Share

Gema Mabuk

"Mulai sekarang, baju kotor nggak usah lagi di bawa ke loundry. Serahkan saja ke saya. Oke?" Zahira berlari ke arah dapur, Gema tertegun memandang kepergiannya.

Gema tak berkata apapun, hanya melangkah mendekati meja makan. Melihat semua telah tersedia di sana, pria itu kembali tertegun sesaat. Kesadarannya pulih lebih cepat, saat mendengar Zahira kembali.

"Silahkan duduk, Pak. Pak Gema mau sarapan pakai apa?" Seperti sudah siap menjadi seorang istri yang baik, Zahira dengan cekatan melayani suaminya. Mengambilkan piring yang diisinya dengan makanan. Tentu saja dengan mulut tak berhenti bertanya pada Gema.

"Oh iya, Pak. Nanti pulang jam berapa?" Tanya Zahira.

"Belum tau." Jawaban Gema masih sesingkat biasanya.

"Yah .... " Lirih gadis itu mengerucutkan bibir, "kalau saya tau jadwal pulangnya Pak Gema, kan enak, mau masaknya."

Tak ada jawaban, Gema hanya menyudahi makan dengan meneguk air putih dan berdiri. Zahira tak ingin terlambat, ia juga berdiri cepat. Membantu membawakan tas kerja milik Gema, mengantarkannya ke depan pintu.

Dan mengulum senyum tipis saat Gema terlihat bingung, ketika ia memberikan tas ke depannya. "Hati-hati, Pak Gema." Zahira berseru sambil melambaikan tangan. Tak peduli meski pria tadi hanya sekilas meliriknya.

Bukankah, sekeras apapun batu karang, Lama-lama terkikis juga oleh deburan ombak. Ia hanya akan melakukan yang terbaik untuk saat ini, dan untuk hasil akhir, semua sudah ada yang menentukan.

Ia hanya yakin, bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral. Yang tidak boleh dibuat permainan. Bahkan, Tuhan sangat membenci perceraian. Jika dirinya ingin, dan berusaha untuk keberlangsungan status pura-pura ini, siapa tau Tuhan mendengarkan.

Aktifitas seperti berlangsung hingga beberapa hari. Dan meskipun selalu mendapatkan respon dingin, semakin tak jadi soal buat Zahira. Ia bahkan semakin hafal mendapatkan perlakuan seperti itu.

Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa semester pertama, Zahira tak pernah melupakan tugas di rumah. Ia juga harus pandai mengatur waktu untuk bisa mengurusi bisnis online yang digelutinya beberapa tahun.

Saat ini, untuk biaya hidup memang telah ditanggung Gema sepenuhnya. Namun, ia masih belum berani untuk meminta biaya kuliah pada pria itu. Apalagi hingga kini, belum nampak perubahan sikap darinya.

Sabtu sore ini, Zahira sedang menunggu kepulangan Gema. Ia segera beranjak saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.

Saat membuka pintu, senyum cerahnya melebar, melihat siapa yang datang. "Sore, Pak. Baru pulang, ya?" Sapaan yang setiap hari ia lontarkan, dan selalu sama. Tak mendapatkan jawaban.

Namun ia tetap tidak peduli. Tangan kecilnya meraih tas dari dari pundak Gema, dan saat ia akan melepas jasket pria itu, Zahira mendapatkan tatapan tajam.

"Mau apa?" Tanya Gema, mata Zahira membulat kaget. "Ma, mau bantuin Pak Gema nglepas jasket," Jawabnya gugup.

"Nggak perlu. Saya bukan anak kecil yang apa-apa harus dibantu!" Sentak Gema membuat binar wajah Zahira berubah seketika. Ia menunduk serba salah.

"Tapi, Pak. Saya, kan .... "

"Saya tau. Kamu setiap hari memperlakukan saya dengan baik ini, karena berharap bisa mendapatkan hati saya, kan? Saya sudah pernah katakan sebelumnya. Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Dan itu, nggak akan berubah sampai kapanpun!"

Penjelasan Gema panjang dan lebar, sambil memamerkan wajah garang menakutkan. Pria itu merebut kasar tas dari tangan Zahira, lalu melangkah cepat menaiki tangga. Meninggalkan sang gadis yang masih tercengang tak habis pikir.

Ia menatap tangga ke atas, hingga tanpa disadari ada air menetes dari matanya. Cukup satu tetas saja, setelahnya ia hapus kabut yang membuat pandangan mengabur itu, hingga benar-benar tak tersisa.

"Nggak apa-apa. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa berdiri dengan kaki kamu sendiri," Lirihnya demi menyuntikkan semangat pada dirinya sendiri.

Ia lantas teringat pesan sang ayah waktu itu, yang memintanya untuk tidak terlalu bergantung pada siapapun. Seseorang akan berhasil jika mampu bangkit dari keterpurukan, dan berdiri menggunakan kakinya sendiri.

Pesan itu selalu ia tanamkan kuat-kuat di hati, sebab selama ini tak ada satupun yang bisa diajak bercurah hati. Bahkan teman baik pun ia tidak memiliki.

Kadang, rasa iri perlahan muncul. Mengapa dirinya tidak disukai orang lain. Jika terjadi sesuatu, lalu pada siapa ia akan meminta bantuan. Bahkan kini, ia dimintai tolong seseorang, dan ia diperlakukan dengan tidak baik.

Hingga malam ia duduk di depan meja makan, menunggu Gema yang hingga jam delapan belum menampakkan batang hidungnya. Padahal perutnya sudah sejak tadi, meraung meminta diisi.

Beberapa saat berlalu, yang ditunggu akhirnya muncul. Ia hanya berdiri, tak berani menyapa heboh seperti tadi. Semakin lama bersama pria dingin itu, ia semakin sadar, mungkin Gema bukan penyuka gadis banyak bicara.

"Mulai sekarang, kamu tidak perlu repot-repot memasak dan mencuci untuk saya." Suara yang didengar saat pria itu berhenti di sana. Zahira membelalak tak mengerti.

"Kenapa?" Tanyanya, ia mendadak seperti orang bodoh saja.

"Saya hanya tidak ingin, kebaikan anda itu karena sebuah harapan," Jawaban Gema yang lantas membuat Zahira terbungkam.

"Pak, tapi, Pak Gema mau kemana?" Teriak Zahira, menyusul pria itu yang tanpa sadar mencengkeram lengannya.

"Bukan urusanmu!" Jawaban, disertai hempasan tangan kasar. Hingga badan kecil Zahira ikut limbung karenanya.

Saat ia berhasil menyeimbangkan badannya, Zahira melihat ke halaman, dan Gema telah menghilang dengan mobilnya. Sudah dua minggu ia berada di rumah ini, dan baru kali ini melihat Gema keluar malam.

Di rumah sebesar ini, ia sendirian. Makan malam dengan hidangan cukup banyak. Entah mau pergi kemana Gema tadi, Zahira hanya khawatir saja.

Apalagi saat ia telah berada di kamarnya dalam waktu cukup lama, belum terdengar kepulangan pria itu. Ia tidak bisa memejamkan mata, beberapa kali merutuki diri. Istri macam apa ini, masa iya, nomor suami sendiri ia tidak tau.

Jam sepuluh malam, dan ini tak seperti biasanya. Seorang Gema tidak pernah keluar malam kecuali ada acara kampus. Zahira makin gelisah. Ia bangkit dan memilih keluar kamar.

Menunggu di kursi ruang tamu, dengan sesekali mengintip keadaan luar dari balik jendela kaca. "Kemana sih, Pak Dosen itu? Nggak biasanya pergi sampai jam segini," Gumamnya seorang diri.

Ia terkadang ingin tertawa miris pada dirinya itu. Sudah tau diperlakukan demikian, masih saja memikirkannya. Masih saja mengkhawatirkannya, hingga menyita sebagian malam yang harusnya ia gunakan untuk istirahat.

Jengah menunggu tanpa kejelasan, Zahira mencoba membuka aplikasi F******k. Mencoba mencari akun milik Gema, padahal ia belum tau, suaminya itu memiliki akun tersebut atau tidak.

Kemudian, saat jam hampir mendekati tengah malam, ia baru mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Dirinya beranjak cepat menuju depan pintu, yang langsung terbuka cepat dari luar.

"Pak Gema?" Pekiknya kaget, tiba-tiba pria itu menubruk pintu dengan badan kehilangan keseimbangan. "Bapak kenapa, Pak?" Teriaknya makin ketakutan.

Ia membantu Gema yang sudah setengah sadar menaiki tangga dengan langkah terseok. Nyaris tak mampu menopang badan yang lebih besar darinya.

"Awas, Pak. Hati-hati," Pintanya saat telah tiba di depan kamar Gema, membantunya duduk di pinggir ranjang besar dan mewah.

"Kenapa kamu kesini?" Suara Gema terdengar serak. Menatap merah ke arah Zahira yang kebingungan atas apa yang terjadi pada pria itu, apalagi aroma alkohol menguar darinya.

"Saya ... Saya, kan bantuin Bapak kesini."

"Sudah saya bilang, jangan pernah kemari!" Teriak Gema, membangkitkan badan sempoyongan. Rambut yang biasanya tersisir rapi itu, ini berserakan menutup sebagian matanya.

"Tapi karena kamu sudah di sini. Saya nggak akan menyia-nyiakannya."

"Bapak mau apa?" Teriak Zahira panik, sebab pria itu mendekati dirinya. Ia mundur hingga menabrak tembok dan tak bisa bergerak. Apalagi kedua tangan Gema mengunci, di samping kanan dan kirinya.

"Bukankah kamu selalu ingin jadi istriku?"

"Sadar, Pak. Pak Gema lagi mabuk!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status