Share

Bab 6 - Mengusir Seorang Pengacau

~Jonah~

Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan.

Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja.

“Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian.

Mereka terlihat ingin mendebat keputusanku, tetapi memilih untuk bersikap bijak dengan diam dan tidak memperpanjang diskusi. Aku melakukan hal itu demi mereka juga. Atasan kami telah memberi dana yang kami butuhkan untuk mengadakan promosi dan menyewa stan. Kami tidak perlu terburu-buru menjual habis unit apartemen karena penjualan masih sesuai target.

Bila kami memaksakan penjualan tersebut, aku khawatir bahwa akan ada pembeli yang mengambil keputusan untuk membeli secara impulsif. Setelah membayar uang muka dan menandatangani nota pembelian, tidak jarang mereka kemudian berubah pikiran dan membatalkan pembelian tersebut. Itu akan menjadi catatan buruk pada laporan kami nanti.

Dan aku membenci adanya ketidaksempurnaan dalam pekerjaanku.

“Terima kasih, Fabian.” Aku mengangguk kepada asistenku itu sebelum keluar dari ruang rapat. Dia membalas ucapanku dengan sopan.

Aku memanfaatkan waktu yang ada untuk memeriksa pekerjaan dan beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Tepat pada pukul dua belas, Fabian mengetuk pintu ruanganku. Aku mematikan komputer dan mengambil ponselku yang ada di atas meja.

Kami perlu memeriksa beberapa stan untuk melihat langsung bagaimana para karyawan melakukan tugas mereka. Hal ini sangat melelahkan tetapi efisien. Bukan rahasia lagi bahwa pegawai akan mengerjakan tugas mereka dengan baik jika diawasi oleh atasan mereka.

Tiba di lantai dasar, aku melihat kerumunan di dekat gerbang kaca yang hanya bisa dibuka dengan memindai kartu yang disediakan khusus untuk setiap pegawai dan pengunjung yang mendapat izin untuk memasuki bagian dalam gedung.

Aku menerobos kerumunan tanpa susah payah karena mereka yang mengenal aku segera memberi jalan kepadaku. Ternyata ada seorang wanita sedang berdebat dengan penjaga. Dari kalimat yang dia ucapkan, sepertinya dia memaksa untuk masuk.

“Ada apa ini?” tanyaku kepada petugas tersebut.

“Maaf, Pak. Nona ini ingin bertemu dengan Tuan Jason. Petugas dari meja informasi sudah katakan bahwa Tuan sedang tidak di tempat. Mereka tidak memberinya kartu pengunjung, tetapi nona ini memaksa untuk masuk,” jawab pria itu menjelaskan.

“Lalu mengapa dia masih di sini? Panggil petugas keamanan jika dia tetap memaksa. Apa kamu tidak tahu hal sesederhana itu?” ucapku dengan nada dingin.

“Ba-baik, Pak. Maafkan saya.” Pria itu bicara kepada seseorang menggunakan alat komunikasi yang ada di tangannya. Apa karena perempuan ini begitu cantik, makanya dia tidak bisa menyelesaikan masalah sesepele itu?

Fabian membantu aku membuka jalan sehingga kerumunan itu mulai berkurang. Wanita itu berdiri di depan pintu itu pada saat berdebat dengan petugas sehingga mereka tidak bisa melewati gerbang. Aku berniat melangkahkan kakiku ketika merasakan lengan jasku ditarik dengan kasar. Aku menoleh dan melihat perempuan itu berani menyentuh aku.

“Kamu tidak bisa mengusir aku. Aku ingin bertemu dengan Jason,” ucap wanita itu dengan tegas. “Mereka mengatakan kepadaku bahwa dia sedang tidak ada di tempat. Tetapi aku tahu bahwa mereka sedang berbohong.”

“Tidak ada yang berbohong. Jason sedang dinas keluar kota.” Aku menepis tangannya yang memegang lengan jasku. Dia menatap aku tidak suka. “Telepon saja dia jika kamu punya urusan penting. Jangan membuat keributan di sini.”

“Aku tahu dia sedang bersembunyi di ruang kerjanya, karena itu kalian tidak mengizinkan aku masuk. Biarkan aku masuk dan memeriksa sendiri dia ada di dalam atau tidak.” Wanita itu masih bersikeras.

“Kamu siapa? Direktur utama? Hanya ucapannya yang menjadi perintah tak boleh dibantah di sini.” Aku melihat ke arah petugas sekuriti yang terlihat enggan melakukan tugas mereka. “Apa yang kalian tunggu? Usir pengacau ini dari gedung ini sekarang.”

“Ba-baik, Pak,” ucap mereka berdua dan segera memegang lengan wanita itu.

“Tidak. Aku harus bertemu dengan Jason. Lepaskan tanganku!” Perempuan itu mencoba menghindar dari petugas, tetapi mereka bergerak lebih cepat darinya.

Aku tidak menunggu lagi dan segera berjalan menuju tempat parkir. Fabian berusaha menyejajarkan langkahnya denganku. Petugas keamanan akan melakukan tugas mereka membawa perempuan itu keluar dari gedung.

“Jasooonn …!” pekik perempuan tidak tahu malu itu. “Keluar dari kantormu! Aku tahu kamu ada di sini! Kita harus bicara. Jasoon ….”

Entah masalah apa lagi yang sudah dilakukan Jason bersamanya. Tidak biasanya ada perempuan yang berani datang menunjukkan wajahnya ke perusahaan, apalagi sampai berteriak menarik perhatian semua orang seperti itu.

Sungguh memalukan melihat seorang wanita membuat keributan di tempat yang bukan miliknya atau keluarganya. Dilihat dari pakaian dan perhiasan yang dia kenakan, pastilah dia seorang wanita dari keluarga kaya raya. Apakah keluarganya tidak pernah mengajarinya etika?

Aku menghentikan mobilku di dekat pos keamanan meskipun palang parkir sudah terbuka. Seorang petugas yang mengenali mobilku tergopoh-gopoh mendekati kaca jendela di sisiku.

“Wanita yang mengacau di dalam tadi, jangan pernah biarkan dia masuk lagi ke gedung ini. Kenali wajahnya dan catat nomor kendaraannya. Apa kamu mengerti?” ucapku memberi perintah dengan nada tidak sabar. “Beri tahukan hal ini kepada semua petugas sekuriti.”

“Ba-baik, Pak. Sa-saya mengerti,” jawab pria itu terbata-bata.

Aku segera mengendarai mobil keluar dari areal parkir dan bersabar menghadapi kemacetan yang terjadi pada setiap kali jam istirahat makan siang. Semoga saja kejadian itu tidak sampai ke telinga Ayah. Walaupun aku tidak yakin petugas keamanan akan menutupinya dari Ayah jika dia bertanya.

Kami mampir sebentar di sebuah restoran dan memesan makanan lewat drive through. Aku mempersilakan asistenku untuk makan lebih dahulu. Jadi, ketika kami tiba di lokasi nanti, dia bisa membantu aku mengawasi kerja pegawai, sedangkan aku beristirahat makan sejenak.

“Apakah tidak berlebihan meminta petugas keamanan untuk melarang wanita itu datang lagi ke perusahaan, Pak?” tanya Fabian setelah sekian lama dia hanya diam saja.

“Kamu lebih suka melihat dia datang lagi dan membuat keributan yang serupa?” tantangku.

“Bukan begitu. Maksud saya, dia adalah anak salah satu pengusaha yang disegani di kota ini, jika hal ini sampai diketahui oleh orang tuanya, itu akan menjadi catatan buruk bagi Anda dan Tuan Jarvis,” ucapnya menjelaskan maksudnya.

“Kalau begitu, dia bisa mengajarinya putrinya etika. Mungkin aku akan mengubah keputusanku ketika dia bisa menunjukkan sikap yang sopan di atas tanah milik orang lain,” ujarku tidak peduli.

Fabian tidak membalas ucapanku lagi, maka aku menganggap bahwa dia sudah memahami alasan dari tindakanku. Aku tidak takut dengan siapa pun. Keluarganya boleh marah dan protes kepadaku nanti jika tidak setuju dengan keputusan yang telah aku ambil.

Namun tidak ada seorang pun yang bisa berbuat sesukanya di atas properti kami dan berpikir bahwa dengan statusnya, maka dia tidak perlu khawatir akan diusir saat membuat keributan. Itu pikiran yang keliru. Siapa pun tidak akan mendapat perlakuan khusus hanya karena statusnya. Pengacau tetaplah pengacau. Jika mereka mau protes akan aku hadapi nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status