Share

Bab 9

Mereka kembali melanjutkan perbuatan haram itu. Aku merasa aneh dengan Mas Agung padahal jelas-jelas istri ada di samping malah sibuk video call-an lagian Ainun juga kelewat gatal.

Kalau saja boleh, aku lebih memilih hidup dengan Mas Haiqal. Dia itu terkenal sabar dan bertanggung jawab, tetapi Ainun yang bodoh malah membuang suami seperti dia dan memungut sampah di sampingku.

Dosa sekarang dianggap manisan yang bisa dinikmati kapan saja. Mas Agung juga bodohnya gak ketulungan, masa iya berani menelepon selingkuhan ketika istrinya juga ada dalam kamar. Apa karena aku memejamkan mata?

Kalau mau selingkuh yang pintar dikit, Mas! umpatku dalam hati.

"Mas, kamu kok sekamar sama Ningsih, sih? Harusnya pisah, cari alasan gitu biar aku gak cemburu!" gerutu Ainun di seberang sana.

Tangan terkepal kuat. Dasar wanita penggoda!

"Gak apa-apa, Sayang. Toh, mas juga gak ngasih nafkah batin ke Ningsih walau dia selalu merengek minta itu kayak tadi. Cuman mas kepikiran kamu, orang setia!" ucap Mas Agung bangga dengan kebohongannya.

Sejak kapan aku merengek minta nafkah batin apalagi setelah mengetahui hubungan gelap mereka? No, itu tidak akan pernah terjadi bahkan aku menolak tegas jika saja dipaksa suatu malam nanti.

"Tetep aja, bisa-bisa Ningsih pepetin kamu, Mas!" rengek Ainun.

Perempuan itu memang tidak tahu malu, bisa-bisanya merengek manja pada suami orang. Dia harus dihajar suatu hari nanti sampai mulutnya dower dan tidak bisa berkata ba bi bu lagi.

"Gak, Sayang. Lagian kamu juga tidur sama Haiqal toh?"

"Apa, Mas?" tanyaku pura-pura mengucek mata. "Mas Haiqal kenapa?"

Mas Agung langsung menyembunyikan ponselnya di bawah bantal, tentu panggilan tadi belum dimatikan. Aku jadi ada ide untuk membuat perempuan itu tersiksa kecemburuan. Salah sendiri jadi pelakor.

Sedikit kugeser tubuh agar lebih dekat pada Mas Agung sekalipun hati menolak tegas. Suara kubuat manja. "Mas, aku selalu kangen sama kamu."

"Mas juga kangen, Dek. Tapi ini kenapa tiba-tiba bangun dan mepetin gini?"

"Aku cinta sama kamu, Mas!" seruku. Sekalipun bernada manja, tentu volume suara sedikit ditinggikan.

Mas Agung hanya tersenyum kikuk. Matanya sesekali melirik ke kanan dan kiri, mungkin khawatir pembicaraan kami didengar si Ulat Bulu. Akan tetapi, bukan Ningsih namanya jika menyerah begitu saja.

"Kamu gak cinta sama aku, Mas?"

"Cinta, Dek. Mas cinta banget sama kamu," bisiknya.

Aku menjauhkan wajah, lalu meminta mengulangi kalimat tadi dengan alasan kurang keras. Tanpa bantahan, Mas Agung menurut. Bisa dipastikan Ainun sedang mengamuk dalam diam.

"Sayaaaaang!" rengekku pada Mas Agung.

Lelaki itu mendekapku lembut dengan tangan kanannya. Entah, apa yang ada di pikirannya kini. Detik selanjutnya malah mendesakku untuk tidur lagi dengan dalih khawatir sakit atau loyo.

Namun, sebelum kembali memejamkan mata, aku membahas tentang Mas Haiqal yang sempat disebut suamiku. Dia langsung gelagapan, bibirnya bergerak tanpa suara.

"Aku gak pernah tidur sama Mas Haiqal,  loh, Mas. Jangan nuduh sembarangan!" cebikku kesal.

"Iya, Sayang. Maafkan mas yang salah. Sekarang kamu tidur lagi dong, terlalu cantik kalau marah. Aku terkam tau rasa kamu!" ancam Mas Agung membuatku terpingkal.

"Ya udah, kalau mas mau terkam aku sekarang ayo. Udah siap nih, lagian Mas selalu rindu ingin itu sama aku, kan? Secara aku ini cantik, beda sama tetangga sebelah!" Sengaja aku mengibas rambut ke kanan.

Mas Agung hanya diam, dia kemudian merebahkan diri dan menutup mata rapat. Dia sangka aku bisa dibohongi, aku pun ikut merebahkan diri, lebih baik tidur untuk sesuatu yang lebih berharga besok pagi.

***

Fajar menyingsing, aku tengah sibuk menghidangkan sarapan pagi di atas meja. Tidak lama kemudian Mas Agung keluar dengan muka masam, ditekuk bagai pakaian kusut.

Tubuhku bergetar menahan tawa karena sudah tahu alasan dia badmood sepagi ini. Akan tetapi, aku harus bersikap biasa saja seolah tidak terjadi sesuatu.

Mas Agung menggeser kursi pelan, kemudian menjatuhkan bobot. Aku ikut duduk di sampingnya sambil menikmati sarapan pagi yang sangat indah.

Suasana begitu syahdu apalagi subuh tadi sempat gerimis tentu menyisakan tetes-tetes embun pada bunga yang aku tanam di depan rumah. Bibir mengulum senyum, hari begitu indah dengan udara sesegar ini.

"Dek, kenapa kamu ganti foto profil W h a t s A p p mas?"

"Foto apa, Mas?"

"Itu loh foto kita berdua yang romantis banget!"

"Lah, kok sewot? Iya memang kenapa? Aku istri kamu dan kamu suami aku. Kita ada di ikatan halal, kenapa harus menyembunyikan status, itu kan foto kita setelah menikah juga!" balasku ketus.

"Iya, tapi kenapa gak kamu pajang di akun kamu sendiri? Kan bisa."

"Loh, kenapa memangnya kalau pajang di akun kamu juga, Mas? Ada yang marah, enggak kan?"

Aku tertawa kecil, sementara Mas Agung geleng-geleng kepala. Dia kemudian fokus sarapan. Lagi aku terpingkal-pingkal dalam hati karena mengingat kejadian subuh tadi.

Jadi, Mas Agung itu sedang charger ponsel waktu mau ke masjid. Dengan gerak cepat aku ganti foto profil W h a t s A p p-nya. Eh, si Ainun malah buat status sindiran mengatakan aku pelakor.

Namun, aku hanya mengangguk pelan berusaha berprasangka baik. Barang kali perempuan gatal itu tidak punya cermin di rumahnya jadi bisa menuduh istri sah sebagai pelakor.

Kasihan!

"Mas mau ganti lagi pake foto sendiri!"

"Ganti aja gak apa-apa, Mas. Aku gak keberatan."

Mas Agung mendelik kesal, lalu beranjak meninggalkan meja makan. Tentu sebagai istri yang baik aku menyusul ke depan dan hal gila lainnya adalah si Ainun sudah ada di depan rumah. Matanya tidak lepas menatap pintu.

"Mbak Ainun ngapain ke sini?" tegurku.

Dia tersenyum manis. "Gak apa-apa, Ningsih. Cuman mau numpang lagi soalnya Mas Haiqal gak bisa ngantarin. Gak apa-apa?"

"Emang suami aku itu ekspedisi apa bisa nganterin kamu ke mana aja?" protesku.

Mas Agung langsung memegang bahuku lembut, lalu meminta izin dengan dalih yang sama seperti dulu yakni membantu tetangga itu hukumnya wajib. Melihat Ainun yang tersenyum penuh kemenangan, segera kupeluk erat Mas Agung sambil mencium pipinya.

Jijik dan muak, itu yang aku rasakan. Akan tetapi, demi membuat Ainun sakit hati, semua aku lakukan dengan terpaksa.

"Mas, cium!" rengekku manja.

Mas Agung melirik sekilas pada Ainun. Dia menolak, katanya malu dilihat orang lain. Dengan wajah ditekuk, aku melepas pelukan itu pura-pura ngambek. Mas Agung langsung mencium keningku lembut.

"Kenapa, Mbak, panas ya?" ledekku melihat wajah Ainun yang merah seperti udang rebus.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
yes hebat qm Ningsih Ayuk kerjain dua pengkhianat itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status