~Jonah~
Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan.
Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja.
“Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian.
Mereka terlihat ingin mendebat keputusanku, tetapi memilih untuk bersikap bijak dengan diam dan tidak memperpanjang diskusi. Aku melakukan hal itu demi mereka juga. Atasan kami telah memberi dana yang kami butuhkan untuk mengadakan promosi dan menyewa stan. Kami tidak perlu terburu-buru menjual habis unit apartemen karena penjualan masih sesuai target.
Bila kami memaksakan penjualan tersebut, aku khawatir bahwa akan ada pembeli yang mengambil keputusan untuk membeli secara impulsif. Setelah membayar uang muka dan menandatangani nota pembelian, tidak jarang mereka kemudian berubah pikiran dan membatalkan pembelian tersebut. Itu akan menjadi catatan buruk pada laporan kami nanti.
Dan aku membenci adanya ketidaksempurnaan dalam pekerjaanku.
“Terima kasih, Fabian.” Aku mengangguk kepada asistenku itu sebelum keluar dari ruang rapat. Dia membalas ucapanku dengan sopan.
Aku memanfaatkan waktu yang ada untuk memeriksa pekerjaan dan beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Tepat pada pukul dua belas, Fabian mengetuk pintu ruanganku. Aku mematikan komputer dan mengambil ponselku yang ada di atas meja.
Kami perlu memeriksa beberapa stan untuk melihat langsung bagaimana para karyawan melakukan tugas mereka. Hal ini sangat melelahkan tetapi efisien. Bukan rahasia lagi bahwa pegawai akan mengerjakan tugas mereka dengan baik jika diawasi oleh atasan mereka.
Tiba di lantai dasar, aku melihat kerumunan di dekat gerbang kaca yang hanya bisa dibuka dengan memindai kartu yang disediakan khusus untuk setiap pegawai dan pengunjung yang mendapat izin untuk memasuki bagian dalam gedung.
Aku menerobos kerumunan tanpa susah payah karena mereka yang mengenal aku segera memberi jalan kepadaku. Ternyata ada seorang wanita sedang berdebat dengan penjaga. Dari kalimat yang dia ucapkan, sepertinya dia memaksa untuk masuk.
“Ada apa ini?” tanyaku kepada petugas tersebut.
“Maaf, Pak. Nona ini ingin bertemu dengan Tuan Jason. Petugas dari meja informasi sudah katakan bahwa Tuan sedang tidak di tempat. Mereka tidak memberinya kartu pengunjung, tetapi nona ini memaksa untuk masuk,” jawab pria itu menjelaskan.
“Lalu mengapa dia masih di sini? Panggil petugas keamanan jika dia tetap memaksa. Apa kamu tidak tahu hal sesederhana itu?” ucapku dengan nada dingin.
“Ba-baik, Pak. Maafkan saya.” Pria itu bicara kepada seseorang menggunakan alat komunikasi yang ada di tangannya. Apa karena perempuan ini begitu cantik, makanya dia tidak bisa menyelesaikan masalah sesepele itu?
Fabian membantu aku membuka jalan sehingga kerumunan itu mulai berkurang. Wanita itu berdiri di depan pintu itu pada saat berdebat dengan petugas sehingga mereka tidak bisa melewati gerbang. Aku berniat melangkahkan kakiku ketika merasakan lengan jasku ditarik dengan kasar. Aku menoleh dan melihat perempuan itu berani menyentuh aku.
“Kamu tidak bisa mengusir aku. Aku ingin bertemu dengan Jason,” ucap wanita itu dengan tegas. “Mereka mengatakan kepadaku bahwa dia sedang tidak ada di tempat. Tetapi aku tahu bahwa mereka sedang berbohong.”
“Tidak ada yang berbohong. Jason sedang dinas keluar kota.” Aku menepis tangannya yang memegang lengan jasku. Dia menatap aku tidak suka. “Telepon saja dia jika kamu punya urusan penting. Jangan membuat keributan di sini.”
“Aku tahu dia sedang bersembunyi di ruang kerjanya, karena itu kalian tidak mengizinkan aku masuk. Biarkan aku masuk dan memeriksa sendiri dia ada di dalam atau tidak.” Wanita itu masih bersikeras.
“Kamu siapa? Direktur utama? Hanya ucapannya yang menjadi perintah tak boleh dibantah di sini.” Aku melihat ke arah petugas sekuriti yang terlihat enggan melakukan tugas mereka. “Apa yang kalian tunggu? Usir pengacau ini dari gedung ini sekarang.”
“Ba-baik, Pak,” ucap mereka berdua dan segera memegang lengan wanita itu.
“Tidak. Aku harus bertemu dengan Jason. Lepaskan tanganku!” Perempuan itu mencoba menghindar dari petugas, tetapi mereka bergerak lebih cepat darinya.
Aku tidak menunggu lagi dan segera berjalan menuju tempat parkir. Fabian berusaha menyejajarkan langkahnya denganku. Petugas keamanan akan melakukan tugas mereka membawa perempuan itu keluar dari gedung.
“Jasooonn …!” pekik perempuan tidak tahu malu itu. “Keluar dari kantormu! Aku tahu kamu ada di sini! Kita harus bicara. Jasoon ….”
Entah masalah apa lagi yang sudah dilakukan Jason bersamanya. Tidak biasanya ada perempuan yang berani datang menunjukkan wajahnya ke perusahaan, apalagi sampai berteriak menarik perhatian semua orang seperti itu.
Sungguh memalukan melihat seorang wanita membuat keributan di tempat yang bukan miliknya atau keluarganya. Dilihat dari pakaian dan perhiasan yang dia kenakan, pastilah dia seorang wanita dari keluarga kaya raya. Apakah keluarganya tidak pernah mengajarinya etika?
Aku menghentikan mobilku di dekat pos keamanan meskipun palang parkir sudah terbuka. Seorang petugas yang mengenali mobilku tergopoh-gopoh mendekati kaca jendela di sisiku.
“Wanita yang mengacau di dalam tadi, jangan pernah biarkan dia masuk lagi ke gedung ini. Kenali wajahnya dan catat nomor kendaraannya. Apa kamu mengerti?” ucapku memberi perintah dengan nada tidak sabar. “Beri tahukan hal ini kepada semua petugas sekuriti.”
“Ba-baik, Pak. Sa-saya mengerti,” jawab pria itu terbata-bata.
Aku segera mengendarai mobil keluar dari areal parkir dan bersabar menghadapi kemacetan yang terjadi pada setiap kali jam istirahat makan siang. Semoga saja kejadian itu tidak sampai ke telinga Ayah. Walaupun aku tidak yakin petugas keamanan akan menutupinya dari Ayah jika dia bertanya.
Kami mampir sebentar di sebuah restoran dan memesan makanan lewat drive through. Aku mempersilakan asistenku untuk makan lebih dahulu. Jadi, ketika kami tiba di lokasi nanti, dia bisa membantu aku mengawasi kerja pegawai, sedangkan aku beristirahat makan sejenak.
“Apakah tidak berlebihan meminta petugas keamanan untuk melarang wanita itu datang lagi ke perusahaan, Pak?” tanya Fabian setelah sekian lama dia hanya diam saja.
“Kamu lebih suka melihat dia datang lagi dan membuat keributan yang serupa?” tantangku.
“Bukan begitu. Maksud saya, dia adalah anak salah satu pengusaha yang disegani di kota ini, jika hal ini sampai diketahui oleh orang tuanya, itu akan menjadi catatan buruk bagi Anda dan Tuan Jarvis,” ucapnya menjelaskan maksudnya.
“Kalau begitu, dia bisa mengajarinya putrinya etika. Mungkin aku akan mengubah keputusanku ketika dia bisa menunjukkan sikap yang sopan di atas tanah milik orang lain,” ujarku tidak peduli.
Fabian tidak membalas ucapanku lagi, maka aku menganggap bahwa dia sudah memahami alasan dari tindakanku. Aku tidak takut dengan siapa pun. Keluarganya boleh marah dan protes kepadaku nanti jika tidak setuju dengan keputusan yang telah aku ambil.
Namun tidak ada seorang pun yang bisa berbuat sesukanya di atas properti kami dan berpikir bahwa dengan statusnya, maka dia tidak perlu khawatir akan diusir saat membuat keributan. Itu pikiran yang keliru. Siapa pun tidak akan mendapat perlakuan khusus hanya karena statusnya. Pengacau tetaplah pengacau. Jika mereka mau protes akan aku hadapi nanti.
~Celeste~ Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum. Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya. “Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu. “Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya. “Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kam
Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil. “Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah. “Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus. “Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil. “Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?” “Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya. “Aku senang sekali Jason akhirny
~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba
~Celeste~ Posisi duduk kami kini berbeda. Aku, Papa, dan Kak Nevan duduk di sofa yang sama, Om Jarvis, Tante Inggrid, dan Jonah duduk bersama di seberang kami, Jason dan wanita bernama Jovita itu duduk bersebelahan di kepala meja, sedangkan Om Gunawan dan istrinya duduk bersebelahan di seberang mereka. Meja yang berada di tengah-tengah kami telah penuh dengan cangkir, teko, dan piring. Wanita itu menceritakan mengenai hubungannya yang putus-sambung dengan Jason. Mereka tidak memberi tahu siapa pun mengenai hubungan mereka, karena Jason belum siap untuk berkomitmen. Mereka sepakat bahwa mereka hanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa berharap akan menjalani masa depan bersama. Jason memutuskan hubungan karena dia akan bertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Jovita berkata bahwa dia hamil, tetapi pria itu tidak percaya. Jadi, dia pergi menemui dokter dan memilih datang pada hari ini agar Jason tidak bisa berkelit lagi di depan keluarganya. “Kamu tidak bisa me
Papa mengajak kami semua ke ruang makan untuk makan malam. Kami dipersilakan untuk duduk di mana saja yang kami mau. Papa duduk di salah satu kursi di kepala meja, aku duduk di samping kanannya, sedangkan Kak Nevan di samping kirinya. Tentu saja Jonah memilih untuk duduk di sisiku. Di sebelahnya ada Tante Inggrid diikuti oleh Om Jarvis. Jason duduk di samping Kak Nevan, tunangannya di sebelahnya. Ibu Jovita duduk di sisi putrinya, kemudian Om Gunawan yang duduk di kepala meja di seberang Papa. Setelah Papa memimpin doa makan bersama, bunyi sendok beradu dengan piring pun terdengar. Kami tidak perlu saling mengoper makanan karena setiap menu makanan disajikan di atas meja tidak jauh dari hadapan kami masing-masing. “Karena Jovita sedang hamil, kita tidak perlu menunda pernikahan mereka. Bagaimana menurutmu, Gunawan?” tanya Om Jarvis. “Aku setuju, kapan paling cepat kita bisa melangsungkan pernikahan mereka?” tanya Om Gunawan. “Apakah kalian keberatan jika pernikahan kalian diadakan