diharapkan dari keluarga Asher.

Mewah, elegan, dan penuh kemunafikan.

Lampu kristal berkilau di langit-langit aula utama menciptakan suasana megah, yang hanya mempertegas jarak antara rasa duka dan keangkuhan.

Calla berdiri di sisi aula, mengenakan gaun hitam elegan, rambut merahnya disanggul simpel tapi manis.

Di sampingnya, Marissa tampak seperti seorang aktris senior dalam pertunjukan penuh tragedi.

Senyum yang sendu, mata yang sayu, serta sesekali ia mengusap air mata yang sepertinya sengaja ditahan lama demi efek dramatis.

“Jangan bicara kecuali ditanya. Dan jangan berdiri membungkuk seperti itu. Tegakkan punggungmu,” bisik Marissa dari sela senyum palsunya.

Calla menegakkan punggung dengan enggan, rasanya ia sudah nyaris kehabisan energi.

Salah satu tamu, yaitu wanita setengah baya dengan rambut beruban dan suara melengking menghampiri mereka.

Di belakangnya ada dua wanita muda seusia Calla, lengkap dengan tatapan merendahkan yang memandangnya dari atas hingga bawah.

“Oh, Marissa, aku nyaris tak mengenalimu. Masih bisa terlihat segar meski berduka, ya?” Nyonya itu tertawa pelan, lalu menoleh ke arah Calla. “Dan ini... anakmu? Atau... anak haram Tuan Asher?"

Suara tawa kecil keluar dari kedua gadis muda di belakangnya.

Wajah Calla mengeras. Marissa sempat terkejut, tapi langsung tertawa menutup rasa malu.

“Ah, Lydia... Kamu memang selalu tahu bagaimana membuat suasana lebih ringan,” katanya kaku.

“Tentu, sayang. Tapi kukira kamu akan membawa putrimu yang sah ke pemakaman. Bukan dari hasil selingkuh,” sahut Lydia dengan nada manis penuh racun.

Calla menggertakkan gigi. Ia melangkah maju dan menatap langsung ke arah wanita itu. “Anda tidak diundang ke sini untuk menghakimi garis keturunan orang lain, Nyonya.”

“Oh? Jadi kamu bisa bicara juga rupanya,” sindir Lydia dengan alis terangkat. “Maksudku... lihatlah dirimu. Seorang gadis tak dikenal tiba-tiba muncul di rumah keluarga Asher, seolah meminta pengakuan sebagai pewaris. Kamu pikir masyarakat akan menerima itu begitu saja?”

“Cukup.” Suara berat dan tegas itu memotong percakapan seperti belati.

Semua mata pun serta-merta menoleh, untuk menatap Dylan Asher yang berdiri di sisi aula dengan tangan di balik punggung serta wajah yang setenang permukaan air.

Tapi mata kelabu yang dingin itu menatap langsung ke arah Lydia dan kedua gadis di belakangnya.

“Kalian bertiga,” ujarnya tanpa basa-basi, “keluar dari rumah ini.”

Keheningan menyelimuti ruangan.

Lydia melongo. “M-Maksudmu, Dylan? Ini hanya gurauan~”

“Aku tidak suka gurauan yang menyudutkan keluarga Asher,” Dylan berjalan pelan, seolah tiap langkahnya menambah tekanan.

“Calla adalah anak ayahku. Dan itu menjadikannya bagian dari keluarga ini. Siapa pun yang tak bisa menerimanya bisa keluar melalui pintu depan, atau belakang. Aku tak peduli.”

Gadis-gadis muda itu mulai gelisah, sementara Lydia mencibir. “Begitu? Lalu wanita ini,” ia menunjuk Marissa. “Kamu yakin dia pantas berdiri di sampingmu malam ini? Semua orang tahu dia~”

“Marissa adalah bagian dari keputusan ayahku,” potong Dylan dengan nada sangat tenang, namun nyaris menyeramkan. “Dan aku menghormati keputusan itu. Kalau Anda tidak bisa menunjukkan hal yang sama, maka tolong jangan jejakkan kakimu lagi di properti Asher.”

Tubuh Lydia tampak gemetar karena malu, lalu ia pun melirik ke sekeliling saat menyadari puluhan pasang mata menatapnya dengan keingintahuan yang tersembunyi.

“Baik. Kalau begitu... selamat malam,” gumannya sebelum berbalik cepat, disusul dua gadis itu yang bergegas pergi sambil mengumpat pelan.

Setelah mereka keluar, suasana menjadi canggung selama beberapa saat.

Namun Dylan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap Calla untuk sepersekian detik, lalu berbalik dan pergi begitu saja.

Seolah itu hanya insiden remeh yang tak layak untuk dibahas lebih lanjut.

Marissa membungkuk kecil ke arah para tamu. “Mohon maaf atas gangguan kecil ini,” ucapnya lembut, lalu menarik Calla ke samping.

“Aku tak menyangka dia akan membela kita,” guman Calla pelan.

Marissa tersenyum. “Itulah yang membuat pria itu berbahaya. Kita tak pernah tahu kapan dia akan membela... atau menghancurkan.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    11. Tatapan Dari Jendela

    Calla mendesah panjang untuk kesekian kalinya di sore itu. Ia menyeret langkah menuju taman belakang Mansion, di mana sebuah ayunan kayu terlihat bergoyang pelan tertiup angin. Suasana senja ini sangat menenangkan dengan langit yang mulai berwarna jingga, tapi hatinya sama sekali tak bisa ikut tenang. Dengan malas ia menjatuhkan diri ke kursi ayunan, lalu mendorongnya pelan menggunakan ujung kaki. “Dasar pria menyebalkan…” gumannya seraya mengerucutkan bibir. “Bicaranya sok dingin, sok bijak, padahal jelas-jelas sebelumnya dia~~argh!” Calla pun menoyor kepalanya sendiri, membuat ayunan bergoyang sedikit lebih keras. Ingatan itu, tentang ciuman yang tadi terjadi di ruang kerja Dylan masih melekat dengan jelas. Bahkan seolah rasa bibir Dylan masih tersisa di bibirnya, membuat tubuhnya panas dingin. Sialan. Ia mendesah kesal, menggoyangkan ayunan lebih keras, sampai rambut merahnya yang mengikal lembut beterbangan diterpa angin. “Kenapa harus aku yang jadi kacau begini,

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    10. Kenapa Kamu Peduli?

    "Nona mau kemana?" Calla menghela napas pelan dan membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal. Maniknya yang biru mendelik gusar kepada pria berseragam hitam yang menatapnya datar, namun tetap sopan dan profesional. Calla baru saja mengambil kunci salah satu dari mobil mewah koleksi ibunya, namun gerakannya yang selalu diawasi membuatnya ketahuan. "Aku cuma mau jalan-jalan ke luar sebentar," sahut Calla akhirnya. Pria itu menggeleng. "Maaf, tapi Nyonya Marissa sudah mengatakan bahwa Nona tidak bisa keluar dari Mansion dengan alasan apa pun." "Yang benar saja," tukas Calla seraya mendesah tak percaya. Ibunya sudah benar-benar keterlaluan! Setelah menahan ponsel dan dompetnya, sekarang Calla pun juga menjadi tahanan rumah?! "Aku tidak akan pergi lama," tutur gadis itu lagi, memutuskan untuk tetap pergi. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba saja beberapa orang pria muncul menghadangnya. Calla mengenali mereka sebagai pengawal ibunya serta penjaga keamanan Mansi

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    9. Dia Yang Menyelamatkanmu

    Calla keluar dari ruang kerja Dylan dengan langkah cepat, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan campuran murung dan rasa malu yang membuat pipinya terus merona. Ia menggigit bibirnya yang masih terasa bengkak karena pagutan Dylan, dan... masih ada rasa pria itu yang tertinggal di sana. Ya Tuhan… tadi itu bukanlah khayalan Calla. Mereka benar-benar berciuman! Calla bahkan tak berniat untuk sejauh itu. Tujuan awalnya cuma sederhana... menebar godaan, lalu ingin melihat apakah Dylan bisa termakan. Namun entah bagaimana, kini justru diri Calla yang seolah terperangkap. Dan sekarang rasa bersalah itu langsung menyeruak, saat bayangan Knox melintas di kepalanya. Astaga, apakah ini artinya ia baru saja berkhianat? "Calla?" Langkah gadis itu hampir menabrak seseorang yang mengenakan gaun sutra elegan berwarna hitam saat hendak berbelok di lorong. Seketika Calla pun berhenti, dan jantungnya langsung menciut saat menyadari bahwa sosok itu adalah ibunya. “Bagaimana?” tanya

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    8. Ciuman Pertama

    “Berkas ini sudah Ibu tandatangani. Kamu yang antar ke Dylan.” Marissa menyodorkan sebuah map hitam kepada putrinya, tanpa memberi ruang untuk menolak. Saat itu hari telah sore, dan tiba-tiba saja Marissa memanggil Calla ke ruang kerjanya. Seketika Calla pun menatap ibunya curiga. “Kenapa harus aku? Ibu bisa mengantar sendiri, atau suruh saja belasan pelayan di Mansion ini.” “Karena Ibu sedang sibuk, dan karena kamu butuh alasan untuk berbicara dengannya.” Senyum kecil itu kembali muncul, senyum yang selalu membuat Calla merasa seperti pion di permainan papan catur milik ibunya. Helaan napas pelan menguar dari bibir Calla. “Berkas apa ini?” “Tidak penting bagimu, hanya kontrak properti. Yang penting dia menerimanya langsung dari tanganmu.” Calla berdecak pelan, lalu mengambil map itu. “Baiklah.” Sebelum ia pergi, Marissa menahan tangannya untuk menambahkan pesan dengan nada penuh arti. “Ingat, sayang… jangan terlalu mudah memberinya segalanya. Tapi beri cukup alasan u

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    7. Taktik Untuk Menaklukkan Pria Dingin

    Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu dari celah tirai kamar Calla, tapi sama sekali tak mampu mengusir kekesalannya yang menumpuk sejak semalam. Kepalanya masih terasa berat, sebagian karena kurang tidur, sebagian lagi karena bayangan Dylan yang terus mengusik pikirannya. Ia bangkit dengan rambut berantakan, berjalan ke arah meja rias, dan segera menyadari satu hal... Tas kecilnya tidak ada di sana. Dan bukan hanya tas, tapi juga ponsel serta dompetnya. “Ya Tuhan…” guman Calla, lalu ia buru-buru turun untuk mencari ke ruang tengah. Di ruang makan, Marissa duduk santai mengenakan robe sutra krem, menyendok potongan buah ke mulutnya sambil menyeruput teh. Aura tenangnya seperti menertawakan kegusaran Calla. “Ibu lihat tasku?” tanya Calla tanpa basa-basi. Marissa menoleh seraya tersenyum tipis. “Oh, tentu saja. Ibu sudah menyimpannya di tempat yang aman.” Calla menghela napas lega, tapi hanya untuk sesaat saja. “Bagus. Tolong kembalikan. Aku butuh ponselku.”

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    6. Bukan Siapa-siapa

    "Aargh, bodoh sekali kau, Calla!" Gadis itu mengacak-acak rambut merahnya yang panjang, lalu membenamkan wajahnya di atas bantal sambil menggeram pelan. Benaknya pun memutar kembali pada apa yang terjadi di dapur barusan. "Aku pasti sudah gila. Ini semua gara-gara ide konyol ibu yang membuatku terpengaruh dan akhirnya benar-benar menggoda Dylan." Calla meringis dan menjambak rambutnya sebagai hukuman untuk diri sendiri. Sangat memalukan. Bukankah sudah jelas jika pria itu sama dinginnya seperti gunung es? Menggoda pria seperti itu sama saja dengan bunuh diri, terutama karena Dylan adalah kakak tirinya, sangat membencinya, dan berniat menyingkirkannya. Entah bagaimana ia harus menghadapi Dylan besok! Untung saja hanya satu hari lagi ia berada di Mansion keluarga Asher ini. Satu hari, lalu ia akan benar-benar pergi dan tak perlu melihat wajah dingin Dylan lagi. Calla pun menghela napas pelan, lalu memejamkan matanya. Mencoba untuk tidur, meskipun semua peristiwa yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status