Calla telah kembali berada di ruang kerjanya. Ruangan itu tidak berubah. Masih berisi meja kayu elegan, kursi kerja yang empuk, tumpukan dokumen yang menunggu untuk diselesaikan, serta aroma kopi ringan yang masih tersisa dari pagi hari tadi. Namun bagi Calla, semuanya kini terasa berbeda. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menyandarkan punggungnya pada permukaan kayu pintu itu. Nafasnya teratur, tetapi dadanya bergemuruh dan bergejolak. 'Astaga… aku benar-benar sudah menjadi milik Dylan seutuhnya.' Pipinya memanas, dan tanpa sadar ia menepuk-nepuk kedua sisi wajahnya pelan. “Calla, sadar! Kamu di kantor, bukan di kamar pribadinya lagi.” Meski begitu, ingatan tentang tubuh Dylan yang melingkupi dirinya semalam membuat senyum tipis tak bisa ia sembunyikan. Ia segera menggeleng, memaksa dirinya untuk kembali fokus. “Profesional. Aku harus profesional,” gumamnya. Ia menyalakan laptop, membuka email dari divisi keuangan, lalu menyibukkan diri dengan tumpukan laporan. Tak
Calla menggeliat kecil di atas ranjang sebelum akhirnya membuka matanya. Ia sempat terkejut mendapati jam di dinding sudah lewat pukul dua belas siang. “Astaga…” gumannya lirih. Tubuhnya memang masih terasa lelah, tetapi terlalu lama berdiam di ruangan pribadi Dylan ini hanya akan membuatnya semakin malas. Dengan malas, ia pun akhirnya bangkit. Bath robe putih yang membungkus tubuhnya melorot sedikit, memperlihatkan kulit pucatnya yang kini penuh jejak merah cinta. Calla pun seketika mendengus dalam hati. Dasar laki-laki, mau sedingin dan sesibuk Dylan pun tetap saja akan kalah oleh tubuh wanita. Rasa nyeri di bagian bawah tubuhnya masih terasa, membuatnya berjalan agak pelan. “Beringas sekali…” bisiknya dengan pipi yang merona, ketika mengingat kembali bagaimana Dylan sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bernapas saat bercinta. Ia lalu melihat pakaian kerjanya sudah disiapkan terlipat rapi di atas meja. Dengan cepat Calla menanggalkan bath robe, lalu kembali
Langkah Dylan terhenti. Mata kelabunya menajam, rahangnya mengeras. “Kritis?” “Ya, Tuan. Padahal laporan terakhir menyebutkan kondisi kesehatan beliau stabil.” Seketika, dada Dylan mengeras oleh rasa tak tenang. Ia mengumpat dalam hati. Sial. Ini terlalu mendadak. Samuel Wren adalah salah satu kunci penting yang bisa membawanya pada dalang kebocoran informasi keuangan perusahaan. Dylan menarik napas dalam, mencoba menahan amarah yang bergolak. Damned. Seharusnya ia menjenguk Samuel lebih cepat. Seharusnya ia tidak menunda. “Cek semua rekaman CCTV di ruang rawat Samuel,” ujarnya datar tanpa menoleh, namun nadanya sarat perintah. Anderson yang berdiri beberapa langkah di belakangnya mengangguk cepat. “Baik, Tuan. Anda ingin laporan lengkap siapa saja yang keluar masuk sejak hari pertama?” “Tidak,” Dylan berbalik, menatap tajam ajudannya. “Aku ingin yang lebih spesifik. Saring orang-orang yang masuk tanpa alasan jelas. Mereka yang tidak memiliki kepentingan medis atau
Dylan menggendong tubuh Calla yang lemas keluar dari kamar mandi. Aroma sabun masih melekat di kulit lembut gadis itu bercampur samar dengan keharuman khas tubuhnya, yang membuat Dylan sulit untuk berpaling. Calla masih setengah sadar. Kelopak matanya terasa berat, namun ia tetap menggeliat kecil di dalam dekapan Dylan. Dengan langkah-langkah yang tenang, Dylan menurunkan Calla dengan perlahan di atas ranjang besar yang lembut. Seprai putih bergelombang menyambut tubuh mungil Calla, kontras dengan rambut panjangnya yang merah dan masih basah menempel di kulit pucatnya. Dylan mengambil handuk tipis, mengeringkan helai demi helai rambutnya dengan penuh kesabaran. Lalu ia memutuskan untuk mengambil hair dryer dari meja samping, kemudian duduk di tepi ranjang. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menyalakan mesinnya untuk mengeringkan rambut Calla. Saat angin yang hangat menyapu wajah gadis itu, Calla pun mendesah pelan dalam rasa nyaman. Antara sadar dan tidak, gadis
Tubuh Calla masih terasa lemas ketika ia berbaring di dada Dylan. Nafasnya mulai teratur, meski jantungnya tetap berdegup cepat. Lengan kokoh Dylan melingkari tubuhnya, menahan agar gadis itu tetap berada di sisinya seolah tak ingin Calla pergi ke mana pun. Keheningan melingkupi kamar pribadi itu, hanya terdengar dengung halus pendingin ruangan dan detak jantung Dylan yang menggetarkan telinga Calla. Ia menggeliat pelan, lalu mendongakkan wajah. “Dylan…” suaranya lirih, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Bagaimana… kamu bisa tahu kalau aku masih perawan sebelumnya?” Dylan tidak langsung menjawab. Ia menatap langit-langit seakan berpikir, lalu menurunkan pandangannya pada gadis di pelukannya. Senyum tipis terukir di bibirnya, samar dan sulit ditebak. “Awalnya aku hanya menebak,” jawabnya tenang. Jari-jarinya mengusap lembut rambut Calla. “Meskipun aku juga tahu, kalau dulu kamu pernah berharap jika momen pertama itu adalah bersamaku.” Mata Calla membesar. Pengakuan Dy
Calla terbuai dengan suara serak sarat gairah milik Dylan yang mengguman dengan seksi di telinganya. Uh, Dylan sungguh-sungguh membuatnya tak berkutik, dan hanya bisa pasrah seraya berusaha mengimbangi ciumannya yang ganas dan membabi-buta seperti orang yang kelaparan. Mata biru Calla yang semula terpejam kini akhirnya membuka sayu, saat Dylan mulai bergerak dengan ayunan langkah pasti, bersama diri Calla yang masih menempel seperti koala di tubuhnya. Kemana Dylan akan membawanya? Calla hanya bisa melirik saat Dylan membuka sebuah pintu yang semula ia kira hanya hiasan panel di dinding. Ah, ternyata ini adalah ruang pribadi Dylan yang tersembunyi. Begitu masuk, nuansanya langsung terasa berbeda, hangat dan elegan. Dinding panel kayu gelap berpadu dengan cahaya lampu yang lembut, memberi kesan eksklusif. Ada sofa kulit putih besar dengan meja kaca rendah, rak bar mini berisi whiskey dan wine langka, serta jendela lebar yang menampilkan panorama kota. Di balik partisi ka