Share

Bab 7 - Menjaga Diri Sendiri

~Celeste~

Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum.

Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya.

“Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu.

“Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya.

“Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kamu.”

“Serius, Pak?” tanyaku tidak percaya.

“Itu sudah diberi tanda tangan. Kurang serius apa lagi?” ucapnya berkelakar.

“Terima kasih banyak, Pak.” Aku menjabat tangannya dan segera keluar dari ruangan tersebut. Aku menuju ke bagian administrasi dan menunjukkan skripsiku itu. Dia memberi aku sebuah formulir yang harus aku isi, kemudian daftar berkas yang harus aku siapkan.

Aku membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk bisa memenuhi seluruh persyaratan pendaftaran tersebut. Setelah menerima jadwal sidang skripsiku, aku mendesah lega. Aku akan mengikutinya bersama tiga mahasiswa lain. Satu adalah seniorku dan dua lagi adalah teman seangkatanku sendiri.

Nola tidak datang ke kampus pada hari ini karena masih menyelesaikan bab selanjutnya dari skripsinya. Jadi aku memutuskan untuk pulang dan makan siang di rumah. Dengan begitu, aku punya waktu untuk beristirahat sebelum berbelanja bersama Tante Inggrid. Aku yakin kami tidak akan membutuhkan satu atau dua jam saja untuk mencari semua kebutuhanku.

Papa juga pasti sudah pulang ke rumah. Aku ingin segera memberi tahu dia mengenai kabar bahagia ini. Aku tidak mau mengabari lewat telepon. Aku ingin melihat langsung ekspresi wajahnya saat mendengar anak gadisnya sebentar lagi akan menjadi sarjana.

“Seharusnya kamu tidak melakukan apa yang kamu lakukan kemarin, Cel.” Aku mendengar suara seorang pria dari arah belakangku saat aku berjalan menuju mobilku. Pemuda ini lagi. Aku tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan langkahku.

“Beraninya kamu mengabaikan aku.” Aku merasakan dia mencengkeram rambutku. Aku segera memegang tangannya itu dengan kedua tanganku agar dia tidak menjambak rambutku, lalu mundur satu langkah. Aku memutar tubuhku melalui bagian bawah tangan kanannya sehingga dia menjerit kesakitan. Gerakanku itu membuat tangannya terpelintir ke belakang. Pegangannya dari rambutku terlepas dan aku segera berdiri menjauh darinya.

“Jika kamu berani menyentuh aku lagi, tanganmu tidak hanya terasa sakit. Aku akan mematahkan tanganmu itu,” ancamku sambil menahan diri untuk memukul kepalanya dengan ranselku. Dia memegang lengannya dan menatap aku dengan takut. Dia segera berlari terbirit-birit.

Apa sebenarnya masalah pemuda itu? Dia yang selingkuh sekarang dia yang tidak terima hubungan mereka diakhiri. Lagi pula, bukan aku yang memaksa atau membujuk Nola untuk memutuskan hubungan dengannya. Itu murni keputusan sahabatku sendiri.

Nola tidak mau kembali kepadanya, mengapa dia malah marah kepadaku? Kemarin, memangnya apa yang aku lakukan kemarin? Aku hanya mencoba untuk menolong sahabatku. Kalaupun aku tidak ikut campur, Nola tidak lantas akan bertekuk lutut dan kembali kepadanya. Apa dia pikir Nola sama seperti gadis lain yang mudah saja dirayu olehnya?

Mobil Kak Nevan ada di halaman rumah, aku segera memarkirkan mobil Papa di sampingnya. Bu Liana membukakan pintu depan untukku. Aku berterima kasih kepadanya dan segera menuju ruang makan di mana keluargaku berada.

Aku menyapa mereka, mencium pipi Papa, lalu duduk di sampingnya. Kakak memberikan piring yang sudah berisi nasi kepadaku, lalu aku menyendokkan filet ikan dan capcai ke atas nasi. Dari aromanya saja aku sudah bisa merasakan enaknya.

“Bagaimana pertemuan dengan dosenmu?” tanya Kak Nevan. Aku menelan makanan yang ada dalam mulutku sebelum menjawab.

“Semuanya sudah beres,” ucapku senang. “Aku sudah bisa maju sidang. Hari Rabu depan.”

“Itu baru adikku.” Kakak mengerlingkan sebelah matanya kepadaku.

“Selamat, Nak.” Papa mengusap-usap rambut pada bagian belakang kepalaku. Aku mengernyit kesakitan.  “Ada apa? Apa aku menyakiti kamu?”

“Tidak, Pa.” Aku mengusap bagian yang terasa sakit. “Tadi ada mahasiswa yang marah kepadaku, lalu menarik rambutku. Aku sudah memberinya pelajaran, jangan khawatir.”

“Siapa?” tanya Kak Nevan. Ups. Aku keceplosan. “Jawab aku. Siapa yang melakukan itu?”

“Ng … itu ….” Mengapa aku tadi tidak berpikir dahulu sebelum bicara?

“Kalau kamu tidak mau menjawab, kamu tahu aku bisa datang ke kampusmu dan mendapatkan jawabannya sendiri, ‘kan?” ancam Kakak. Aku mendesah pelan.

“Kak, tidak perlu diperpanjang. Aku sudah memberinya pelajaran. Aku jamin, dia tidak akan berani melakukannya lagi.”

“Baik, aku akan temukan sendiri jawabannya besok,” katanya dengan tegas.

Jika Kakak pergi ke kampus dan menginterogasi satu per satu mahasiswa di kampusku hanya untuk mencari tahu siapa yang telah berbuat kasar kepadaku, itu sama saja dengan memberitahukan ke semua orang apa yang telah terjadi tadi.

“Oke. Pras yang melakukannya. Dia marah karena Nola memutuskan hubungan, lalu sepertinya dia berpikir bahwa aku yang memengaruhi sahabatku untuk melakukan itu,” kataku mengalah.

“Dia selingkuh lagi?” tanya Kakak dengan kening berkerut. Aku menganggukkan kepalaku. “Aku sudah bilang, kalian tidak percaya kepadaku. Laki-laki seperti itu tidak akan berubah.”

“Nola yang tidak percaya kepada Kakak, bukan aku.” Aku membela diri. Aku juga tidak setuju ketika Nola memutuskan untuk memberi kesempatan lagi kepada pemuda sok ganteng itu.

“Sudah, sudah. Habiskan makanan kalian. Jangan bertengkar lagi,” kata Papa melerai. Lalu dia melihat ke arahku. “Este, sebaiknya kamu berteriak minta tolong jika ada laki-laki yang menyakiti kamu. Jangan melawannya seorang diri.”

“Dia tidak akan bisa melawan siapa pun seorang diri, Pa. Aku hanya mengajarinya cara untuk kabur bila ada yang mencoba menyakitinya. Dia tahu itu.” Kakak menatap aku, memberi aku peringatan.

Kak Nevan tidak perlu melakukan itu. Aku tahu bahwa aku tidak boleh melawan siapa pun seorang diri, terutama laki-laki. Dia mengajari aku cara mempertahankan diri dalam keadaan darurat bukan untuk pamer kekuatan, tetapi menjauh dari bahaya.

“Apa maksud kamu?” tanya Papa bingung.

“Aku mengajarinya beberapa teknik untuk lepas dari cengkeraman orang jahat. Misalnya, jika ada yang membekap mulutnya, dia tidak akan bisa berteriak minta tolong, atau mencekik lehernya. Tetapi dia tahu bagaimana lepas dari hal-hal seperti itu supaya bisa kabur dan mencari pertolongan.” Kakak menjelaskan dengan sederhana. Papa mengangguk mengerti.

“Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Terima kasih, Van,” ucap Papa kepada Kakak.

“Sama-sama, Pa. Adikku sangat cantik, jadi aku perlu menjaganya meskipun aku tidak sedang berada di dekatnya.” Kak Nevan menatap aku penuh arti. Aku hanya mendengus pelan.

“Kakak dan Papa akan berangkat jam berapa untuk belanja?” tanyaku mengganti topik pembicaraan.

“Mungkin sore. Papa akan beristirahat dahulu supaya tidak kelelahan,” jawab Kak Nevan.

“Kalau begitu, kita pergi bersama saja,” ajakku riang. Kakak segera menggelengkan kepalanya.

“Perempuan belanja butuh waktu berjam-jam, Papa tidak akan bisa menemani kamu dan Tante Inggrid selama itu. Kami berbelanja secara terpisah saja,” kata Kakak menolak. Aku langsung cemberut mendengarnya. “Kalian akan pergi ke mal yang mana?”

“Aku tidak tahu. Tante hanya mengatakan dia akan menjemput aku pada pukul empat sore dan tidak memberi tahu akan membawa aku ke mana.” Aku mengangkat kedua bahuku.

“Aku harap kamu akan bersikap baik selama kamu bersama Inggrid nanti,” ucap Papa mengingatkan.

“Iya, Pa. Papa jangan khawatir,” kataku menenangkannya.

Berbeda dengan Om Jarvis, aku baru satu kali bertemu langsung dengan Tante Inggrid. Pada hari jadi perusahaan mereka. Kami tidak sempat berbincang panjang lebar karena aku harus membantu menyajikan makanan. Hanya Papa yang banyak berbagi cerita dengan mereka.

Tetapi dari pertemuan yang singkat itu, aku tahu bahwa Tante Inggrid adalah orang yang baik. Pemberitaan mengenai dirinya di media juga selalu positif seperti halnya Om Jarvis. Aku tidak perlu khawatir berbelanja berdua saja dengannya.

“Aku tidak mengkhawatirkan kamu jika bersama orang lain,” kata Papa, menjelaskan maksudnya. “Inggrid tidak seperti wanita yang selama ini kamu kenal.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status