Share

MDDM 6

Keesokan paginya |

Kana terbangun dari tidurnya tepat pukul 6 pagi. Dia mencoba melepaskan lengan Bara yang melingkar di perutnya. Bukannya terlerai, justru Bara malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Om, ini udah pagi. Kana mau kuliah."

Bara tak menghiraukan, dia malah mendusal mengecup ceruk leher Kana.

"Om!"

"Mas gak akan lepas kalau kamu masih panggil 'Om."

"Kana lupa. Ya udah, lepasin Mas."

Bara memutar tubuh Kana agar menghadapnya.

"Morning, My Wife." ucap Bara mengecup kening Kana. Kana diam tersipu malu, dia merasa kalau wajahnya pasti sudah memerah.

"Gak mau balas sapaan Mas?"

"Iya, morning too."

"Kok gitu doang, gak sosweet."

"Ihh apaan sih! Awas ah, Kana mau mandi, Mas!"

"Bentar dulu, Ai. Mas masih mau peluk kamu."

"Ntar Kana terlambat, kampus Kana makin jauh dari sini."

Bara baru ingat, mereka tengah berada jauh dari pusat kota. Untuk sampai ke kampus Kana butuh waktu tempuh sekitar 45 menit.

"Mas!"

"Ok, Mas lepasin. Tapi cium dong, dikit aja."

Kana mengeritkan keningnya, bagaimana bisa Bara menjadi semanis ini. Bahasanya juga semakin lues, tidak kaku seperti kemarin.

"Gak mau!"

"Oh, gak mau. Ya udah, Mas gak akan lepasin."

"Mas, ihh!"

"Makanya, cium dong."

Cup! Kana mencium pipi Bara dengan cepat.

"Satu lagi."

Cup! Kana pun mencium pipi sebelahnya. Bara membalasnya, tapi bukan di pipi, melainkan di bibir Kana.

"Kamu itu manis banget, Mas udah gak sabar nunggu kamu siap."

Kana menggigit ujung bibir bawahnya, menimang fikirannya tentang menyerahkan diri sebelum 2 pekan berakhir.

"Jangan di gigit, Ai." Bara menarik bibir Kana dan mengecupnya lagi.

"Sudah sana mandi."

Kana mengangguk, dia segera beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama bagi Kana hanya untuk ritual membersihkan diri di pagi hari, 15 menit waktu yang cukup hanya untuk mandi dan menggosok gigi. Kana keluar kamar mandi dengan balutan bathrobe di tubuhnya. Dia tak lagi melihat suaminya di sana, tapi dia melihat di atas ranjang sudah di siapkan semua keperluan lainnya.

Kana tersenyum, dia sudah menduga kalau itu pasti Bara yang meminta pelayan untuk menyiapkan. Segera Kana memakai pakaiannya dan merapihkan dirinya. Riasan tipis yang pantas untuk gadis 21 tahun, tidak terlalu tebal tapi terkesan sangat cantik dengan wajah Kana.

"Oh iya, gue 'kan pake motor." Kana kembali ke walk in-closet. Mencari sesuatu di dalam lemari pakaiannya.

"Nahh, syukur deh ada." Kana menemukan jeans panjang berwarna hitam. Dia menggunakan celana itu karena akan menaiki motor. Tidak wajar jika mengendarai motor gede memakai rok pendek. Bisa terlihat bagian paling seksinya nanti.

Setelah beres dengan dirinya, Kana memasukkan semua buku pelajaran hari ini. Masih baik dia menyimpan jadwal materi pelajaran di dalam otaknya. Jadi tak payah untuknya menyusun buku.

"Bara ngambil buku-buku gue, kok handphone nya gak sekalian di bawa 'ya?" gumam Kana sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tas.

"Ahh, ntar gue singgah aja kali ya. Ngambil laptop, sama handphone. Sayang 'kan kalau nanti rumah di sita, terus aset gue masih di sana."

Setelah beragumen sendiri, Kana menyandang ranselnya.

"Mas Bara? Itu 'kan handphone Kana!" Kana melihat Bara tengah menghancurkan ponsel putih milik Kana.

"Nanti Saya belikan yang baru." kata Bara dengan nada ketus. Kana menatap benda kesayangan penuh kenangan hancur di buat suaminya.

"Kenapa Mas rusak? Di sini banyak kenangan Kana." Kana bersimpuh memunguti ponselnya yang sudah tak lagi berbentuk. Air matanya menetes melihat hadiah pertama yang dia dapat ketika lulus SMP.

"Papah beliin handphone ini sebelum cerai sama Mamah. Kenapa Mas hancurin? Walau keluarga Kana udah hancur, tapi gak seharusnya kenangan Kana juga hancur." isak Kana mencoba menyatukan badan ponsel. Dia tau itu sia-sia, tapi rasanya dia ingin ada keajaiban hingga benda canggih itu bisa hidup kembali.

Kana menangisi ponselnya, tangannya menggenggam erat benda itu dengan air mata tak berhenti. Sedangkan Bara, pria itu tampak acuh dengan kondisi Kana.

Bara menghela nafas berat mendengar isakan tangis Kana, dia berjongkok di depan Kana menarik dagu gadis itu. Sebelah tangannya mengusap pipi Kana dari air matanya.

"Siapa Rio?" tanya Bara dengan nada datar. Kana menghentikan isakannya dan menatap Bara.

"Hmm, siapa dia? Teman mu? Pacar, atau siapa?"

Kana mengatur nafasnya, jantungnya mendadak berdetak keras mendengar nama Rio di sebut. Kana cepat-cepat berdiri dan hendak pergi dari sana.

"Mau kemana kamu!" Bara menarik tangan Kana sebelum gadis itu pergi.

"Lepas!"

"Dia pacar mu?" Bara berdiri, tangannya masih memegangi tangan Kana.

"Enggak! Lepas, Mas! Kana udah telat."

"Dia ngajak kamu Making Love. Kalian sudah sering lakukan? Di bayar berapa kamu sama dia? Mahal? Saya juga bisa bayar kamu, kamu mau berapa?"

Plak!

Bara menoleh ke samping kala mendapat tamparan keras dari Kana. Tampak marah sekali Kana pada Bara, matanya kembali berkaca-kaca menahan tumpahan bening yang siap meluncur.

"Jaga bicara mu!"

"Kana!!" Bara menggeram mengepalkan tangannya dengan rahang mengetat.

"Apa? Mau balas? Silahkan!" Kana memberikan pipinya tepat di telapak tangan Bara yang hampir melayangkan tamparan. Seketika Bara mengurungkan niatnya dan menjauhkan tangannya dari pipi Kana.

"Gue emang hidup sangat kacau! Tapi bukan berarti lo bisa seenaknya ngatain gue! Gue bukan pelacur, Bara!" Teriak Kana keras. Sakit sekali hati Kana, Bara menganggapnya pelacur hanya karena sebuah pesan singkat yang kebenarannya belum jelas.

"Gue benci sama lo!!"

Kana berlari keluar rumah meninggalkan Bara yang masih diam mematung. Segera dia pacukan kendaraan andalannya untuk menyusuri jalanan. Masih baik Kana memiliki ingatan yang baik, jadi dia dengan mudah menghafal jalanan walau baru sekali dia lewati.

Bara menyugar rambutnya dengan frustasi. Apa yang baru dia katakan? Bukankah dia tau bagaimana latar belakang Kana? Kenapa dia harus mengatakan hal menyakitkan itu?

Panik, jelas tidak sepanik itu. Dia Bara ketua Mafia yang namanya cukup di kenal dalam kalangan preman besar. Otak cerdasnya langsung bekerja, segera Bara menelfon pekerjanya yang menjaga gerbang Utama di ujung jalan.

"Kana sudah lewat?"

'Belum, Tuan.'

"Tutup gerbang, jangan izinkan dia keluar sampai Aku tiba."

'Baik Tuan.'

Bara menutup panggilannya, secepat kilat dia menaiki mobil untuk menyusul Kana yang mungkin akan sampai pembatas wilayah huniannya.

Di sana, Kana sudah sampai di perbatasan. Dia melihat gerbang besi berukuran besar tertutup.

"Pak, tolong bukain. Kana mau kuliah." pinta Kana dengan suara bergetar sehabis menangis.

"Maaf, Nona. Tuan Bara tidak mengizinkan Nona keluar sebelum Tuan datang."

"Pak, Kana cuma mau ke kampus."

Kesal sekali Kana tak bisa lewat, dia mendongak melihat gerbang tinggi itu. Bersamaan itu juga dia mendengar suara mobil dengan melaju kencang. Kana di buat menegang dengan suara gemuruh knalpot mobil yang sudah jelas di kendarai Bara.

Ciiitt!

Mobil navy mengkilap itu berhenti begitu saja tepat di sebelah motor Kana. Bara keluar dengan tatapan elang dan berjalan mendekati Kana.

"Ikut Saya!"

"Enggak!"

"Saya bilang ikut!"

Bara menarik paksa tangan Kana untuk ikut bersamanya kembali ke rumah.

"Gak mau! Lepasin!"

Bara tak menghiraukan, dia mengangkut Kana seperti karung beras dan memasukkannya kedalam mobil.

"Diam di sini!"

Kana, apa dia akan mendengarkan begitu saja? Jelas tidak, saat Bara berputar hendak masuk dari pintu lain, saat itu pula Kana berkesempatan keluar. Tentu itu membuat Bara kesal, dia segera mengejar Kana dan menariknya lagi masuk kedalam mobil.

"Kesabaran Saya setipis tissue, Kana. Jangan main-main dengan Saya!" ucap Bara mengikat kedua tangan Kana dengan dasi yang Bara kenakan tadi.

"Lepasin gue, Bara! Gue gak mau tinggal sama lo lagi! Gue benci! Gue benci elo, Bara! Brengsek! Sialan!" teriak Kana dari dalam mobil. Sedangkan Bara, dia hanya menghela nafas dalam sembari berjalan menuju pintu kemudi.

"Gue gak mau ikut sama lo!"

Bara tetap diam, dia segera melajukan mobilnya meninggalkan pembatas dan kembali ke rumah megahnya.

Masih dengan tangan terikat, Bara memanggul Kana di pundaknya memasuki rumah. Tak dia pedulikan berontakan Kana yang terus mengomel sambil memukuli punggungnya. Sesaat Bara berhenti sejenak, dia merasaka nyeri di perut bekas lukanya kemarin. Dia meraba bagian yang sakit untuk memastikan lukanya tidak berdarah. Melihat tidak ada yang harus di khawatirkan dengan lukanya, dia kembali membawa Kana menaiki tangga hingga ke kamar.

Bruggh!

"Awwhhh!!" Kana meringkuk merasakan tubuhnya terhempas begitu saja di ranjang.

"Mau pergi kemana kamu?" Bara mendekati Kana di ranjang.

"Bukan urusan mu!"

"Saya bertanya, kamu mau kemana?"

"Kemana pun itu, bukan urusan lo!" balas Kana dengan suara lebih tinggi dari Bara.

"Kamu istri Saya, wajar Saya tanya kamu. Apa hubungan mu dengan Rio?"

Kana diam tak menyahut, dadanya naik turun karena nafas tak beraturan. Bara tersenyum miring, dia mengusap sudut bibirnya dan merangkak mendekati Kana hingga tersudut pada sandaran ranjang.

"Udah ngapain aja kamu sama dia, hmmm?" Bara mengusap bibir terbuka Kana, nafasnya tak lagi keluar hanya dari hidung. Tapi juga dari mulut, begitu menderunya nafas Kana sampai sangat tak beraturan.

"Kamu masih menjaganya, atau enggak, Kana?"

"Stop! Jangan sentuh gue!"

Bara tertawa, jari besarnya menyusup membuka kancing-kancing kemeja putih Kana.

"Kenapa? Saya suami kamu."

"Please, jangan lakukan itu, Mas. Kana belum siap."

"Oh ya? Lalu dengan Rio?"

"Kana sama Rio gak ada hubungan apa-apa." Kana kembali merintih menangis. Apalagi saat tubuhnya berhasil Bara telanjangi di bagian dada. Nampaklah bukit kembar kesayangan Kana yang berbungkus kain busa berwarna merah.

"Saya gak akan percaya, kalau belum membuktikan sendiri."

"MAS!!"

Tubuh Kana tergunjang mendapat hujaman keras dari Bara. Pria itu tak peduli dengan rintihan Kana yang memohon ampun. Tak hentinya air mata Kana mengalir membanjiri bantal. Bara semakin bergairah melihat ekspresi kesakitan Kana dan darah yang keluar di antara kemaluannya. Ada perbedaan yang dia rasakan, rasa nikmat bercinta yang belum pernah dia dapat sebelumnya.

Dengan rasa puas bercampur senang, Bara melepaskan cairan hangatnya menyembur di dalam rahim Kana.

Beberapa menit berlalu, Bara memeluk tubuh bergetar Kana. Bahunya terguncang karena menangis. Dia terus mencium punggung terbuka Kana.

"Maaf, Aira." bisik Bara sudah yang kesekian kalinya setelah hubungan intim tadi.

"Mas salah. Maaf,"

"Puas?" tanya Kana dengan suara serak.

"Puas lo udah ngerampas gitu aja dari gue? Puas!"

"Sayang, maaf."

"Maaf? Hegh! Enak banget minta maaf. Lo gak tau gimana rasa sakitnya! Seenaknya lo ngatain gue pelacur, dan sekarang lo ambil keperawanan gue, PUAS!"

"Hei, Kana." Bara berpindah ke hadapan Kana. Dia melihat amarah gadis itu yang semakin menggebu.

"Lo udah ngerusak gue, Bara!"

"Enggak, Ai. Mas sayang sama kamu."

"Lo ambil secara paksa kesucian gue!"

"Maaf."

"Sakit Bara, sakit! Lo gak ngerasain gimana gue!"

Bara mengeratkan pelukannya, sedih sekali Kana. Sudah di hina dan di perkosa, walau sudah jadi suami istri, tapi cara Bara memperlakukannya sangat membuat Kana kesakitan. Ini kali pertama bagi Kana, harusnya dia mendapat perlakuan baik dengan cara bercinta yang lembut. Tapi tidak, Bara yang terlalu emosi, memilih membuktikan sendiri apa yang dia fikirkan tetang Kana itu tidak benar.

Ternyata benar, Kana benar masih menjaganya. Lalu kenapa Rio mengirim pesan yang berisi tetang bercinta dengan Kana? Apa sebenarnya yang di maksudkan?

"Kana ngejaga untuk suami Kana, siapapun yang jadi suami Kana." lirih suara Kana membuat hati Bara semakin perih. Menyesal sekali dia sudah membuat gadis kecilnya menangis. Dia sudah seperti penjahat kelamin yang haus seks.

"Aira, maafin Mas. Mas salah, Mas cuma mau buktiin yang kamu bilang itu jujur."

"Terus, kalo seandainya tadi Kana udah gak perawan, Mas mau buang Kana gitu aja."

Bara diam, apa dia sudah terlewat batas?

"Enggak, Aira. Mas gak lakukan itu."

"Terus kenapa Mas mencobanya! Kalau memang Mas percaya sama Kana, harusnya gak gitu caranya. Kana ngerasa di rendahin, Mas!"

"Sayang, kamu sangat berharga buat Mas."

"Mas tau 'kan gimana Kana? Mas kenal Kana udah lama, Kana tau Mas sering mata-matain Kana. Harusnya Mas tau apa aja yang udah Kana lakuin di luar sana!"

"Aira, Mas bener-bener minta maaf. Mas bener-bener sangat bodoh udah ngelukai kamu, tapi Sumpah Aira, Mas gak ada niatan buat ngelecehin kamu. Mas sayang sama kamu."

Kana kembali menjatuhkan air matanya, rasa sakit yang dia rasakan sepertinya tumpang tindih. Sakit setelah mendapat penghinaan, dan sakit karena pecah perawan begitu saja.

"Sayang, Aira. Maafin Mas, hukum Mas kalau kamu mau. Mas siap mendapat hukuman apapun dari kamu."

"Ceraikan Kana! Kana gak mau tinggal sama Mas Bara."

"Aira, please! Jangan mengada, Mas gak mau!"

"Tapi Kana mau!"

"Mau apa? Kamu mau datangi Rio, dan Making Love sama dia."

"Mas!"

"Bilang aja iya! Kamu pacaran sama dia, iya 'kan?"

"Mas! Baru aja kamu minta maaf, dan bilang nyesel. Sekarang kamu balik bilang gitu lagi, mau kamu apasih! Mas udah dapatin perawan Kana, dan sekarang Mas mau Kana sama orang lain?"

"Gak ada Mas bilang gitu, kamu yang minta pergi. Ya gimana Mas gak berfikir, kalau kamu mau bercinta beneran sama Rio!"

Kana menggelengkan kepalanya pelan mendengar kaimat panjang Bara. Benar dia tidak habis fikir dengan pria dewasa ini. Apa begitu posesifnya dia sampai berfikir jauh tentang Kana?

"Sekarang Mas tanya sama kamu, apa hubungan kamu sama Rio?"

"Mas, Kana gak bisa jelasin itu."

"Kenapa gak bisa, hmmm?? Apa kamu-,"

"Mas! Stop mikir kalau Kana perempuan gak bener. Mas udah ngerasain gimana Kana, kenapa masih berfikir negatif?"

"Mas gak suka!"

"Dia salah satu pacarnya Kak Maudy, selain Jeff."

Bara mengeritkan keningnya.

"Terus, kenapa minta Making Love sama kamu?"

"Dia sering minta ke Kana, tapi selalu Kana tolak. Jijik Kana liat dia gituan sama Kak Maudy, bakan sama perempuan lain. Kana gak suka sama cowok yang suka ganti pasangan, celup sana sini. Najis!"

Glek!

Bara menelan susah salivanya, terasa kelat sekali ludahnya di telan mendengar kata terakhir Kana. Kenapa? Jelas saja, Bara pria normal, pria mana yang tidak tergiur dengan daging mentah. Terlebih saat usianya semakin matang, tentu akan semakin membuatnya ingin berhubungan intim walau dengan sembarang perempuan.

"Kenapa, kamu gak suka sama laki-laki seperti itu? Bukannya lumrah seks bebas bagi pria dewasa?"

"Lumrah? Lumrah apanya! Selain melanggar hukum Agama, itu juga bisa merusak rumah tangga. Kaya Papah!"

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status