Home / Romansa / Menggodamu Hingga Takluk Padaku / 5. Jangan Bermain Api, Rivera

Share

5. Jangan Bermain Api, Rivera

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-08-05 09:24:22

Perjamuan kematian Steven Asher hari pertama akhirnya usai juga, dan Calla merasa tubuhnya nyaris ambruk.

Setiap sel otot di tubuhnya seperti berteriak minta diistirahatkan, dan pikirannya pun sudah terlalu lelah untuk mencerna emosi apa pun lagi.

Semua basa-basi, tatapan sinis, hingga drama kecil yang tadi meledak di aula seolah menyedot energinya habis-habisan.

Yang ia inginkan sekarang hanya satu: tidur yang sangat nyenyak, tanpa mimpi sama sekali.

Marissa mengecup pipi Calla singkat sebelum masuk ke kamarnya sendiri. “Istirahatlah, sayang. Kita harus tampil prima lagi besok,” bisiknya lembut, seperti ibu normal pada umumnya...

... jika saja semua yang dilakukan Marissa tidak terasa seperti bagian dari skenario besar yang sudah ia tulis sejak lama.

Calla berjalan gontai menuju lantai dua, ke dalam kamar lamanya yang entah kenapa masih terjaga begitu rapi. Bahkan aroma lavender kesukaannya masih tercium samar dari seprai yang lembut.

Syukurlah.

Ia tak perlu membereskan apa-apa malam ini. Ia bisa langsung terjun ke kasur dan tidur tanpa perlu repot-repot lagi.

Calla membuka pintu walk-in closet, dan matanya langsung menangkap lemari besar tempat semua barang lamanya tersimpan.

Tangannya refleks membuka salah satu pintu lemari, dan senyuman kecil pun muncul di wajahnya ketika melihat sesuatu yang familiar.

Piyama bergambar tengkorak. Tengkorak hitam dengan pisau tertancap di batok kepala.

Motif favoritnya sejak SMA, meski semua orang menganggapnya aneh.

Tanpa pikir panjang, Calla pun mengganti gaun hitamnya dan mengenakan piyama itu dengan nyaman.

Ia meraih sikat gigi dari tas kecilnya dan bersiap menuju kamar mandi, saat tiba-tiba ponselnya bergetar.

Notifikasi panggilan masuk... sebuah video call dari Knox.

Calla tersenyum lebar dan cepat-cepat menerima panggilan.

Wajah kekasihnya seketika muncul di layar. Knox, dengan rambut pirang bergelombang dan mata biru gelap yang selalu tampak memikat bahkan di balik layar ponsel.

“Hey, Cal!” sapa Knox dengan suara riangnya dari balik layar. “Sial, kamu selalu cantik meskipun pakai filter mode malam," godanya.

Calla terkekeh pelan. “Aku lelah sekali. Rasanya ingin teleportasi ke Milan dan bertemu denganmu. I miss you," tukasnya sendu.

Knox memiliki aura ceria yang selalu ia sukai, dan setelah seharian berkutat dengan tamu-tamu keluarga Asher yang membosankan, rasanya Calla jadi semakin merindukan Knox.

“I really miss you too,” jawab Knox lembut. “Tapi acara di sini belum selesai. Besok aku tampil untuk koleksi Armani. Seharusnya kamu nonton, Calla. Karena aku akan memakai jas beludru ungu yang keren.”

Calla tertawa kecil sambil mendengarkan cerita Knox yang penuh semangat. Tapi suara di kamar terasa terlalu hening, dan suasana hatinya agak berat untuk bersenda gurau.

Akhirnya ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan, lalu melangkah diam-diam menyusuri lorong dan menuruni tangga kecil ke arah taman belakang.

Kursi malas di tepi kolam renang itu tampak menggoda, maka ia pun merebahkan diri sambil terus berbincang dengan Knox.

Obrolan mereka melayang dari fashion, cuaca Milan, hingga tentang makanan aneh yang Knox coba.

Hingga akhirnya ketika Calla mulai menguap untuk ketiga kalinya, Knox pun tertawa kecil.

“Oke, kamu pasti sangat mengantuk,” ungkapnya sambil tersenyum. “Kalau begitu besok aku akan telpon lagi. Boleh cium aku dulu sebelum kamu tidur?”

Calla mencium ke arah kamera sambil berbisik, “Night, Knox.”

"Night, Cal."

Dan telepon pun berakhir.

Calla duduk diam di situ untuk sejenak seraya menikmati udara segar, sebelum kembali masuk ke dalam.

Ia memutuskan untuk melewati dapur dulu dan mengambil segelas air dingin untuk tenggorokannya yang terasa kering.

Tapi langkah ringannya pun seketika terhenti ketika melihat sosok pria tinggi besar berdiri di depan pintu kulkas besar yang terbuka.

Itu Dylan, yang sedang meneguk susu dengan rakus langsung dari kemasannya.

Namun yang membuat Calla tercekat bukanlah sikapnya yang serampangan serta jauh dari kesan pria aristokrat dan berkelas, tapi fakta bahwa Dylan... sama sekali tidak mengenakan baju bagian atas.

Otot-ototnya yang keras dan terdefinisi sempurna terpampang jelas dalam cahaya remang dapur.

Kulitnya masih berkeringat, menandakan bahwa ia baru saja selesai dari sesi gym malamnya... sebuah kebiasaan Dylan yang sangat Calla ingat.

Tapi yang lebih buruk dari itu semua... adalah Dylan yang tiba-tiba melihat ke arahnya.

Calla pun refleks membalikkan badannya hendak kabur diam-diam, tapi suara bariton itu seketika menghentikan langkahnya.

“Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanya pria itu ringan.

Calla menahan napas, lalu memutar badannya dengan perlahan. “Aku... hanya ingin mencari udara segar di luar karena tidak bisa tidur," sahutnya beralasan.

Manik kelabu Dylan menatap tajam pada ponsel yang berada di tangan Calla, namun ia tidak berkata apa-apa lagi soal itu.

Pria itu hanya menutup pintu kulkas dengan pelan, lalu bersandar di meja marmer sambil meneguk sisa susu dari kotak kardusnya,

Sementara itu, Calla berusaha keras untuk tidak menatap penuh kagum pada otot perut pria itu yang terlihat seperti pahatan granit hidup.

Yang benar saja, itu pasti akan sangat memalukan.

Ia pun kembali berbalik ingin segera pergi, namun Dylan lagi-lagi membuka mulut.

“Biasanya gadis sepertimu menyukai sesuatu yang manis dan lucu. Kucing, kelinci... flamingo mungkin. Tapi tengkorak dengan pisau? Well, itu cukup ekstrim.”

Calla mengerutkan kening dengan masih memunggungi Dylan. “Jadi kamu mau bilang kalau aku ini aneh?”

“Tentu tidak,” ujar Dylan, nada suaranya terdengar tenang namun mengandung sesuatu yang tajam. “Menurutku justru itu menarik.”

Keheningan yang kemudian hadir membuat Calla menggigit bibirnya pelan.

Sejenak ia tampak ragu, namun kemudian berkata dengan suara pelan. “Terima kasih... untuk tadi siang. Kamu membelaku di depan Nyonya Lydia.”

Dylan menoleh dengan alisnya yang naik. “Membelamu?” Nada suaranya terdengar geli, atau mungkin justru menghina.

“Yah, waktu itu~” Calla kembali menggigit bibirnya. “Kamu telah mengatakan sesuatu yang membuat mereka semua terdiam. Itu sungguh berarti bagiku.”

Dylan menyeringai dingin. “Lydia itu berisik dan drama, jadi aku hanya ingin menghentikannya, Rivera. Aku tidak akan pernah membela siapa pun, apalagi orang yang tidak aku sukai."

Kalimat itu membuat Calla merasa tertampar. Manik birunya tampak berkaca-kaca. Tapi ia tidak akan pernah menangis di depan Dylan.

“Baiklah,” guman gadis itu pelan.

Calla yang dulu mungkin akan langsung lari terbirit-birit setiap kali mendapatkan tatapan tajam serta kalimat menusuk dari Dylan.

Tapi Calla yang sekarang tidak akan sepengecut itu lagi. Harga dirinya menolak untuk berkompromi.

Sementara itu, Dylan hanya diam dan menatap Calla yang berjalan ke arahnya dengan langkah sensual dan satu tangan yang memainkan tali bagian atas piyamanya, membuatnya menjadi sedikit longgar dan terbuka.

Oh, rupanya Calla yang dulu pemalu kini bermaksud menggodanya kali ini. Menarik sekali. Pada akhirnya, darah penggoda Marissa akan mengalir dengan deras kepada Calla.

Calla berhenti tepat di depan Dylan, cukup dekat untuk mencium aroma musk dan keringat segar yang menguar dari tubuh pria itu.

“Aku tahu kamu tidak menyukaiku,” bisik Calla lembut. “Tapi, Dylan... kenapa kamu tak berhenti menatapku?"

Jemari lentik berkulit pucat Calla menyentuh dada Dylan, jari telunjuknya melayang pelan dan menyusuri otot-ototnya yang indah.

“Jadi katakan, Dylan,” ucap Calla dengan suara menggoda. “Apa kamu benar-benar membenciku? Atau... jangan-jangan kamu hanya belum cukup dekat untuk menyentuhku?”

Untuk sesaat Dylan tidak bergerak.

Mata kelabunya seolah menusuk wajah Calla. Nafasnya berubah sedikit berat.

Namun setelahnya, tangan besar pria itu tiba-tiba bergerak cepat. Ia menarik tali piyama tipis Calla untuk menutup dada gadis itu yang mulai terbuka, karena tali yang sengaja dilonggarkan.

Gerakannya cepat dan kasar, namun sama sekali tidak menyentuh kulit.

“Jangan pernah bermain api denganku, Rivera. Karena aku tidak akan segan membakar semua milikmu hanya untuk melihatmu menangis.” Dylan berucap dengan suara dingin, menakutkan, dan mengguncang.

Tatapan matanya seperti belati yang menusuk langsung ke jantung Calla. Tak ada senyum dan tidak menggoda, hanya ada bahaya di sana.

Dylan kemudian melangkah maju hingga tubuh mereka sekarang nyaris bersentuhan.

Nafas Calla tercekat saat pria itu menundukkan wajah, membuat bibir Dylan hanya berjarak sehelai napas dari telinganya.

“Masuklah ke kamarmu. Sekarang juga. Dan jangan pernah berkeliaran lagi dengan piyama setipis itu untuk menggoda para pria.”

Bisikan itu seperti racun halus yang menyusup ke dalam kulit Calla, membuat jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan.

Lalu tiba-tiba saja Dylan menarik diri dan tak menatap Calla lagi.

Ia hanya membuang kotak susu ke tempat sampah tanpa berkata apa-apa, lalu melangkah pergi meninggalkan Calla begitu saja, yang masih belum pulih dari perasaan berdebarnya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bianca
aa melting bgt pas Dylan nyuruh masuk kamar Calla ga boleh keliatan kemana2 .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    109. Dunia Yang Hancur

    “Terima kasih telah hadir pada malam bersejarah ini.” Suara Dylan mengalun kuat ke seluruh ballroom. “Hari ini Luxterra dengan bangga memperkenalkan Edenfall yang lebih dari sekadar hunian, melainkan masa depan. Sebuah karya yang menggabungkan teknologi, estetika dan keberlanjutan. Sebuah tempat di mana kehidupan manusia dapat berkembang tanpa batas." Tepuk tangan terdengar lagi. Dari bawah panggung, Calla menatap Dylan dengan dada yang penuh sesak oleh rasa bangga… meskipun rasa takut itu masih ada. “Dan sekarang,” ujar Dylan melanjutkan, “kita akan langsung memulai hitungan mundur untuk peluncuran visual Edenfall.” Seluruh ruangan pun ikut menggema mengikuti angka mundur di layar LED. “Ten!” “Nine!” Lampu panggung mulai berpendar. “Eight!” “Seven! Six!” Hologram menara Edenfall mulai berputar di udara. “Five!” Angin AC tiba-tiba terasa sangat dingin bagi Calla, seiring dengan ketakutan yang terasa semakin besar dan membuatnya menggigit bibirnya. “Four!”

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    108. Menjadi Lebih Sempurna

    Cahaya emas dari puluhan lampu kristal menghujani ballroom hotel bintang lima itu seperti tetesan sinar matahari yang jatuh ke bumi. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga panggung utama, dan para tamu undangan yang terdiri dari selebriti dunia, para miliarder, politisi, pemilik galeri seni, serta ratusan investor kelas dunia mengisi ruangan dengan penampilan terbaik dalam busana mewah mereka. Puluhan kamera media besar dari berbagai negara mengarah ke satu titik, yaitu latar panggung berhiaskan hologram tiga menara futuristik dalam efek 3D hidup. Edenfall. Sebuah nama yang sejak diumumkan sebagai proyek rahasia Luxterra sudah membuat spekulasi bergulir di seluruh dunia. Seorang reporter dari Inggris berbisik pada rekannya, “Jika malam ini benar-benar sehebat rumor yang beredar, maka Dylan Asher akan menjadi ikon baru dunia real estate global.” Di sisi lain, influencer fashion dari Korea sibuk memotret detail ruangan yang dipenuhi bunga putih. Setiap orang di dalam

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    107. Sebuah Deklarasi Untuk Perang Terbuka

    Malam merambat dengan perlahan di langit Southampton. Gedung Luxterra yang megah kini hanya diterangi lampu-lampu biru redup yang memantul di dinding kaca, membuatnya tampak seperti kapal besar yang mengapung di tengah samudra gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Hanya sedikit cahaya yang tersisa di lantai eksekutif. Dan tentu saja, di ruang kerja Dylan Asher. Calla mengetuk pintu dua kali, tapi tak ada jawaban. Ia tahu Dylan tidak suka diganggu ketika sedang bekerja, tapi hatinya resah sejak tadi. Ia masih memikirkan pembicaraan pagi tadi. Tentang Bianco Holdings, tentang Stella, dan tentang Dylan yang tampak terlalu tenang menghadapi ancaman sebesar itu. Calla lalu memutuskan untuk membuka pintu perlahan. Cahaya dari lampu meja menyinari wajah Dylan yang sedang menatap layar laptop dengan ekspresi nyaris tak terbaca. Setelan jas mahalnya sudah dilepas, kemejanya tergulung sampai siku, dan rambutnya pun sedikit berantakan. Hal yang jarang sekali terlihat dari

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    106. Bayangan Gelap Di Balik Cahaya

    Kantor pusat Luxterra Group pagi itu tampak lebih sibuk dari biasanya, menandakan bahwa sesuatu yang besar sedang dipersiapkan. Bagi sebagian orang, ini hanya proyek. Tapi bagi Dylan Asher, ini adalah mahakarya. Pagi itu Calla berdiri di balik kaca besar di lantai eksekutif Luxterra. Dari sana ia bisa melihat kota terhampar luas di bawahnya. Cahaya matahari memantul di jendela pencakar langit, tapi wajah Dylan memantulkan sesuatu yang jauh lebih cemerlang daripada cahaya. Pria itu duduk di kursinya dengan setelan hitam pekat dengan dasi yang sudah ia lepaskan dan entah kini berada di mana. Tangan kirinya memutar bolpoin di antara jari-jari panjangnya. Ia tampak seperti sedang berpikir, atau mungkin sedang menghitung. Tidak ada yang tahu perbedaannya ketika menyangkut Dylan Asher. Calla meliriknya melalui pintu ruang pribadi CEO yang sedikit terbuka. Suara Dylan terdengar rendah dan berat, mengisi ruangan dengan ketegangan yang nyata. “Pastikan semua departemen desai

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    105. Janji Yang Tak Bisa Ditepati (Dylan)

    Dylan Asher berdiri tegak dan diam, mirip seperti patung Dewa tampan yang terbuat dari baja. Ia menatap maket raksasa project Edenfall yang berdiri di tengah ruangannya. Kubah transparan, menara berputar, taman vertikal, semuanya tampak sempurna. Proyek ini bukan sekadar investasi. Ini adalah warisan yang dibangun dengan impian. Lalu tiba-tiba suara langkah lembut dan ringan menghentikan pikirannya yang tak henti berputar. Calla muncul dari arah pintu sembari membawa dua cangkir kopi yang mengepulkan uap. “Kalau kamu terus menatap maket itu setiap hari, aku mulai khawatir kamu akan jatuh cinta pada benda itu,” ucapnya sambil mengangkat alis menggoda. Dylan menoleh ke arah Calla dengan melukiskan senyum samar. “Aku tidak semudah itu jatuh cinta, Sayang. Aku lebih menulisnya dengan darah, waktu, dan kamu, sebagai akhir ceritanya.” Nada suaranya berat dan penuh arti. Calla hanya berdecak kecil, lalu menyerahkan secangkir kopi itu ke tangannya. Ia lalu berdiri di samping Dy

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    104. Dengan Gaun Terindah

    Lampu kristal memantul di dinding kaca butik couture yang terletak di jantung Manhattan. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi kain dan suara lembut asisten butik yang sibuk menata gaun di rak. Di tengah ruangan itu, Stella Bianco berdiri di depan cermin raksasa dengan tubuhnya yang terbalut renda putih dari koleksi terbaru Maison Verdiere, sebuah gaun yang harganya setara dengan apartemen di Fifth Avenue. Setiap helai kain tampak berkilau seperti serpihan cahaya yang menempel di kulitnya, dan Stella menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi puas. “Potong sedikit bagian pinggangnya,” titahnya kepada penjahit yang menunduk di sampingnya. “Aku ingin siluetnya lebih tajam. Lebih dominan.” “As you wish, Miss Bianco,” jawab si penjahit cepat, tangannya langsung bekerja menandai bagian yang disebutkan. Stella berputar dengan perlahan seraya mengagumi pantulan dirinya di cermin dari berbagai sudut. Gaun itu sempurna. Ia tidak hanya memilih pakaian untuk hari pernikahan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status