Walaupun aku sudah tidak sabar ingin mengerjakan skripsiku, aku tidak bisa segera pulang ke rumah. Papa masih dirawat di rumah sakit. Kakak sedang bekerja, jadi Papa pasti kesepian jika sepanjang hari ini tidak ada yang menemani. Keadaan akan berbeda andai saja Mama masih hidup.
Mama sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kanker otak yang dideritanya. Kanker itu baru diketahui ketika Mama sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kami berjuang bersama selama hampir enam bulan ketika Mama akhirnya mengembuskan napas yang terakhir.
Aku masih sering melihat Papa berwajah sedih saat dia berpikir tidak ada yang sedang melihatnya. Hidup bersama selama dua puluh lima tahun pasti tidak mudah untuk membiasakan diri hidup tanpa pasangan lagi. Karena itu, aku mengerti mengapa Papa sangat berharap bisa mempertahankan restoran miliknya.
Restoran itu adalah usahanya dari nol bersama Mama. Mereka memulai dari usaha warung makan kecil yang perlahan menerima katering. Pelanggan semakin banyak dan warung sering sekali tidak bisa menampung tamu yang ingin makan, maka mereka menyewa sebuah tempat yang lebih besar. Usaha itu terus berkembang hingga warung makan itu berubah menjadi restoran mewah tiga lantai.
Lantai satu menyajikan makanan yang harganya lebih terjangkau, sedangkan lantai dua yang lebih mewah. Lantai tiga dijadikan aula sebagai tempat pelanggan yang ingin mengadakan sebuah perayaan dan beberapa ruang kecil untuk pelanggan yang menginginkan suasana yang lebih privasi.
Restoran itu tidak hanya mengikat secara emosional bagi Papa dan Mama, aku juga merasakannya. Setelah pengorbanan dan kerja keras mereka membesarkan serta membiayai segala kebutuhanku dan Kak Nevan, sudah saatnya bagiku juga untuk membantu keluargaku.
“Selamat sore.” Aku membuka pintu dan melihat Papa sedang duduk di tempat tidurnya, sedangkan Kak Nevan sedang memeriksa tekanan darah Papa.
“Mengapa kamu datang lama sekali?” keluh Kak Nevan. Dia membuka alat yang melingkari lengan Papa lalu merapikan kembali alat pengukur tensi tersebut.
“Nola hari ini berulang tahun. Dia mentraktir aku makan.” Aku meletakkan ranselku di atas sofa, lalu mendekati Papa dan memeluknya. “Apa kabar pangeran tampanku hari ini?”
“Aku sehat.” Papa mencium pelipisku. “Terima kasih banyak, Este. Kamu anak yang baik. Jarvis langsung mentransfer uangnya dan aku sudah mengirim gaji seluruh karyawan. Restoran kita juga beroperasi dengan baik hari ini.”
“Iya. Aku tadi makan siang di sana. Semua orang tersenyum bahagia. Yaah, mau bagaimana lagi? Kita tidak punya jalan lain. Setidaknya, pengorbananku tidak sia-sia.” Aku melonggarkan pelukanku dan duduk di sisinya. “Bagaimana keadaan Papa, Dokter Nevan?”
“Papa sudah bisa pulang besok. Asalkan Papa bisa mengatur stres dengan baik, kesehatannya akan semakin pulih.” Kak Nevan melihat ke arahku. “Kamu sebaiknya pulang setelah makan malam. Aku yang akan membawa Papa pulang ke rumah besok. Malam ini aku yang mendapat giliran jaga, jadi besok aku libur.”
“Kebetulan sekali. Penelitianku diterima oleh dosen dan tidak ada lagi yang perlu aku perbaiki. Aku sudah bisa mengajukan bab terakhir besok. Jika tidak ada masalah lagi, aku bisa mendaftar untuk maju sidang,” laporku dengan wajah bahagia.
“Kamu bisa pulang sekarang jika kamu perlu mengerjakan bab itu.” Kak Nevan memberi saran. Tentu saja dia yang paling mengerti keadaanku. Baru beberapa tahun yang lalu dia juga mengalami hal yang sama. Kakakku banyak membantu aku menyusun bab demi bab skripsiku secara sistematis.
“Tidak, Kak. Aku sudah menyelesaikan sebagian besar bahannya, tinggal menambahkan beberapa poin saja. Aku akan pulang setelah kita makan malam bersama.”
“Kalian memang anak-anakku yang cerdas.” Papa mengusap-usap puncak kepalaku. Aku tersenyum bahagia, lalu memeluknya lagi dengan manja.
“Besok Tante Inggrid akan menemani aku berbelanja untuk acara pertunangan pada hari Sabtu. Papa dan Kakak bagaimana? Apa kalian tidak butuh sesuatu?” tanyaku ingin tahu. Papa dan Kak Nevan saling bertukar pandang.
“Entah mengapa Om Jarvis terburu-buru begini.” Kak Nevan mendesah pelan. “Papa baru kembali ke rumah besok. Mungkin lusa, aku baru bisa menemani Papa ke toko untuk mencari setelan baru. Kita tidak mungkin memakai setelan lama, ini pertunangan Este, Pa.”
“Aku sudah sehat. Kamu yang menahan aku untuk lebih lama tinggal di sini.” Papa meletakkan telunjuknya di lengan kakakku. Kak Nevan hanya tersenyum. “Kita pergi besok saja. Toh, kamu sedang libur. Jangan lusa. Aku tidak bisa meninggalkan restoran terlalu lama. Aku membutuhkan bantuanmu juga untuk menebus rumah, restoran, dan mobil kita besok.”
Kak Nevan mengerutkan keningnya. “Mengapa terburu-buru, Pa? Uang yang Om Jarvis kirim di rekening Papa tidak akan lari ke mana-mana.”
“Aku tidak bisa tenang kalau seluruh properti kita belum kembali ke tangan kita,” ucap Papa.
“Baiklah. Besok kita selesaikan urusan di Pegadaian dan membeli setelan baru.” Kak Nevan mengalah. Papa tersenyum dengan lebar.
“Berarti beres.” Aku menepuk tangan dengan puas. Kak Nevan mengerutkan keningnya ke arahku.
“Kamu yakin tidak apa-apa dengan pertunangan ini? Kamu sudah enggak protes lagi harus menikah dengan Jason?” Kakak menatap aku dengan curiga. “Bukankah baru semalam kamu bertengkar dengan Papa, karena kamu tidak suka dijodohkan dengan pria yang tidak kamu cintai?”
“Nola sahabatku, Kak. Aku tidak sanggup melihat dia sedih karena kondisi keuangan keluarganya yang terkena imbas masalah restoran juga. Pegawai yang lain juga pasti mengalami hal yang sama. Jika aku bisa membantu mengurangi beban mereka, maka aku akan melakukannya,” jawabku tanpa ragu. Kakak mendengus pelan.
“Menikah hanya satu kali untuk seumur hidup, Este. Aku harap kamu sudah mempersiapkan dirimu dengan apa pun yang akan terjadi dalam pernikahanmu nanti,” goda Kak Nevan.
“Berhenti menakut-nakuti adikmu. Aku dan Jarvis akan memastikan bahwa dia selalu dihormati oleh suaminya. Jason tidak akan bisa menyakitinya.” Papa melihat ke arahku. “Apa kamu dengar itu? Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.”
Aku tidak mengkhawatirkan Jason. Pria itu yang seharusnya khawatir akan berurusan denganku. Semoga saja dia tidak akan macam-macam denganku. Namun melihat sikap sopannya, sepertinya dia bukan jenis pria yang suka menggoda wanita. Jonah pasti hanya bercanda ketika mengatakan bahwa kakaknya itu bisa membuat wanita bahagia di tempat tidur. Apa iya Jason seorang playboy?
Kak Nevan memanfaatkan jam istirahatnya dengan makan malam bersamaku dan Papa di kamar. Dia membeli makanan apa saja yang ada di kantin untuk kami, sedangkan Papa memakan masakan yang telah disediakan oleh rumah sakit.
Masih pukul delapan malam ketika aku mengendarai mobil keluar dari halaman rumah sakit. Lalu lintas sudah tidak terlalu padat sehingga aku bisa sampai di rumah hampir satu jam kemudian. Aku menelepon Kak Nevan untuk memberi tahu dia bahwa aku sudah tiba di rumah dengan selamat.
“Selamat malam, Nona,” sambut Bu Liana yang membukakan pintu untukku.
“Selamat malam, Bu. Terima kasih. Aku akan berada di kamar, jadi Ibu dan pelayan lainnya sudah bisa beristirahat.” Dia mengangguk mengerti.
Aku bergegas mandi dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk melanjutkan ketikanku yang semalam belum selesai. Aku membaca ulang setiap poin tambahan dari dosen pembimbingku dan merangkum semuanya dalam beberapa kalimat yang ringkas dan padat. Setelah puas dengan hasilnya, aku mencetak keseluruhan skripsiku tersebut.
Jam di dinding kamar menunjukkan pukul sebelas saat aku selesai mengerjakannya. Aku mengangkat kedua tanganku tinggi-tinggi untuk meregangkan badan. Skripsi itu aku masukkan ke ransel, lalu aku memadamkan lampu kamar dan berbaring di tempat tidur.
Tanpa aku pikirkan, kejadian saat aku tidak sengaja menabrak Jonah kembali bermain di kepalaku. Orang normal biasanya memarahi orang yang sudah menabraknya, bahkan sampai mengotori pakaiannya dengan kopi. Aku sudah siap andai dia memarahi aku, karena aku memang bersalah. Namun sikapnya itu membuat aku heran.
Bukannya marah, dia malah memahami keadaanku yang sedang terburu-buru. Dia juga lebih mengkhawatirkan pakaianku daripada setelan mahalnya. Bahkan saat di depan Om Jarvis, dia hanya menyebut kejadian itu sebagai sebuah kecelakaan kecil. Laki-laki yang aneh. Tetapi yang lebih aneh adalah dia tidak sekasar yang orang-orang katakan. Apakah dia menahan diri karena ada Om Jarvis?
~Jonah~ Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan. Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja. “Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian
~Celeste~ Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum. Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya. “Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu. “Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya. “Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kam
Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil. “Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah. “Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus. “Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil. “Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?” “Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya. “Aku senang sekali Jason akhirny
~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba
~Celeste~ Posisi duduk kami kini berbeda. Aku, Papa, dan Kak Nevan duduk di sofa yang sama, Om Jarvis, Tante Inggrid, dan Jonah duduk bersama di seberang kami, Jason dan wanita bernama Jovita itu duduk bersebelahan di kepala meja, sedangkan Om Gunawan dan istrinya duduk bersebelahan di seberang mereka. Meja yang berada di tengah-tengah kami telah penuh dengan cangkir, teko, dan piring. Wanita itu menceritakan mengenai hubungannya yang putus-sambung dengan Jason. Mereka tidak memberi tahu siapa pun mengenai hubungan mereka, karena Jason belum siap untuk berkomitmen. Mereka sepakat bahwa mereka hanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa berharap akan menjalani masa depan bersama. Jason memutuskan hubungan karena dia akan bertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Jovita berkata bahwa dia hamil, tetapi pria itu tidak percaya. Jadi, dia pergi menemui dokter dan memilih datang pada hari ini agar Jason tidak bisa berkelit lagi di depan keluarganya. “Kamu tidak bisa me