Perjamuan kematian Steven Asher hari pertama akhirnya usai juga, dan Calla merasa tubuhnya nyaris ambruk.
Setiap sel otot di tubuhnya seperti berteriak minta diistirahatkan, dan pikirannya pun sudah terlalu lelah untuk mencerna emosi apa pun lagi. Semua basa-basi, tatapan sinis, hingga drama kecil yang tadi meledak di aula seolah menyedot energinya habis-habisan. Yang ia inginkan sekarang hanya satu: tidur yang sangat nyenyak, tanpa mimpi sama sekali. Marissa mengecup pipi Calla singkat sebelum masuk ke kamarnya sendiri. “Istirahatlah, sayang. Kita harus tampil prima lagi besok,” bisiknya lembut, seperti ibu normal pada umumnya... ... jika saja semua yang dilakukan Marissa tidak terasa seperti bagian dari skenario besar yang sudah ia tulis sejak lama. Calla berjalan gontai menuju lantai dua, ke dalam kamar lamanya yang entah kenapa masih terjaga begitu rapi. Bahkan aroma lavender kesukaannya masih tercium samar dari seprai yang lembut. Syukurlah. Ia tak perlu membereskan apa-apa malam ini. Ia bisa langsung terjun ke kasur dan tidur tanpa perlu repot-repot lagi. Calla membuka pintu walk-in closet, dan matanya langsung menangkap lemari besar tempat semua barang lamanya tersimpan. Tangannya refleks membuka salah satu pintu lemari, dan senyuman kecil pun muncul di wajahnya ketika melihat sesuatu yang familiar. Piyama bergambar tengkorak. Tengkorak hitam dengan pisau tertancap di batok kepala. Motif favoritnya sejak SMA, meski semua orang menganggapnya aneh. Tanpa pikir panjang, Calla pun mengganti gaun hitamnya dan mengenakan piyama itu dengan nyaman. Ia meraih sikat gigi dari tas kecilnya dan bersiap menuju kamar mandi, saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Notifikasi panggilan masuk... sebuah video call dari Knox. Calla tersenyum lebar dan cepat-cepat menerima panggilan. Wajah kekasihnya seketika muncul di layar. Knox, dengan rambut pirang bergelombang dan mata biru gelap yang selalu tampak memikat bahkan di balik layar ponsel. “Hey, Cal!” sapa Knox dengan suara riangnya dari balik layar. “Sial, kamu selalu cantik meskipun pakai filter mode malam," godanya. Calla terkekeh pelan. “Aku lelah sekali. Rasanya ingin teleportasi ke Milan dan bertemu denganmu. I miss you," tukasnya sendu. Knox memiliki aura ceria yang selalu ia sukai, dan setelah seharian berkutat dengan tamu-tamu keluarga Asher yang membosankan, rasanya Calla jadi semakin merindukan Knox. “I really miss you too,” jawab Knox lembut. “Tapi acara di sini belum selesai. Besok aku tampil untuk koleksi Armani. Seharusnya kamu nonton, Calla. Karena aku akan memakai jas beludru ungu yang keren.” Calla tertawa kecil sambil mendengarkan cerita Knox yang penuh semangat. Tapi suara di kamar terasa terlalu hening, dan suasana hatinya agak berat untuk bersenda gurau. Akhirnya ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan, lalu melangkah diam-diam menyusuri lorong dan menuruni tangga kecil ke arah taman belakang. Kursi malas di tepi kolam renang itu tampak menggoda, maka ia pun merebahkan diri sambil terus berbincang dengan Knox. Obrolan mereka melayang dari fashion, cuaca Milan, hingga tentang makanan aneh yang Knox coba. Hingga akhirnya ketika Calla mulai menguap untuk ketiga kalinya, Knox pun tertawa kecil. “Oke, kamu pasti sangat mengantuk,” ungkapnya sambil tersenyum. “Kalau begitu besok aku akan telpon lagi. Boleh cium aku dulu sebelum kamu tidur?” Calla mencium ke arah kamera sambil berbisik, “Night, Knox.” "Night, Cal." Dan telepon pun berakhir. Calla duduk diam di situ untuk sejenak seraya menikmati udara segar, sebelum kembali masuk ke dalam. Ia memutuskan untuk melewati dapur dulu dan mengambil segelas air dingin untuk tenggorokannya yang terasa kering. Tapi langkah ringannya pun seketika terhenti ketika melihat sosok pria tinggi besar berdiri di depan pintu kulkas besar yang terbuka. Itu Dylan, yang sedang meneguk susu dengan rakus langsung dari kemasannya. Namun yang membuat Calla tercekat bukanlah sikapnya yang serampangan serta jauh dari kesan pria aristokrat dan berkelas, tapi fakta bahwa Dylan... sama sekali tidak mengenakan baju bagian atas. Otot-ototnya yang keras dan terdefinisi sempurna terpampang jelas dalam cahaya remang dapur. Kulitnya masih berkeringat, menandakan bahwa ia baru saja selesai dari sesi gym malamnya... sebuah kebiasaan Dylan yang sangat Calla ingat. Tapi yang lebih buruk dari itu semua... adalah Dylan yang tiba-tiba melihat ke arahnya. Calla pun refleks membalikkan badannya hendak kabur diam-diam, tapi suara bariton itu seketika menghentikan langkahnya. “Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanya pria itu ringan. Calla menahan napas, lalu memutar badannya dengan perlahan. “Aku... hanya ingin mencari udara segar di luar karena tidak bisa tidur," sahutnya beralasan. Manik kelabu Dylan menatap tajam pada ponsel yang berada di tangan Calla, namun ia tidak berkata apa-apa lagi soal itu. Pria itu hanya menutup pintu kulkas dengan pelan, lalu bersandar di meja marmer sambil meneguk sisa susu dari kotak kardusnya, Sementara itu, Calla berusaha keras untuk tidak menatap penuh kagum pada otot perut pria itu yang terlihat seperti pahatan granit hidup. Yang benar saja, itu pasti akan sangat memalukan. Ia pun kembali berbalik ingin segera pergi, namun Dylan lagi-lagi membuka mulut. “Biasanya gadis sepertimu menyukai sesuatu yang manis dan lucu. Kucing, kelinci... flamingo mungkin. Tapi tengkorak dengan pisau? Well, itu cukup ekstrim.” Calla mengerutkan kening dengan masih memunggungi Dylan. “Jadi kamu mau bilang kalau aku ini aneh?” “Tentu tidak,” ujar Dylan, nada suaranya terdengar tenang namun mengandung sesuatu yang tajam. “Menurutku justru itu menarik.” Keheningan yang kemudian hadir membuat Calla menggigit bibirnya pelan. Sejenak ia tampak ragu, namun kemudian berkata dengan suara pelan. “Terima kasih... untuk tadi siang. Kamu membelaku di depan Nyonya Lydia.” Dylan menoleh dengan alisnya yang naik. “Membelamu?” Nada suaranya terdengar geli, atau mungkin justru menghina. “Yah, waktu itu~” Calla kembali menggigit bibirnya. “Kamu telah mengatakan sesuatu yang membuat mereka semua terdiam. Itu sungguh berarti bagiku.” Dylan menyeringai dingin. “Lydia itu berisik dan drama, jadi aku hanya ingin menghentikannya, Rivera. Aku tidak akan pernah membela siapa pun, apalagi orang yang tidak aku sukai." Kalimat itu membuat Calla merasa tertampar. Manik birunya tampak berkaca-kaca. Tapi ia tidak akan pernah menangis di depan Dylan. “Baiklah,” guman gadis itu pelan. Calla yang dulu mungkin akan langsung lari terbirit-birit setiap kali mendapatkan tatapan tajam serta kalimat menusuk dari Dylan. Tapi Calla yang sekarang tidak akan sepengecut itu lagi. Harga dirinya menolak untuk berkompromi. Sementara itu, Dylan hanya diam dan menatap Calla yang berjalan ke arahnya dengan langkah sensual dan satu tangan yang memainkan tali bagian atas piyamanya, membuatnya menjadi sedikit longgar dan terbuka. Oh, rupanya Calla yang dulu pemalu kini bermaksud menggodanya kali ini. Menarik sekali. Pada akhirnya, darah penggoda Marissa akan mengalir dengan deras kepada Calla. Calla berhenti tepat di depan Dylan, cukup dekat untuk mencium aroma musk dan keringat segar yang menguar dari tubuh pria itu. “Aku tahu kamu tidak menyukaiku,” bisik Calla lembut. “Tapi, Dylan... kenapa kamu tak berhenti menatapku?" Jemari lentik berkulit pucat Calla menyentuh dada Dylan, jari telunjuknya melayang pelan dan menyusuri otot-ototnya yang indah. “Jadi katakan, Dylan,” ucap Calla dengan suara menggoda. “Apa kamu benar-benar membenciku? Atau... jangan-jangan kamu hanya belum cukup dekat untuk menyentuhku?” Untuk sesaat Dylan tidak bergerak. Mata kelabunya seolah menusuk wajah Calla. Nafasnya berubah sedikit berat. Namun setelahnya, tangan besar pria itu tiba-tiba bergerak cepat. Ia menarik tali piyama tipis Calla untuk menutup dada gadis itu yang mulai terbuka, karena tali yang sengaja dilonggarkan. Gerakannya cepat dan kasar, namun sama sekali tidak menyentuh kulit. “Jangan pernah bermain api denganku, Rivera. Karena aku tidak akan segan membakar semua milikmu hanya untuk melihatmu menangis.” Dylan berucap dengan suara dingin, menakutkan, dan mengguncang. Tatapan matanya seperti belati yang menusuk langsung ke jantung Calla. Tak ada senyum dan tidak menggoda, hanya ada bahaya di sana. Dylan kemudian melangkah maju hingga tubuh mereka sekarang nyaris bersentuhan. Nafas Calla tercekat saat pria itu menundukkan wajah, membuat bibir Dylan hanya berjarak sehelai napas dari telinganya. “Masuklah ke kamarmu. Sekarang juga. Dan jangan pernah berkeliaran lagi dengan piyama setipis itu untuk menggoda para pria.” Bisikan itu seperti racun halus yang menyusup ke dalam kulit Calla, membuat jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan. Lalu tiba-tiba saja Dylan menarik diri dan tak menatap Calla lagi. Ia hanya membuang kotak susu ke tempat sampah tanpa berkata apa-apa, lalu melangkah pergi meninggalkan Calla begitu saja, yang masih belum pulih dari perasaan berdebarnya. ***Calla mendesah panjang untuk kesekian kalinya di sore itu. Ia menyeret langkah menuju taman belakang Mansion, di mana sebuah ayunan kayu terlihat bergoyang pelan tertiup angin. Suasana senja ini sangat menenangkan dengan langit yang mulai berwarna jingga, tapi hatinya sama sekali tak bisa ikut tenang. Dengan malas ia menjatuhkan diri ke kursi ayunan, lalu mendorongnya pelan menggunakan ujung kaki. “Dasar pria menyebalkan…” gumannya seraya mengerucutkan bibir. “Bicaranya sok dingin, sok bijak, padahal jelas-jelas sebelumnya dia~~argh!” Calla pun menoyor kepalanya sendiri, membuat ayunan bergoyang sedikit lebih keras. Ingatan itu, tentang ciuman yang tadi terjadi di ruang kerja Dylan masih melekat dengan jelas. Bahkan seolah rasa bibir Dylan masih tersisa di bibirnya, membuat tubuhnya panas dingin. Sialan. Ia mendesah kesal, menggoyangkan ayunan lebih keras, sampai rambut merahnya yang mengikal lembut beterbangan diterpa angin. “Kenapa harus aku yang jadi kacau begini,
"Nona mau kemana?" Calla menghela napas pelan dan membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal. Maniknya yang biru mendelik gusar kepada pria berseragam hitam yang menatapnya datar, namun tetap sopan dan profesional. Calla baru saja mengambil kunci salah satu dari mobil mewah koleksi ibunya, namun gerakannya yang selalu diawasi membuatnya ketahuan. "Aku cuma mau jalan-jalan ke luar sebentar," sahut Calla akhirnya. Pria itu menggeleng. "Maaf, tapi Nyonya Marissa sudah mengatakan bahwa Nona tidak bisa keluar dari Mansion dengan alasan apa pun." "Yang benar saja," tukas Calla seraya mendesah tak percaya. Ibunya sudah benar-benar keterlaluan! Setelah menahan ponsel dan dompetnya, sekarang Calla pun juga menjadi tahanan rumah?! "Aku tidak akan pergi lama," tutur gadis itu lagi, memutuskan untuk tetap pergi. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba saja beberapa orang pria muncul menghadangnya. Calla mengenali mereka sebagai pengawal ibunya serta penjaga keamanan Mansi
Calla keluar dari ruang kerja Dylan dengan langkah cepat, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan campuran murung dan rasa malu yang membuat pipinya terus merona. Ia menggigit bibirnya yang masih terasa bengkak karena pagutan Dylan, dan... masih ada rasa pria itu yang tertinggal di sana. Ya Tuhan… tadi itu bukanlah khayalan Calla. Mereka benar-benar berciuman! Calla bahkan tak berniat untuk sejauh itu. Tujuan awalnya cuma sederhana... menebar godaan, lalu ingin melihat apakah Dylan bisa termakan. Namun entah bagaimana, kini justru diri Calla yang seolah terperangkap. Dan sekarang rasa bersalah itu langsung menyeruak, saat bayangan Knox melintas di kepalanya. Astaga, apakah ini artinya ia baru saja berkhianat? "Calla?" Langkah gadis itu hampir menabrak seseorang yang mengenakan gaun sutra elegan berwarna hitam saat hendak berbelok di lorong. Seketika Calla pun berhenti, dan jantungnya langsung menciut saat menyadari bahwa sosok itu adalah ibunya. “Bagaimana?” tanya
“Berkas ini sudah Ibu tandatangani. Kamu yang antar ke Dylan.” Marissa menyodorkan sebuah map hitam kepada putrinya, tanpa memberi ruang untuk menolak. Saat itu hari telah sore, dan tiba-tiba saja Marissa memanggil Calla ke ruang kerjanya. Seketika Calla pun menatap ibunya curiga. “Kenapa harus aku? Ibu bisa mengantar sendiri, atau suruh saja belasan pelayan di Mansion ini.” “Karena Ibu sedang sibuk, dan karena kamu butuh alasan untuk berbicara dengannya.” Senyum kecil itu kembali muncul, senyum yang selalu membuat Calla merasa seperti pion di permainan papan catur milik ibunya. Helaan napas pelan menguar dari bibir Calla. “Berkas apa ini?” “Tidak penting bagimu, hanya kontrak properti. Yang penting dia menerimanya langsung dari tanganmu.” Calla berdecak pelan, lalu mengambil map itu. “Baiklah.” Sebelum ia pergi, Marissa menahan tangannya untuk menambahkan pesan dengan nada penuh arti. “Ingat, sayang… jangan terlalu mudah memberinya segalanya. Tapi beri cukup alasan u
Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu dari celah tirai kamar Calla, tapi sama sekali tak mampu mengusir kekesalannya yang menumpuk sejak semalam. Kepalanya masih terasa berat, sebagian karena kurang tidur, sebagian lagi karena bayangan Dylan yang terus mengusik pikirannya. Ia bangkit dengan rambut berantakan, berjalan ke arah meja rias, dan segera menyadari satu hal... Tas kecilnya tidak ada di sana. Dan bukan hanya tas, tapi juga ponsel serta dompetnya. “Ya Tuhan…” guman Calla, lalu ia buru-buru turun untuk mencari ke ruang tengah. Di ruang makan, Marissa duduk santai mengenakan robe sutra krem, menyendok potongan buah ke mulutnya sambil menyeruput teh. Aura tenangnya seperti menertawakan kegusaran Calla. “Ibu lihat tasku?” tanya Calla tanpa basa-basi. Marissa menoleh seraya tersenyum tipis. “Oh, tentu saja. Ibu sudah menyimpannya di tempat yang aman.” Calla menghela napas lega, tapi hanya untuk sesaat saja. “Bagus. Tolong kembalikan. Aku butuh ponselku.”
"Aargh, bodoh sekali kau, Calla!" Gadis itu mengacak-acak rambut merahnya yang panjang, lalu membenamkan wajahnya di atas bantal sambil menggeram pelan. Benaknya pun memutar kembali pada apa yang terjadi di dapur barusan. "Aku pasti sudah gila. Ini semua gara-gara ide konyol ibu yang membuatku terpengaruh dan akhirnya benar-benar menggoda Dylan." Calla meringis dan menjambak rambutnya sebagai hukuman untuk diri sendiri. Sangat memalukan. Bukankah sudah jelas jika pria itu sama dinginnya seperti gunung es? Menggoda pria seperti itu sama saja dengan bunuh diri, terutama karena Dylan adalah kakak tirinya, sangat membencinya, dan berniat menyingkirkannya. Entah bagaimana ia harus menghadapi Dylan besok! Untung saja hanya satu hari lagi ia berada di Mansion keluarga Asher ini. Satu hari, lalu ia akan benar-benar pergi dan tak perlu melihat wajah dingin Dylan lagi. Calla pun menghela napas pelan, lalu memejamkan matanya. Mencoba untuk tidur, meskipun semua peristiwa yang