Share

3. Perjamuan

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-08-04 14:40:08

Langkah Calla terasa sungguh berat saat ia berjalan menuju ke arah makam.

Ia tahu kehadirannya tidak diinginkan, atau setidaknya tidak sepenuhnya diterima.

Ia bahkan bisa mendengar bisik-bisik kecil yang tajam seperti ujung jarum, cibiran dari para tamu yang mengenal siapa dirinya.

"Lihat itu... si putri dari wanita simpanan..."

"Ibu dan anak sama-sama tak punya malu..."

"Pasti karena warisan..."

Calla mengatupkan rahangnya, tapi ia memilih untuk tidak menanggapi. Ia tak pernah pandai membalas sindiran atau menegakkan harga diri di dalam kerumunan yang menghakimi.

Kepalanya tertunduk di bawah tatapan tajam Dylan Asher yang seakan tak pernah lepas darinya.

Setiap detik terasa seperti jam, dan setiap langkah yang terdengar terlalu keras menggema di telinganya sendiri.

Begitu ia telah berada cukup dekat, Calla sengaja memilih berdiri di posisi yang agak jauh, mengambil tempat di sisi belakang kerumunan yang jauh dari Dylan maupun Marissa.

Ia memilih diam dan fokus pada acara, meskipun ternyata hal itu tidak bisa berlangsung lama.

Tiba-tiba seorang pria berpakaian hitam elegan muncul di hadapannya.

Postur tegap dan raut wajah tenangnya membuat Calla teringat, bahwa pria ini adalah ajudan dari Dylan.

"Nona Calla?" sapa pria itu. Suaranya rendah, berwibawa namun tidak mengintimidasi.

Calla menegakkan badan. "Ya?"

"Tuan Asher meminta Anda untuk berdiri lebih dekat ke makam. Beliau ingin semua keluarga inti berada di sana."

Kata "keluarga inti" itu mengendap dalam pikirannya seperti batu di dasar kolam. Apakah Dylan baru saja... mengakuinya?

"Tapi... aku bukan keluarga," guman Calla kaku.

"Beliau bersikeras, Nona." Pria itu menunduk sopan. "Mohon ikuti saya."

Dan Calla pun tak sempat untuk membantah lagi.

Tubuhnya bergerak otomatis, langkah-langkahnya terlihat kaku saat ia menuruni barisan menuju deretan depan, tempat para pelayat berdiri paling dekat dengan makam.

Calla menelan ludah.

Dan kini hanya dalam sekejap saja, ia pun terjepit di antara dua orang yang saling membenci tapi terpaksa bersatu karena nama keluarga.

Marissa menyambutnya dengan senyum yang penuh kepalsuan, sedangkan Dylan... hanya menoleh sekilas, dingin dan masih tanpa ekspresi.

Duduk di antara mereka terasa seperti berdiri di tengah medan ranjau yang siap meledak kapan saja.

Marissa tampak menangis, namun air matanya sama palsunya dengan senyumnya.

Sedangkan Dylan hanya hening, dengan tatapan kosong penuh misteri yang tak bisa diterjemahkan oleh siapa pun.

Dan Calla pun tak pelak merasa seperti sebuah boneka porselen yang dipajang dalam sandiwara keluarga.

***

Seusai pemakaman, Calla berusaha mencuri kesempatan untuk menghilang. Ia tahu ibunya akan mencoba menahannya lagi, dan ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu.

Ia ingin kembali ke apartemen, ke kehidupannya yang biasa, ke Knox Bennet yang kini mungkin sedang menunggunya di kota.

Namun langkahnya belum jauh ketika suara tumit tinggi milik Marissa terdengar menghampiri.

“Calla, tunggu.” Ibunya tersenyum manis. “Temani Ibu dua hari lagi, ya. Kita harus hadir dalam perjamuan kematian. Banyak tamu yang akan datang.”

Calla mengerutkan kening. “Perjamuan?”

“Itu tradisi keluarga Asher. Dua malam berturut-turut, untuk menjamu para tamu yang datang menyampaikan belasungkawa. Semacam open house.”

Calla menggeleng cepat. “Aku tidak bisa. Dylan sendiri yang bilang kalau aku harus pergi setelah ini.”

Marissa menyipitkan mata, lalu menoleh ke belakang seolah memastikan tak ada yang mendengar.

“Itu karena kamu datang terlalu tiba-tiba. Tapi sekarang kehadiranmu sudah diputuskan sebagai bagian dari keluarga inti, jadi kamu harus ikut.”

Calla menatap ibunya curiga. “Keputusan siapa?”

“Dylan," sahut Marissa.

“Dylan? Yang benar saja.” Calla memutar bola mata skeptis. “Baru satu jam lalu dia mengusirku.”

Marissa mendekat sambil menurunkan suaranya. “Kalau kamu tidak percaya, silakan tanya langsung padanya. Tapi kamu tahu Dylan, kan? Sekali dia sudah berucap, kamu tidak bisa bilang ‘tidak’.”

Calla membuka mulut, ingin menolak lebih keras. Tapi kemudian pikirannya melayang pada Knox. Kekasihnya itu selalu mengingatkan bahwa keluarga Calla adalah masalah yang bisa menghancurkan mereka.

“Kamu tidak cocok sama dunia mereka, Cal. Dunia mereka penuh intrik.”

Dan sekarang... ia telah ada di tengah-tengah dunia ini lagi.

Calla mengepalkan tangannya. “Aku tidak ahli bersandiwara sepertimu, bu. Aku tak tahu cara menggoda pria, menaklukkan mereka seperti yang kamu lakukan dulu pada Tuan Steven Asher. Aku bukan kamu, dan tak pernah ingin menjadi sepertimu.”

Marissa tersenyum, kali ini lebih lembut keibuan. “Itulah gunanya seorang ibu, sayang. Untuk mengajarkanmu. Dunia ini bukan soal cinta, tapi kekuasaan. Dan sekarang, kamu sedang duduk di meja permainan.”

Calla menatap ibunya, lalu mengalihkan pandangan.

Pikirannya penuh. Antara Dylan, Marissa, perjamuan keluarga. Ia merasa seperti sudah melangkah ke dalam jaring laba-laba besar... dan tak tahu bagaimana cara untuk keluar.

***

Malam menjelang, dan suasana perjamuan kematian pun dimulai di Mansion keluarga Asher.

Bangunan bak istana yang besar itu menyala hangat di tengah udara dingin, dengan pelayan-pelayan berjas hitam dan tamu-tamu penting yang datang dengan mobil mewah.

Calla berdiri di ujung balkon lantai dua, memandangi taman yang luas dan gelap di bawahnya.

Lalu ia mendengar langkah kaki mendekat. Suara sepatu kulit yang berat, tegas, dan ritmis.

"Seharusnya kamu ikut perjamuan keluarga di bawah,” suara berat itu terdengar di belakangnya.

Calla memejamkan mata, sebelum perlahan membalikkan badannya.

Sosok Dylan Asher berdiri di sana, tampak seperti bayangan malam dalam setelan hitam yang elegan. Tatapannya menusuk dan penuh teka-teki.

“Bukankah kamu ingin aku pergi?” guman Calla pelan.

Dylan hanya memandangnya lama, sebelum akhirnya menjawab dengan dingin, “Ya, itu benar. Tapi aku berubah pikiran.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    11. Tatapan Dari Jendela

    Calla mendesah panjang untuk kesekian kalinya di sore itu. Ia menyeret langkah menuju taman belakang Mansion, di mana sebuah ayunan kayu terlihat bergoyang pelan tertiup angin. Suasana senja ini sangat menenangkan dengan langit yang mulai berwarna jingga, tapi hatinya sama sekali tak bisa ikut tenang. Dengan malas ia menjatuhkan diri ke kursi ayunan, lalu mendorongnya pelan menggunakan ujung kaki. “Dasar pria menyebalkan…” gumannya seraya mengerucutkan bibir. “Bicaranya sok dingin, sok bijak, padahal jelas-jelas sebelumnya dia~~argh!” Calla pun menoyor kepalanya sendiri, membuat ayunan bergoyang sedikit lebih keras. Ingatan itu, tentang ciuman yang tadi terjadi di ruang kerja Dylan masih melekat dengan jelas. Bahkan seolah rasa bibir Dylan masih tersisa di bibirnya, membuat tubuhnya panas dingin. Sialan. Ia mendesah kesal, menggoyangkan ayunan lebih keras, sampai rambut merahnya yang mengikal lembut beterbangan diterpa angin. “Kenapa harus aku yang jadi kacau begini,

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    10. Kenapa Kamu Peduli?

    "Nona mau kemana?" Calla menghela napas pelan dan membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal. Maniknya yang biru mendelik gusar kepada pria berseragam hitam yang menatapnya datar, namun tetap sopan dan profesional. Calla baru saja mengambil kunci salah satu dari mobil mewah koleksi ibunya, namun gerakannya yang selalu diawasi membuatnya ketahuan. "Aku cuma mau jalan-jalan ke luar sebentar," sahut Calla akhirnya. Pria itu menggeleng. "Maaf, tapi Nyonya Marissa sudah mengatakan bahwa Nona tidak bisa keluar dari Mansion dengan alasan apa pun." "Yang benar saja," tukas Calla seraya mendesah tak percaya. Ibunya sudah benar-benar keterlaluan! Setelah menahan ponsel dan dompetnya, sekarang Calla pun juga menjadi tahanan rumah?! "Aku tidak akan pergi lama," tutur gadis itu lagi, memutuskan untuk tetap pergi. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba saja beberapa orang pria muncul menghadangnya. Calla mengenali mereka sebagai pengawal ibunya serta penjaga keamanan Mansi

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    9. Dia Yang Menyelamatkanmu

    Calla keluar dari ruang kerja Dylan dengan langkah cepat, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan campuran murung dan rasa malu yang membuat pipinya terus merona. Ia menggigit bibirnya yang masih terasa bengkak karena pagutan Dylan, dan... masih ada rasa pria itu yang tertinggal di sana. Ya Tuhan… tadi itu bukanlah khayalan Calla. Mereka benar-benar berciuman! Calla bahkan tak berniat untuk sejauh itu. Tujuan awalnya cuma sederhana... menebar godaan, lalu ingin melihat apakah Dylan bisa termakan. Namun entah bagaimana, kini justru diri Calla yang seolah terperangkap. Dan sekarang rasa bersalah itu langsung menyeruak, saat bayangan Knox melintas di kepalanya. Astaga, apakah ini artinya ia baru saja berkhianat? "Calla?" Langkah gadis itu hampir menabrak seseorang yang mengenakan gaun sutra elegan berwarna hitam saat hendak berbelok di lorong. Seketika Calla pun berhenti, dan jantungnya langsung menciut saat menyadari bahwa sosok itu adalah ibunya. “Bagaimana?” tanya

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    8. Ciuman Pertama

    “Berkas ini sudah Ibu tandatangani. Kamu yang antar ke Dylan.” Marissa menyodorkan sebuah map hitam kepada putrinya, tanpa memberi ruang untuk menolak. Saat itu hari telah sore, dan tiba-tiba saja Marissa memanggil Calla ke ruang kerjanya. Seketika Calla pun menatap ibunya curiga. “Kenapa harus aku? Ibu bisa mengantar sendiri, atau suruh saja belasan pelayan di Mansion ini.” “Karena Ibu sedang sibuk, dan karena kamu butuh alasan untuk berbicara dengannya.” Senyum kecil itu kembali muncul, senyum yang selalu membuat Calla merasa seperti pion di permainan papan catur milik ibunya. Helaan napas pelan menguar dari bibir Calla. “Berkas apa ini?” “Tidak penting bagimu, hanya kontrak properti. Yang penting dia menerimanya langsung dari tanganmu.” Calla berdecak pelan, lalu mengambil map itu. “Baiklah.” Sebelum ia pergi, Marissa menahan tangannya untuk menambahkan pesan dengan nada penuh arti. “Ingat, sayang… jangan terlalu mudah memberinya segalanya. Tapi beri cukup alasan u

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    7. Taktik Untuk Menaklukkan Pria Dingin

    Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu dari celah tirai kamar Calla, tapi sama sekali tak mampu mengusir kekesalannya yang menumpuk sejak semalam. Kepalanya masih terasa berat, sebagian karena kurang tidur, sebagian lagi karena bayangan Dylan yang terus mengusik pikirannya. Ia bangkit dengan rambut berantakan, berjalan ke arah meja rias, dan segera menyadari satu hal... Tas kecilnya tidak ada di sana. Dan bukan hanya tas, tapi juga ponsel serta dompetnya. “Ya Tuhan…” guman Calla, lalu ia buru-buru turun untuk mencari ke ruang tengah. Di ruang makan, Marissa duduk santai mengenakan robe sutra krem, menyendok potongan buah ke mulutnya sambil menyeruput teh. Aura tenangnya seperti menertawakan kegusaran Calla. “Ibu lihat tasku?” tanya Calla tanpa basa-basi. Marissa menoleh seraya tersenyum tipis. “Oh, tentu saja. Ibu sudah menyimpannya di tempat yang aman.” Calla menghela napas lega, tapi hanya untuk sesaat saja. “Bagus. Tolong kembalikan. Aku butuh ponselku.”

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    6. Bukan Siapa-siapa

    "Aargh, bodoh sekali kau, Calla!" Gadis itu mengacak-acak rambut merahnya yang panjang, lalu membenamkan wajahnya di atas bantal sambil menggeram pelan. Benaknya pun memutar kembali pada apa yang terjadi di dapur barusan. "Aku pasti sudah gila. Ini semua gara-gara ide konyol ibu yang membuatku terpengaruh dan akhirnya benar-benar menggoda Dylan." Calla meringis dan menjambak rambutnya sebagai hukuman untuk diri sendiri. Sangat memalukan. Bukankah sudah jelas jika pria itu sama dinginnya seperti gunung es? Menggoda pria seperti itu sama saja dengan bunuh diri, terutama karena Dylan adalah kakak tirinya, sangat membencinya, dan berniat menyingkirkannya. Entah bagaimana ia harus menghadapi Dylan besok! Untung saja hanya satu hari lagi ia berada di Mansion keluarga Asher ini. Satu hari, lalu ia akan benar-benar pergi dan tak perlu melihat wajah dingin Dylan lagi. Calla pun menghela napas pelan, lalu memejamkan matanya. Mencoba untuk tidur, meskipun semua peristiwa yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status