Share

Menikah Dengan Daddy Mafia
Menikah Dengan Daddy Mafia
Penulis: KenNand

MDDM 1

Hujan turun cukup deras membasahi Jakarta sore itu. Tampak seorang gadis cantik dengan motor sportnya baru pulang entah dari mana. Dengan pakaian basah, gadis itu masuk kedalam rumah nya. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tertutup, penasaran dengan suara itu, dia menempelkan daun telinganya pada pintu tertutup.

Jantungnya berdegup kencang mendengar suara desahan nikmat saling bersahutan dalam kamar itu. Segera dia menjauh dan berlari menuju kamarnya.

Aira Kana Stuart, atau biasa di sapa Kana, gadis cantik berusia 21 tahun yang kini masih kuliah di Universitas ternama di Jakarta. Besar di keluarga broken home, karena kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya yang kabarnya sudah menikah lagi dan tinggal di Malaysia, sedangkan sang Ibu memilih sendiri dan menjadi wanita panggilan pria hidung belang. Dan Kana, tinggal bersama Kakak perempuannya.

Tok

Tok

Tok

"Kana, kamu sudah pulang?" terdengar suara dari luar mengetuk pintu. Kana tentu mendengar panggilan itu, tapi dia enggan menanggapi dan memilih menutup telinganya dengan earphone.

"Kana,"

Si pemilik nama tersentak kaget kala sebuah tangan menepuk punggungnya.

"Kamu pulang kok Kakak gak tau," sebut saja dia Maudy, Kakak Kana berusia 28 Tahun dan belum menikah. Kana melepas earphone nya dan duduk menatap tajam pada Maudy.

"Ya gimana mau denger, keasikan mendesah sih."

"Kana!"

"Apa? Kakak fikir Kana gak denger? Laki-laki mana lagi, Kak? Apa Kakak gak capek tiap hari ganti pasangan?"

"Kana! Gak seharusnya kamu bicara begitu, Kana! Mau kemana kamu? Kana!"

Kana melenggang begitu saja meninggalkan Maudy dan mengabaikan panggilannya. Dia dengan cepat menuruni tangga, di sana dia melihat sekilas pria muda duduk di sofa sambil menyeduh kopi.

"Kana!" panggil Maudy mengikuti putrinya yang sudah berhasil meninggalkan rumah dengan motornya.

"Berantem lagi?" tanya laki-laki tadi, dia mendekati Maudy di ambang pintu.

"Dia denger kita, Jeff."

"Iya 'kan emang udah sering denger."

Maudy hanya mendesah kesal dengan kepergian putrinya di malam gerimis begini.

Kana melajukan motor sportnya dan berhenti di tepi jalanan taman kota. Dia membuka helm sebelum memasuki area taman untuk menenangkan hatinya yang kesal.

Ddrrrtt

Ddrrttt

Kana merogoh saku melihat siapa yang sudah menelfonnya. Melihat panggilan dari Kakaknya, dia memilih menolak panggilan. Kemudian, dia beralih menelfon seseorang.

"Halo, lo dimana?"

"Gue ke rumah lo ya, numpang nginep .. Ok, gue otw."

Kana lebih dulu mematikan ponselnya agar Maudy tidak menelfon nya. Setelah itu, dia segera pergi dari taman menuju rumah sahabatnya.

Bangunan besar dan megah, Kana berdiri di depan gerbang menunggu si pemilik datang membukakan pintu untuknya.

Srettt

"Kana!" gadis manis seusia Kana berlari memeluknya.

"Sory ya, Dir. Gue ganggu lo, malam-malam datang ke sini."

"Gak papa lagi, Na. Mumpung Bokap juga lagi gak di rumah, yuk masuk."

Kana mendorong motor besarnya memasuki kawasan mewah tempat Dira, sahabatnya itu tinggal. Sungguh baik nasib Dira, tinggal di keluarga kaya raya. Tidak seperti dia, walau memiliki tempat tinggal besar, tapi di dalamnya penuh dengan penderitaan.

"Lo sendiri, Dir."

"Enggak. Ada banyak orang yang jaga rumah."

"Bokap lo kemana?"

"London, kerja di sana. Ehh, lo udah makan?"

"Belum. Kak Maudy gak sediain makan malam tadi,"

"Yaudah, kita makan yuk. Kebetulan gue juga belum makan, gak enak tadi makan sendiri." Dira langsung menarik tangan Kana menuju ruang makan.

Lagi, Kana di buat terpesona dengan pemandangan indahnya ruang makan itu. Di sana deretan para pelayan berseragam siap melayani majikannya. Hidangan lezat dengan porsi besar tertata rapi di atas meja, lengkap dengan dissertnya sekali.

"Lo mau makan apa?" tanya Dira. Bingung dengan menu makanan sebanyak itu, Kana memilih serupa dengan yang Dira makan.

Setelah selesai menikmati makan malam, Dira mengajak Kana ke kamarnya. Dia memberikan piyama untuk Kana pakai karena pakaiannya basah terkena gerimis.

"Jadi lo kabur lagi?" tanya Dira.

"Gak tau apa namanya. Tapi yang pasti gue gak mau balik malam ini."

"Kalo Kak Maudy nyariin gimana?"

"Nyariin? Emang kapan gue di cariin? Dia gak se-khawatir itu, Dira."

"Lagian Bonyok lo tega banget sih." Bonyok (Bokap_Nyokap)

"Udah biasa, kali. Gue juga udah kebal."

"Salut gue sama lo, bisa gitu ya lo bertahan dengan situasi begitu."

"Sebenernya enggak. Gue udah capek, tapi Tuhan masih benci gue. Dia biarin gue hidup menderita begini."

"Gak boleh ngomong gitu, Na. Semua ini pasti akan berakhir kok. Lo sabar ya, gue percaya Tuhan sayang sama lo. Sama kaya gue sayang ke elo."

"Thanks ya, Dir."

Kana tersenyum getir membalas kalimat penyemangat Dira. Mungkin dia bisa bilang begitu, karena dia tidak merasakan seperti Kana. Dia tidak merasakan saat lapar mencekam tapi tidak ada apapun yang bisa di makan. Dia tidak merasakan bagaimana rasanya tidak memiliki uang sama sekali. Dira tidak merasakan pahitnya hidup Kana.

Keesokan paginya |

"Yakin gak mau pergi bareng gue?"

"Enggak. Nanti gue mau langsung pulang."

"Oh, ok deh."

"Baju lo entar gue balikin ya,"

"Santai aja. Yuk kita sarapan dulu."

Di meja makan |

Kana dan Dira menikmati sarapan bersama, menu hidangan yang berganti setiap jam makan tiba. Tidak seperti dia yang kadang menghangatkan makanan kemarin, itupun kalau Maudy sempat masak.

"Enak ya jadi lo. Makanan lo enak-enak,"

"Gak juga, Kana. Gue sering gak makan di rumah, gak enak makan sendiri."

"Emang bokap lo jarang di rumah 'ya?"

"Ehmm. Dia sering ke luar negeri buat kerja,"

"Bokap lo gak mau nikah, gitu?"

Dira melirik Kana tajam, dan itu membuatnya menelan susah makanannya.

"Sorry, gue lupa." Kana nyengir menampakkan gigi kelincinya karena sudah salah bicara pada Dira.

Setelah semalam menginap di rumah Dira, dan seharian di kampus. Kini Kana sudah pulang ke rumahnya sendiri. Rumah bertingkat dua itu tampak sepi tanpa penghuni. Kana mencoba membuka pintu, tapi pintu terkunci.

"Sial! Kemana lagi ni orangnya." gumam Kana kesal. Dia beralih ke kotak surat tempat biasa Maudy menaruh kunci. Benar saja, di sana ada satu buah kunci dan selembar surat. Kana mengambil kertas itu membaca pesan singkat yang ternyata dari Maudy.

'Kana, Kakak pergi ke luar kota bersama Jeff. Kamu jaga diri dan jangan nakal ya, Kakak sudah kirim kamu uang. Pergunakan baik-baik selama Kakak pergi. Maaf atas kejadian semalam. Kakak sayang kamu.'

Kana meremas kertas itu dan membuangnya ke tanah lalu menginjak-injak saking kesalnya.

Dia mengambil ponsel dari dalam tasnya, mencari nomor tujuan telfon. Beberapa saat menunggu, paggilan tersambung.

"Gak usah pulang sekalian! Kana benci!" teriak Kana singkat dan memutuskan panggilannya begitu saja. Dia mengambil kunci dan segera masuk kedalam rumah.

Di sana dia menumpahkan segala kekesalannya dengan menangis. Bahkan dia berulang kali menelfon Ayahnya di Malaysia, pun tidak ada respon dari sana. Begitu juga dengan Ibunya yang kabarnya berada di luar kota bekerja menjadi jalang. Keluarganya benar kacau, sekarang sang Kakak tunggalnya pun ikut mencari nafkah dengan cara menjadi jalang.

"Gue benci kalian! Gue benci!!" Kana berteriak sekerasnya melepaskan rasa sakit hatinya.

Kana menangis sejadi-jadinya di dalam rumah tanpa isi barang mewah itu. Di sana hanya ada sofa dan tv ukuran besar. Tidak ada yang menarik lagi dalam hunian itu. Selain tangga melingkar penghubung antara dua lantai.

Malam pukul 9 |

Kana terbangun setelah tertidur karena kelelahan menangis. Dia juga terbangun karena merasa lapar. Kana beranjak dari sofa, melirik jam besar.

"Ck! Jam segini mau makan apa?" gumam Kana. Dia membuka ponselnya, lebih dulu dia mengecek saldo yang katanya sudah di kirim Maudy. Benar, dana 3 juta sudah masuk ke rekeningnya. Bukannya senang, Kana justru semakin kesal.

Dia memilih keluar mencari sesuatu yang mungkin masih bisa di temukan. Beberapa meter berjalan dari rumahnya, dia melihat tukang nasi goreng langganannya masih buka. Segera Kana menghampiri penjual nasi goreng yang cukup ramai pembeli itu.

"Mang, nasinya satu ya di bungkus."

"Tumben satu neng, Kakaknya gak beliin?"

"Enggak. Males."

"Ok deh, siap. Tunggu sebentar ya neng." pria paruh baya penjual nasi goreng itu sudah cukup hafal dengan Kana, biasanya Maudy yang selalu membeli nasi goreng 2 porsi dan minta di antar ke rumah.

"Kok gak minta mamang antar aja neng? Biasanya kan Mbak Maudy selalu pesen minta antar ke rumah?"

"Enggak Mang, dia lagi pergi."

"Ooo!" tak lagi dia bertanya, terjawab sudah rasa penasarannya.

Kana mengecek dompet, seingatnya dia masih menyisahkan beberapa lembar uang pecahan. Malas rasanya harus mengambil uang dari rekening, ada banyak kebutuhan lain yang dia harus pandai mengolah uang 3 juta untuk satu bulan. Membayar uang kuliah, bensin, makan, dan kebutuhan lainnya.

"Ini neng."

Kana menerima bungkusan nasi goreng dalam kantung plastik, dia juga memberikan uang pecahan 15 ribu untuk membayar makanannya.

"Makasih ya Mang."

"Iya neng, sama-sama."

Kana berjalan lunglai kembali ke rumahnya, sesaat dia menghentikan langkahnya melihat pintu rumahnya terbuka. Rasanya dia menutup pintu sebelum pergi, tapi kenapa kini terbuka? Kana menepiskan rasa curiganya, mungkin dia yang lupa karena fikirannya kalut.

Setelah masuk, Kana memastikan mengunci pintu dengan benar, sebelum dia beralih ke dapur untuk menyiapkan makan malam sederhananya. Baru beberapa suap dia makan, tiba-tiba listrik padam begitu saja. Kana yang terkejut langsung menghidupkan senter poselnya sebagai penerang sementara. Tapi, dia merasa seperti ada yang berdiri di belakangnya. Seperti sesuatu yang besar dan tinggi tengah menatapnya.

Dengan jantung berdebar, Kana memberanikan diri melirik.

"Astaga! Apa itu?" bisik Kana mendapati sosok tegap di belakangnya. Dia mengeratkan sendok garpu, bersiap menusuk siapapun yang di belakangnya.

"Aahhh!"

"Ssstttt!"

Kana bungkam kala seorang pria menutup mulutnya paksa, dia juga mencekram kedua tangan Kana erat agar tidak memberontak.

"Ssttt diam. Jangan teriak, atau mereka akan datang." bisik pria itu tepat di telinga Kana. Dia menunjuk ke arah jendela, terlihat bayangan dua orang membawa senjata tengah mencoba mengintip. Masih baik jendela itu tertutup tirai, tadi tidak akan terlihat jelas.

Kana semakin jantungan, pria itu semakin erat mencekram tangannya. Tercium bau amis dari pria yang membungkamnya, seperti bau darah. Kana di buat mual dengan bau yang begitu menusuk hidungnya itu. Melihat tak lagi ada bayangan dari luar, pria itu melepaskan tangannya dari mulut Kana.

Hueekkk!!

Hueekkk!!

Kana hampir mengeluarkan isi perutnya yang baru sedikit terisi nasi goreng.

"Siapa lo!" Kana menodongkan garpu yang sedari tadi dia pegang pada pria itu. Bersamaan lampu juga kembali hidup, dan nampaklah sosok pria yang menyusup ke rumahnya begitu saja.

Kana menegang melihat pria bertubuh tinggi tegap dengan darah di bagian perutnya.

"Tolong saya, kamu punya kotak obat darurat?"

Kana ketakutan melihat pria itu, dia sampai tidak bisa bicara walau hanya mengangguk saja. Matanya bulat, mulutnya terbuka lebar melihat darah di perut pria itu.

"Hei! Tolong saya." pinta pria itu lagi. Kana tersadar, dia segera mengambil kotak obat yang tersimpan dekat nakas ruang tamu.

Entah kenapa dia se-reflek itu mengambilkan obat, padahal awalnya dia sangat ketakutan. Terlebih saat melihat darah cukup banyak keluar dari perut pria itu.

Kana langsung memberikan kotak pertolongan pertama itu, dia membiarkan orang itu menindak dirinya sendiri. Belum selesai pria itu mengeluarkan benda asing di bagian perutnya, satu tembakan berhasil menembus kaca jendela dan nyaris saja mengenai mereka.

Pria itu langsung menarik Kana dalam pelukannya, dan membalas tembakan orang dari luar secara bertubi sampai amunisi dalam senjata api itu habis. Kana merasa pusing, terlebih dia melihat darah segar itu sudah mengenainya. Dia sempat melihat orang berdiri di luar jendela. Tatapannya tajam seolah penuh dendam.

"Om, Kana takut."

"Tetap di sini, Kana."

Kana tak lagi sanggup menatap lebih, sampai ahirnya dia jatuh pingsan dalam pelukan pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status