nanti malam lanjut lagi ya. ini masih di jalan 🫶 yuk kasih ulasan positif bintang lima di cover depan ya, agsr buku ini bisa naik peringkatnya. terima kasih 🩷
Tubuh Calla masih terasa lemas ketika ia berbaring di dada Dylan. Nafasnya mulai teratur, meski jantungnya tetap berdegup cepat. Lengan kokoh Dylan melingkari tubuhnya, menahan agar gadis itu tetap berada di sisinya seolah tak ingin Calla pergi ke mana pun. Keheningan melingkupi kamar pribadi itu, hanya terdengar dengung halus pendingin ruangan dan detak jantung Dylan yang menggetarkan telinga Calla. Ia menggeliat pelan, lalu mendongakkan wajah. “Dylan…” suaranya lirih, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Bagaimana… kamu bisa tahu kalau aku masih perawan sebelumnya?” Dylan tidak langsung menjawab. Ia menatap langit-langit seakan berpikir, lalu menurunkan pandangannya pada gadis di pelukannya. Senyum tipis terukir di bibirnya, samar dan sulit ditebak. “Awalnya aku hanya menebak,” jawabnya tenang. Jari-jarinya mengusap lembut rambut Calla. “Meskipun aku juga tahu, kalau dulu kamu pernah berharap jika momen pertama itu adalah bersamaku.” Mata Calla membesar. Pengakuan Dy
Calla terbuai dengan suara serak sarat gairah milik Dylan yang mengguman dengan seksi di telinganya. Uh, Dylan sungguh-sungguh membuatnya tak berkutik, dan hanya bisa pasrah seraya berusaha mengimbangi ciumannya yang ganas dan membabi-buta seperti orang yang kelaparan. Mata biru Calla yang semula terpejam kini akhirnya membuka sayu, saat Dylan mulai bergerak dengan ayunan langkah pasti, bersama diri Calla yang masih menempel seperti koala di tubuhnya. Kemana Dylan akan membawanya? Calla hanya bisa melirik saat Dylan membuka sebuah pintu yang semula ia kira hanya hiasan panel di dinding. Ah, ternyata ini adalah ruang pribadi Dylan yang tersembunyi. Begitu masuk, nuansanya langsung terasa berbeda, hangat dan elegan. Dinding panel kayu gelap berpadu dengan cahaya lampu yang lembut, memberi kesan eksklusif. Ada sofa kulit putih besar dengan meja kaca rendah, rak bar mini berisi whiskey dan wine langka, serta jendela lebar yang menampilkan panorama kota. Di balik partisi ka
Suasana kerja di Luxterra dipenuhi kesibukan sama seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini adalah jadwal rapat mingguan, yang dihadirioleh CEO beserta seluruh perwakilan masing-masing divisi, begitu halnya juga dengan Calla. Luka di kepalanya sudah jauh lebih membaik, jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak bekerja. Hanya saja, Calla merasa bahwa kini seolah ada ruang tak kasat mata antara dirinya dan Dylan. Meski mereka berada di ruangan yang sama, tapi kehadiran Dylan terasa jauh. Calla duduk di antara para manajer, sedangkan Dylan berada di ujung meja rapat yang panjang. Wajah tampan pria itu kembali dingin dan menjaga jarak seperti dulu, seolah keintiman mereka kemarin hanyalah ilusi bagi Calla. "Huuftt..." tanpa sadar, Calla mendesah pelan seraya mengetik cepat beberapa instruksi sang CEO di laptopnya. 'Kesampingkan dulu urusan pribadimu, Calla! Ayo fokus bekerja!' rutuknya pada diri sendiri. Ia mencoba fokus pada laporan keuangan dan presentasi yang disajikan.
Ruang kerja Dylan yang biasanya dingin kini berubah menjadi panggung yang dipenuhi ketegangan. Udara terasa berat, dan tatapan saling menantang antara Dylan Asher dan Knox Bennet membuat suasana seperti bom waktu yang siap meledak. Knox berdiri tegak di ambang pintu dengan rahang mengeras serta kedua tangan mengepal kuat. Sedangkan Calla yang masih berada di pangkuan Dylan sontak menegakkan tubuhnya, terlihat panik sekaligus canggung. “Lepaskan dia, Dylan!” seru Knox dengan suara serak menahan amarah. Alih-alih menurut, Dylan justru semakin mempererat lengannya di pinggang Calla, menahan gadis itu agar tetap berada di tempatnya. Ia lalu menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi, dan tatapan dinginnya yang menelusuri wajah Knox tanpa gentar. “Lucu sekali. Kamu datang ke rumahku, menuntutku, dan mengira aku akan melepaskannya hanya karena kamu mengatakannya begitu?” Dylan menyeringai dingin. “Sangat terburu-buru dan penuh emosi.” “Dia tidak butuh dikontrol olehmu!” S
“CEO kami tidak bekerja di perusahaan hari ini," ucap singkat seorang petugas keamanan kepada Knox, yang menanyakan keberadaan Dylan. Knox menggenggam erat kunci mobil mewah sewaannya seraya menahan geram di dalam dada. Ia sengaja datang ke Southampton dengan pesawat tercepat, lalu buru-buru menyewa mobil dari bandara menuju Gedung Luxterra. “Terima kasih,” ucap Knox datar. Namun begitu petugas keamanan itu menjauh, raut wajah Knox pun mengeras. “Si brengsek itu lagi-lagi bersembunyi di balik tembok megahnya,” gumannya. Ia tahu betul Dylan Asher bukan tipe pria yang suka mengumbar keberadaan. Tapi Knox tidak peduli. Jika Dylan tidak ada di kantor, maka hanya ada satu tempat yang mungkin, yaitu Mansion Asher. Ia menyalakan mesin mobil, suara raungan halus mesin sport itu mengisi telinganya. Tangannya memutar kemudi dengan kasar, mempercepat laju mobil ke arah kawasan elite tempat mansion itu berada. Knox ingin menemui Dylan secara langsung. Atau yang lebih tepat, menantan
Suara berat itu membuat tubuh Calla menegang. Ia menoleh dengan cepat, dan mendapati Dylan berdiri di ambang pintu dengan wajah kelam serta sorot mata kelabu yang setajam pisau. Dalam sekejap saja Dylan sudah bergerak menghampirinya. Tangan besarnya menarik tubuh Calla dari jendela dengan satu tarikan saja, dan tubuh mungil itu langsung jatuh ke dada bidangnya. Dylan mengatupkan rahangnya kuat-kuat dengan hembusan napasnya yang memburu. “Apa kamu sudah gila, hah?!” Calla meringis, setengah takut setengah ingin tertawa. “Tenang, Dylan. Aku kan cuma~" “Cuma apa?!” Dylan membentak dingin, tapi suaranya serak menahan emosi. Jemarinya mencengkeram bahu Calla namun tidak terasa menyakitkan, justru seolah seperti sedang memastikan bahwa dirinya benar-benar ada di sini. “Aku cuma… bosan,” jawab Calla lirih, seperti anak kecil ketahuan berbuat nakal. Dylan memejamkan mata, lalu menunduk hingga keningnya hampir menempel pada Calla. “Kamu membuatku kehilangan akal, Calla