Share

Dihukum Lagi

"Apa-apaan ini?" Zahira memekik.

"Hukuman untuk kamu. Bersihkan semuanya, dan masak untuk makan malam." Dengan angkuh, Gema berucap. Bibirnya menyunggingkan senyuman miring, Zahira berdecak kesal, apalagi pria itu pergi setelahnya.

"Dasar, orang nggak punya perasaan!" Teriak Zahira, sengaja bersuara keras agar Gema mendengarnya. Meskipun ia sebenarnya sudah tau, teriakannya itu tak akan berpengaruh apapun pada keputusan Gema.

Ia mengamati meja makan, dan lantai yang kotor dengan wajah lelah. Ditambah lagi, perutnya belum terasa kenyang, sebab makan yang belum seberapa, dan semua makanan telah berserakan di lantai.

Beruntung. Di mesin penanak nasi tadi, ia masih menyisakan nasi beberapa sendok. Dimakannya hingga habis, dengan tangan telanjang. Makan nasi tanpa lauk begini, baginya telah terbiasa.

Ia juga tidak menyadari, bahwa dari atas tangga, ternyata Gema masih memperhatikan. Pria itu pergi setelah berdecak entah dengan maksud apa.

Malam telah datang, dan Zahira baru usai dari aktivitas melelahkan. Sebelum jam tujuh malam, ia harus menyegarkan dirinya di kamar mandi. Sebelum pemilik rumah ini turun dan memintanya menjadi pelayan.

Seperti kebiasaannya di rumah saat malam hari, berdandan sederhana adalah kewajiban. Rambut lurus sebahu dibiarkan terurai, juga poni tipis yang membuat nampak lebih muda dari usianya.

Ia keluar kamar, dan melihat Gema sudah duduk di meja makan.

"Jangan selalu lamban!" Suara ketus terdengar dari arah sang pria. Zahira menoleh, Gema sedang serius dengan layar gawai. Ia tertegun, mungkinkah dirinya sudah gila.

Ia terperangah, sebab mendadak Gema menoleh. Menatap tajam padanya. "Apa?" Suara pria itu, sama dengan yang Zahira dengar sebelumnya. Ia menggeleng samar, mengetahui suara tadi memang berasal dari Gema.

"Enggak, Pak. Mau makan malam sekarang, apa nanti?" Tanya Zahira menetralisir prasangka buruk.

"Sekarang." Gema kembali fokus pada layar ponselnya, Zahira mengedikkan bahu. Memilih segera menjalankan tugas, apalagi ia sendiri juga sudah lapar.

Pria itu makan tanpa menimbulkan suara apapun. Bahkan gesekan sendok di piring pun tiada. Ia juga diam saja, meski Zahira ikut duduk di sana.

Baru kali ini, Zahira makan malam bersama dosennya. Meskipun kebersamaan ini seperti patung, tetapi itu jauh lebih baik daripada di rumahnya yang sepi. Ia menyuapi mulut, dengan sesekali melirik sosok di depan. Sosok tampan, yang terlihat semakin sempurna saat serius seperti itu.

"Pak, saya boleh tanya?" Tanya Zahira memulai percakapan. Pria di depan, hanya melirik sekilas tanpa jawaban, ia yakin jika melanjutkan kalimat, akan baik-baik saja.

"Sebenarnya, tujuan pernikahan ini, apa sih, Pak?"

"Apa maksudnya?" Bukannya menjawab, Gema justru malah bertanya.

"Ya, masa pernikahan sandiwara ini nggak ada ujungnya, sih? Masa nggak ada kesepakatan apa gitu?" Tanyanya, dan Gema hanya menatap sambil memicingkan mata.

"Pernikahan ini berakhir, ketika saya sudah menemukan perempuan yang tepat," Jawab Gema.

"Kalau nggak juga ketemu, gimana?" Celetuk Zahira tanpa sadar, pertanyaan itu telah membuat Gema menatapnya sengit.

"Kamu," Desis Gema, mengarahkan ujung telunjuknya. "Bocah kemarin sore. Jangan pernah berharap lebih dengan pernikahan ini!"

"Ok, Pak. Intinya, Bapak cuma minta tolong sama saya, kan? Terus apa tanda terimakasihnya? Masa gratisan?" Suara Zahira mulai berkurang rasa takutnya.

"Nanti akan saya bayar."

"Oke, sepakat." Zahira berseru sambil memasang jari kelingking di depan wajah Gema. Mungkin ia lupa dengan siapa berhadapan, hingga jari kecil itu diam saja tanpa ada yang menyambut.

Zahira tersenyum nyengir menahan malu sekaligus kesal. Ia turunkan tangan dan kembali menyelesaikan makan yang tinggal sedikit.

Saat dirinya telah usai makan, Zahira mengambil sesuatu dari dapur dan membawanya ke depan Gema. "Ini bolu kukus, asli buatan tangan saya, Pak. Silahkan dicicipi," Pintanya mengambilkan sepotong kue pada Gema yang kemudian tertegun.

Pria itu awalnya menampakkan wajah tegang, yang semakin lama semakin melunak, dan menerima potongan kue dari tangan Zahira. Tentu saja, gadis itu girang bukan main.

Bahkan senyum lebarnya, membuat Gema berdecak. Tak suka mungkin.

"Gimana, Pak? Enak, nggak?" Tanya Zahira tak sabar, bahkan saat Gema belum mulai mengunyah kue di mulutnya. Namun gadis itu tak peduli, ia tetap menunggu jawaban sambil tersenyum lebar. Melihat yang ditanya mengangguk lirih, ia semakin melebarkan senyumnya.

"Berarti, kalau saya buka bisnis kuliner, cocok ya Pak?" Tak ada jawaban, tetapi Zahira cukup puas dengan respon suaminya. Setidaknya, dari raut muka pria, menampilkan kekaguman yang disembunyikan.

"Kalau enak, silahkan makan lagi," Ucapnya kembali menyodorkan potongan kue, kali ini dengan  yang lebih besar. Wajah Gema kembali tertegun, tapi mungkin pria itu tak bisa lagi memberikan penolakan.

"Pak, habis makan malam ini, apa acara bapak?" Tak ingin ikut-ikutan menjadi patung, Zahira memilih jadi yang paling berusaha mencairkan suasana.

Baginya, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dibuat permainan. Meskipun sangat mustahil baginya bisa mendapatkan cinta tulus dari seorang Gema. Namun setidaknya, ia akan berusaha menjadi istri yang baik. Siapa tau, dengan  begitu, akan ada keajaiban di masa mendatang.

"Istirahat," Jawab Gema singkat saja, setelah meletakkan gelas pria itu berdiri sambil memegangi piring kosongnya.

Pria itu ternyata membawa piring dan gelas ke dapur, ke tempat mencuci piring. Mungkin kebiasaannya setiap hari memang demikian, jika sedang berada di rumah ini.

"Pak, Pak. Bapak mau ngapain?" Seloroh Zahira menyusul, lantas merebut piring dan gelas dari tangan Gema, yang lagi-lagi ia buat tertegun.

"Ini, sekarang sudah jadi tugas saya, Pak. Jadi, biarkan saya yang ngerjakan semuanya. Oke?" Hanya mendengus lirih, setelahnya, Gema tak mengatakan apapun. Ia hanya melangkah kembali ke kursinya.

"Pak, mau dibikinin minuman, nggak?" Teriak Zahira dari dapur, dan Gema mungkin malas menjawab pertanyaan yang baginya tidak bermutu itu.

Namun, Zahira tak peduli. Ia tetap membuatkan minuman itu, lantas membawanya ke depan sang suami. "Nah, ini dia. Malam-malam begini, enaknya minum teh hangat, Pak." Ia terus berceloteh sambil mengangsurkan gelas ke depan wajah Gema.

"Silahkan Pak Gema, yang baik hati!" Zahira berseru, tak peduli lagi dengan lemparan tatapan yang menusuk. Ia hanya sedang berusaha membiaskan diri dengan perlakuan tak mengenakkan itu.

Ia juga tak peduli, pria itu merampas kasar gelas dari tangannya. Meminumnya sedikit dan meletakkannya kembali ke atas meja, masih dengan cara sekasar tadi. "Kamu tidak akan pernah tau, bagaimana selera saya!" Usai berkata ketus, Gema mendengus dan pergi ke lantai atas.

"Ya jelas nggak tau lah, Pak. Pak Gema kan nggak pernah bilang," Jawab Zahira berteriak lantang. Gema yang telah berada di tengah tangga itu hanya melirik sekilas, dan berlalu begitu saja.

Malam larut, di kamarnya, Zahira tetap terjaga. Kamar mewah, harusnya ia bisa tidur pulas. Namun nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata, bukan kemegahan rumah yang membuat hati tentram, tetapi kehangatan orang-orang di dalamnya.

Kehangatan keluarga? Entahlah, ia telah lama tak merasakannya. Pria itu, yang masih memiliki keluarga lengkap, kenapa malah memilih membuat rumah sendiri sebesar ini. Pikiran gadis itu masih saja tak bisa berhenti, memikirkan sang suami, atau dosennya.

Pagi. Jam enam, meja makan telah penuh dengan makanan. Zahira yang telah mandi dan berdandan rapi, duduk di sana, menunggu Gema turun dari atas.

Ia bangkit dari kursi saat dari arah tangga terdengar suara sepatu Gema. "Makan pagi udah siap." Ia berseru.

"Pagi, Pak. Hari ini saya nggak ada kuliah, jadi bisa ngerjakan semuanya di rumah," Celoteh Zahira tanpa mendapatkan respon apapun.

"Bapak bawa apa ini?" Tanyanya lagi, merebut plastik hitam di tangan Gema. "Baju kotor? Mau dibawa kemana, Pak?"

"Loundry," Jawab Gema.

"Mulai sekarang, baju kotor nggak usah lagi di bawa ke loundry. Serahkan saja ke saya. Oke?" Zahira berlari ke arah dapur, Gema tertegun memandang kepergiannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status