LOGINCalla tetap diam di tempatnya, namun menatap Dylan tajam.
“Lalu kenapa kamu berubah pikiran? Beberapa jam lalu kamu menyuruhku pergi. Sekarang kamu bilang aku harus tinggal dan ikut dalam semua sandiwara ini. Kenapa?” Angin malam yang menyusup dari sela balkon ikut menerbangkan helai-helai rambut merah Calla di sisi wajahnya. Lampu gantung di langit-langit taman memantulkan cahaya redup ke wajah Dylan, membuat pria itu tampak seperti sosok misterius yang berasal dari dunia yang berbeda. Dylan menatapnya lama sebelum akhirnya mengangkat bahu ringan. “Karena aku adalah seorang pebisnis.” Jawaban itu membuat Calla mengerutkan alis. “Maksudmu?” “Aku tak pernah mengambil keputusan tanpa menimbang untung dan rugi.” Dylan melangkah pelan ke sisi balkon, mengambil gelas kristal berisi whiskey dari nampan yang diletakkan pelayan di meja kecil. “Segala hal termasuk siapa yang boleh tinggal atau pergi dari rumah ini, ditentukan oleh seberapa menguntungkannya keberadaan mereka.” Calla memeluk tubuhnya sendiri, merasa seperti angka dalam neraca laba rugi yang dingin. “Dan apa menurutmu kehadiranku di Mansion ini akan mendatangkan keuntungan?” Dylan menatapnya dengan sorot mata kelabu dingin yang tak bisa ditebak. Lalu perlahan ia pun mengangkat gelasnya ke arah Calla seolah bersulang, sebelum menjawab dengan tenang. “Entahlah. Waktu yang akan memperlihatkannya padaku.” Calla mendengus pelan, lalu memutuskan untuk menatap ke arah lain dan berharap agar Dylan meninggalkannya sendirian. Rasanya aneh. Baru satu hari ia kembali, dan Dylan sudah mendatangi dirinya dua kali. Padahal dulu Calla merasa Dylan menganggapnya seperti kuman yang harus dijauhi. Namun ternyata Dylan tak langsung pergi. Sorot matanya sempat melirik ke arah lengan Calla yang kali ini tertutup oleh gaun berlengan panjang. Meski tersamarkan, ia tahu betul apa yang tersembunyi di baliknya. Lebam kebiruan dan goresan luka bekas cengkeraman kuku Marissa beberapa jam yang lalu. Dylan mendekat selangkah. Wajahnya tak berubah ekspresi, namun suara yang keluar darinya sangat jelas, dan masih tetap dingin. “Kamu harus segera turun ke bawah, Rivera. Sekarang juga.” Calla menatapnya. “Kenapa?” “Karena para tamu sudah mulai datang. Mereka datang untuk menunjukkan belasungkawa, dan sebagai bagian dari keluarga, kamu dan Marissa harus menyambut mereka.” Calla menghela napas pelan. “Jangan tersinggung, tapi aku tidak begitu mengenal Tuan Steven Asher. Sulit untuk berpura-pura sedih jika aku tak merasakan apa-apa." Dylan mengangkat satu alisnya yang lebat. “Maka pelajarilah itu dari ibumu. Tunjukkan kesedihan bahkan jika itu palsu. Dunia ini tak butuh emosi, Rivera. Tapi butuh sebuah pertunjukan.” Calla mencengkeram sisi gaunnya erat-erat. “Dan jika aku tak mau?” Dylan tersenyum tipis, seperti pria yang sudah tahu hasil akhir dari permainan sebelum permainan itu dimulai. “Mau tidak mau, kamu akan tetap turun juga pada akhirnya." Calla ingin marah. Ingin membalas, tapi lidahnya kelu. Ia tahu Dylan tidak hanya menggertak. Semua kata-katanya adalah titah, dan takkan ada seorangpun yang berani membantah. Calla pun memejamkan mata dan menundukkan wajahnya, mencoba mengumpulkan napas dan harga diri yang tersisa. Di saat yang sama, Dylan sudah melangkah menjauh. Punggungnya yang lebar dan kokoh bahkan tak menoleh sedikit pun ke arah Calla. Ia datang hanya untuk memberi perintah, disertai ultimatum terselubung yang entah apa konsekuensinya bagi yang menolak. Dan Calla hanya bisa mendesah pelan, lalu mengayunkan kakinya dengan gontai mengikuti Dylan dari belakang. Dua hari. Ia akan menyudahi semua ini setelah dua hari. Menelepon Knox dan meminta kekasihnya itu untuk menjemputnya kalau perlu, jika ibunya masih saja bersikeras menahannya di sini. Berada di dekat Dylan selama beberapa menit saja rasanya sudah menguras seluruh tenaganya, dan rasanya lelah sekali. Namun Calla pun tak pelak berpikir... apakah beban berat yang menggelayuti dadanya adalah sebuah representasi perasaannya yang tak berbalas di masa lalu, ataukah sebuah firasat buruk yang akan datang menghampiri di kemudian hari? *** Perjamuan malam itu berlangsung sesuai dengan yang diharapkan dari keluarga Asher. Mewah, elegan, dan penuh kemunafikan. Lampu kristal berkilau di langit-langit aula utama menciptakan suasana megah, yang hanya mempertegas jarak antara rasa duka dan keangkuhan. Calla berdiri di sisi aula, mengenakan gaun hitam elegan, rambut merahnya disanggul simpel tapi manis. Di sampingnya, Marissa tampak seperti seorang aktris senior dalam pertunjukan penuh tragedi. Senyum yang sendu, mata yang sayu, serta sesekali ia mengusap air mata yang sepertinya sengaja ditahan lama demi efek dramatis. “Jangan bicara kecuali ditanya. Dan jangan berdiri membungkuk seperti itu. Tegakkan punggungmu,” bisik Marissa dari sela senyum palsunya. Calla menegakkan punggung dengan enggan, rasanya ia sudah nyaris kehabisan energi. Salah satu tamu, yaitu wanita setengah baya dengan rambut beruban dan suara melengking menghampiri mereka. Di belakangnya ada dua wanita muda seusia Calla, lengkap dengan tatapan merendahkan yang memandangnya dari atas hingga bawah. “Oh, Marissa, aku nyaris tak mengenalimu. Masih bisa terlihat segar meski berduka, ya?” Nyonya itu tertawa pelan, lalu menoleh ke arah Calla. “Dan ini... anakmu? Atau... anak haram Tuan Asher?" Suara tawa kecil keluar dari kedua gadis muda di belakangnya. Wajah Calla mengeras. Marissa sempat terkejut, tapi langsung tertawa menutup rasa malu. “Ah, Lydia... Kamu memang selalu tahu bagaimana membuat suasana lebih ringan,” katanya kaku. “Tentu, sayang. Tapi kukira kamu akan membawa putrimu yang sah ke pemakaman. Bukan dari hasil selingkuh,” sahut Lydia dengan nada manis penuh racun. Calla menggertakkan gigi. Ia melangkah maju dan menatap langsung ke arah wanita itu. “Anda tidak diundang ke sini untuk menghakimi garis keturunan orang lain, Nyonya.” “Oh? Jadi kamu bisa bicara juga rupanya,” sindir Lydia dengan alis terangkat. “Maksudku... lihatlah dirimu. Seorang gadis tak dikenal tiba-tiba muncul di rumah keluarga Asher, seolah meminta pengakuan sebagai pewaris. Kamu pikir masyarakat akan menerima itu begitu saja?” “Cukup.” Suara berat dan tegas itu memotong percakapan seperti belati. Semua mata pun serta-merta menoleh, untuk menatap Dylan Asher yang berdiri di sisi aula dengan tangan di balik punggung serta wajah yang setenang permukaan air. Tapi mata kelabu yang dingin itu menatap langsung ke arah Lydia dan kedua gadis di belakangnya. “Kalian bertiga,” ujarnya tanpa basa-basi, “keluar dari rumah ini.” Keheningan menyelimuti ruangan. Lydia melongo. “M-Maksudmu, Dylan? Ini hanya gurauan~” “Aku tidak suka gurauan yang menyudutkan keluarga Asher,” Dylan berjalan pelan, seolah tiap langkahnya menambah tekanan. “Calla adalah anak ayahku. Dan itu menjadikannya bagian dari keluarga ini. Siapa pun yang tak bisa menerimanya bisa keluar melalui pintu depan, atau belakang. Aku tak peduli.” Gadis-gadis muda itu mulai gelisah, sementara Lydia mencibir. “Begitu? Lalu wanita ini,” ia menunjuk Marissa. “Kamu yakin dia pantas berdiri di sampingmu malam ini? Semua orang tahu dia~” “Marissa adalah bagian dari keputusan ayahku,” potong Dylan dengan nada sangat tenang, namun nyaris menyeramkan. “Dan aku menghormati keputusan itu. Kalau Anda tidak bisa menunjukkan hal yang sama, maka tolong jangan jejakkan kakimu lagi di properti Asher.” Tubuh Lydia tampak gemetar karena malu, lalu ia pun melirik ke sekeliling saat menyadari puluhan pasang mata menatapnya dengan keingintahuan yang tersembunyi. “Baik. Kalau begitu... selamat malam,” gumannya sebelum berbalik cepat, disusul dua gadis itu yang bergegas pergi sambil mengumpat pelan. Setelah mereka keluar, suasana menjadi canggung selama beberapa saat. Namun Dylan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap Calla untuk sepersekian detik, lalu berbalik dan pergi begitu saja. Seolah itu hanya insiden remeh yang tak layak untuk dibahas lebih lanjut. Marissa membungkuk kecil ke arah para tamu. “Mohon maaf atas gangguan kecil ini,” ucapnya lembut, lalu menarik Calla ke samping. “Aku tak menyangka dia akan membela kita,” guman Calla pelan. Marissa tersenyum. “Itulah yang membuat pria itu berbahaya. Kita tak pernah tahu kapan dia akan membela... atau menghancurkan.” ***“Terima kasih telah hadir pada malam bersejarah ini.” Suara Dylan mengalun kuat ke seluruh ballroom. “Hari ini Luxterra dengan bangga memperkenalkan Edenfall yang lebih dari sekadar hunian, melainkan masa depan. Sebuah karya yang menggabungkan teknologi, estetika dan keberlanjutan. Sebuah tempat di mana kehidupan manusia dapat berkembang tanpa batas." Tepuk tangan terdengar lagi. Dari bawah panggung, Calla menatap Dylan dengan dada yang penuh sesak oleh rasa bangga… meskipun rasa takut itu masih ada. “Dan sekarang,” ujar Dylan melanjutkan, “kita akan langsung memulai hitungan mundur untuk peluncuran visual Edenfall.” Seluruh ruangan pun ikut menggema mengikuti angka mundur di layar LED. “Ten!” “Nine!” Lampu panggung mulai berpendar. “Eight!” “Seven! Six!” Hologram menara Edenfall mulai berputar di udara. “Five!” Angin AC tiba-tiba terasa sangat dingin bagi Calla, seiring dengan ketakutan yang terasa semakin besar dan membuatnya menggigit bibirnya. “Four!”
Cahaya emas dari puluhan lampu kristal menghujani ballroom hotel bintang lima itu seperti tetesan sinar matahari yang jatuh ke bumi. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga panggung utama, dan para tamu undangan yang terdiri dari selebriti dunia, para miliarder, politisi, pemilik galeri seni, serta ratusan investor kelas dunia mengisi ruangan dengan penampilan terbaik dalam busana mewah mereka. Puluhan kamera media besar dari berbagai negara mengarah ke satu titik, yaitu latar panggung berhiaskan hologram tiga menara futuristik dalam efek 3D hidup. Edenfall. Sebuah nama yang sejak diumumkan sebagai proyek rahasia Luxterra sudah membuat spekulasi bergulir di seluruh dunia. Seorang reporter dari Inggris berbisik pada rekannya, “Jika malam ini benar-benar sehebat rumor yang beredar, maka Dylan Asher akan menjadi ikon baru dunia real estate global.” Di sisi lain, influencer fashion dari Korea sibuk memotret detail ruangan yang dipenuhi bunga putih. Setiap orang di dalam
Malam merambat dengan perlahan di langit Southampton. Gedung Luxterra yang megah kini hanya diterangi lampu-lampu biru redup yang memantul di dinding kaca, membuatnya tampak seperti kapal besar yang mengapung di tengah samudra gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Hanya sedikit cahaya yang tersisa di lantai eksekutif. Dan tentu saja, di ruang kerja Dylan Asher. Calla mengetuk pintu dua kali, tapi tak ada jawaban. Ia tahu Dylan tidak suka diganggu ketika sedang bekerja, tapi hatinya resah sejak tadi. Ia masih memikirkan pembicaraan pagi tadi. Tentang Bianco Holdings, tentang Stella, dan tentang Dylan yang tampak terlalu tenang menghadapi ancaman sebesar itu. Calla lalu memutuskan untuk membuka pintu perlahan. Cahaya dari lampu meja menyinari wajah Dylan yang sedang menatap layar laptop dengan ekspresi nyaris tak terbaca. Setelan jas mahalnya sudah dilepas, kemejanya tergulung sampai siku, dan rambutnya pun sedikit berantakan. Hal yang jarang sekali terlihat dari
Kantor pusat Luxterra Group pagi itu tampak lebih sibuk dari biasanya, menandakan bahwa sesuatu yang besar sedang dipersiapkan. Bagi sebagian orang, ini hanya proyek. Tapi bagi Dylan Asher, ini adalah mahakarya. Pagi itu Calla berdiri di balik kaca besar di lantai eksekutif Luxterra. Dari sana ia bisa melihat kota terhampar luas di bawahnya. Cahaya matahari memantul di jendela pencakar langit, tapi wajah Dylan memantulkan sesuatu yang jauh lebih cemerlang daripada cahaya. Pria itu duduk di kursinya dengan setelan hitam pekat dengan dasi yang sudah ia lepaskan dan entah kini berada di mana. Tangan kirinya memutar bolpoin di antara jari-jari panjangnya. Ia tampak seperti sedang berpikir, atau mungkin sedang menghitung. Tidak ada yang tahu perbedaannya ketika menyangkut Dylan Asher. Calla meliriknya melalui pintu ruang pribadi CEO yang sedikit terbuka. Suara Dylan terdengar rendah dan berat, mengisi ruangan dengan ketegangan yang nyata. “Pastikan semua departemen desai
Dylan Asher berdiri tegak dan diam, mirip seperti patung Dewa tampan yang terbuat dari baja. Ia menatap maket raksasa project Edenfall yang berdiri di tengah ruangannya. Kubah transparan, menara berputar, taman vertikal, semuanya tampak sempurna. Proyek ini bukan sekadar investasi. Ini adalah warisan yang dibangun dengan impian. Lalu tiba-tiba suara langkah lembut dan ringan menghentikan pikirannya yang tak henti berputar. Calla muncul dari arah pintu sembari membawa dua cangkir kopi yang mengepulkan uap. “Kalau kamu terus menatap maket itu setiap hari, aku mulai khawatir kamu akan jatuh cinta pada benda itu,” ucapnya sambil mengangkat alis menggoda. Dylan menoleh ke arah Calla dengan melukiskan senyum samar. “Aku tidak semudah itu jatuh cinta, Sayang. Aku lebih menulisnya dengan darah, waktu, dan kamu, sebagai akhir ceritanya.” Nada suaranya berat dan penuh arti. Calla hanya berdecak kecil, lalu menyerahkan secangkir kopi itu ke tangannya. Ia lalu berdiri di samping Dy
Lampu kristal memantul di dinding kaca butik couture yang terletak di jantung Manhattan. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi kain dan suara lembut asisten butik yang sibuk menata gaun di rak. Di tengah ruangan itu, Stella Bianco berdiri di depan cermin raksasa dengan tubuhnya yang terbalut renda putih dari koleksi terbaru Maison Verdiere, sebuah gaun yang harganya setara dengan apartemen di Fifth Avenue. Setiap helai kain tampak berkilau seperti serpihan cahaya yang menempel di kulitnya, dan Stella menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi puas. “Potong sedikit bagian pinggangnya,” titahnya kepada penjahit yang menunduk di sampingnya. “Aku ingin siluetnya lebih tajam. Lebih dominan.” “As you wish, Miss Bianco,” jawab si penjahit cepat, tangannya langsung bekerja menandai bagian yang disebutkan. Stella berputar dengan perlahan seraya mengagumi pantulan dirinya di cermin dari berbagai sudut. Gaun itu sempurna. Ia tidak hanya memilih pakaian untuk hari pernikahan,







