Langkah Calla terasa sungguh berat saat ia berjalan menuju ke arah makam.
Ia tahu kehadirannya tidak diinginkan, atau setidaknya tidak sepenuhnya diterima. Ia bahkan bisa mendengar bisik-bisik kecil yang tajam seperti ujung jarum, cibiran dari para tamu yang mengenal siapa dirinya. "Lihat itu... si putri dari wanita simpanan..." "Ibu dan anak sama-sama tak punya malu..." "Pasti karena warisan..." Calla mengatupkan rahangnya, tapi ia memilih untuk tidak menanggapi. Ia tak pernah pandai membalas sindiran atau menegakkan harga diri di dalam kerumunan yang menghakimi. Kepalanya tertunduk di bawah tatapan tajam Dylan Asher yang seakan tak pernah lepas darinya. Setiap detik terasa seperti jam, dan setiap langkah yang terdengar terlalu keras menggema di telinganya sendiri. Begitu ia telah berada cukup dekat, Calla sengaja memilih berdiri di posisi yang agak jauh, mengambil tempat di sisi belakang kerumunan yang jauh dari Dylan maupun Marissa. Ia memilih diam dan fokus pada acara, meskipun ternyata hal itu tidak bisa berlangsung lama. Tiba-tiba seorang pria berpakaian hitam elegan muncul di hadapannya. Postur tegap dan raut wajah tenangnya membuat Calla teringat, bahwa pria ini adalah ajudan dari Dylan. "Nona Calla?" sapa pria itu. Suaranya rendah, berwibawa namun tidak mengintimidasi. Calla menegakkan badan. "Ya?" "Tuan Asher meminta Anda untuk berdiri lebih dekat ke makam. Beliau ingin semua keluarga inti berada di sana." Kata "keluarga inti" itu mengendap dalam pikirannya seperti batu di dasar kolam. Apakah Dylan baru saja... mengakuinya? "Tapi... aku bukan keluarga," guman Calla kaku. "Beliau bersikeras, Nona." Pria itu menunduk sopan. "Mohon ikuti saya." Dan Calla pun tak sempat untuk membantah lagi. Tubuhnya bergerak otomatis, langkah-langkahnya terlihat kaku saat ia menuruni barisan menuju deretan depan, tempat para pelayat berdiri paling dekat dengan makam. Calla menelan ludah. Dan kini hanya dalam sekejap saja, ia pun terjepit di antara dua orang yang saling membenci tapi terpaksa bersatu karena nama keluarga. Marissa menyambutnya dengan senyum yang penuh kepalsuan, sedangkan Dylan... hanya menoleh sekilas, dingin dan masih tanpa ekspresi. Duduk di antara mereka terasa seperti berdiri di tengah medan ranjau yang siap meledak kapan saja. Marissa tampak menangis, namun air matanya sama palsunya dengan senyumnya. Sedangkan Dylan hanya hening, dengan tatapan kosong penuh misteri yang tak bisa diterjemahkan oleh siapa pun. Dan Calla pun tak pelak merasa seperti sebuah boneka porselen yang dipajang dalam sandiwara keluarga. *** Seusai pemakaman, Calla berusaha mencuri kesempatan untuk menghilang. Ia tahu ibunya akan mencoba menahannya lagi, dan ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Ia ingin kembali ke apartemen, ke kehidupannya yang biasa, ke Knox Bennet yang kini mungkin sedang menunggunya di kota. Namun langkahnya belum jauh ketika suara tumit tinggi milik Marissa terdengar menghampiri. “Calla, tunggu.” Ibunya tersenyum manis. “Temani Ibu dua hari lagi, ya. Kita harus hadir dalam perjamuan kematian. Banyak tamu yang akan datang.” Calla mengerutkan kening. “Perjamuan?” “Itu tradisi keluarga Asher. Dua malam berturut-turut, untuk menjamu para tamu yang datang menyampaikan belasungkawa. Semacam open house.” Calla menggeleng cepat. “Aku tidak bisa. Dylan sendiri yang bilang kalau aku harus pergi setelah ini.” Marissa menyipitkan mata, lalu menoleh ke belakang seolah memastikan tak ada yang mendengar. “Itu karena kamu datang terlalu tiba-tiba. Tapi sekarang kehadiranmu sudah diputuskan sebagai bagian dari keluarga inti, jadi kamu harus ikut.” Calla menatap ibunya curiga. “Keputusan siapa?” “Dylan," sahut Marissa. “Dylan? Yang benar saja.” Calla memutar bola mata skeptis. “Baru satu jam lalu dia mengusirku.” Marissa mendekat sambil menurunkan suaranya. “Kalau kamu tidak percaya, silakan tanya langsung padanya. Tapi kamu tahu Dylan, kan? Sekali dia sudah berucap, kamu tidak bisa bilang ‘tidak’.” Calla membuka mulut, ingin menolak lebih keras. Tapi kemudian pikirannya melayang pada Knox. Kekasihnya itu selalu mengingatkan bahwa keluarga Calla adalah masalah yang bisa menghancurkan mereka. “Kamu tidak cocok sama dunia mereka, Cal. Dunia mereka penuh intrik.” Dan sekarang... ia telah ada di tengah-tengah dunia ini lagi. Calla mengepalkan tangannya. “Aku tidak ahli bersandiwara sepertimu, bu. Aku tak tahu cara menggoda pria, menaklukkan mereka seperti yang kamu lakukan dulu pada Tuan Steven Asher. Aku bukan kamu, dan tak pernah ingin menjadi sepertimu.” Marissa tersenyum, kali ini lebih lembut keibuan. “Itulah gunanya seorang ibu, sayang. Untuk mengajarkanmu. Dunia ini bukan soal cinta, tapi kekuasaan. Dan sekarang, kamu sedang duduk di meja permainan.” Calla menatap ibunya, lalu mengalihkan pandangan. Pikirannya penuh. Antara Dylan, Marissa, perjamuan keluarga. Ia merasa seperti sudah melangkah ke dalam jaring laba-laba besar... dan tak tahu bagaimana cara untuk keluar. *** Malam menjelang, dan suasana perjamuan kematian pun dimulai di Mansion keluarga Asher. Bangunan bak istana yang besar itu menyala hangat di tengah udara dingin, dengan pelayan-pelayan berjas hitam dan tamu-tamu penting yang datang dengan mobil mewah. Calla berdiri di ujung balkon lantai dua, memandangi taman yang luas dan gelap di bawahnya. Lalu ia mendengar langkah kaki mendekat. Suara sepatu kulit yang berat, tegas, dan ritmis. "Seharusnya kamu ikut perjamuan keluarga di bawah,” suara berat itu terdengar di belakangnya. Calla memejamkan mata, sebelum perlahan membalikkan badannya. Sosok Dylan Asher berdiri di sana, tampak seperti bayangan malam dalam setelan hitam yang elegan. Tatapannya menusuk dan penuh teka-teki. “Bukankah kamu ingin aku pergi?” guman Calla pelan. Dylan hanya memandangnya lama, sebelum akhirnya menjawab dengan dingin, “Ya, itu benar. Tapi aku berubah pikiran.” ***Lokasi : Kamar Marissa di Mansion Asher Marissa duduk di pinggir ranjang mewah dengan tatapan gelisah. Jemarinya mengetuk-ngetuk sisi kasur, pikirannya dipenuhi satu hal, yaitu Calla. Putrinya itu harus tahu bagaimana sikap Dylan yang telah menyita ponsel dan mengurungnya di dalam kamar seperti tahanan. “Tidak mungkin aku hanya diam di sini saja,” gumannya lirih. Setiap kali pelayan datang membawakan makanan, Marissa selalu mencoba berbagai cara. Pernah ia pura-pura jatuh pingsan, berharap pintu kamar terbuka lebar sehingga ia bisa kabur. Pernah pula ia mencoba menahan pelayan untuk tetap di kamar dengan alasan ingin ditemani, namun semua berakhir dengan kegagalan. Penjaga yang ditempatkan tepat di depan pintu kamar selalu siaga, seolah tidak pernah berkedip sedetik saja. Hari itu ada sebuah ide nekat lagi yang muncul di dalam kepalanya. Begitu seorang pelayan muda berwajah polos masuk sambil membawa nampan berisi sup hangat, Marissa langsung bergerak mendekat. “
Lokasi : Mansion Keluarga Bianco Supir melajukan mobil mewah itu melewati gerbang besi tinggi yang dijaga ketat satpam berseragam hitam. Stella bersandar santai di kursi belakang, jari-jarinya yang ramping memainkan gagang kacamata hitamnya. Gaun elegan berwarna merah anggur menempel pas di tubuh semampainya, menegaskan keanggunan sekaligus aura seksi. Mobil berhenti perlahan di depan main entrance mansion megah yang menjulang dengan arsitektur klasik ala Eropa. Begitu supir turun dan membukakan pintu, Stella pun melangkah turun dengan penuh percaya diri. Heels-nya berderap ringan di lantai marmer, sementara kepala para pelayan menunduk memberi hormat. “Tuan Giuseppe telah menunggu di ruang tamu, Nona Stella,” ucap seorang pelayan wanita. Stella hanya mengangguk kecil sebelum melangkah masuk. Aroma mahal dari wewangian ruangan bercampur dengan cahaya lembut lampu gantung kristal, membuat suasana semakin berkelas. Di sofa utama, seorang pria paruh baya dengan jas rapi d
Kamar Dylan malam itu terasa hangat. Lampu gantung berwarna kuning redup menyinari ruangan luas dengan dinding marmer gelap yang kontras dengan sofa beludru tempat Calla bersandar. Gadis itu mengenakan piyama favoritnya bermotif tengkorak dan pisau, membuatnya merasa nyaman. Rambut merahnya digerai, sebagian jatuh menutupi bahu. Ia menatap layar televisi dengan serius, larut dalam adegan film drama yang tengah ia putar. Namun konsentrasinya pecah ketika suara getaran terdengar dari meja samping. Bzzz… Bzzz… Calla menoleh, melihat layar ponselnya yang menyala, serta sederet nomor asing yang kemudian muncul. Alisnya berkerut. Dengan ragu ia meraihnya, lalu membaca pesan itu. ~Bukan aku yang melakukannya, Cal. Percayalah. —KB Seketika Calla membeku. "KB…" bibirnya berbisik pelan dan jantungnya berdegup tak karuan. Knox Bennet? Hanya Knox yang selalu memanggilnya "Cal". Tidak ada orang lain. Tangan Calla sedikit bergetar. Tapi... Knox melakukan apa? Apakah ini soal
Gedung perkantoran mewah Luxterra berubah menjadi lautan bisik-bisik dan pandangan sinis. Di setiap sudut kantor, para karyawan memalingkan kepalanya ketika Calla melintas, seolah-olah gadis itu telah menodai seluruh reputasi perusahaan.Gosip santer yang beredar di dunia maya kini telah sampai di layar ponsel Calla, dan gadis itu pun hanya bisa membacanya dalam hati sambil termenung.“Skandal memalukan! Dylan Asher, CEO Luxterra, tertangkap kamera dalam hubungan intim dengan adik tirinya sendiri, Calla Asher.”Tak berhenti di situ. Komentar-komentar netizen di sosial media pun turut menghujani berita itu tanpa ampun.“Anak pelacur, ternyata menurun ibunya yang dulu juga menggoda Steven Asher!"“Dylan Asher yang sempurna pun bisa jatuh gara-gara perempuan murahan.”“Sekelas Luxterra ternyata punya CEO cabul. Hancur sudah citra dunia bisnis kita.”“Calla Asher harus disingkirkan! Dia racun!”Calla terus menggulir layar ponselnya dengan jari gemetar dan napas yang tersengal, menelan se
Lokasi : Studio megah Velour Agency, New York. Lokasi pemotretan itu memiliki latar belakang yang didominasi warna hitam pekat dengan kilau emas, membentuk atmosfer mewah yang sesuai untuk produk parfum pria kelas dunia. Vérité Noir. Knox berdiri di tengah set, tubuhnya yang ramping namun tegap diselimuti setelan jas hitam yang dirancang khusus, begitu pas menonjolkan lekuk ototnya. Tatapannya tajam ke arah kamera, bibirnya sedikit mengulas senyum yang terkontrol, karisma dingin yang membuat para staf menahan napas. “Perfect, Knox. Tahan, tahan…” seru fotografer, jemarinya cepat menekan tombol shutter. Keringat tipis di pelipis pria itu hanya menambah kesan maskulin yang liar. Ketika ia melepaskan jas dan membiarkan kemeja putihnya sedikit terbuka di bagian dada, beberapa kru wanita bahkan tanpa sadar menahan desah kagum. Sang klien, yaitu seorang eksekutif tinggi dari perusahaan parfum internasional, berdiri di sisi panggung dengan mata yang berbinar puas. “Dia adalah
Calla terbangun dengan perlahan. Kelopak matanya terasa berat, namun rasa yang asing di kulitnya membuat gadis itu segera tersadar. Ia mengerjapkan mata selama beberapa kali, lalu menoleh ke sisi belakangnya. Kehangatan yang berpadu dengan aroma khas yang menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar, seketika menyeruak ke dalam indera penciumannya. Dylan. Lengan kekar pria itu melingkari pinggangnya dengan erat, membuat tubuhnya seakan terkunci dalam kepungan yang hangat. Calla baru menyadari kalau dirinya sama sekali tak mengenakan pakaian apa pun, kecuali selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh mungilnya. Pipi gadis itu seketika merona, menyadari Dylan yang memeluknya dengan erat bahkan di saat telah tertidur lelap. Rasanya nyaman dan tenang. Tapi sayangnya, rasa haus yang menyiksa tenggorokan membuat Calla terpaksa memberanikan diri untuk bergerak. Perlahan Calla menggeser tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari pelukan itu. Gerakannya sangat hati-hati kar