"Bukankah kamu selalu ingin jadi istriku?"
"Sadar, Pak. Pak Gema lagi mabuk!" Teriak Zahira panik bukan main, sebab pria itu nyaris saja menguasai bibirnya.
Sebenarnya, ia telah halal bagi Gema. Tetapi karena cinta yang belum ada di antara mereka, membuat Zahira tak rela jika dirinya disamakan dengan perempuan penjaja harga diri. Apalagi saat ini, kondisi pria itu sedang setengah tak sadar.
Beruntung, saat wajah Gema bergerak mendekat, Zahira sigap menghindar. Ia pikir pria itu akan kembali berulah, ternyata badannya malah merosot ke lantai. Sepertinya tertidur.
"Pak, Pak Gema?" Panggilnya pada badan yang telah luruh ke atas lantai. Ia bahkan kebingungan, bagaimana caranya untuk membantu Gema ke ranjangnya.
Ia berusaha mengangkat badan dengan susah payah, dan berhasil membantu Gema menuju ranjangnya. Namun betapa Zahira kaget, saat akan membaringkan badan pria itu, tangannya malah ditarik.
Ia ambruk ke atas badan Gema, bersamaan dengan berbaringnya pria itu. Sekejap dapat ia dengarkan detak jantungnya sendiri, begitu cepat akibat kejadian spontan itu.
Namun saat mengetahui badan Gema tak lagi bergerak, juga terdengar dengkuran halusnya, ia lega. Setidaknya, kejadian itu hanya ia sendiri yang merasakan.
Perlahan, ia menarik badan yang masih terlilit tangan Gema. Namun, saat hampir berhasil, pria itu bergerak dan mencengkeramnya lebih kuat. "Jangan pergi," Lirih pria itu, yang entah ditujukan pada siapa. Dan Zahira tercengang mendengarnya.
Karena ia tak bisa terlepas dari tangan Gema, dengan perasaan takut luar biasa, Zahira berbaring di sebelah. Membiarkan tangan kirinya dipegang Gema dengan kedua tangan, seperti orang yang takut kehilangan orang tercinta.
Dini hari makin dekat, Zahira masih belum bisa memejamkan mata. Ketakutan akan terjadi sesuatu padanya, tak bisa dikendalikan. Meski pria itu telah tertidur sangat nyenyak.
Zahira baru bisa memejamkan mata saat mendekati fajar, dan ia tak bisa bertahan dari rasa kantuk. Gadis itu tertidur pulas di samping Gema, untuk pertama kalinya. Semenjak pernikahan mereka yang hampir berusia tiga minggu lamanya.
Pagi ini, Gema yang membuka matanya lebih dulu. Setelah mengerjap beberapa kali, dan menyadari keberadaannya, pria itu terperangah kaget. Mengetahui ada sosok gadis berbaring, menggunakan lengannya sebagai bantal nyaman.
Sesaat, dapat ia lihat wajah tak bergerak itu. Gema baru menyadari raut wajah cantik, yang begitu polos saat tertidur. "Zahira, kenapa gadis itu di sini?" Gumamnya lirih. Spontan menghalau desir aneh yang mendadak muncul tanpa diundang.
"Hey, bangun!" Tegas Gema, sambil menarik lengannya dengan kasar. Yang langsung membuat Zahira terbangun gelagapan.
"Pak Gema udah bangun? Bapak baik-baik aja, kan?" Pertanyaan beruntun, keluar begitu saja dari bibir mungil Zahira.
"Kenapa kamu di sini?" Tanya Gema diantara hatinya yang masih panik.
"Saya?" Ucap Zahira ikut gugup, matanya yang masih memerah itu mengerjap beberapa kali untuk memulihkan kesadaran. "Pak Gema semalam mabuk, saya membantu Bapak masuk kesini, dan .... " Ia bingung bagaimana harus melanjutkan.
"Apa kamu sudah lupa dengan perjanjian awalnya?"
"Perjanjian?" Zahira malah bergumam bodoh, membuat Gema berdecak kesal.
"Ruangan kita berbeda. Siapa yang memintamu datang ke sini?"
"Tapi, saya cuma .... "
"Semakin banyak alasan yang kamu buat, semakin benci saya melihatmu. Mulai saat ini, jangan bersikap dan melakukan apapun layaknya seorang istri. Keluar kamu!" Jika Gema telah memerintahkan, itu artinya tidak ada celah bagi Zahira untuk menyangkal ataupun membantah. Semua harus dituruti.
Gadis itu mengangguk lirih dan beranjak. "Satu lagi," Suara Gema membuat langkah Zahira terhenti.
"Mulai saat ini juga, berhenti mengharapkan nafkah dariku. Pernikahan ini hanya sandiwara, jadi tidak ada hak dan kewajiban antara kita berdua."
Zahira mengangguk, setuju tanpa berfikir panjang. Ia melangkah cepat, meninggalkan kamar Gema dengan sekeping hati yang terasa retak.
Selama perjalanan menuruni anak tangga itu, ia berusaha membesarkan hati dengan mengurut dada. Sabarlah, Zahira. Ingatlah kata Ayah, jangan pernah berharap pada siapapun. Karena hanya dirimu sendiri yang bisa diandalkan.
Zahira masuk kamar, menjatuhkan badan ke atas kasur lembut. Berbeda jauh dari rumah peninggalan sang Ayah di perkampungan miskin itu.
Peringatan Gema tadi kembali terdengar jelas, hingga membuat telinganya berdenging. Jika pria itu tak memberikannya uang, lalu bagaimana jika Gema memintanya untuk memasak. Apa yang harus ia masak, dan uang dari mana.
Sementara beberapa hari setelah ia berada di rumah ini, pemasukannya dari hasil jualan online menurun. Sebab tak banyak memiliki waktu untuk mempromosikan produk yang dijual.
Hari minggu ini, ia pikir ada perubahan sedikit dari Gema. Ternyata justru perubahan yang lebih parah. Ada rasa sesal, kenapa semalam ia membantu pria itu.
Ah, sudahlah. Tak ingin memikirkannya lagi, Zahira memilih membasuh badan agar bisa kembali segar. Jam enam pagi, ia memeriksa ruang dapur. Beruntung masih ada bahan makanan, ia bisa makan hari ini.
Satu jam setelahnya, makanan seadanya telah siap di atas meja. Ia duduk di sana, menunggu Gema yang entah masih mau makan bersamanya atau tidak.
Gema turun, Zahira menyambut tak jauh dari tangga. Melihat miris wajah tanpa senyuman itu. "Pagi, Pak. Makanan udah siap," Ucapnya sesopan mungkin.
Bukannya menjawab, tetapi pria itu malah bergerak kembali melangkah. "Pak Gema mau kemana?"
"Keluar."
"Apa nggak makan dulu?"
"Makan di luar." Setelah menjawab singkat tanpa logat keramahan itu, Zahira tertegun melihat kepergian Gema. Sepagi ini, hari minggu pula. Entah akan pergi kemana pria itu.
Zahira kembali duduk di depan meja, makan seorang diri. Tanpa siapapun yang bisa diajak bicara, ia telah terbiasa dengan hal ini.
Kepergian Gema tadi, mungkin seperti yang dikatakan sebelumnya. Bahwa mereka tidak ada hak dan kewajiban di antara masing-masing. Zahira terangguk, membuat kesimpulannya sendiri.
Beberapa minggu berlalu, dan pernikahan mereka genap dua bulan. Selama itu pula, keduanya tak lagi berinteraksi kecuali di kelas. Sebagai mahasiswa dan dosen. Saat di rumah, mungkin hanya bertemu pagi dan sore saja. Itupun dalam sekejap, saat Gema pulang dan pergi.
Selama tak ada interaksi ini, Zahira memilih lebih sering berada di toko pakaiannya. Ia juga telah mendapatkan seseorang yang bisa membantu menunggu toko, saat ia sedang kuliah.
Hasilnya, cukup untuk makan dan keperluan kuliah. Meski bahan makanan paling sederhana, dan ia telah terbiasa dengannya.
Sore ini, Gema mendekati meja makan. Melihat Zahira sedang menyiapkan makan malam, nasi putih dengan tumis kangkung tanpa lauk yang lain.
"Pak, Gema?" Gumam sang gadis saat menyadari ada yang datang.
"Malam ini ikut saya," Ucapnya sambil melemparkan tas kain kecil ke atas meja di depan Zahira. Gadis itu menatap tak mengerti.
"Pakai baju itu, dandan yang baik. Jangan bikin saya malu." Gema kembali pergi, membuat Zahira mengira-ngira sendiri hendak diajak kemana.
Ternyata, malam ini ia diajak ke restoran. Matanya berbinar saat memasuki tempat makan yang baginya sangat mahal dan mewah itu. Segala kemungkinan baik telah berputar dalam benak.
Namun, saat mendekati meja yang dituju Gema, Zahira kaget bukan main. Di sana, ada keluarga suaminya. Memang seharusnya tak ada yang salah, jika saja tidak ada keluarga lain yang ikut hadir dan duduk bersama.
Ada Aurel dan keluarganya juga di sana. Perempuan modis itu menatap sinis ke arah Zahira. Bahkan terkesan meremehkan. Terang saja, secara penampilan dirinya memang kalah jauh.
"Malam, Gema. Gimana kabar kamu, nak?" Tanya Mama, menyambut kedatangan anak sulungnya. Sayang, hanya Gema yang disambut hangat, wanita itu bahkan membantu menyiapkan kursi untuknya. Sementara Zahira, seperti tak dianggap.
Mereka makan dan bercanda, seperti tidak ada seorang Zahira di sana. Bahkan perempuan bernama Aurel berani memuji Gema, meski pria itu tak menanggapi.
Zahira kaget bukan main, saat Aurel yang meminta ijin ke belakang, ternyata malah menumpahkan jus ke pakaiannya.
"Ups, nggak sengaja. Maaf, ya."
***
Zahira kaget bukan main, saat Aurel yang meminta ijin ke belakang, ternyata malah menumpahkan jus ke pakaiannya."Ups, nggak sengaja. Maaf, ya." Suara Aurel tampak tak bersalah sama sekali. Gadis itu tak peduli Zahira yang mukanya memerah, sambil kerepotan membersihkan pakaian di sebelah depan.Ia kembali kaget, Tiba-tiba Gema mendekat dengan beberapa lembar tissu, membantu membersihkan bajunya. Dadanya bergemuruh dengan perlakuan suaminya kali ini, tetapi ia harus sadar. Bahwa yang dilakukan Gema itu, pasti hanya karena sedang di depan orang tuanya. Sementara mereka semua diam saja dengan sikap Aurel pada Zahira barusan."Kamu, gadis kampung. Siapa sih, namanya? Kamu kesal ya, sama aku tadi?" Tanya Aurel ditujukan langsung ke arah Zahira, gadis yang ditanya mendadak gugup.Bingung harus menjawab apa, melirik Gema untuk meminta perlindungan pun rasanya tak mungkin. Pria itu masih sibuk membersihkan baju sang istri."Diam, kamu!" Gema yang menjawab."Aku nggak tanya kamu, ya. Aku tany
Lima belas menit, keduanya tiba di depan area kampus. Saat motor berhenti, tiba-tiba gerimis datang. Gema turun dari motor, yang langsung diserbu beberapa mahasiswi dengan membawa payung. Mengajak dosen itu menuju kantornya, tanpa peduli bagaimana reaksi Zahira melihat tingkah mereka tadi."Pak, kok bisa sih, Pak Gema numpang cewek culun begitu?" Tanya salah satu, yang tanpa dijawab sama sekali oleh sang dosen. Sementara Zahira masih mendengar dengan jelas."Iya, Pak. Kalo mobilnya kenapa-kenapa, kan bisa panggil salah satu dari kami.""Iya, Pak. Mending panggil saya aja, deh.""Saya aja deh, Pak."Masih terdengar beberapa mahasiswa centil itu saling berebut menawarkan diri untuk membantu dosennya. Memang, meskipun tidak ramah pada semua orang, Gema memiliki paras rupawan, yang membuat para gadis berebut ingin mendekati.Di tempatnya, Zahira masih berdiri menatap jengah orang-orang tadi. Hingga suaminya itu menghilang balik ruangan kantor, ia baru sadar, gerimis makin deras. Gadis itu
"Tapi, jas hujannya? Helmnya, gimana, Pak?""Nggak apa-apa, ayo naik.""Ini, Pak." Gadis itu memberikan atasan jas hujan ke depan Gema yang kemudian mendelik tak habis pikir. "Jangan bercanda, kamu!" Hardiknya."Nggak, Pak. Saya sudah pakai jaket, helm juga. Tapi pak Gema nggak pakai semuanya, biar nggak masuk angin, Pak. Pakai ini." Zahira tetap mendesak, dan akhirnya Gema mau menerima jas hujan itu. Ia memakainya.Lalu, keduanya berada di atas motor. Melaju perlahan, menerobos hujan deras bercampur angin dan petir. Bahkan sepanjang jalan aspal ini, air telah menggenang sebatas mata kaki.Perjalanan yang harusnya bisa ditembus lima belas menit, kini jadi melambat. Apalagi di depan mereka beberapa mobil tak bisa berjalan cepat. Di tempatnya, Zahira telah menggigil kedinginan.Jaket tipisnya, tak mampu menghalau hembusan angin bercampur guyuran hujan lebat. Badannya basah kuyup, hanya kepala dan wajah saja yang dirasa aman."Pegangan yang kuat. Kita akan menyalib mobil-mobil itu!" Teri
Gema melirik ke arah meja makan, tak mungkin pria itu tidak mencium aroma makanan yang sedap. "Jangan salah sangka, hanya karena kejadian kemarin, lalu saya berubah pikiran tentang status pernikahan kita."Suara lantang, yang tentu saja membuat Zahira tercengang. Gadis itu secara tak sadar, menatap sang suami dengan mata bergetar. Lalu mengerjap samar sambil memalingkan pandangan ke arah meja makan."Tapi, saya sudah masak banyak, Pak. Juga, udah menghabiskan banyak dari tabungan saya," Lirihnya."Saya tidak memintamu, kan?" Suara Gema lagi. Kemudian, setelah menarik nafas dalam-dalam untuk membentengi diri agar linangan di pelupuk mata tidak tumpah, Zahira tersenyum tipis."Iya, Pak. Saya tau, kok. Dan makanan ini, nggak ada hubungannya sama hati saya. Jadi, Pak Gema nggak usah khawatir. Makan, ya." Zahira masih terus berusaha mendesak, senyum palsu selalu ia pamerkan. Agar pria itu tidak melihat berapa kecewa hatinya saat ini."Saya harus berangkat sekarang juga." Gema tetap pada pe
Melihat Gema mengamati gadis itu, Yasmin kembali mengerutkan keningnya. "Kenapa, sih? Kamu lihatin gadis itu terus?" Pertanyaan Yasmin itu membuat Gema menoleh kaget. Ia menarik nafas ringan, demi mendapatkan jawaban yang tepat dan bisa diterima."Nggak apa-apa. Ayo pergi.""Hey, pergi kemana?" Yasmin mengejar Gema hingga memegangi lengannya. "Keluar.""Keluar? Terus, apa tujuan kamu ke sini tadi?" Tak disangka, Yasmin akan mengejarnya dengan pertanyaan itu. Gema yang biasanya terlihat gagah dan elegant, kini kikuk menghadapi pertanyaan yang ia sendiri bingung dengan jawabannya.Ia tak menjawab, malah pergi begitu saja mendahului Yasmin yang mengejarnya. Memanggilnya beberapa kali, hingga suara itu didengar tak jelas oleh Zahira.Gadis itu menoleh ke arah pintu keluar yang telah sepi, dengan mata mengernyit penuh tanya. "Kok kayak ada yang manggil nama, Gema? Siapa, ya?" Gumamnya, sambil berdiri melongok ke depan jendela di samping.Dari sini, terlihat keadaan di bawah sana, yang tern
Namun, ia kaget saat hendak membuka pintu. Pintu itu telah dikunci dari luar oleh petugas, sebab ruangan ini kedap suara, percakapan tadi mungkin tidak terdengar dari luar. Gema menoleh Zahira sambil memicingkan mata."Kenapa, Pak?" Zahira bertanya kaget."Kita terkunci.""Hah, nggak mungkin!" Gadis itu memekik panik, ia juga berlari mendekati Gema. Merebut gagang pintu dan memutarnya berkali-kali, hingga tangannya kebas dan memerah."Pintu ini benar-benar udah dikunci dari luar?" Zahira mendesah pasrah, sambil mengibaskan tangannya yang terasa sakit. Sementara di sebelah sana, Gema tak bergeming dengan bersilang tangan.Beberapa saat mematung, Zahira mungkin teringat sesuatu. Ia menoleh sang dosen yang hanya berdiri menyandarkan punggungnya di dinding. "Pak, apa Pak Gema nggak punya kunci duplikatnya?""Nggak ada. Semua pintu di sini sudah ada yang mengurus, kami tidak tau sama sekali. Jika mereka memang tidak melihat mobil saya, bisa saja kita akan tetap di sini sampai besok pagi."
"Ayo, cepat!" Zahira terlihat lega saat melihat Gema ternyata masih menunggu. Ia menyusul, dan berhenti tepat di belakang mobil dosen itu."Ayo, capat!" Dengus pria yang masih melongok dari jendela mobil."Pak Gema jalan duluan aja," Zahira menimpali."Ini sudah tengah malam, jangan banyak bicara!" Zahira mengalah, ia memilih jalan di depan, seperti yang diperintahkan. Sebab sejujurnya, ia pun takut jika berada di belakang.Karena belum pernah berkendara selarut ini, Zahira memacu motornya dengan sangat lambat. Bahkan sampai membuat Gema gusar karenanya. Apalagi gadis itu terlihat tak peduli saat mobil di belakangnya membunyikan klakson sesekali.Namun, setengah jam berlalu, dan rumah mereka masih jauh. Gema menyalip motor lambat itu dan berhenti di depan, menghadangnya.Zahira kaget, mengerem motor secara mendadak, sampai kuda besi itu hampir oleng, karena yang membawa hampir kehilangan keseimbangan. "Gadis bodoh!" Suara Gema Tiba-tiba terdengar di dekat, Zahira mendongak kaget."Tur
"Sore, Pak. Baru pulang?" Zahira menyapa, tetapi Gema hanya bergeming. Pria itu memperhatikan Zahira yang tangannya masih memegangi ponsel, yang entah kapan benda itu sangat melekat dengannya.Gema hanya mendengus, sambil beranjak cepat menaiki anak tangga. Ke lantai atas. Sementara Zahira, ia tak merasa curiga atau apapun. Sebab setelah Gema menghilang dari depannya, gadis itu kembali melebarkan senyum. Mengarahkan sorot matanya kembali ke layar ponsel.Ia pasti tidak tau, bahwa Gema di atas sana masih melongok ke bawah. Memastikan apa yang terjadi, dan hanya membuatnya semakin jengah.Saat senja telah berakhir, Zahira keluar dari kamar, dengan penampilan lebih segar dari sebelumnya. Pakaian yang ia kenakan juga terbaik di lemarinya.Gadis itu, sejak seperti tak pernah berhenti tersenyum. Ia berlari cepat, naik ke lantai atas. Mungkin lupa atau tidak peduli dengan aturan rumah yang dibuat Gema."Pak Gema, Pak. Buka pintunya," Teriak Zahira sambil menggedor-gedornya beberapa kali. Hin