Zahira kaget bukan main, saat Aurel yang meminta ijin ke belakang, ternyata malah menumpahkan jus ke pakaiannya.
"Ups, nggak sengaja. Maaf, ya." Suara Aurel tampak tak bersalah sama sekali. Gadis itu tak peduli Zahira yang mukanya memerah, sambil kerepotan membersihkan pakaian di sebelah depan.
Ia kembali kaget, Tiba-tiba Gema mendekat dengan beberapa lembar tissu, membantu membersihkan bajunya. Dadanya bergemuruh dengan perlakuan suaminya kali ini, tetapi ia harus sadar. Bahwa yang dilakukan Gema itu, pasti hanya karena sedang di depan orang tuanya. Sementara mereka semua diam saja dengan sikap Aurel pada Zahira barusan.
"Kamu, gadis kampung. Siapa sih, namanya? Kamu kesal ya, sama aku tadi?" Tanya Aurel ditujukan langsung ke arah Zahira, gadis yang ditanya mendadak gugup.
Bingung harus menjawab apa, melirik Gema untuk meminta perlindungan pun rasanya tak mungkin. Pria itu masih sibuk membersihkan baju sang istri.
"Diam, kamu!" Gema yang menjawab.
"Aku nggak tanya kamu, ya. Aku tanya sama istri kesayangan kamu itu."
"Kalau memang nggak disengaja, saya nggak marah kok, mbak," Zahira menjawab dengan nada sedikit kesal.
"Kalau aku sengaja, gimana?" Aurel masih bertanya.
"Sudah, sudah. Kita lanjutkan makan malam," Salah satu pria bersuara. Membuat suasana penghuni meja besar ini kembali diam.
"Papa, kami sudah kenyang. Kami harus pulang dulu." Gema berdiri, suaranya tadi membuat semua orang mendongak tak percaya.
"Kenapa buru-buru sekali, sih?" Ruruk Aurel memasang wajah lesunya.
"Iya, Gema. Sudah lama sekali kan, kita tidak berkumpul seperti ini," Papa menambahkan. Gema menarik nafas kecil, membuat Zahira khawatir jika suaminya menurut pada mereka. Sebab dirinya saat ini sama sekali tidak nyaman, apalagi dengan baju basah seperti ini.
"Maaf, Pa. Tapi kami harus pulang sekarang. Ayo, Zahira." Pria itu melangkah tanpa peduli bagaimana tatapan orang tuanya. Pergi lebih dulu meninggalkan Zahira yang kebingungan hendak menyusul.
Saat melangkah dengan tergesa-gesa, ia bahkan tidak tau Aurel sedang menjebak. Ternyata gadis cantik itu memasang kaki di depan, dan membuat langkahnya tersandung. Zahira terjatuh, mengundang gelak tawa dari dua keluarga besar itu.
"Dasar gadis kampung pakai high girl, jadi nggak bener jalannya." Decak Aurel yang masih dibarengi tawa riuh dari yang lain.
Gema yang belum terlalu jauh itu berhenti, dan menyaksikan bagaimana keluarganya, juga keluarga Aurel menertawakan Zahira. Ia berbalik arah, menarik tangan sang istri hingga berdiri. Menariknya keluar tempat itu dengan langkah cepat.
Gema tak bisa menyembunyikan wajah murka, apalagi saat ia pergi itu, tawa cekikikan mengiringi.
"Kamu benar-benar bikin malu!" Hardik Gema, mendorong badan kecil Zahira ke dalam mobil. Ia pun masuk dan membanting pintu mobil dengan cukup keras.
"Pak, jadi ini salah saya, ya?" Mobil melaju kencang, Zahira malah bertanya demikian. Ia kaget bukan main, sebab pria itu menginjak rem mendadak hingga mobil berhenti. Setelahnya, ia baru sadar bahwa mereka kini sedang di bawah lampu merah.
"Kenapa kamu tadi cuma diam saja, seperti orang bodoh!" Desis Gema, wajahnya nyalang menatap lurus ke arah depan. Zahira mendesah lirih, tak habis pikir. Sebenarnya siapa yang dibela pria itu.
"Kalau saya ngelawan, takutnya dibilang perempuan nggak tau diri, Pak. Makanya saya pilih diam." Zahira melirik sang suami, yang ternyata tetap memandang ke depan tanpa bereaksi.
"Lagian, yang dikatakan Mbak Aurel tadi memang benar, kan. Saya ini gadis kampung, yang nggak akan pernah cocok berdampingan dengan Anda." Karena tak ada jawaban, Zahira kembali melanjutkan.
Lampu hijau menyala, mobil mereka kembali melaju lebih cepat. Bahkan sebelum jam sembilan malam, keduanya telah tiba di rumah. Gema yang berjalan lebih dulu, membuka pintu dan naik ke lantai dua, tanpa berbicara apapun.
Pagi tiba. Seperti biasanya Gema selalu berangkat lebih awal, untuk makan pagi terlebih dahulu di luar. Saat pria itu turun dari tangga, tak sengaja melihat Zahira yang sedang makan hanya dengan nasi putih dan tahu goreng saja.
Sementara yang ditatap, kikuk sendiri. Bingung antara mau menawarkan makanan itu atau tidak, sementara Zahira tau persis. Selera suaminya tidak kampungan seperti itu. Dan pada akhirnya, ia hanya diam saja. Membiarkan Gema menatap datar, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata.
Belum lama setelah pria itu keluar, ia kembali dengan wajah kesal. Zahira bangkit dengan sigap. "Ada apa, Pak?" Tanyanya.
"Ban mobil saya bocor. Sepagi ini pasti belum ada bengkel yang buka," Jawab pria itu, mendengus sambil melirik jam dinding yang menuju ke angka enam pagi. Memang masih pagi, Zahira ikut lesu mendengarnya.
"Lalu, bagaimana, Pak?" Tanya Zahira, tidak cukup berani menawari pria itu naik motor bersamanya. Apalagi cuaca pagi ini nampaknya kurang mendukung, mendung, dan angin yang berhembus lebih dingin dari biasanya.
"Kita berangkat bersama." Gema memutuskan.
"Tapi, naik motor saya?" Tanya Zahira lagi. "Apalagi?"
"Oh, iya Pak." Zahira yang telah usai makan pagi, membawa piringnya untuk dicuci. Tak seperti biasa, Gema malah duduk di meja makan hingga ia kembali.
"Pak Gema, mau saya ambilkan makan?" Zahira bertanya ragu-ragu, tetapi wajahnya berpijar saat mendengar jawaban, "boleh." Dari mulut sang suami.
"Bentar, Pak. Saya ambilkan, ya." Zahira pergi membawa senyum cerah, lebih cerah dari surya yang mulai mengintip dari langit timur. Yang membawa harapan bagi berjuta umat di muka bumi. Namun, sayang. Mungkin Gema tak begitu peka dengan arti senyuman lebar itu.
Memang agak lama Zahira di dapur, saat gadis itu datang, Gema melihat lauk berbeda dengan yang dimakannya tadi. "Ini, Pak. Silahkan dimakan, hehe, tapi maaf, cuma pakai tahu," Katanya.
Zahira memberikan sepiring nasi dengan tahu bacem yang sepertinya nikmat. Apalagi saat perut benar-benar terasa lapar seperti ini. Makanan apapun, pasti akan terasa nikmat.
Tanpa basa-basi, Gema melahap cepat makanan itu. Ia sebenarnya mengakui, tangan terampil gadis itu, bisa memanjakan lidah dengan sajian apapun. Untuk saat ini, sisi jaim Gema benar-benar hilang. Ia biarkan saja si gadis mengamatinya dengan senyuman yang kadang melebar.
"Apa yang kamu lakukan? Setelah ini kita segera berangkat," Ucap Gema, saat melihat Zahira yang ternyata memandangnya. Dikatakan seperti itu, sang gadis terperangah dan kembali tersenyum yang kali ini terlihat dipaksakan.
"Eh, iya, Pak. Saya akan bersiap," Katanya. Gema melanjutkan makan, berdecih lirih saat melihat Zahira berlari ke kamar seperti anak kecil. Gadis itu bahkan telah kembali sebelum Gema usai dari makan.
Terlihat wajah yang lebih segar, dengan riasan sederhana, dengan lipstik tipis mempercantik bibir pinknya. Sehari-hari, gadis itu hanya membiarkan rambut lurusnya terurai.
Zahira tampak seperti mahasiswa teladan, sebab di punggungnya selalu ada ransel berisi banyak buku. Gema menggeleng lirih, menepis pikiran aneh yang tiba-tiba menguasai benaknya.
Pria itu melangkah lebih dulu, setelah menghabiskan segelas air putih yang tadi disuguhkan Zahira. Kini, keduanya berada di depan garasi. Gema hanya diam memperhatikan istrinya menarik mundur motornya seorang diri.
"Mari, Pak." Zahira mengajak Gema segera naik, sesaat setelah gadis itu menyalakan mesin motornya. Sang pria menurut, dengan santainya naik ke belakang Zahira. Duduk di sana.
"Pak Gema, nggak ada helm?" Tanya Zahira bingung. "Nggak ada."
"Tapi, gimana?"
"Sudah, jalan. Nggak apa-apa asalkan saya di belakang," Jawab Gema ketus.
Zahira menurut, menggerakkan motor perlahan, keluar dari pekarangan rumah Gema. Membawa seorang dosen yang harusnya ia hormati, gadis itu tak berani memacu kendaraan lebih kencang.
Lima belas menit, keduanya tiba di depan area kampus. Saat motor berhenti, tiba-tiba gerimis datang. Gema turun dari motor, yang langsung diserbu beberapa mahasiswi dengan membawa payung. Mengajak dosen itu menuju kantornya, tanpa peduli bagaimana reaksi Zahira melihat tingkah mereka tadi.
***
Lima belas menit, keduanya tiba di depan area kampus. Saat motor berhenti, tiba-tiba gerimis datang. Gema turun dari motor, yang langsung diserbu beberapa mahasiswi dengan membawa payung. Mengajak dosen itu menuju kantornya, tanpa peduli bagaimana reaksi Zahira melihat tingkah mereka tadi."Pak, kok bisa sih, Pak Gema numpang cewek culun begitu?" Tanya salah satu, yang tanpa dijawab sama sekali oleh sang dosen. Sementara Zahira masih mendengar dengan jelas."Iya, Pak. Kalo mobilnya kenapa-kenapa, kan bisa panggil salah satu dari kami.""Iya, Pak. Mending panggil saya aja, deh.""Saya aja deh, Pak."Masih terdengar beberapa mahasiswa centil itu saling berebut menawarkan diri untuk membantu dosennya. Memang, meskipun tidak ramah pada semua orang, Gema memiliki paras rupawan, yang membuat para gadis berebut ingin mendekati.Di tempatnya, Zahira masih berdiri menatap jengah orang-orang tadi. Hingga suaminya itu menghilang balik ruangan kantor, ia baru sadar, gerimis makin deras. Gadis itu
"Tapi, jas hujannya? Helmnya, gimana, Pak?""Nggak apa-apa, ayo naik.""Ini, Pak." Gadis itu memberikan atasan jas hujan ke depan Gema yang kemudian mendelik tak habis pikir. "Jangan bercanda, kamu!" Hardiknya."Nggak, Pak. Saya sudah pakai jaket, helm juga. Tapi pak Gema nggak pakai semuanya, biar nggak masuk angin, Pak. Pakai ini." Zahira tetap mendesak, dan akhirnya Gema mau menerima jas hujan itu. Ia memakainya.Lalu, keduanya berada di atas motor. Melaju perlahan, menerobos hujan deras bercampur angin dan petir. Bahkan sepanjang jalan aspal ini, air telah menggenang sebatas mata kaki.Perjalanan yang harusnya bisa ditembus lima belas menit, kini jadi melambat. Apalagi di depan mereka beberapa mobil tak bisa berjalan cepat. Di tempatnya, Zahira telah menggigil kedinginan.Jaket tipisnya, tak mampu menghalau hembusan angin bercampur guyuran hujan lebat. Badannya basah kuyup, hanya kepala dan wajah saja yang dirasa aman."Pegangan yang kuat. Kita akan menyalib mobil-mobil itu!" Teri
Gema melirik ke arah meja makan, tak mungkin pria itu tidak mencium aroma makanan yang sedap. "Jangan salah sangka, hanya karena kejadian kemarin, lalu saya berubah pikiran tentang status pernikahan kita."Suara lantang, yang tentu saja membuat Zahira tercengang. Gadis itu secara tak sadar, menatap sang suami dengan mata bergetar. Lalu mengerjap samar sambil memalingkan pandangan ke arah meja makan."Tapi, saya sudah masak banyak, Pak. Juga, udah menghabiskan banyak dari tabungan saya," Lirihnya."Saya tidak memintamu, kan?" Suara Gema lagi. Kemudian, setelah menarik nafas dalam-dalam untuk membentengi diri agar linangan di pelupuk mata tidak tumpah, Zahira tersenyum tipis."Iya, Pak. Saya tau, kok. Dan makanan ini, nggak ada hubungannya sama hati saya. Jadi, Pak Gema nggak usah khawatir. Makan, ya." Zahira masih terus berusaha mendesak, senyum palsu selalu ia pamerkan. Agar pria itu tidak melihat berapa kecewa hatinya saat ini."Saya harus berangkat sekarang juga." Gema tetap pada pe
Melihat Gema mengamati gadis itu, Yasmin kembali mengerutkan keningnya. "Kenapa, sih? Kamu lihatin gadis itu terus?" Pertanyaan Yasmin itu membuat Gema menoleh kaget. Ia menarik nafas ringan, demi mendapatkan jawaban yang tepat dan bisa diterima."Nggak apa-apa. Ayo pergi.""Hey, pergi kemana?" Yasmin mengejar Gema hingga memegangi lengannya. "Keluar.""Keluar? Terus, apa tujuan kamu ke sini tadi?" Tak disangka, Yasmin akan mengejarnya dengan pertanyaan itu. Gema yang biasanya terlihat gagah dan elegant, kini kikuk menghadapi pertanyaan yang ia sendiri bingung dengan jawabannya.Ia tak menjawab, malah pergi begitu saja mendahului Yasmin yang mengejarnya. Memanggilnya beberapa kali, hingga suara itu didengar tak jelas oleh Zahira.Gadis itu menoleh ke arah pintu keluar yang telah sepi, dengan mata mengernyit penuh tanya. "Kok kayak ada yang manggil nama, Gema? Siapa, ya?" Gumamnya, sambil berdiri melongok ke depan jendela di samping.Dari sini, terlihat keadaan di bawah sana, yang tern
Namun, ia kaget saat hendak membuka pintu. Pintu itu telah dikunci dari luar oleh petugas, sebab ruangan ini kedap suara, percakapan tadi mungkin tidak terdengar dari luar. Gema menoleh Zahira sambil memicingkan mata."Kenapa, Pak?" Zahira bertanya kaget."Kita terkunci.""Hah, nggak mungkin!" Gadis itu memekik panik, ia juga berlari mendekati Gema. Merebut gagang pintu dan memutarnya berkali-kali, hingga tangannya kebas dan memerah."Pintu ini benar-benar udah dikunci dari luar?" Zahira mendesah pasrah, sambil mengibaskan tangannya yang terasa sakit. Sementara di sebelah sana, Gema tak bergeming dengan bersilang tangan.Beberapa saat mematung, Zahira mungkin teringat sesuatu. Ia menoleh sang dosen yang hanya berdiri menyandarkan punggungnya di dinding. "Pak, apa Pak Gema nggak punya kunci duplikatnya?""Nggak ada. Semua pintu di sini sudah ada yang mengurus, kami tidak tau sama sekali. Jika mereka memang tidak melihat mobil saya, bisa saja kita akan tetap di sini sampai besok pagi."
"Ayo, cepat!" Zahira terlihat lega saat melihat Gema ternyata masih menunggu. Ia menyusul, dan berhenti tepat di belakang mobil dosen itu."Ayo, capat!" Dengus pria yang masih melongok dari jendela mobil."Pak Gema jalan duluan aja," Zahira menimpali."Ini sudah tengah malam, jangan banyak bicara!" Zahira mengalah, ia memilih jalan di depan, seperti yang diperintahkan. Sebab sejujurnya, ia pun takut jika berada di belakang.Karena belum pernah berkendara selarut ini, Zahira memacu motornya dengan sangat lambat. Bahkan sampai membuat Gema gusar karenanya. Apalagi gadis itu terlihat tak peduli saat mobil di belakangnya membunyikan klakson sesekali.Namun, setengah jam berlalu, dan rumah mereka masih jauh. Gema menyalip motor lambat itu dan berhenti di depan, menghadangnya.Zahira kaget, mengerem motor secara mendadak, sampai kuda besi itu hampir oleng, karena yang membawa hampir kehilangan keseimbangan. "Gadis bodoh!" Suara Gema Tiba-tiba terdengar di dekat, Zahira mendongak kaget."Tur
"Sore, Pak. Baru pulang?" Zahira menyapa, tetapi Gema hanya bergeming. Pria itu memperhatikan Zahira yang tangannya masih memegangi ponsel, yang entah kapan benda itu sangat melekat dengannya.Gema hanya mendengus, sambil beranjak cepat menaiki anak tangga. Ke lantai atas. Sementara Zahira, ia tak merasa curiga atau apapun. Sebab setelah Gema menghilang dari depannya, gadis itu kembali melebarkan senyum. Mengarahkan sorot matanya kembali ke layar ponsel.Ia pasti tidak tau, bahwa Gema di atas sana masih melongok ke bawah. Memastikan apa yang terjadi, dan hanya membuatnya semakin jengah.Saat senja telah berakhir, Zahira keluar dari kamar, dengan penampilan lebih segar dari sebelumnya. Pakaian yang ia kenakan juga terbaik di lemarinya.Gadis itu, sejak seperti tak pernah berhenti tersenyum. Ia berlari cepat, naik ke lantai atas. Mungkin lupa atau tidak peduli dengan aturan rumah yang dibuat Gema."Pak Gema, Pak. Buka pintunya," Teriak Zahira sambil menggedor-gedornya beberapa kali. Hin
Namun, saat ia akan mengambil dompet di tas, Gema telah mengulurkan beberapa lembar uang ke kasir. Zahira kaget. Gadis itu menatap sang suami penuh tanya, saat petugas kasir mengucapkan terimakasih dan memberikan uang kembaliannya."Loh, Pak?" Ia hendak bertanya, tetapi pria itu malah beranjak pergi. Maka, mau tidak mau Zahira menyusul dengan langkah panjangnya."Pak, tunggu, Pak. Pak Gema!" Teriak gadis itu menyusul Gema yang telah berada di depan mobil."Ada apa lagi?" Tanya pria itu. Sementara Zahira malah mengamati sekeliling, banyak orang. Tak mungkin ia bertanya di tempat ramai seperti ini, jika tidak ingin membuat dirinya malu."Ayo, masuk." Gema memerintahkan, dan dia telah berada di dalam mobil. Zahira mengangguk cepat, juga segera menyusul sang suami ke sana. Mobil melaju perlahan."Pak, kenapa tadi Bapak yang bayarin?" Zahira akhirnya memberanikan diri. Ia menoleh Gema yang tetap berkonsentrasi ke arah depan, tetapi nampak pria itu membuat senyum miring."Memangnya, uangmu