Angin berembus menyapu kulit putih bersih itu di tengah balutan ceremonial sakral. Mata-mata memandang takjub dan penuh haru. Setitik air mata bergiliran jatuh ke bumi, menandakan betapa banyaknya manusia yang ikut bersuka cita. Bunga-bunga bertaburan dari langit menambah kesan bahagia di antara mereka. Senyuman saling bersambut antara satu dan yang lainnya. Tidak hanya para pengantin yang lega melihat akad berjalan dengan lancar, tetapi juga para tamu undangan. Terutama para orang tua.
Hanya saja Kalila menatap mertuanya dengan gugup, berubah tajam, dan kemudian senyumnya pudar. Mertuanya tidak menyukainya. Dari awal memang tidak menyetujui pernikahannya. Mertuanya menyambut tatapannya. Mata itu menajam dan semakin tajam hingga Kalila mundur ke belakang.
“Hah ….” Kalila terbangun dari tidurnya. Mimpi itu terasa begitu nyata. Dia mengusap wajahnya yang pias. Kepalanya terasa pusing karena dia baru tidur selama tiga jam. Pagi ini dia harus bersiap-siap untuk ke kampus. Professor pasti sudah menunggu proposalnya.
“Lo tumben dateng jam segini.” Evania—teman satu jurusannya itu kebetulan berada di depan fakultas dan duduk di taman. Buku Feminist Thought di tangannya sudah menjawab pertanyaan Kalila. Wanita itu pasti sedang berkontemplasi untuk membuat proposal yang bagus.
“Biasa. Gue gabut.” Evania memakan es krim di tangannya.
“Gabut atau mau riset apalagi?” Kalila menaikkan alisnya. Eva tertawa hingga Kalila juga ikut terbawa suasana.
“Riset gue nggak sebagus punya lo kalik. Teori yang gue pakai nggak seunik elo deh.” Eva menjawab dengan rendah hati.
“Punya gue juga nggak sebagus itu kok. Udah ah mending temenin gue ke ruang dosen.”
Mereka lalu berjalan ke ruang dosen. Kalila meletakkan proposalnya di dalam loker dosennya. Biasanya dosen akan membaca tulisannya terlebih dahulu sebelum memberikan revisi. Revisian bisa diambil ketika dosen telah memberikan coret-coretan di proposalnya. Setiap dosen memang memiliki teknik masing-masing dalam membimbing mahasiswanya.
Setelah meletakkan proposalnya, Kalila dan Evania masuk ke kelas untuk mengikuti mata kuliah yang masih berjalan di semester ini. Kelas masih sepi, hanya sedikit orang yang baru datang sehingga mereka masih memiliki waktu untuk berbincang-bincang.
“Gimana lamaran orang itu? Mau lo ambil jadinya?” Eva akhirnya membawa topik yang dari tadi dia tahan-tahan. Padahal mulutnya sudah gatal sejak kemarin.
“Ambil,” jawabnya singkat.
Kalila mendudukan pantatnya di kursi. Dia menutup matanya. Mimpi pagi tadi masih menganggu dirinya. Dia tidak ingin membayangkan betapa menyebalkannya mama Johan. Sebenarnya dia tidak ada hak untuk membenci mama Johan apalagi mereka belum pernah ketemu. Akan tetapi, dia memang memiliki ketakutan tersendiri dengan urusan ‘mertua’, baginya orang tua dari pasangan itu susah untuk dipahami. Apalagi melihat Kalila yang sedikit lebih tomboy daripada wanita biasanya.
“Kesambet apa lo?” tanya Evania dengan penasaran.
“Ada pokoknya. Gue males bahasnya. Lagi nggak pengan bahas untuk sekarang.”
Kalila lalu membuka buku teori fantasi yang kini sedang digelutinya. Hanya buku-buku berat seperti itu yang berhasil untuk mengalahkan pikirannya. Eva pun memilih diam jika mood wanita itu sedang tidak baik-baik saja.
Sebelum pulang dari kampus, Kalila menyempatkan diri terlebih dahulu untuk ke perpustakaan dan meminjam buku. Setelahnya dia kembali mengendarai sepeda gunungnya untuk kembali ke kosan.
Dia menyalakan panci listrik untuk merebus air hangat. Setelah itu dia memasukkan chocolatos matcha kesukaannya bersamaan dengan air panas yang sudah mendidih. Sesekali dia akan melihat pemandangan di luar jendela yang menampilkan Kota Jogja. Ada gedung-gedung tinggi, apartemen, dan beberapa jalanan bisa dia lihat dari kamar kosnya di lantai empat.
“Kapan hidup membosankan ini akan berakhir?” gumam Kalila sambil menyesap minumannya.
Cukup lama dia termenung hanya untuk menikmati waktu seperti ini sebelum menulis novelnya kembali. Dia tidak punya banyak waktu untuk meresapi betapa indahnya kehidupan ini. Baginya, belajar dan bekerja menjadi satu-satunya tujuan dalam hidup ini. Pernikahan tidak pernah masuk dalam daftar perjalanan hidupnya. Hanya saja hidup tidak hanya tentang dirinya tetapi juga tentang orang lain.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Dia lalu mengangkat telepon itu tanpa melihat peneleponnya.
“Halo,” sapa suara laki-laki di seberang sana. Kalila menjauhkan ponselnya. Dia tidak pernah mendengar suara ini sebelumnya. “Kalila?”
“Ya?” Kalila menyeruput matcha. Dia lalu mendudukkan dirinya di sofa baca yang terletak di depan kaca balkon. “Siapa?”
“Johan.” Nama itu berhasil menulikan telinga Kalila. Dia lalu menatap layar ponselnya kembali. Dia baru menyadari foto yang ada di profil tersebut. Kalila lalu memperbesar fotonya.
“Shit,” ucap Kalila secara refleks. Dia kaget dengan penelepon itu, sangat tiba-tiba. “Dapat nomor gue dari mana?” tanya Kalila dengan tidak sabar.
“Emang lo pernah ganti nomor? Nomor gue udah dihapus pasti.” Pria itu tertawa dengan terpaksa.
“Nggak penting. Ngapain lo telepon?” Kalila mengalihkan pembicaraan. Jantungnya terasa tidak aman. Dia tidak suka cara Johan yang tiba-tiba menghubunginya seperti ini. Selama ini hidup Kalila sudah tenang dan damai. Selama ini dia sudah berusaha melupakan Johan dengan baik. Dia tidak mau berhubungan lagi dengan pria itu tapi Kalila lupa bahwa kemarin dia telah menyetujui lamaran Johan.
“Gue lagi di Jogja. Bisa ketemu? Gue tunggu di Tempo Gelato.” Sambungan telepon itu langsung terputus seketika.
Kalila menatap teleponnya dengan tidak percaya. Setahu dia pria itu sibuk. Bagaimana bisa sudah sampai di Jogja? Apalagi Johan tidak memberinya kesempatan untuk menolak. Ini bukan permintaan tetapi perintah.
Kalila malas memakai make up-nya kembali. Sejak pulang dia sudah menghapusnya, tapi dia pikir kenapa dia harus terlihat cantik di depan Johan? Seharusnya tidak perlu. Toh mereka hanya bertemu di Tempo Gelato saja. Kalila lalu mengambil sunscreennya, dia tidak mau gosong karena Kota Jogja saat sore hari pun tetap panas.
Kalila hendak menggunakan sepeda, hanya saja tempat itu lumayan jauh dari kosan. Dia akhirnya memilih mengeluarkan motor kesayangannya.
Kalila menyiapkan seluruh kebutuhan Jean dan Jenita untuk pulang ke Indonesia. Pada akhirnya karena Kalila merasa khawatir dengan kedua anaknya, dia akhirnya mengambil cuti. Lagipula Rakoma dan Evania juga tidak mengetahui di mana rumahnya, lebih baik dia juga ikut pulang bersama Jean dan Jenita.“Mama aku nggak sabar banget ketemu nenek sama kakek.” Jenita membawa bonekanya dan duduk di depan Kalila yang baru memasukkan pakaian ke dalam koper.Wanita dengan celana pendek, kaos oblong, dan rambut yang dicepol ke atas itu terlihat capek dan lelah tapi melihat anaknya yang lucu membuatnya mengurungkan niat untuk marah.“Iya, nanti kalau udah sampai Indonesia kamu bisa kok ketemu mereka ya.”Kalila mengambil setumpuk celana Jean ke dalam koper. Kalila sudah memperkirakan bahwa dia akan membawa dua koper karena barang-barang kedua anaknya cukup banyak. Dia juga harus membawa berbagai macam oleh-oleh untuk kedua orang tuanya. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Dia pun baru
Malam-malam telah berlalu hingga hari berikutnya berputar dan berputar. Seorang wanita dengan tubuh lesu dan lemas pulang dengan kecapekan. Namun, sebelum masuk ke rumah dan membuka pintu, wanita itu berusaha untuk mencari perasaan semangatnya dan bersiap dengan sikap ceria untuk bertemu kedua anaknya.“Selamat malam saudara-saudara!” Wanita itu melebarkan tangannya dan gadis kecilnya langsung berlari dan merangsek ke pelukannya, sedangkan anak laki-lakinya hanya melihat dengan datar dan terlihat kesal dengan wanita itu. “Jean, kamu kenapa?” tanya wanita itu.“Mama masih keinget pulang?”Wanita itu lalu tersenyum dan mengeluarkan satu buku astronomi yang paling disukai oleh Jean. Laki-laki kecil itu mengambilnya dengan gengsi dan bernapas dengan berat hati. “Mama itu jangan kerja terus, aku nggak punya waktu jadinya buat nanya-nanya. Tapi aku kangen mama kok.” Jean berhampur memeluk mamanya. Sebenarnya dari Jean atau Jenita, Jeanlah yang paling dekat dengan mamanya. Jean akan terlihat
Tiga tahun yang terlewati dengan tidak mudah, semuanya berjalan dengan lancar setelah dua tahun yang lalu semua terlewati dengan indah. Hanya saja masa-masa kelam itu tetap tidak bisa terhapuskan dari ingatan Evania dan Rakoma. Mereka tidak ingin membahas kejadian itu sampai kapan pun. Bahkan menyebutkan saja mereka tidak ingin. Cukup masa-masa itu menjaga masa terburuk mereka.“Oke, kalian mau turun atau tidak anak-anak?!” teriakan Evania menggelegar di seluruh ruangan. Dua anak berumur tiga tahun muncul dan berjalan dengan mata sayu khas bangun tidur.“Bisa tidak mama kedua diam? Aku masih ngantuk.” Si kecil berbaju pink mengusap matanya dan merangkak ke sofa tempat Rakoma berada. Gadis kecil itu memeluk Rakoma seperti biasa. Pria itu sekarang menjadi penghuni tetap rumah yang disewa Evania dan Kalila. Setelah kejadian tiga tahun lalu, Rakoma akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Evania.“Aku mandi dulu.” Sementara si anak pertama laki-laki itu lebih bisa bersikap dewasa dan man
Pagi ini setelah Kalila menyelesaikan semua urusan rumahnya, perutnya mendadak sakit dengan nyeri yang hebat. Kelahiran anak kembar memang terkadang lebih cepat tapi Kalila tidak menyangka akan secepat ini, dia memegang pinggiran dapur dengan kuat dan perlahan berjalan ke kamar untuk mengambil ponselnya tapi kakinya sulit untuk digerakkan, napasnya tersengal-sengal. Perutnya sangat sakit. Dia merasakan air mengalir di kedua kakinya, ketubannya pecah. Kalila menjadi panik dan perutnya berkontraksi lebih cepat.Kalila hanya berharap ada orang yang dapat menyelamatkannya hari ini, tepat saat ini dia mendengar ada yang memencet sandi rumah. Kalila langsung memutar kepalanya dan menatap Evania yang baru balik dari swalayan. Di belakang Evania ada Rakoma. Pria itu lengkap dengan atribut olahraganya sambil menenteng beberapa belanjaan Evania. Bisa ditebak kalau Rakoma memang sengaja berolahraga di dekat daerah rumah sewa Kalila dan Evania agar bertemu dengan salah satu orang itu.“Kalll ...
Setelah Rakoma mengetahui keberadaan Kalila yang ada di Belanda, pria itu menjadi sering berkunjung ke rumah sewa Kalila dan Evania. Lagi-lagi setiap ketemu, kedua orang itu pasti akan bertengkar. Seperti hari ini, mereka ingin memasak makanan yang berbeda.“Udah gue bilang kita makan salad aja, salad buat atau salad sayur. Lebih sehat,” kata Evania memberikan ide. Kedua orang itu sedang berada di dapur dan ingin memasak bersama tapi sampai tiga puluh menit, Kalila hanya mendengarkan perdebatan mereka.“Itu ponakan gue ada dua ya, butuh asupan yang bergizi. Masak lo kasih makan makanan diet sih?” Rakoma tidak terima.“Lho ini tetep perlu ya sayur sama buah-buahan biar sehat juga ponakan gue. Lo tahu nggak kalau ibu hamil nggak makan-makanan kayak gini nantinya anaknya juga nggak kebiasaan. Udah lo nurut aja.”“Nggak.” Rakoma menghentikan tangan Evania yang ingin memotong buah-buahan. “Ini untuk camilan aja. Kita harus tetep makan-makanan berat. Biar gue bikin sop.”“Sop lagi?” Evania
Kalila berada di Belanda tidak hanya mendapatkan beasiwa tapi juga sekaligus sebagai seorang peneliti untuk kampus yang memberikannya beasiswa ini sehingga dia dapat mengajukan cuti hamil. Mengingat Kalila sendang hamil anak kembar dan rawan akan kelahiran prematur, untuk itu Kalila mendapatkan cuti lebih awal. Dia sudah mengurus beberapa kerjaannya sebelumnya dan beberapa berkas yang diperlukan. Semuanya sudah selesai dan saat ini dia harus menyiapkan banyak hal selama di rumah yang mereka sewa. Evania sebagai sahabatnya dengan tenang membantu Kalila menyiapkan semua kebutuhan ibu muda itu.“Kal, ini semua butuh ya?” Ada pampers ukuran besar yang Kalila ambil dan saat ini memenuhi troli. Evania sidikit malu membawanya.“Ya iya. Persiapan haha.” Dengan susah payah Kalila berjalan mendekat.“Keknya lo harusnya di rumah aja deh. Biar gue aja yang belanja. Udah udah khawatir banget kalau lihat lo begini.” Evania sejujurnya suka nyeri kalau melihat Kalila jalan. Wanita itu sangat kesusaha